Bom bunuh diri

Apakah penyebab seorang muslim melakukan “bom bunuh diri” atau jihad individu atau jihad “open source” seperti kasus bom di Masjid Polresta Cirebon
Apakah penyebab seorang muslim menyerukan untuk membunuh orang yang dianggap telah murtad seperti orang Ahmadiyah ?
Kedua tindakan baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain pada kedua kasus di atas, menurut analisa dan pendapat kami disebabkan oleh hal yang serupa.
Tidak ada yang dapat dipahami sebagai perintah bunuh diri maupun orang yang murtad harus dibunuh dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Ada dalam Al-Qur’an yang diterjemahkan “bunuhlah dirimu” dalam (QS An Nisaa [4]:66) yang artinya,
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar beriman selalu menta’ati segala yang diperintahkan Allah bagaimanapun beratnya perintah itu, walaupun perintah
itu meminta pengorbanan jiwa, harta atau meninggalkan kampung halaman. Ayat ini bukanlah sebenar-benarnya perintah atau membolehkan untuk bunuh diri namun menjelaskan tingkat ketaatan orang-orang beriman

Begitu pula ada hadits-hadits yang diterjemahkan bahwa murtad harus dibunuh adalah dalam konteks suasana pada waktu peperangan antara kaum muslim dan kaum kafir. Mereka ada yang murtad dan berbalik menjadi lawan kaum muslim. Sudah tentu orang semacam itulah yang harus diperlakukan sebagai musuh, bukan karena murtadnya, melainkan karena berpihak kepada musuh. Rasulullah menyampaikan bahwa salah satu jiwa yang dihalalkan untuk dibunuh adalah “orang yang meninggalkan agamanya dan meninggalkan jamaah”. Kita harus pahami penegasan bahwa murtad yang ”meninggalkan jamaah” atau mereka yang berbalik menjadi lawan kaum muslim. Sedangkan orang yang murtad pada keadaan tidak memerangi kita, hanya status jiwanya saja yang berubah dari ”haram darahnya” menjadi ”halal darahnya”.
Pada hakikatnya kitapun tidak boleh membunuh seekor nyamuk. Nyamuk menghampiri kita atas kehendak Allah Azza wa Jalla.
Apalagi orang kafir atau orang murtad walaupun statusnya halal darahnya, bukan berarti boleh dibunuh.begitu saja. Namun maksud dari status halal darahnya adalah ketika terpaksa membunuh mereka atau tidak ada jalan lain selain membunuh mereka atau adanya kemungkinan bahaya terbunuh bagi diri kita maka pembunuhan itu tidaklah berdosa. Pada dasarnya setiap manusia tidak boleh dibunuh kecuali dengan alasan-alasan syar’i sebagaimana firmanNya yang artinya “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)“ (QS Al An’aam [6]:151 )
Saudara-saudara kita di Palestina memerangi Israel (orang Yahudi) bukan karena mereka kafir namun karena perbuatan orang Yahudi yang menjajah tanah Palestina. Orang Yahudi menjadi kafir karena kehendak Allah ta’ala. Jadi kita bukannya memerangi kehendak Allah, yang diperangi adalah perbuatan mereka. Berapa dalil kalau kita terjemahkan “perangilah mereka” jangan segera dipahami dengan bunuh mereka namun maksud “perangilah mereka” adalah “bantahlah mereka” atau sampaikan kebenaran kepada mereka. Tugas kita hanya menyampaikan sedangkan mereka dapat hidayah atau tidak adalah kehendak Allah ta’ala. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/28/takut-dan-harap/
Jadi kita harus bisa bedakan antara diterjemahkan dan dipahami.
Diterjemahkan belum termasuk konteks suasana atau asbabun nuzul dan juga belum termasuk kaitan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits lainnya. Hal inilah yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Hal yang berbahaya adalah memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan sekedar diterjemahkan bukan dipahami
Memang Al-Quran “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun dalam firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Begitu pula tafsir bil matsur seperti tafsir Ath Thabari adalah tafsir pada tahap pengumpulan dalil naqli dan penterjemahan, perlu dilanjutkan upaya mengambil pelajaran atau pemahaman yang dalam (hikmah).
Penterjemahan adalah menggunakan pikiran, dalil naqli adalah bukti/memori.
Sedangkan pemahaman yang dalam (hikmah) adalah menggunakan akal dan hati pada jalan Allah dan RasulNya…

Penjelasan lebih lanjut perbedaan antara pemahaman dengan “pikiran dan memori” dengan “akal dan hati”, silahkan baca tulisan kami padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/24/jarh-wa-tadil/
Mereka yang menggunakan akal dan hati di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau yang mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai Ulil Albab sebagaimana contohnya firman Allah ta’ala.
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
wamaa yadzdzakkaru illaa uluu al-albaab

… “dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269 )
Jika kita belum dapat merujuk atau memahami secara langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits maka kita disarankan untuk bertanya dengan mereka yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43).
Jadi kesimpulan menurut apa yang kami pahami dari Al-Qur’an dan Hadits mereka yang melakukan bom bunuh diri di Cirebon maupun yang menyerukan untuk membunuh orang Ahmadiyah adalah mereka yang pemahaman secara ilmiah/logika atau dengan “pikiran dan memori”. Sebaiknyalah kita menggunakan pemahaman secara hikmah atau dengan “akal dan hati” sebagaimana Ulil Albab
Kita sebaiknya tidak membenci orang kafir atau mereka yang murtad sehingga tidak dapat berlaku adil. Bagaimana mengelola kebencian dapat ditemukan dalam tulisan pada
Perlakuan kita terhadap orang kafir maupun mereka yang murtad adalah sebagaimana perlakuan terhadap kaum non muslim. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tulisan pada

Khususnya terhadap orang-orang Ahmadiyah, perlu kita secara terus-menerus dan penuh kesabaran untuk menyadarkan mereka dari kesalahpahaman memahami Al-Qur’an dan Hadits dan sekaligus menjelaskan pada kaum muslim pada umumnya letak kesalahpahaman mereka agar tidak bertambah lagi yang mengikuti orang-orang Ahmadiyah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Satu Tanggapan

Faham n Jelas om…….Musahadah lah jawaban na…hehehe
=====
27 April 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar