Buih di Laut

Dalam tulisan kami sebelumnya baik pada
maupun pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/dalil-akal/dijelaskan dalil aqli atau dalil akal adalah akal qalbu atau akal hati. Dalam kedua tulisan tersebut dijelaskan betapa terkaitnya dalil aqli dalam memahami Al Qur’an dan Hadits  atau dalil naqli.
Tanpa mempergunakan akal qalbu atau dalil aqli maka dapat menyebabkan radikalisme maupun terorisme sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada

Tanpa mempergunakan akal qalbu atau dalil aqli bagaimana kita dapat memahami dengan baik dalil naqli sebagai berikut
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)

Entah bagaimana pula pada tahun 1998, Osama bin Laden bersama Ayman al-Zawahiri mengeluarkan fatwa yang menyerukan untuk “membunuh orang Amerika dan sekutu mereka, dimanapun mereka berada”
Tanpa mempergunakan akal qalbu atau dalil aqli atau menterjemahkan saja dalil naqli atau yang kami sebut dengan “metodologi terjemahkan saja” sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada
dapat menyebabkan kekufuran dalam i’tiqod (akidah)
Dalam memahami dalil naqli atau ayat-ayat tentang sifat Allah, ulama-ulama terdahulu telah memperingatkan kita, contohnya sebagai berikut,
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”

Kesalahpahaman seperti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauizah dan para pengikutnya adalah ketika mereka memahami lafaz-lafaz sifat Allah dan mereka merasa tidak menemukan dalil naqli yang dapat menjelaskan (tafsir bil matsur) , mereka memaknai lafaz-lafaz sifat Allah secara zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya sehingga mereka justru terjerumus dalam tamtsil yaitu menyamakan atau menyerupakan nama atau sifat Allah dengan nama atau sifat makhlukNya ,
Contohnya turunnya Allah ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir sebagaimana terungkap pada Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah yang ditulis oleh : Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy. Telah diuraikan dalam tulisan pada
Ulama salaf membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhohir) maupun makna majazi (takwil). Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير

“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama Salaf tidak mentafsirkan ayat itu dengan tafsiran apapun, tidak memperdalam maknanya, tidak mentakwilkan dan menyerahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa. Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih). Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu.

Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhohir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat & mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhohir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih, sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana. Begitu pula mereka tidak mau melakukan takwil sebab wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah…

Imam Malik tidak mau membahas masalah ayat sifat ini. Sampai-sampai dia pernah mengusir orang yang menanyakan istiwa’nya Allah:
وما روي عن عبد الله بن الوهاب عن الإمام مالك بن أنس من أنه جاءه رجل فقال له: يا أبا عبد الرحمن {الرحمن على العرش استوى} فكيف إستوى؟ قال: فأطرق مالك رأسه حتى علاه الحضاء, ثم قال: الإستواء غير مجهول, و الكيف غير معقول, و الإيمان به واجب و السؤال عنه بدعة, وما أراك إلا مبتدعا. فأمره أن يخرج.
“Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Wahhab dari Imam Malik bin Anas bahwasanya datang kepada beliau seorang dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman (Yang Maha Rahman bersemayam di atas arasy) maka bagaimana bersemayamnya?” Kemudian Imam Malik tertunduuuk kepalanya dan baru mengangkatnya kembali setelah peluh panas kemarahannya menyadarkan dirinya, lalu berkata: “‘Bersemayam’ bukan tidak diketahui, dan bagaimananya tidak tercerna akal, mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan ahlu bid’ah. Maka Imam Malik menyuruhnya keluar”

Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an bukan sebagaimana makna zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya.
Tidak mengapa bagi mereka yang mampu (berkompeten) mentakwilkan atau mengambil pelajaran dari lafaz-lafaz sifat Allah yakni para Ulil Albab sebagaimana yang kita ketahui dari firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )

Ulil Albab adalah mereka yang menggunakan dalil aqli atau akal qalbu atau mereka yang menggunakan hati. Dengan hati mereka mendapatkan cahayaNya atau petunjukNya untuk memahami ayat-ayat sifat Allah sebagaimana  contohnya para ulama pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang menguraikan Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah yang terkenal dengan istilah “sifat wajib bagi Allah”.
Aqidatul Khomsin yang ditinggalkan oleh segelintir ulama  mereka  karena  menganggap sebagai kebid’ahan, tidak dikatakan oleh Allah ta’ala maupun RasulNya.
Aqidatul Khomsin adalah istiqra (hasil telaah) dari dalil naqli (Al Qur’an dan Hadits)  yang menjadi dalil aqli untuk sebagai pedoman kita memahami ayat-ayat tetang sifat Allah.  Tentang Aqidatul Khomsin, ada sedikit diuraikan dalam tulisan pada

dan
Pada hakikatnya memahami Al Qur’an dan Hadits tanpa dengan hati atau dalil aqli atau akal qalbu hanya terjemahkan saja atau akal pikiran saja (hasil kerja otak / memori) adalah yang dikiaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai “membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sepeninggalanku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)

Contoh lain ketika ulama mereka memahami perkataan Rasulullah secara zhahir sebagaimana yang terurai dalam
Hadits yang mereka “bicarakan” yang artinya,
“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh”

Pendapat ulama mereka , “matan (redaksi) hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tidak disetujui oleh syari’at ini”
Dikatakan mereka sebagai “tidak masuk akal” adalah yang dimaksud akal pikiran (hasil kerja otak) atau logika bukan akal qalbu. Mereka memperlakukan perkataan Rasulullah sebagaimana pendapat atau tulisan ilmiah tanpa aspek ruh (bathiniah) atau hikmah
Pada hakikatnya berdasarkan pendapat mereka ini merupakan klaim mereka kepada Allah ta’ala bahwa jika mereka telah menjalankan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya maka “otomatis” mereka dekat kepada Allah ta’ala.   Tidak masuk akal pikiran mereka, kemungkinan akan semakin jauh dariNya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Dan barangsiapa tidak khusyuk dalam sholat sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.

Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan sholatnya atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya
Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya, sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.  Mereka menjadi umat Islam yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah “Mereka ibarat buih di laut”.  Mereka sebenar-benarnya tidak melihat Allah walaupun Allah ta’ala telah menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa Dia adalah dekat.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“. (QS  Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )

Boleh jadi ini semua dikarenakan mereka “menempatkan” Allah Azza wa Jalla  jauh dari mereka, di tempat yang paling jauh atau paling tinggi atau di atas ‘Arsy. ‘Arsy (Bahasa Arab عَرْش, ‘Arasy) adalah makhluk tertinggi,  berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para Malaikat.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
18 September 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar