Siapakah yang jahiliyah

Kata jahiliyah kita pahami sebagai suatu masa sebelum kemunculan Islam; merupakan masa yang penuh dengan kegelapan karena tidak mendapatkan cahaya petunjukNya, kebodohan/ketidaktahuan akan petunjukNya, serta  akhlak yang buruk, akhlak yang tidak sesuai dengan petunjukNya.
Kata jahiliyah disebutkan di dalam al-Qur’an contohnya pada  surat Ali ‘Imran [3]: 154 yang maknanya
“….sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah”

Dalam ayat di atas, kata jahiliyah menunjukan sikap hidup berupa buruk sangka dan penuh kecurigaan. Begitulah salah satu sikap hidup yang dimiliki masyarakat Arab sebelum kelahiran Islam. Mereka hidup dengan saling curiga, saling mencari aib, kekurangan orang lain dan jauh dari rasa saling menghargai. Mereka lebih senang memiliki banyak musuh daripada banyak kawan. Sehingga, salah satu ajaran pokok al-Qur’an adalah menghilangkan rasa buruk sangka dan curiga kepada orang lain sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).

Pada minggu ke dua bulan Mei 2011, alhamdulillah, kami berkesempatan sholat Jum’at pada masjid di sebuah pabrik/kantor kawasan Cileungsi. Dahulu kami  mendapatkan khutbah Jum’at yang menyejukan iman, seputar tazkiyatun nafs dari masjid tersebut namun kali ini kami mendapatkan khutbah Jum’at dari kalangan mereka. Khatib menguraikan bahwa umat muslim pada saat ini telah dijumpai ciri-ciri kejahiliyahan.
Diantara ciri-ciri kejahiliyahan yang beliau uraikan adalah,
Umat muslim khususnya di negeri kita ada yang beribadah mengikuti orang kebanyakan.
Mereka menyampaikan firman  Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam  [6]:116)

Khatib secara tidak langsung menghujat kaum muslim khususnya di negerinya sendiri yang dalam beribadah mengikuti pendapat jumhur ulama yang bermazhab Imam Syafi’i.
Khatib tidak dapat membedakan antara “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” dalam firman Allah ta’ala tersebut dengan “menuruti pendapat kebanyakan ulama (jumhur ulama)”.
Inilah apa yang dikatakan oleh Imam sayyidina Ali kw , “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Apa yang disampaikan oleh khatib, benar merupakan firman Allah ta’ala dalam (QS Al An’aam  [6]:116) namun Allah ta’ala tidak bermaksud melarang hambaNya menuruti pendapat kebanyakan ulama (jumhur ulama). Makna firman Allah ta’ala dalam (QS Al An’aam [6]:116) adalah larangan “menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi” yakni orang-orang musyrik. Hal ini dapat kita pahami dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut. Secara tidak sadar sang khatib telah memfitnah Allah Azza wa Jalla , menggunakan firman Allah ta’ala untuk tujuan/maksud yang berbeda.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Alloh bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Oleh karenanya sebaiknya kita jangan  keluar melesat dari  jama’ah sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/merekak-yang-melesat/
Ciri lain yang disampaikan khatib bahwa ada umat muslim menolak disampaikan kebenaran karena mengikuti  apa yang pernah dilakukan nenek moyang mereka.
Mereka menyampaikan firman  Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.” (QS Al Mukminun [23]:24 )

Yang dikatakan “nenek moyang kami” dalam firman Allah ta’ala tersebut adalah orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh a.s. Apakakah sang Khatib menganggap nenek moyang kami adalah kaum hindu atau buddha ? Mereka terhasut pencitraan yang dilakukan imperialisme barat. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/19/sejak-abad-ke-1-h/
Khatib mengatakan bahwa mereka menyampaikan kebenaran, namun pada hakikatnya mereka menyampaikan apa yang dipahami ulama Muhammad bin Abdul Wahhab  atau ulama Ibnu Taimiyah dan pemahaman seperti itu memang tidak ditemukan pada pemahaman ulama-ulama kami terdahulu.
Ulama-ulama terdahulu kami yang bersumber awalnya dari ajaran generasi Khulafaur Rasyidin telah menolak pemahaman baik pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun pemahaman ulama Ibnu Taimiyah. Banyak kitab-kitab dituliskan oleh jumhur ulama untuk menyanggah pemahaman mereka berdua.
Apa yang disampaikan oleh sang Khatib sebenarnya mereka merujuk kepada apa yang disampaikan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Rujukan khatib itu  dapat diketahui dari tulisan padahttp://hubbussalam.blogdetik.com/2010/07/10/jahiliyah/
Apa yang disampaikan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab , pada hakikatnya adalah upaya beliau agar pemahamannya yang diikuti oleh orang sedikit dapat mendobrak pemahaman jumhur ulama. Mereka berpendapat,  Allah ta’ala memberitahukan bahwa pengikut kebenaran sangat sedikit, tetapi jumlah yang sedikit itu tidak menjadikan berkecil hati.  Kenyataannya mereka yang sedikit itu belum tentu dalam kebenaran.
Mereka yang berada pada jalan yang lurus atau dalam kebenaran hanyalah 4 golongan yakni, Para Nabi, Para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh termasuk Salafush Sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/2011/03/10/ulama-yang-sholeh/
dan

Pada bagian akhir khutbah , sang Khatib menyampaikan bahwa di negeri kita para peziarah kubur Wali Songo atau orang-orang sholeh lainnya adalah para penyembah kubur.
Selesai sholat jum’at kami hampiri sang Khatib dan kami berdialog didampingi beberapa orang DKM masjid itu. Kami ingatkan sang Khatib untuk tidak mengeneralisasi bahwa peziarah kubur adalah pasti penyembah kubur karena kita tidak pernah tahu isi hati atau niat para peziarah sebenarnya namun beliau bersikukuh pada pendapatnya.
Kami tanyakan kepada beliau bagaimana dapat memastikan bahwa para peziarah kubur tersebut adalah penyembah kubur.  Mereka sampaikan bahwa telah diwawancarai beberapa peziarah kubur dan umumnya peziarah, bertawasul dengan orang sudah mati dan bagi pemahaman mereka hal itu termasuk perbuatan syirik alias penyembah kuburan. inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Mereka telah mengkafirkan manusia yang telah bersyahadat hanya berdasarkan apa yang mereka pahami. Dialog terhenti karena orang dari DKM masjid mengajak sang Khatib untuk makan siang.
Kesimpulan kami, pada hakikatnya sang khatib telah berprasangka buruk kepada saudara muslimnya sendiri. Jadi sebenarnya siapa yang termasuk jahiliyah ?
Jika sang khatib beranggapan bertawasul hanya boleh pada orang yang hidup artinya sang khatib sebenarnya  berkeyakinan bahwa orang yang ditawasulkan bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya karena masih hidup. Justru jika berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
Habib Munzir menyampaikan dalam tulisan beliau pada
*****awal kutipan*****
Pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yg hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut : “telah datang kepada Utsman bin Hanif ra seorang yg mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dg doa : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” , nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat.

Maka orang itupun melakukannya lalu Utsman bin Hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..??”, maka berkata Utsman bin hanif ra : “aku tak bicara apa2 pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majmu’ zawaid Juz 2 hal 279).
Tentunya doa ini dibaca setelah wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin hanif ra dan dikabulkan Allah.
*****akhir kutipan *****

***** awal kutipan ******
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi.., pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid..

Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid dalam keimanan mereka? Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah.., yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.
Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.
Contoh lebih mudah, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : “Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan, nah.. bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup?, pun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar, namun anda mendapat manfaat besar dari orang yang telah wafat.
**** akhir kutipan *****

Jadi pada hakikatnya bertawasul adalah penghormatan, pengakuan keutamaan  derajat mereka  di sisi Allah Azza wa Jalla dan rasa syukur kita akan peran mereka menyiarkan agama Islam sehingga kita dapat mendapatkan ni’mat iman dan ni’mat islam.
Allah ta’ala saja mengutamakan mereka disisiNya, bagaimana kita sebagai hamba Allah ta’ala tidak mau mengakui keutamaan mereka ?
Sungguh barang siapa mengakui hak wasilah (perantara) dan keutamaan Rasulullah , maka ia berhak mendapatkan syafa’at beliau pada hari kiamat.
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Ayyasy berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Abu Hamzah dari Muhammad Al Munkadir dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berdo’a setelah mendengar adzan: ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA’WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL QAA’IMAH. AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB’ATSHU MAQAAMAM MAHMUUDANIL LADZII WA’ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna ini, dan Pemilik shalat yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah (perantara) dan keutamaan kepada Muhammad. Bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah jannjikan) ‘. Maka ia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” (HR Bukhari)

Kitapun tanpa disadari telah bertawasul dengan orang-orang sholeh atau bersholawat kepada orang-orang sholeh setiap hari dengan mengucapkan, Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin, “Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Para sahabat menyampaikan bahwa sesungguhnya jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi.  Perkataan ini dilukiskan dalam hadits pada

Hamba-hamba shalih yang di langit adalah hamba-hamba shalih yang sudah wafat dan mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla  sebagaimana para Syuhada, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla yang artinya.
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Jadi pada hakikat bertawasul dengan mereka yang disisi Allah ta’ala tidak ada bedanya ketika mereka hidup maupun telah wafat karena mereka tetap hidup di sisi Allah Azza wa Jalla. Begitupula dengan manusia yang paling utama dan paling mulia yakni Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, beliau tetap hidup di sisi Allah Azza wa Jalla. Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/rasulullah-hidup/
Pada hakikatnya mereka yang tidak mau bertawasul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau dengan muslim lainnya yang disisi Allah Azza wa Jalla contohnya bertawasul dengan orang sholeh adalah mereka yang tidak menghormati, tidak mengutamakan dan tidak tahu berterima kasih atas peran dalam menyiarkan agama Islam. Tulisan ini adalah sebuah contoh yang berhubungan dengan akhlak atau bagaimana kita menjadi muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin atau sholihin. Sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menyempurnakan akhlak. Dari manusia jahilyah menjadi manusia yang berakhlakul karimah.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar