Kesalahpahaman tentang Pembagian Tauhid
Sebagian saudara-saudara muslim kita yang mengaku bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Mereka adalah yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan konsep/metodologi yang kami beri nama “terjemahkan saja”. Telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Konsep/metodologi pemahaman mereka adalah
Kita harus berserah diri, jangan menggunakan akal, apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah sampaikan dan apa yang dicontohkan oleh Salafush Sholeh harus diterima dan diikuti apa adanya berdasarkan penterjemahan / penafsiran terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara dzahir karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.
Dalih konsep mereka dengan firman Allah yang artinya, “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).
Namun untuk pembagian Tauhid ini mereka tampaknya (seolah) ”mengingkari” bahwa segala sesuatu dalam Agama harus hanya mengikuti apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah sampaikan dan apa yang dicontohkan oleh Salafush Sholeh. Mereka mengakui bahwa pembagian Tauhid itu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat.
Mereka terpaksa mengikuti perkara baru, bagi kaum mereka dengan menggunakan istilah muhdats sedangkan perkara baru yang diikuti oleh muslim lain mereka langsung menuduh (menggunakan istilah) bid’ah.
Berikut pengakuan mereka yang kami kutip darihttp://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0
***** awal kutipan *****
Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya mereka ”terpaksa” mengakui bahwa untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits harus menggunakan akal atau telaah (istiqra), kita tidak dapat sekedar “menterjemahkan saja”.
Jadi kelirulah mereka yang menolak tentang fiqih atau anti mazhab, karena fiqih atau mazhab pun merupakan hasil telaah (istiqra) terhadap Al-Qur’an dan Hadits yang melampaui konsep/metodologi “terjemahkan saja”. Silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/2011/01/18/paham-anti-mazhab/
Setelah waktu berlalu tampaknya kita harus mengkaji ulang hasil telaah (istiqra) para ulama tentang pembagian Tauhid atau untuk mudahnya kami menyebutnya “Tauhid menjadi tiga”.
Konsep atau pemahaman “tauhid menjadi tiga” pada kenyataannya digunakan untuk menilai atau menghukum saudara-saudara muslim lainnya. Bertebaranlah penilaian hingga pen-tahdzir-an, pen-hajr-an bahkan pentakfiran terhadap sesama saudara muslim dikarenakan prasangka bahwa muslim lain baru bertauhid Rububiyah belum bertauhid Uluhiyah. Sehingga lahirlah istilah “mukmin musyrik”. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/2011/01/10/mukmin-musyrik/
Pada hakikatnya tidak ada isitilah/tingkatan tauhid Rububiyah atau tidak dikatakan ber-tauhid jika manusia mengakui bahwa ada tuhan yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya.
Dengan tauhid Rububiyah secara tidak disadari kita mengakui bahwa non muslim atau bahkan kaum musyrik itu ber-tauhid. Padahal kita tahu bahwa (contohnya) orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani tidaklah dikatakan mereka ber-agama ataupun mereka ber-tauhid. Pada hakikatnya tidak ada agama selain Islam. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/2011/01/21/agama-hanya-islam/
Manusia yang ber-tauhid hanyalah mereka yang mengakui agamanya adalah Islam dengan intinya mentaati perintah dasar/inti dari Allah Azza wa Jalla untuk ber-syahadah.
Tauhid adalah hanya menyembah/mengabdi atau mentaati Allah Azza wa Jalla.
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (mengabdi) kepada-Ku” (QS Adz Dzariyaat [51]:56 )
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah(mengabdi) kepada-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
”Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah (mengabdilah kepada) Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sembahan selain Allah) itu” (QS An Nahl [16]:36 )
”Sembahlah (mengabdilah kepada) Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (QS An Nisaa [4]: 36 )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Ada sebagian manusia mengatakan bahwa Syaitan lebih ber-tauhid dibandingkan manusia, karena mereka tidak mau menyembah/bersujud kepada selain Allah. Syaitan tidak dikatakan ber-tauhid, intinya adalah karena tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla.
Jika siapapun tidak mentaati perintah Allah ta’ala pada hakikatnya tidak mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla atau meyakini ada yang berkuasa selain Allah Azza wa Jalla. Inilah inti dari sikap/perbuatan syirik atau mensekutukan Allah ta’ala yakni tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla. Nabi Adam a.s diturunkan ke dunia karena tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla untuk menjauhi laranganNya.
Jadi, bagi siapa saja yang telah bersyahadat maka mereka termasuk hamba Allah ataupun mereka yang ber-tauhid. Jika dalam perjalanan mereka, kita melihat atau menilai mereka telah melakukan perbuatan atau menunjukan sikap yang condong kekufuran maka tidak secara otomatis membatalkan ke-Islaman. Kita tidak dapat memvonis kufur ahlul qiblat ( ummat Islam ) secara sepihak tanpa upaya klarifikasi. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/12/19/takfir/
Sebagai contoh kekeliruan yang dilakukan oleh para ulama di salafy.or.id yang memvonis sesat secara sepihak dan hanya melalui pemahaman sepihak terhadap tulisan/perkataan Syaikh Yusuf Qaradhawi. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Kita wajib berprasangka baik terhadap manusia apalagi dengan sesama muslim. Jika kita melihat amal perbuatan dari saudara muslim kita yang tidak kita pahami bisa jadi kita belum tahu dalil yang mereka gunakan atau bahkan kita selama ini keliru memahami nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.
Allah Ta’ala berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.
Kita sebaiknya meninggalkan hasil telaah(istiqra) tentang pembagian Tauhid menjadi tiga dan kembali kepada pemahaman Tauhid yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bisa jadi adanya Tauhid Rububiyah dipengaruhi oleh kaum non muslim atau perang pemahaman (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh kaum non muslim untuk membenarkan adanya agama mereka. Sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas bahwa agama hanyalah Islam. Firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran [3]:19 )
Wassalamualaikum Wr Wb
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar