Syariat bukanlah beban

Bagi kami yang mendalami tasawuf (tentang akhlakul karimah), perkara sya’riat bukanlah beban (taklif)
Perkara syariat = Perbuatan syariat = Ibadah syariat = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh muslim / seluruh umat Islam = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi hamba Allah = Perbuatan / Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim = Perbuatan / Ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman = ibadah mahdah = ibadah ketaatan = syarat yang harus dipenuhi sebagai orang beriman = perbuatan/ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Bagi kami, perkara syaria’t atau ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau ibadah yang disyaratkan Allah swt bagi kami sebagai hamba Allah swtmerupakan sebuah kesenangan/kesukaan karena kami paham bahwa ibadah mahdah merupakan “makanan”/kebutuhan ruhNya dan kami melakukan ibadah mahdah sebagai wujud bersyukur kepada Allah swt, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw.

Dari Anas Ra, Rasulullah saw berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah saw sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa”
“Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”

Oleh karenanya wajarlah bagi saudara-saudaraku yang berpemahaman secara dzahir, lahiriah atau tekstual menyatakan sesat bagi kami yang mendalami tasawuf yang berkata “Bagi kami yang mendalami tasawuf maka hilanglah beban syari’at”
Padahal hikmah (pemahaman yang dalam) dari pernyataan tersebut adalah hilanglah beban syariat berganti dengan kesenangan/kesukaan akan syari’at.
Kami juga mengakui ada mereka yang mengaku-aku mendalami tasawuf telah sesat karena mereka benar-benar meninggalkan perkara sya’riat.
Tulisan  ini kami buat, agar saudara-saudaraku kaum wahabi atau salaf(i), dapat belajar memahami orang lain dan tidak menilai/menghukum orang lain berdasarkan pemahaman sendiri apalagi mengatakan/mengakui bahwa apa yang dipahami adalah sebagaimana/serupa pemahaman Salafush sholeh.
Apakah mereka meyakini bahwa para Salafush Sholeh berpahaman dzahir, tekstual, harfiah atau tersurat?
Apakah mereka meyakini bahwa para Salafush Sholeh tidak mendapatkan karunia dari Allah swt berupa pemahaman yang dalam (al hikmah) ?

“(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh” (QS asy Syu’ara’ [26]: 83 )
“Demi Al Quraan yang penuh hikmah” (QS Yaasiin [36]: 2 )
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” (QS Zukhruf [43]: 4 )
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Begitu juga ketika mereka (yang berpahaman dzahir,lahiriah, tekstual, tersurat) memahami perkataan orang-orang yang mendalami tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”
Maka mereka memahami bahwa orang-orang yang mendalami tasawuf membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan ar-raja` (pengharapan).
Padahal maksud pernyataan orang-orang yang mendalami tasawuf bahwa perkara sya’riat, kewajiban, larangan dan pengharaman adalah sebuah bentuk kecintaan (ke Maha Pemurahan dan ke Maha Penyayangan) dari Allah swt kepada hambaNya.
Kalau kita ambil pelajaran dari kehidupan seorang anak. Seorang anak dilarang oleh orang tuanya untuk menaiki dan berjalan di sebuah tembok yang tinggi.
Anak pada umumnya akan mengikuti larangan orangtuanya karena
mengerti perintah larangan orang tua itu secara harfiah atau
aspek rasa takut pada (hukum jika melanggar larangan) orangtuanya atau
mengetahui akibat jika larangan itu dilanggar.

Namun bagi anak yang telah “mengenal” orangtuanya, dia akan mengikuti larangan orang tuanya, karena dia paham bahwa orang tuanya melarangnya merupakan wujud rasa sayang orang tua kepadanya. Jadi anak itu ikhlas mengikuti larangan orangtuanya tanpa peduli dengan akibat jika larangan itu dilanggar.
Anak yang “mengenal” orangtua itu adalah ibarat murid Tasawuf “mengenal” Allah swt atau pada kalangan ahli Tasawuf dikenal dengan istilah ma’rifatullah.
Sungguh kita menjalankan kewajiban, menjauhi larangan dan mentaati pengharaman-Nya, hakikatnya adalah bagi kebaikan/keperluan kita sendiri.
Apapun perbuatan/ibadah yang kita lakukan sesungguhnya bukan untuk keperluan Allah swt namun semata-semata untuk kebaikan/keperluan kita sendiri.
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Al Faathir [35]:15 )
“…maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS Al Imran [3]:97 )
“…Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (QS An Naml [27]:40 ).
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam“.(QS Al Ankabut [29]:6 )
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Luqman [31]:12 )
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS at Taghaabun [64]:6 )
Kita  dapat meyakini adanya sisi bathiniyah dalam Al-Qur’an dan kita juga harus taat dan menerima apapun yang difirmankan oleh Allah swt. Juga kita paham bahwa sisi bathiniyah adalah semata-mata karunia Allah swt yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Sangat disayangkan sebagian saudara-saudara kita masih belum dapat meyakini adanya sisi bathiniyah dalam Al-Qur’an karena mereka secara tidak sadar hanya meyakini sebagian dari firman-firman Allah swt sebagai contoh yang artinya
“ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.(QS Yusuf [12]:2 ).
“ Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.”. (QS Fushshilat [41]:3 ).

Bagi mereka cukup dengan kemampuan berbahasa Arab, mereka yakin dapat memahami Al-Qur’an secara keseluruhan tanpa pertolongan Allah swt dalam bentuk karunia hikmah.
Hal yang saya sangat sayangkan adalah saudara-saudara kita kaum wahabi atau salaf(i) di kerajaan Arab Saudi telah mengklaim bahwa orang-orang yang mendalami / kaum Tasawuf adalah syirik dan telah keluar dari agama.
Pentakfiran terhadap saudara-saudara muslim yang mendalami tasawuf dilakukan mereka secara sadar dan masih berlangsung sampai saat ini.
Hal ini tercantum dalam kurikulum pembelajaran pada sekolah-sekolah mereka sebagaiman yang disampaikan Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya pada pertemuan Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah

Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum Pembelajaran, dalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.
Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.
Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf.
Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah.
Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.
Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin. Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim).
Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.
Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab.
Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin?
Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah?
Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!
Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor Dominan
Di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.
Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan.
Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.
Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.
Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah –dengan standar pendapat mereka– dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.
Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam.
(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48)
Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “
Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.”
Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.
Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.
Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan denganNya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.
Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar