Penetapan “di mana” tidak diperkenankan untuk Allah Azza wa Jalla.
Salah satu kesalahpahaman dalam bidang i’tiqad / akidah pada suatu kaum muslim yang mengakibatkan perdebatan berkepanjangan adalah berkeyakinan “di mana” terhadap Allah Azza wa Jalla.
Mereka berpegangan dengan sebuah HR Muslim, di mana hadits tersebut tidak kita temukan pada bab tentang Iman. Berikut hadits selengkapnya,
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
6.29/836. Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari ‘Atha’ bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.’ -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mendatangi mereka.’ Dia berkata, ‘Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).’ Beliau bersabda, ‘Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, ‘Maka jangan menghalangi kalian-. Dia berkata, Aku berkata, ‘Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis hidup.’ Beliau menjawab, ‘Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan datang, pent) ‘. Dia berkata lagi, Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, (Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya? ‘ Beliau bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku.’ Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Di manakah Allah? ‘ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku? ‘ Dia menjawab, ‘Kamu adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda, ‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah’. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza’i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya. Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=29&action=display&option=com_muslim
Bagi pendapat kami, hal yang utama dalam hadits tersebut adalah perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”. Hadits itupun dapat kita temukan dalam bab tentang sholat. Entah kenapa kaum yang mengaku berpemahaman sebagaimana Salafush sholeh menjadikannya sebagai landasan i’tiqad / akidah.
Sebagaian ulama berpendapat bahwa pertanyaan “Di mana” sekedar untuk mengetahui apakah budak tersebut adalah penyembah berhala (sesuatu di bumi atau buatan manusia) sebagaimana kebiasaan sebagian orang Arab pada waktu itu. Tidak bisa dijadikan landasan keimanan /akidah karena ada juga yang menyembah matahari, bulan, atau bintang yang merupakan tuhan di langit juga.
Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadits tersebut syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:
“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-nya: Di mana?.”
Imam Sayyidina Ali kw juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“ (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Tinjauan lebih lanjut tentang hadits tersebut selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/
Berikut adalah perbincangan kami dengan KH Thobary Syadzily mengenai pendapat beliau tentang ‘di mana’ bagi Allah Azza wa Jalla
*****awal pendapat KH Thobary Syadzily *****
Dalam ilmu tauhid, Allah swt maha dibersihkan dari enam kam, yaitu:
1. Kam Muttasil fidz-Dzat
2. Kam Muttasil fish-Shifat
3. Kam Muttasil fil-Af’al
4. Kam Munfasil -fidz-dzat
5. Kam Munfashil fish-Shifat
6. Kam Munfasil fil-Af’al.
Sebaliknya keenam kam tsb hanya ada pada makhluk karena:
الله الذى ينزه عن سمات الحدوث و الألوان و الكيفيات
Artinya: Allah Maha dibersihkan dari ciri-ciri makhluk, warna, dan segala bentuk kaifiyat (pertingkah-pertingkah makhluk).
Kaifiyat di sini kalau dalam ilmu filsafat dinamakan: 10 Dasar Pertanyaan Filsafat, di mana, ke mana, bagaimana dsb. Oleh karena itu dalam kehidupan ini perlu sekali mempelajari ilmu tauhid, karena ilmu tauhid itu peranannya sangat sentral, sehingga kita dalam menjalani hidup ini dapat terpimpin dengan baik.
Dalam kaitannya dengan orang-orang yang faham terhadap ilmu tauhid, masalah-masalah yang dianggap bid’ah, syirik dan sesat (seperti ziarah kubur, tabarruk, tawassul dsb) oleh kelompok2 kaum puritan, itu merupakan tuduhan yang tidak pas dan bisa juga itu merupakan bid’ah yang sebenarnya.
Orang yang menuduh syirik, sesat dan bid’ah terhadap orang yang faham dalam masalah ilmu tauhid, sebenarnya orang itu telah melakukan bid’ah yang sebenar-benarnya bid’ah.
Untuk mengetahui ilmu tauhid yang bersih dari faham-faham yang bengkok, silahkan anda pelajari kitab-kitab, seperti: Tijan ad-Daruri karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Fathul Majid karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Jauharatut Tauhid karya Syeikh Ibrahim Baijuri, Kifayatul ‘Awam, Sanusiyah, Hudhudi, Ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin dsb “
****akhir pendapat****
Memang Al-Qur’an diturunkan “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) namun dapat dipahami oleh kaum yang mengetahuinya. firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fushshilat [41]:3 ).
Jika kita belum dapat merujuk secara langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits maka kita disarankan untuk bertanya dengan mereka yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43). Jika ingin bertanya tentang tauhid lebih lanjut silahakan hubungi beliau melalui facebook di http://www.facebook.com/profile.php?id=100001039095629
Pernyataan Allah berada/bertempat di langit atau di atas `arsy adalah konsekuensi dari pertanyaan “dimana?” dan “bagaimana?”, meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut!
Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan “jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!
Ketika anda menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy atau di atas langit itu artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah terhadap Allah dengan menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada. Ketika ini disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang berfikir.
Ketika anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena kontradiktif secara akal! Pada kesempatan yang lain KH Thobary Syadzily menyampaikan, “Mereka yang mengatakan dan meyakinkan bahwa Allah itu bersemayam di atas ‘arasy meskipun bersemayamnya sesuai dengan keagunga-Nya, itu merupakan pandangan yang tidak dilandasi dengan ilmu tauhid yang kuat seperti yang diterangkan dalam kitab2 ilmu tauhid: Tijan ad-Daruri, As-Sanusiyah, Kifayatul ‘Awam, Fathul Majid (karya Syeikh Nawawi al-Bantani), Jauharatut Tauhid, Hudhudi, Ad-Dasuqi ‘Syarhi Ummil Barahin, dan lain-lain”.
Kami sepakat bahwa pada zaman modern ini kita sebaiknya mensosialisasikan buku/tulisan karya ulama sholeh nenek moyang (ulama sholeh terdahulu) dari kalangan kita sendiri yang masih terjaga ke-asli-an di tengah adanya kemungkinan perubahan yang jahil terhadap buku-buku peninggalan para ulama dahulu sebagaimana yang dicontohkan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/11/al-ibanah/
Hal seperti itu juga disampaikan oleh Syeikh Al Azhar Dr. Ahmad At Thayyib dalam “Forum Alumni Al Azhar VI” bahwa adanya upaya negatif terhadap buku para ulama, “Demikian juga adanya permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.” Selengkapnya silahkan baca padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/
Wassalam
Zon at Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar