Dalil Bid’ah

Mengambil Pelajaran dari Dalil Tentang Bid’ah
Ketika saya membuat tulisan hati-hati dalam memahami bid’ah
Banyak yang memberikan tanggapan dengan memberikan dalil-dalil banyak sekali tentang “bid’ah”,  mungkin maksudnya agar saya lebih memahaminya.
Mereka (yang memberikan dalil-dalil) tidak melakukan langkah berikutnya, cukup berpuas diri pada dalil-dalil semata.
Langkah berikutnya adalah “mengambil pelajaran” dari semua dalil-dalil berhubungan dengan bid’ah,  sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Al Baqarah : 269)
Semoga kita diberikan anugerah hikmah oleh Allah yang Maha Penyayang,
Jika tidak kita dapatkan anugerah hikmah, maka bisa saja termasuk yang disebut “Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka”.  Naudzubillah min zalik.
Marilah kita mengambil pelajaran atau memaknai atau menta’wilkan.
Siapa yang menta’wilkan Al-Quran dan sunnah, silahkan lihat tulisan sebelumnya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/
Urutan pertama adalah cari dalil yang bersifat umum (prinsip/dalil umum) biasanya mengandung kata “sekalian” atau “setiap”
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb:
“Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)”
Ada hadits-hadits yang senada dengan ini.
“Sekalian bid’ah” diterangkan atau dikhususkan oleh hadits-hadits lainnya seperti:
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami”  ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist-hadits ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan keduniaan atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Sehingga sebagian ulama memaknai bahwa bid’ah yang bukan dalam Islam atau bukan urusan keagamaan, yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, tidak menentang perbuatan-perbuatan Sahabat Nabi, dan tidak menentang Ijma maka dikategorikan bid’ah hasanah.
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji).
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam”  atau “urusan kami”.
Wassalam

91 Tanggapan
bid’ah itu lebih berbahaya daripada maksiat…
Imam Samudera ketika akan ditembak dia senyum2 saja karena menganggap dirinya sedang berjihad di jalan Allah…
quburiyun, sufiyun, khurofatiyun ketika berada di atas kapal yang mau tenggelam …. yang mereka seru siapa?? rasulullah, nabi2, malaikat, syaikh, para wali, jimat, dll … di samping menyeru Allah…
tapi seorang pelacur atau pezinah, peminum khamr dan pembunuh, bisa dengan cepat sadar karena mereka tau mereka di atas kesesatan, tapi orang yang terjatuh ke dalam pemahaman sesat, sampai sakratul maut pun mereka akan tetap meyakininya sampai ajal….
mudah2an Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua….amin


pada 16 Juni 2010 pada 8:46 pm | BalasYusuf Ibrahim
Saya ingin tanya, kalo memang saudara meyakini bahwa ‘Maulid’ itu termasuk bid’ah hasanah, maka di bagian mana letak bid’ahnya?
kalo hasanahnya, saya sudah tau jawabannya……
————————————————–
NB : saya harap pertanyaan saya diatas dijawab tidak dalam bentuk link, singkat saja asal jelas, kopas juga gpp , asal tidak dalam bentuk link……
-terima kasih-


pada 16 Juni 2010 pada 10:41 pm | Balasmutiarazuhud
Terima kasih antum sudah berlaku adil, yakni meletakkan komentar pada tempatnya.
Mauild Nabi termasuk kategori ghairu mahdah (ibadah umum).
Ibadah umum beberapa dicontohkan oleh Rasulullah dan disunahkan untuk mengikuti , namun sebagian lagi diserahkan kepada manusia sesuai keinginan, teknologi atau zaman
Ibadah umum seperti bekerja, berdoa/berzikir, berjama’ah, sedekah, infaq, belajar / menuntut ilmu, metode pengajaran, berpolitik, menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, menggunakan helm ketika berkendara motor, berangkat naik haji menggunakan sarana transportasi yang lebih baik seperti dengan pesawat terbang.
Yang perlu diingat bahwa “semua yang diserahkan kepada manusia” itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang disebut dengan mengikuti petunjuk Allah atau pegangan hidup manusia mengarungi dunia yakni Al-Quran dan Hadits.
Ibadah umum, berdoa/berzikir, disunnahkan mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW namun boleh dilakukan sesuai kebutuhan/keinginan (tidak sesuai yang dicontohkan) namun biasanya mengikuti sunnah adab berdoa.
Sedangkan Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW maupun para sahabat sehingga dikatakan bid’ah. Namun bukan bid’ah “urusan kami”,


pada 18 Juni 2010 pada 7:57 pmYusuf Ibrahim
Ada 5 point hal yg ingin saya sampaikan dan tanyakan (saya harap saudara menjawabnya satu persatu)….
1. Ini adalah salah satu kekeliruan saudara dalam memahami agama (Islam) ini yakni meng-umum-kan ibadah khusus…..
2. Bagaimana bisa, dzikir, sholawat dan berdoa yg pada hakikatnya merupakan amaliah dalam hal ‘habluminallah’ disamakan kaidah hukumnya dengan perbuatan2 seperti menggunakan safety belt ketika berkendara mobil, menggunakan pedal rem ketika menjalankan kendaraan, dan menggunakan helm ketika berkendara motor yg dimana perbuatan2 tsb kaitannya hanyalah sebatas kepada ‘habluminannas’/urusan keduniaan…..?
3. Dengan mengatakan bahwa “……..Maulid Nabi memang tidak dicontohkan oleh Nabi maupun para sahabat sehingga dikatakan bid’ah………..”,
itu tandanya bahwa saudara sebenarnya telah paham kaitan antara perayaan ‘Maulid’ dengan bid’ah ! bahkan (menurut saya) perkataan tsb menandakan bahwa secara tidak langsung dan tanpa disadari saudara telah mengakui kekeliruan saudara…..
karena keliru umat muslim apabila beramal sholeh, namun tidak mencontoh Rasulullah dan Sahabat, karena hanya merekalah sebaik-baiknya contoh orang-orang yg paling bertaqwa……
Rasulullah bersabda ;
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
adapun maksud ‘….amalan yang bukan ajaran kami….’ itu adalah seperti yg saudara jelaskan yakni AMALAN YANG TIDAK DICONTOHKAN OLEH NABI MAUPUN SAHABAT ! maka apabila kita melakukan suatu ‘amaliah’ yg tidak ada contoh sebelumnya, maka tertolaklah amalan itu dengan merujuk kepada Sabda Rasulullah tsb…..
lalu saya ingin tanya, apakah perayaan ‘Maulid’ itu bukan suatu amalan bagi orang-orang yg merayakannya? lalu kalo memang itu merupakan suatu amalan, apakah amalan tsb telah ada contohnya dari Rasulullah dan para Sahabat? tentu saudara telah menjawabnya……lalu, jika tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat, apa konsekuensinya apabila kita merujuk kepada Sabda Rasul diatas?
4. kalo memang berdoa/berzikir itu pelaksanaannya boleh tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah dan Sahabat, lalu saya ingin tanya, memangnya Rasulullah dan Sahabat tidak pernah mengajarkan tata cara sholawat dan dzikir?
5. Dengan saudara mengatakan bahwa perayaan ‘Maulid’ itu tidak termasuk ke dalam ‘urusan kami’ (urusan keagamaan), itu menandakan bahwa saudara sendiri sebenarnya tidak paham dengan apa yg saudara katakan, bukankah bagi orang-orang yg merayakan ‘Maulid’ seperti saudara, saudara selalu berdalil bahwa di dalam perayaan ‘Maullid’ tsb terdapat sholawat dan dzikir? kalo memang begitu, bagaimana bisa sholawat dan dzikir bukan (tidak) termasuk ke dalam urusan keagamaan?


pada 19 Juni 2010 pada 5:32 ammutiarazuhud
Mohon maaf, saya ringkas dalam 1 jawaban, agar tidak membuang waktu berharga.
Maulid Nabi SAW adalah peringatan kelahiran Nabi SAW. Peringatan biasa dilakukan oleh lebih 1 orang. Sehinga perbuatan ini pun bisa masuk kategori habluminannas. Hubungan antar manusia yang baik adalah yang selalu mengajak untuk mengingat Allah.
Apa yang dilakukan dalam peringatan tersebut yakni membaca sholawat (sudah ada tuntunannya), dzikir dan doa, pengajian atau majelis taklim dengan tematik riwayat Nabi Muhammad (disesuaikan dengan kebutuhan), kegiatan amal.
Adab diskusi yang baik adalah 2 s/d 3 kali tanya jawab. Selebihnya marilah kita ikhlaskan pada pemahaman masing-masing.
Yang pasti kita adalah bersaudara karena kita adalah sama-sama muslim. Bagaimana “hubungan” antum dan saya kepada Allah, marilah kita ikhlas kepada kehendak Allah. Semoga antum dirahmati Allah.


pada 20 Juni 2010 pada 6:53 pmYusuf Ibrahim
Mengkhususkan perkara yg tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah dan para Sahabat merupakan suatu kekeliruan dalam beragama pastinya, pernahkah para Sahabat mengkhususkan memperingati hari kelahiran Rasulullah dengan mengkhususkan juga melakukan dzikir secara beramai-ramai (berjamaah)?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya……..(diantaranya): “Seorang laki-laki yang menyebut nama Allah di TEMPAT YANG SEPI sehingga kedua matanya meneteskan air mata.” [HR.Bukhari no.660; Muslim, no.1031]
jujur saja, saya memang tidak ikhlas jika umat muslim lebih mengenal ritual-ritual peribadatan baru yg tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat, ketimbang mengenal sunnah-sunnah beliau….
saya juga tidak ikhlas jika umat muslim lebih membela mati-matian ritual-ritual peribadatan yg tidak pernah dilakukan (dicontohkan) oleh Rasulullah dan Sahabat ketimbang membela sunnah-sunnah beliau….
kenapa saya tidak ikhlas terhadap hal tsb? karena saya tidak ikhlas jika amaliah sunnah menjadi ‘redup’, sedangkan amaliah bid’ah menjadi ‘hidup’…..
walaupun pertanyaan saya tidak seluruhnya dijawab, akan tetapi sepertinya saya akhiri saja diskusi seperti ini, karena saya takut masuk ke dalam perdebatan dan jidal yg memang terlarang……
apabila ada kata-kata yg keliru dan menyinggung, saya minta maaf, saya meminta ampun kepada Allah, semoga ada manfaat yg bisa dipetik di dalam diskusi kita ini….
-terima kasih-
Assalamuallaikum…..


pada 21 Juni 2010 pada 9:44 ammutiarazuhud
Insyaallah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pemahaman kami.
Mari kita temukan kenikmatan dalam Iman dan Islam sehingga InsyaAllah, kita dapat merasakan kedekatan dengan Allah sebagaimana Allah telah sampaikan dalam firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (QS Al-BAqarah : 186).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Sehingga dengan kedekatan itu, InsyaAllah kita dapat merasakan bahwa Allah yang mengajari/memimpin kita dalam menjalani kehidupan di dunia, sebagaimana firmanNya yanga artinya,
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarimu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).
Kalau boleh saya mengingatkan antum, sebaiknya antum ikhlas dengan pemahaman muslim yang lain karena karunia pemahaman yang Allah berikan itu tergantung kehendak Allah. Bahkan ketidak-ikhlasan antum dapat mengakibatkan secara tidak langsung antum tidak percaya tentang pengaturan Allah. Berhati-hatilah dengan ke-aku-an atau egosentris.
Terima kasih atas kesediaan antum untuk mengakhiri diskusi tentang bid’ah ini. Semoga antum dirahmati Allah.
Saya akhiri dengan mohon maaf pula, jika ada kesalahan dari saya.
Wassalammualaikum Wr. Wb.


pada 27 Juni 2010 pada 10:40 am | BalasYusuf Ibrahim
mohon maaf sebelumnya, saya hanya ingin komentar sedikit saja, karena ada sesuatu yg menggelitik saya untuk sedikit berkomentar…..
Jadi, kalimat ‘tidak ikhlas’ saya disitu lebih condong kepada rasa tidak rela saya apabila umat muslim lebih mengenal ritual peribadatan baru yg tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan Sahabat karena disebabkan umat muslim lebih sering melakukan peribadatan baru yg tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan Sahabat , sehingga keberadaan Sunnah terancam ‘punah’, hal tsb membuat orang-orang yg ingin menegakkan Sunnah menjadi asing, maka benarlah Sabda Rasulullah ;
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya ibaratnya seperti orang yang memegang bara api”. (H.R. At-Tirmidzi).
Dan perlu diketahui bahwa tidak semua pemahaman itu datang dari Allah, karena hanya pemahaman yg berdasarkan dan sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah lah yg datang dari Allah…..
mengenai ke-akuan atau egosentris, tidak perlulah saudara mengeluarkan kata-kata seperti itu karena kata-kata seperti itu bisa saja berbalik kepada saudara sendiri…Jadi, saudara sendiri juga harus berhati-hati dengan ke-akuan, egosentris atau bahkan ‘merasa dirinya paling benar’……
Dan ada satu hal lagi yg sangat menggelitik bagi saya tentang artikel saudara diatas adalah kenapa di dalam artikel yg membahas tentang bid’ah diatas, tidak dijelaskan apa arti dari kata bid’ah itu sendiri baik arti secara bahasa maupun arti secara istilah (syariat)? karena kita tau bahwa bid’ah itu bukanlah bahasa Indonesia….
Jadi, kalo boleh saya kasih saran, jika saudara ingin membuat artikel yg membahas tentang bid’ah, alangkah baiknya jika saudara juga menjelaskan apa itu arti bid’ah, sehingga permasalahan yg dibahas menjadi semakin jelas…..
ada satu artikel dari blog ‘tetangga’ yg (mungkin) menarik untuk disimak khususnya bagi para pengunjung blog ‘mutiarazuhud’ ini ;
semoga bermanfaat…
-terima kasih atas kesempatannya-
wassalamm….


pada 27 Juni 2010 pada 10:31 pm | Balasmutiarazuhud
Maaf, saya sekedar mengingatkan saja, karena perbedaan pemahaman adalah semata-mata kehendak Allah bukan kehendak kita sebagai manusia yang lemah. Jikalau antum belum paham juga , itulah kenyataan adanya perbedaan pemahaman, sehingga kita harus ikhlas dengan kehendak Allah.
Jika antum atau pembaca, ingin lebih jauh tentang bid’ah (pandangan dari segala sisi), silahkan baca tulisan pada
http://ummatiummati.wordpress.com/2010/06/20/kupas-tuntas-masalah-bidah-oleh-ulama-ahlussunnah-waljamaah/
atau jika perlu ditambah dengan membaca tulisan pada
http://aahik.multiply.com/journal/item/6


pada 30 Juni 2010 pada 10:50 pm | BalasYusuf Ibrahim
di link yg saudara kasih diatas,walaupun isinya panjang lebar, tapi tidak ada satupun yg menjelaskan arti bid’ah secara istilah….
kalau para pengunjung blog saudara ini benar2 ingin tau apa itu bid’ah, ingin bisa memahami bid’ah secara bahasa (umum) dan istilah (khusus), serta ingin tau kaitan bid’ah dengan kesempurnaan Islam, maka para pengunjung blog ini bisa mengunjungi link berikut ;
disitu terdapat beberapa artikel yg mengupas tuntas tentang bid’ah dengan singkat dan jelas….
dan bisa juga download audio yg mengupas tentang bid’ah di ;
di rekaman kajian tsb bisa terjawab, apakah benar bahwa Salaf itu suka mengkafirkan seorang muslim atau tidak…
Dan bagi yg ingin sharing dan bertukar pikiran tentang bid’ah dengan saya, bisa via email di ibra_alfarisi87@yahoo.com


sdr. Yusuf Ibrahim memang betul. Tulisan dalam blog ini ngambang dan seperti “DAGELAN” alias mbanyol, jauh dari ilmiah.
Dagelan tentang ibadah yang dibandingkan dengan safety belt, biasanya kalau bicara tentang bid’ah akan membuat perumpamaan antara haji naik unta dengan haji naik pesawat, betul-betul “DAGELAN” kyai kampung. Yang setelah hal itu dikatakan, para hadirin tertawa bersama.
Ya.. sudahlah…hanya “DAGELAN KYAI KAMPUNG” yang jauh dari ilmu, hanya untuk hahaha dan hihihi pendengarnya.


pada 8 Agustus 2010 pada 6:57 pm | Balasmutiarazuhud


pada 14 Agustus 2010 pada 9:38 pm | Balasmam srihono
Ass. Wr. Wb
Saya salut kepada Sdr. Yusuf Ibrahim & Mutiara Zuhud karena bisa berdiskusi dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Khusus untuk Sdr. Sunan, saya himbau kalau memberikan komentar ke depannya bisa lebih santun, walaupun berbeda pendapat marilah kita mengungkapkan pendapat kita dengan bahasa yang yang tidak menyinggung maupun melukai perasaan orang lain apalagi kita sesama muslim. Semuanya marilah kita serahkan kepada Allah SWT dengan adanya perbedaan yang ada karena semuanya mempunyai dasar masing-masing yang diyakininya. Apakah anda yakin bahwa anda lebih baik dibandingkan Sdr Mutiara Zuhud ? Yakin bisa masuk surga duluan ?
Karena sebenarnya Bid’ah tidak dijelaskan secara detail oleh Rasulullah SAW. Maka ada banyak definisi bid’ah dan dengan berbagai penafsirannya yang disampaikan oleh para ulama terdahulu. Sehingga sampai dengan sekarang pun terdapat perbedaan pendapat tentang bid’ah.
Di lapangan ada yang berpendapat bahwa bersalaman setelah sholat merupakan bid’ah karena tidak dilakukan Rasulullah SAW pada masa dahulu tetapi ada yang memperbolehkan. Saya pribadi memperbolehkan karena bersalaman sebenarnya di luar ibadah sholat yang telah diatur dengan jelas tata caranya (yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam) tetapi saya juga tidak memaksakan pendapat saya tersebut. Silakan saja masing-masing karena kita semua memiliki pendapat dan dasar masing-masing.
Sebenarnya energi kita banyak terkuras dengan diskusi dan perdebatan yang menurut saya sampai kapan pun tidak akan selesai karena masing-masing sebenarnya punya dasar masing-masing. Kita sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat, mengurusi masalah maulid nabi Muhammad SAW, mengurusi masalah shalawat antar waktu sholat tarawih, mengurusi puji-pujian/shalawat sebelum sholat fardhu, mengurusi tahlilan dll.
Kalau kita sibuk mengurusi masalah salaman setelah sholat misalkan, atau shalawat antar sholat tarawih (menurut saya tidak masuk dalam ibadah sholat yang telah diatur tata caranya), sekarang saya ingin menanyakan, apakah ceramah agama pada sholat sholat tarawih termasuk bid’ah atau bukan ?
Lebih ekstrim lagi telah kita ketahui bahwa khutbah pada sholat jumat merupakan rangkaian ibadah dan tata caranya pun sudah diatur, kita pun yang mendengarkan dilarang berbicara pada saat sholat jumat. Sekarang pertanyaan saya, apakah pada saat itu Rasulullah SAW melakukan khutbah jumat dengan bahsa Indonesia ? sekarang di Indonesia hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia, apakah hal tersebut bid’ah ? Padahal menurut saya kalau misalkan salaman dsb dianggap bid’ah yang sesat maka khutbah jumat memakai bahasa indonesia merupakan bid’ah karena jelas-jelas tidak sesuai dengan tuntunan yang jelas-jelas dilaksanakan Rasulullah SAW dengan bahasa arab (kita mengadakan hal baru dengan berbahasa Indonesia).
Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah, semoga kita semua dilindungi Allah SWT. Amin


Mohon menambahkan, yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat dan sebagai contoh membaca sholawat antar waktu sholat tarawih dan salaman setelah sholat merupakan bid’ah, maka menurut saya konsekuensinya ceramah agama waktu sholat tarawih pun merupakan bid’ah yang sesat, khutbah jumat memakai bahasa indonesia pun merupakan bid’ah yang sesat. Apa yg harus dilakukan ? tidak perlu ada ceramah agama pada saat sholat tarawih dan pada saat khutbah jumat pun harus memakai bahasa arab seperti khutbah-khutbah jumat pada masjid tertentu.
Mohon maaf saya tidak menyudutkan kelompok tertentu, marilah kita semua berusaha arif dengan segala perbedaan yang ada.
Insya Alllah saya pernah mengikuti pengajian kelompok yang melarang bid’ah, saya juga mengikuti pengajian kelompok yang memperbolehkan bid’ah dan Insya Allah saya tidak apriori terhadap kelompok tertentu. Dengan mengikuti pengajian dari berbagai pihak maka kita akan bisa memperkaya wawasan, walaupun tidak sependapat kita akan mengetahui mengapa seseorang berpendapat seperti itu. Kadang kala dalam suatu pengajian, jika membahas 10 poin, maka saya setuju 8 poin, yang 2 poin saya tidak setuju karena saya sudah mempunyai dasar yang lain. Apa yang saya lakukan ? silakan saja anda berpendapat demikian, saya berpendapat demikian.
Saya hanya bisa menghimbau saya pribadi dan saudara-saudara sekalian, marilah kita ikuti pengajian dari berbagai kelompok dengan tanpa apriori dahulu, dengarkan dasar-dasarnya, dan jika kita tidak setuju maka hormatilah pendapat orang lain sama seperti kita yang ingin pendapat kita juga dihormati orang lain.


Jadi begini pak, bersalaman secara adat pada bangsa manapun adalah pada saat pertama kali bertemu dan pada saat berpisah.
Begitu juga perilaku di masjid, pada saat kita memasuki masjid kita bertemu dengan beberapa jamaah kita berjabatan tangan, katagori “salam perjumpaan”.
Kemudian kita sholat berjamaah dengan mereka, ketika salam ada teman kita di sebelah kita yg kita belum bersalaman sebelumnya, ya kita bersalaman dengannya, juga termasuk “salam perjumpaan”.
Selesai sholat berjamaah kita pun pulang, bersalaman dengan orang /jamaah yang kebetulan kita temui sebagai “salam perpisahan”.
Ini adalah hal yang lumrah dan sudah semestinya dilakukan sebagai sesama muslim.
Yang jadi permasalahan adalah ketika kita sudah bersalaman ketika bertemu, setelah sholat kita salaman lagi “bukan salam pertemuan ataupun salam perpisahan”, salaman apakah ini? maksudnya pun tidak jelas, seolah olah sesuatu yang sakral. Karena setelah bersalaman pun, mereka tidak berpisah, mereka sholat sunnah, kemudian duduk2 membicarakan sesuatu.
Inilah salaman yang “ANEH” tujuannya pun tidak jelas. Mau dikatakan salaman pertemuan, lha wong sudah salaman sebelumnya, mau dikatakan salaman perpisahan setelah itu duduk bareng, aneh kan.
SALAMAN INI PUN DIANGGAP IBADAH
Buktinya :
- orang yg tidak mau ikut bersalaman, dikucilkan.
- saya pernah sholat sunnah setelah berzikir, ternyata orang yang bersalaman merasa terganggu dengan sholat saya, merekapun melintas di wilayah sujud saya (sutrah), coba bayangkan, mereka anggap bersalaman muter lebih mulia dari orang yg lagi sujud di hadapan Alloh (sholat)
- Bersalaman ini pun diikuti oleh bid’ah yang lain sebelumnya, yaitu dzikir dan doa berjamaah. kalau dzikir dan do’anya masing-masing (mengikuti sunnah rasululloh saw), tidak mungkin bersalam-salaman dapat dilakukan.
- Acara ini pun dilakukan di masjid yang jauh dari ajaran sunnah, seperti ada nyanyian (puji-pujian) setelah adzan, padahal saat itu banyak yg lagi sholat sunnah, mereka malah teriak-teriak sambil menyanyi. Padahal, jangankan menyanyikan syair, membaca alqur’an pun terlarang ketika ada orang sholat.
-bahkan di beberapa masjid sudah membawa alat musik rebana, mereka bernyanyi, menari di dalam rumah Alloh swt, astaghfirulloh…, mungkin suatu saat piano dan gitar pun akan masuk dalam masjid seperti kaum nasrani…nauzubillah.
-Apakah kita biarkan penyimpangan 2 diatas ? dengan dalih demi persatuan? persatuan diatas kesesatan?
-Bagaimana tugas kita ber amarma’ruf nahimungkar ?
-Kalo bukan kita yg melestarikan ajaran rasululloh saw, siapa lagi?
- Kita wajib memberitahukan kepada mereka dengan cara yang terbaik, meskipun kita mempunyai resiko dikucilkan, dianggap aliran keras, bahkan diusir, itulah resiko dakwah yang menyerukan kembali kepada sunnah.
wallohua’lam bisowab, Semoga bermanfaat.


pada 20 Agustus 2010 pada 1:44 pm | Balasmutiarazuhud
Ber amar ma’ruf nahi munkar kepada manusia untuk mengajak kepada jalan Tuhan perlu dilakukan cara yang baik, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an Nahl: 125).
Itu petunjukNya terhadap manusia yang belum paham jalan Tuhan.
Apalagi kalau kita ber amar ma’ruf nahi munkar kepada seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya perlu dilakukan secara lemah lembut, sangat harus dihindari tindakan kasar atau merasa pemahaman kita pasti benar.
Kalau antum merasa sudah melestarikan ajaran Rasulullah saw, apakah antum meyakini bahwa muslim lainnya belum mengikuti ajaran Rasulullah saw ? Siapkah antum “mendengarkan” hujjah atau dalil yang mereka yakini ?
Apakah antum yakin bahwa batasan ajaran Rasulullah saw adalah sebatas yang antum ketahui dan pahami ?


Saya siap menerima hujjah mereka, asalkan hujjahnya berdasarkan dalil yang shohih, kalau mereka benar, ya saya ikuti, saya siap sami’na wa atho’na.
Tapi kalo dalilnya adalah qias, atau “ini kan baik”, …waduh ya maaf karena ibadah itu ittiba’ (mengikuti) rasululloh, bukan mengingkarinya.


pada 25 Agustus 2010 pada 3:20 pm | Balasmam srihono
Mas Sunan ysh,
Assalamu’alaikum wr wb,
Sebelum diskusi panjang lebar, saya informasikan dahulu bahwa saya berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat (tetapi saya juga mempersilahkan dan menghormati rekans yang punya pendapat lain). Pada dasarnya saya bisa memahami jalan pikiran anda, sama seperti saya bisa memahami jalan pikiran Sdr Mutiara Zuhud dan rekans yang lain. Yang membedakan adalah bahwa saya tidak menganggap orang yang tidak sama dengan saya amalannya “salah” karena saya berpendapat bahwa orang tersebut mesti “punya dasar yang belum saya ketahui” atau “saya juga tahu tetapi saya tidak setuju karena sudah punya dasar yang lain”.
Sebagai contoh :
1. Dalam suatu pengajian ada ustadz (ustadz tersebut kebetulan juga berpendapat bahwa semua bid’ah sesat) yang menyampaikan bahwa perempuan haid boleh berdiam di masjid untuk mendengarkan pengajian karena penting/darurat untuk mendengarkan pengajian dan sekarang kan sudah modern, sudah ada pembalut wanita sehingga tidak ditakutkan untuk mengotori masjid. Saya tidak setuju dengan pendapat tersebut karena menurut saya sudah jelas di surat annisa bahwa yang boleh hanya lewat, bukan berdiam diri. Kalau disebut darurat/ penting juga menurut saya nggak terlalu bisa dijadikan alasan karena belajar bisa lewat internet, buku dsb. Kalau dulu dianggap takut mengotori ttp sekarang tidak saya juga nggak begitu setuju karena bisa jadi wanita2 dahulu juga sudah punya cara agar tidak tembus/mengotori, dan masjid2 dahulu pun kan juga beralaskan tanah.
“Tapi saya tidak menyalahkan ustadz tersebut, walaupun ada beberapa hal yang berbeda pandangan saya tetap mengikuti pengajiannya, kalau nggak cocok ya sudah nggak saya ikuti. gitu aja”. Pertanyaannya adalah, apakah ustadz tersebut berdosa jika ada wanita haid yang berdiam diri di masjid ? itu bukan wilayah saya untuk menghakimi, biarlah Allah SWT yang menentukan apakah beliau berdosa atau tidak.
2. Masalah membersihkan spring bed bekas anak yang mengompol (kebetulan ustadz yang sama), beliau berpendapat cukup dilap, saya berpendapat harus dicuci (walaupun sangat berat) karena saya berpendapat yang bisa dilap adalah benda yang mengkilat dan tidak mempunyai pori2 seperti piring dsb.
“saya juga berpendapat silakan saja, tapi saya nggak setuju”
Dengan 2 contoh di atas saya hanya ingin menunjukkan bahwa :
1. Walaupun ustadz tersebut termasuk golongan yang berpendapat bahwa semua bid’ah sesat (selalu disampaikan pada saat membuka pengajian), saya tetap mengikuti pengajiannya walaupun kadang kala ada beberapa poin yang saya tidak sependapat.
2. Yang lebih penting lagi menurut saya adalah bukan wilayah saya untuk menghakimi bahwa ustadz tersebut salah karena beda dengan saya pendapatnya.
Masalah bid’ah :
1. Sudah saya sampaikan di tulisan terdahulu bahwa ulama2 terdahulu yang ilmunya sudah pada tinggi2 pun beda penafsiran/pandangan tentang bid’ah. Kalau hanya 1 pandangan tentu tidak akan rame sd sekarang heheehehe.
2. Mas Sunan bisa menjelaskan panjang lebar, tapi pertanyaan saya tentang ceramah waktu tarawih maupun khutbah Jum’at tidak dikomentari.
Saya cuplikkan pendapat tentang maslahah mursalah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya : Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.”
Pertanyaannya adalah :
Jaman Nabi Muhammad SAW, kan Islam sudah tersiar sampai luar negeri arab (bahkan pada masa awal2 islam pun para sahabat sudah ada yang diperintahkan untuk hijrah). Nah….waktu sholat Jumat, waktu khutbah yang jelas2 merupakan rangkaian ibadah sholat jum’at, (bahkan kita dilarang berbicara) apakah khatib menggunakan bahasa arab atau bahasa setempat ? Padahal menurut penjelasan Ibnu Taimiyah jelas2 bukan maslahah mursalah (Jaman rasulullah sudah ada). Kalau sekarang hampir semua masjid menggunakan bahasa setempat, berarti tidak sesuai tuntunan dan merupakan bid’ah. Harusnya yang berpendapat semua bid’ah sesat tetap menggunakan bahasa arab seperti pada masjid2 tertentu.
Terus pada saat sholat tarawih diselingi ada ceramah agama, hal itu merupakan bid’ah bukan ?
3. Mas Sunan merasa ada golongan yang dikucilkan, yang tidak mau bersalaman setelah sholat, mas pernah nggak membayangkan perasaan orang lain pada saat ustadz-ustadz yang setuju bahwa semua bid’ah sesat, pada saat mau memberikan ceramah selain mengajak bertakwa selalu menyampaikan hadits bahwa semua bid’ah sesat, dan semua yang sesat adalah neraka ? seolah hadits itu wajib disampaikan pada saat mau ceramah. Saya tahu maksudnya mengajak amar ma’ruf nafi mungkar, tapi apa ya sudah jelas di hadapan Allah SWT bahwa tingkatan golongan yang menganggap semua bid’ah sesat lebih tinggi ? pasti lebih selamat ?
Semua ulama sependapat bahwa zina dosa, mencuri dosa, tidak satu ulama pun yang berbeda pendapat. Tapi untuk bid’ah, banyak ulama yang berbeda pendapat, dan di masing2 pihak ada banyak ulama besar yang kita yakin banyak hafal Al Qur’an, banyak hafalan hadits nya (tidak seperti saya yang baru hafal 1 atau 2 hadits saja). Ulama2 seperti itu saja bisa bebeda pendapat kok, kita yang ilmunya baru sedikit saja kok seolah-olah sudah tahu segalanya.
4. Walaupun saya berpendapat tidak semua bid’ah sesat, berikut ini saya sampaikan tentang tulisan “dzikir berjamaah” yang ditulis Sdr. Kholid Sholeh. Menanggapi tulisan Mas Sunan bahwa dzikir berjamaah merupakan bid’ah. Saya nggak ngerti juga kalau setelah membaca tulisan ini Mas Sunan merasa bahwa dalil-dalilnya kurang tetapt atau merupakan hadits palsu dsb.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan yang jumlahnya melebihi malaikat pencatat amal, mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para peserta majelis telah berpencar mereka naik menuju ke langit. Beliau melanjutkan: Lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka: Dari manakah kamu sekalian? Mereka menjawab: Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada Engkau. Allah bertanya lagi: Apa yang mereka mohonkan kepada Aku? Para malaikat itu menjawab: Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya lagi: Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku? Para malaikat itu menjawab: Belum wahai Tuhan kami. Allah berfirman: Apalagi jika mereka telah melihat surga-Ku? Para malaikat itu berkata lagi: Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu. Allah bertanya: Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku? Para malaikat menjawab: Dari neraka-Mu, wahai Tuhan kami. Allah bertanya: Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku? Para malaikat menjawab: Belum. Allah berfirman: Apalagi seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku? Para malaikat itu melanjutkan: Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu. Beliau bersabda kemudian Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka minta dan Aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan. Beliau melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu duduk ikut berzikir bersama mereka. Beliau berkata lalu Allah menjawab: Aku juga telah mengampuninya karena mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka (Shahih Muslim no.1548)
Dalam hadits itu, jelas disebutkan bahwa malai kat mencari-cari majelis dzikir. Jadi ada kata-kata “majelis” di dalamnya, dan disebutkan bahwa majelis itu adalah majelis dzikir. Dan, dzikir di sini bukan bermakna ilmu atau mempelajari Islam. Dzikir di sini benar-benar seperti dzikir yang kita kenal, karena pada hadits tsb disebutkan bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis dzikir itu adalah orang-orang yang “yusabbihuunaka, wa yukabbirunaka, wa yuhalliluunaka, wa yuhammiduunaka, wa yas’aluunaka” .Artinya, mereka adalah orang-orang yang membaca tasbih, takbir, tahlil dan tahmid, dan mereka juga mengajukan permohonan kepada Allah di dalam majelis itu.
Sepertinya, atas dasar hadits seperti inilah lantas ada sebagian ummat Islam yang berinisiatif membentuk majelis-majelis dzikir. Dan setahu saya, hal ini tidak bermasalah karena memang pada hadits di atas disebutkan bahwa yang namanya majelis dzikir adalah majelis yang penuh berkah, dan bahkan disebutkan pula pada hadits di atas bahwa Allah bisa saja mengampuni dosa seseorang yang “cuma numpang hadir” di dalam majelis tersebut.Yang ada hanyalah kriteria umum yang menyebutkan bahwa kalau ada orang-orang yang berkumpul pada satu majelis. lalu mereka membaca tasbih, takbir, tahlil dan tahmid di dalam majelis tsb, maka majelis itu disebut sebagai majelis dzikir.
Bagaimana kalau ternyata Rasulullah tidak pernah membuat jamaah dzikir ? Bagaimana pula kalau ternyata Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir berjamaah ?
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa kalau aturan umum-nya sudah mengatakan boleh, maka hal itu tetap diperbolehkan meskipun kalau Rasulullah tidak pernah mencontohkannya. Dalilnya, salah satunya, adalah kisah tentang para shahabat yang berinisiatif melakukan praktek ibadah yang “tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah secara teknis”, tapi diperbolehkan berdasarkan dalil umum.
Hadist riwayat Anas bin Malik ra.:Dari Muhammad bin Abu Bakar As-Tsaqafi, bahwa dalam suatu perjalanan dari Mina ke Arafah, ia bertanya kepada Anas bin Malik: Apa yang dahulu kalian lakukan pada hari ini bersama Rasulullah saw.? Ia (Anas) menjawab: Di antara kami ada yang bertalbiah dan beliau tidak mengingkarinya. Di antara kami ada yang membaca takbir dan beliau tidak mengingkarinya. Hadis Shahih Muslim no 2254.
Jadi, kalau sebuah dalil umum sudah membolehkan, maka “ada atau tidak adanya contoh dari Rasulullah” bukanlah pertanyaan yang harus diajukan. Yang harus diajukan justru pertanyaan sebaliknya, yaitu, mana dalil yang melarang teknis pelaksanaan dalil umum tersebut ? Dan ini disebutkan secara jelas pada hadits di atas, yaitu selama Rasulullah tidak mengingkarinya, selama hal itu berdasarkan pada dalil umum yang membolehkan, maka berarti hal itu boleh dilakukan.
Hal ini sama persis dengan perintah untuk menyembelih sapi betina kepada bani Israil (dan ini adalah masalah ibadah juga). Karena perintahnya adalah “sembelihlah seekor sapi betina”, maka baik itu sapi betina yang masih kecil, yang masih muda, yang sudah agak tua, yang sudah sangat tua, yang sudah punya banyak anak, atau yang belum punya anak, selama “tidak ada larangan” dari nabi Musa as, maka semua sapi tersebut masuk dalam kriteria “sapi betina yang boleh disembelih”. Jangan mempersulit diri dengan menanyakan sapi betina umur berapa yang tidak boleh disembelih, atau sapi betina warna apa yang tidak boleh disembelih.
Ini yang saya tahu tentang dalil-dalil yang sering dipakai oleh orang yang rajin membuat majelis dzikir, baik itu dzikir sendiri-sendiri di satu tempat, maupun dzikir secara satu suara di satu tempat.
Demikian Mas Sunan, terima kasih
Wassalam


pada 25 Agustus 2010 pada 3:34 pm | Balasmam srihono
Mohon maaf saya tambahkan, tadi belum saya tuliskan, saya mencuplik tulisan Muhammad Abduh Tuasikal :
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya : Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.”


pada 25 Agustus 2010 pada 3:39 pm | Balasmam srihono
Mohon maaf saya tambahkan,
Di bagian mengenai pendapat Ibnu Taimiyah sampai dengan contoh adzan saya cuplikkan dari tulisan Sdr Muhammad Abduh Tuasikal.
Terima kasih


pada 26 Agustus 2010 pada 9:50 am | Balasmam srihono
Assalaamu’alaikum Wr Wb
Rekans ysh, ada beberapa hal yang akan saya sampaikan :
1. Dalam tulisan saya di atas ada kata2 “Amar ma’ruf nafi mungkar” harusnya “Amar ma’ruh nahi mungkar”
2. Sebenarnya saya pernah juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat semua bid’ah sesat, saya juga membaca & mempelajari dasar2 golongan yang berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat. Tapi mohon maaf, saya tidak dapat mengutip/menuliskan kembali karena terlalu banyak. Disamping itu saya juga merasa semua golongan akan sulit menerima pendapat golongan yang lain. Walaupun harapan sangat sulit terealisasi, saya hanya ingin masing-masing pihak tidak saling menyalahkan karena masing-masing punya penafsiran dengan dasarnya masing2. Jadi menurut saya bahasan bid’ah mungkin bisa dibahas sampai di sini saja.
3. Saya Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung perasaan, semoga kita semua selalu mendapatkan perlindungan Allah SWT. Amin
Wassalaamu’alaikum Wr Wb


Mas mam yang saya hormati,
Masalah adzan untuk ied, silahkan baca hadist berikut :
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94
Masalah wanita haid, memang ulama ikhtilaf ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Ustadz yang bijak akan menjelaskan dalil dari 2 pendapat tadi, baru setelah itu dia mengatakan saya lebih condong pada pendapat yang ini atau itu. Jadi yang ikhtilaf itu bukan di level kita yang jahil tapi di level ulama.
Masalah majelis zikir, pengertiannya adalah majelis ilmu syar’i, yang bisa mengeluarkan sesorang dari kegelapan menuju cahaya, dari kebodohan menjadi berilmu.
Dan tidak ada satu dalilpun yang menjelaskan bahwa rasululloh pernah memimpin para sahabat untuk berzikir secara berjamaah, dilantunkan dengan “koor” seperti “kaum nasrani”, kemudian menangis bersama, nauzubillah. Kalau hal itu ada, pasti ada dalil yang akan diriwayatkan baik oleh imam bukhori, muslim, dsb.
Kalo bidah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bidah? siapa yang berhak membuat ibadah baru?
Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini ganjarannya begini dan begitu, siapa yang sanggup mengetahui perkara yg ghaib tersebut mas?
Ibadah yang asli dan jelas dari rasululloh saw itu sudah banyak dan komplit, mengapa kita belum puas juga? apa kita sudah melaksanakannya? jangan-jangan kita ini melakukan yang tidak jelas (bidah) dan meninggalkan yang jelas (sunnah)…nauzubillahimindzalik.


pada 28 Agustus 2010 pada 5:07 pm | BalasYusuf Ibrahim
-mam srihono-
sekedar mengingatkan, jika kita berbicara masalah agama (Islam), maka kita tidak boleh mengatakan ‘menurut saya begini dan begitu’, karena agama Islam ini harus ‘tegak’ dengan dalil-dalil yg shahih, tidak boleh kita beragama dengan menggunakan perasaan atau berdasarkan pendapat akal kita semata….
jika mas mam mengatakan khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia itu bid’ah, sepertinya mas mam ini memahami bid’ah hanya sebatas pengertian secara bahasa saja, namun (maaf) tidak memahami pengertian bid’ah secara istilah (syari’at), karena sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu bid’ah menurut istilah. dan bid’ah yang sesat sebagaimana yg dimaksud Rasulullah adalah bid’ah dalam pengertian secara istilah (syari’at) saja.
Sehingga perlu kita ketahui mas, bid’ah secara istilah adalah :
Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
As suyuthi rahimahullah berkata,”Bid’ah adalah ungkapan tentang perbuatan yang bertabrakan dengan syari’at dengan cara menyelisihinya atau melakukannya dengan cara menambah atau mengurangi” (Al Amru bil ittiba’ wan nahyu ‘anil ibtida’ hal.88)
Jika mas mam ini berkeyakinan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, maka Rasulullah membantah keyakinan mas dengan bersabda :
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
tapi ingat ya mas, yg dimaksud ‘semua bidah itu sesat’ adalah semua bid’ah dalam pengertian syari’at (istilah) saja….makanya itu, kita perlu memiliki pemahaman bid’ah secara bahasa dan istilah…..
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
saya rasa perkataan Abdullah bin Umar dan Ibnu Mas’ud diatas sudah sangat jelas sekali…..
Mengenai ‘majelis dzikir’, Imam Al Qurthubi mengatakan:
“Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid’ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan.” (Fikih Sunnah 2/87).
Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“………….Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)
Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)
Jadi terserah, umat muslim disini ingin mengikuti pendapatnya mas mam atau pemahamannya Imam Al-Qurthubi tentang pengertian ‘majelis dzikir’….
Dan satu hal lagi yg perlu diketahui oleh seluruh umat muslim didunia ini adalah syarat sah atau diterimanya suatu ibadah (Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal.57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir) ) antara lain :
1. Ikhlas karena Allah, dan
2. Mengikuti petunjuk Rasulullah (baik waktunya, tata caranya, dan bilangannya (jika berhubungan dengan bilangan)).
Jadi, niat baik saja tidaklah cukup dalam beribadah kepada Allah….
-sukron-


Mas Sunan ysh,
Terima kasih banyak penjelasannya,
1. Sebenarnya masalah adzan saya tidak memerlukan penjelasan lagi, di posting-posting tambahan yang dulu, saya sebenarnya hanya ingin menambahkan bahwa dalam tulisan saya di awal, saya hanya mengutip tulisan dari Sdr. Abduh Tuasikal (etika dalam menulis kutipan dari tulisan orang lain).
2. Yang saya tanyakan sebenarnya adalah di kalimat-kalimat berikutnya, yaitu apakah khutbah jumat pakai bahasa indonesia dan ceramah pada saat sholat tarawih merupakan bid’ah ?
3. Apakah hal-hal di bawah ini bid’ah dan sesat ?
a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan ?
b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ?
c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut itu:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Apakah beliau termasuk bid’ah yang sesat ?
d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit. Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.
e. Banyak lagi sebenarnya contoh-contoh bid’ah yang lain yang tidak bisa dituliskan satu persatu.
3. Tapi saya kira tidak perlu diperpanjang lagi diskusi ini. Semoga kita semua selamat sesuai dengan pendapat kita masing-masing (tentunya berdasarkan dalil-dalil yang diyakini masing-masing).
4. Saya setuju dengan pendapat bahwa dalam banyak hal, mesti terdapat banyak ikhtilaf ulama, tentu saja hal tersebut wajar karena para ulama sangat banyak dan masing-masing memiliki pengetahuan dan penafsirannya terhadap dalil-dalil yang ada. Hanya saja mohon maaf, setelah kita berdiskusi, saya agak heran dengan Mas Sunan karena :
a. Mas Sunan menurut saya menggunakan standar ganda. Mas Sunan bisa mengatakan bahwa ada ikhtilaf ulama tentang orang haid/junub dalam menafsirkan Surat An Nisa ayat 43 sedangkan untuk masalah bid’ah yang dari hadits Mas Sunan tidak setuju ada ikhtilaf Ulama, langsung menyampaikan bahwa bid’ah sesat.Padahal kalau kita mau jujur, banyak ulama juga yang berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat.
b. Kalau Mas Sunan tidak punya standar ganda, mestinya Mas Sunan sudah mempunyai ilmu yang setinggi gunung sedalam lautan sehingga pada satu kasus bisa menjelaskan bahwa ada ikhtilaf ulama sedangkan pada kasus yang lain langsung menghakimi sesat, tidak mengakui bahwa ada ikhtilaf ulama. Saya hanya ingin kita semua orang Islam tidak saling menghakimi, seolah-olah yang paling benar, seolah-olah kita hakim yang sudah punya hak untuk menghakimi salah padahal kita semua juga tidak mengetahui keputusan dari Yang Maha Tahu, Hakim yang Maha Adil, Allah SWT. Semoga kita semua mendapatkan ampunan dari allah SWT. Amin
Beberapa Ulama yang berpendapat bahwa tidak semua bid’ah sesat diantaranya :
a. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii
rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela),maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
b. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
c. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104- 105) Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
d. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah :“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
5. Sebenarnya inti dari perbedaan pandangan tentang bid’ah adalah karena ada golongan yang menafsirkan bahwa redaksi hadits tersebut (kalimat kullu) ditafsirkan tidak ada pengecualian sedangkan golongan yang lain berpendapat bahwa ada pengecualian. Padahal banyak redaksi Al Qur’an maupun hadits yang mempunyai makna semuanya/seluruhnya tetapi tidak bermakna keseluruhan, sebagai contoh :
***** “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat surat yang lain :
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15. Begitu juga malaikat tidak diciptakan dari air.
***** Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
****** :“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya”QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim
******* “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur.
********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.
6. Mohon maaf kalau ada bahasa yang tidak berkenan, semoga kita selalu mendapatkan ampunan dari Allah SWT Amin.
Catatan :
Saya sangat berterima kasih kepada Mas Yusuf Ibrahim telah diingatkan tata cara dalam menulis (penggunaan kata “pendapat saya”), sebenarnya maksud saya adalah bahwa pendapat saya tentunya didasari juga oleh dalil-dalil yang , sebagai contoh dalam masalah junub saya memakai dalil surat An Nisa ayat 43.
Saya mengakui memang jika kita melihat tekstual kalimat yang dibicarakan/ditulis bisa menimbulkan salah tafsir.
Sebagai contoh kalimat :
“Anak saya sembuh setelah berobat ke dokter tadi malam”. atau kalimat
“Anak saya sembuh setelah minum obat itu” dan masih banyak kalimat-kalimat yang lain.
Kalau kita melihat tekstual kalimat tersebut maka kita seolah-olah syirik karena dokter atau obat tersebut yang bisa menyembuhkan. Padahal maksudnya yang menyembuhkan tentu tetap hanya Allah, tapi sangat jarang saya (mungkin juga kita) membawa-bawa Allah “secara eksplisit/terucap secara lahir” walaupun niat kita Insya Allah mesti semuanya hanya dari Allah dari Allah.
Mas Yusuf ysh,
Masalahnya konsep bid’ah sendiri para ulama belum sepakat, beberapa pembagian bid’ah diantaranya :
******bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid’ah syar’iyah, yaitu bid’ah yang tidak memiliki landasan dan dalil dalam agama. Hal ini berarti menambahi syari’at agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini dilarang (manhaj al-salaf :338, Ilmu ushul al-bida’ : 95)
b. bid’ah lughawiyah, yaitu sebuah perbuatan yang secara bahasa disebut bid’ah, akan tetapi substansinya memiliki landasan dan dalil di dalam agama.
*******bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid’ah diniyah, yaitu bid’ah yang berkaitan dengan permasalahan agama.
b. bid’ah dunyawiyah, yaitu bid’ah yang berkaitan dengan masalah dunia (bukan agama)
********bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid’ah haqiqiyah, yaitu bid’ah yang tidak didukung oleh dalil.
b. bid’ah idlafiyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua sisi; satu sisi ia didukung oleh dalil, akan tetapi dari sisi yang lain tidak didukung oleh dalil.
********bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. bid’ah hasanah
b. bid’ah sayyi’ah
Semoga kita semua selamat sesuai dengan keyakinan kita masing-masing (tentunya dengan dalil yang kita yakini masing-masing).Amin


Mohon maaf koreksi ada tambahan surat dan ayat di kalimat berikut ini :
********”……sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (QS Huud:119) padahal yang dimaksudkan adalah manusia dan jin yang durhaka.


pada 29 Agustus 2010 pada 5:35 am | Balasmam srihono
Mas Yusuf ysh,
1. Sebenarnya masalah majelis dzikir buka pendapat saya pribadi.
hadits Abdullah bin Abbas ra, beliau berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Imam Nawawi mengatakan bahwa ini adalah suatu dalil bagi sebagian ulama salaf bahwa sunat hukumnya menyaringkan suara ketika membaca takbir & dzikir setelah selesai sholat fardhu. Sedangkan ulama mutakkhirin yang dengan tegas menyatakan sunatnya hal itu adalah Imam Ibn Hazm Al Zahiri.
Syaddad bin Aus ra juga meriwayatkan, dan dibenarkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata: Kami berada di sisi Rasulullah SAW ketika beliau bersabda, “Adakah di antara kalian orang yang asing?” Kami menjawab, “Tidak ada yaa Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci pintu, lalu bersabda, “Angkatlah kedua tangan kalian, lalu ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAAH.” Kami pun mengangkat kedua tangan kami sesaat. Kemudian Rasulullah SAW meletakkan tangannya dan bersabda, “Al-hamdu lillaah, yaa Allaah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku dengan (mengemban) kalimat (tauhid) ini. Engkau memerintahkan aku untuk mengamalkannya, dan Engkau menjanjikan surga bagiku karenanya. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian.” [HR. Imam Ahmad, Imam Thabrani, Al-Bazzar, Imam Al-Hakim]
2. Masalah Bid’ah, mohon maaf saya tidak hanya mengartikan secara bahasa seperti yang anda maksud. Maka saya menanyakan hukum menggunakan bahasa Indonesia dalam khutbah Jumat yang jelas-jelas masuk dalam syariat/rangkaian ibadah Sholat Jumat. Saya terus terang seringkali bingung terhadap golongan yang dengan ringannya menghakimi bahwa bid’ah sesat (dengan dalil yang diyakininya tentunya), tetapi dalam kasus-kasus tertentu mengatakan suatu amalan bukan bid’ah. Misalkan menganggap berjabat tangan setelah sholat bid’ah, tetapi tetapi mengumpulkan Al Qur’an bukan dianggap bid’ah, khutbah jumat dengan bahasa Indonesia tidak dianggap bid’ah (Padahal khutbah jumat, mengumpulkan Al Qur’an, jga ceramah tarawih kalau mau juga bisa dilaksanakan pada jaman Nabi Muhammad SAW)
Pertanyaan yang sama saya sampaikan kepada mas, apakah hal-hal di bawah ini termasuk bid’ah ?
a. Bagaimana dengan adzan 2 kali pada saat sholat Jum’at yang dimulai pada jaman Usman bin Affan ?
b. Apakah Ali bin Abi Thalib juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Ibnu Mas’ud juga bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ? Apakah Imam Syafii bid’ah sesat ketika membuat redaksi shalawat ?
c. Bagaimana tanggapan anda bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membaca doa selama 40 tahun dalam sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut itu:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i”.
Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Apakah beliau termasuk bid’ah yang sesat ?
d. Kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit. Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.
3. Sebaiknya diskusi masalah bid’ah kita akhiri, terima kasih atas wawasan dan ilmu baru yang telah saya dapatkan. Semoga kita semua selalu dilindungi Allah SWT. Amin


pada 29 Agustus 2010 pada 6:52 am | Balasmam srihono
Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim, Astaghfirullahal’adzim
Saya mohon ampun kepada Allah jika ada yang salah yang saya sampaikan, saya juga minta maaf kepada rekans semua jika ada kalimat yang salah dan menyakiti rekans semua.


pada 31 Agustus 2010 pada 10:59 pm | BalasYusuf Ibrahim
Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mas mam, saya ingin mencoba meluruskan syubhat (kerancuan) tentang bid’ah disini,
1. Alangkah baiknya jika kita (umat muslim) mampu memahami pengertian bid’ah baik secara bahasa (umum) dan bid’ah secara istilah (khusus)…..coba simak baik-baik pengertian bid’ah dibawah ini :
- Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
- Sedangkan Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom.
Bid’ah adalah suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).
2. Tidak boleh bagi kita (umat muslim) membenturkan Sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain di dunia ini, saya bilang Rasulullah bersabda bahwa setiap bid’ah itu sesat tanpa terkecuali, mas bilang (membantah) bahwa tidak semua bid’ah itu sesat…..
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepada kalian hujan batu dari langit, (ketika) saya berkata ‘Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda’, sedangkan kamu (membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Banyak orang salah paham terhadap perkataan para Imam Ahli Ilmu mengenai bid’ah, padahal yang dimaksud mereka (para Imam) itu adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan yang sesat adalah bid’ah dalam pengertian secara istilah……coba perhatikan perbedaan pengertian bid’ah secara bahasa dan istilah diatas……
- Bid’ah secara bahasa contohnya itu seperti internet, hp, lampu listrik, mobil, motor, mikropon, speaker, radio dll. Dan itu semua tidak harus merujuk ke jaman Rasulullah, karena bid’ah secara bahasa maknanya umum, jangankan di jaman Rasulullah, pada abad ke 15 saja belum ada yg namanya internet dan hp….
-Sedangkan bid’ah secara istilah contohnya seperti merayakan maulid, yasinan setiap malam jumat, adzan di dalam kubur pada saat penguburan dll. yg dimana perbuatan tsb harus merujuk kepada Sunnah Rasulullah dan para Sahabat karena bid’ah secara istilah berkaitan dengan peribadatan atau ‘interaksi’ kita langsung kepada Allah (Habluminallah)….dan bid’ah inilah yg dimaksud Rasulullah dalam sabdanya….karena Rasulullah dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal pada saat itu (zaman Rasulullah), tidak ada faktor penghalang untuk melakukannya, namun mereka tidak melakukannya……
Jadi, bid’ah sesat yg dimaksud Rasulullah itu ruang lingkupnya terbatas, hanya dalam urusan keagamaan saja yg berkaitan dengan ibadah Habluminallah….
4. Mengenai khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah secara bahasa saja dan itu tidak terlarang selama tidak mengandung unsur yg dilarang karena berkaitan dg Habluminannas,
Dikatakan bid’ah secara bahasa karena memang tidak ada contoh sebelumnya khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia, lain halnya jika kita meniadakan khutbah pada shalat jumat, maka itu bisa masuk ke dalam bid’ah pengertian secara istilah (syari’at) yg sesat menyesatkan….kalo kita memahami bid’ah hanya sebatas berdasarkan pengertian secara bahasa saja, bisa-bisa kita menganggap shalat jamaah di masjid yg selama ini kita lakukan itu termasuk bid’ah, karena apa? karena Rasulullah tidak pernah shalat di Indonesia bukan?…..
5. Jika ada hasil ijtihad Sahabat Khulafaur Rasyidin yg termasuk perkara baru dengan sebab dan alasan tertentu, maka tolong letakkan di dalam kepala kita (kaum muslimin) untuk mendudukan HASIL IJTIHAD tsb sebagai salah satu Sunnah Khulafaur Rasyidin yg diberi petunjuk, JANGAN didudukan hasil ijtihad tsb sebagai hukum bolehnya membuat perkara baru (dlm hal agama) karena yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu BUKANLAH membuat perkara barunya, melainkan HASIL IJTIHAD-nya saja …..
Jadi, yg termasuk Sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah HASIL IJTIHAD-nya saja seperti mengumpulkan Al-Quran dlm satu mushaf, adzan jumat lebih dari satu kali dg sebab tertentu, mengumpulkan umat shalat tarawih dengan satu imam dll, BUKAN membuat perkara barunya, karena kedudukan Sunnah jauh lebih tinggi dibanding bid’ah (walaupun hasanah)……
Seperti puasa sunnah yg Rasulullah lakukan di hari senin yg dimana hari senin tsb merupakan hari kelahiran Rasulullah, maka yg termasuk Sunnah Rasulullah itu adalah puasanya, bukan memperingati hari kelahirannya….
6. Mengenai Imam Ahmad yg berdoa ketika sujud dalam shalat, saya kira itu bukanlah bid’ah mas, karena Rasulullah bersabda : “……ketauhilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan sujud. Saat rukuk, agungkanlah Ar-Rabb. Saat sujud, bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a, kemungkinan besar do’amu dikabulkan.” (H.R Muslim (479))
Dari hadits diatas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa membaca Al-Quran pun, jika tidak tepat waktu dan tempatnya, maka terlarang hukumnya……
7. Mengenai penjelasan majelis dzikir sekali lagi, Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah pernah menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :
عن أبي هزان قال : سمعت عطاء بن أبي رباح يقول : من جلس مجلس ذكر كفر الله عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل . قال أبو هزان : قلت لعطاء : ما مجلس الذكر ؟ قال : مجلس الحلال والحرام ، وكيف تصلي ، وكيف تصوم ، وكيف تنكح ، وكيف تطلق وتبيع وتشتري
Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar di kalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa yang duduk di majelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ : “Apakah itu majelis dzikir ?”.
‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar, bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq dan jual-beli” (Hilyatul-Auliyaa’ 3/313.)
8. Mengeraskan suara bacaan dzikir memang diperbolehkan, jika mengeraskan bacaan dzikir tsb dilakukan semata-mata dalam rangka untuk mengajarkan. sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir – penulis kitab tafsir yang terkenal – berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :
وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس، فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة لاربع عشر ليلة ت من رمضان، وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصلاة قام الناس قياما فكبروا ثلاث تكبيرات، ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات. وهذه بدعة أحدثها المأمون أيضا بلا مستند ولا دليل ولا مد، فإن هذا لم يفعله قبله أحد، ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ليعلم حين ينصرف الناس من المكتوبة، وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره. وقال ابن بطال: المذاهب الاربعة على عدم استحبابه. قال النووي: وقد عن الشافعي أنه قال: إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع، فلما علم لم يبق للجهر معنى. وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صلاة الجنازة ليعلم ؟ أنها سنة، ولهذا نظائر والله أعلم. وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف. وفيها وقع شديد جدا.
“Pada waktu itu, Al-Ma’mun (Seorang Khalifah ketujuh Bani ‘Abbasiyyah, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid) menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan. Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya orang-orang dari shalat fardlu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara nyaring) UNTUK MENGAJARI bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’.[1] Yang demikian ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak. Wallaahu a’lam. Adapun bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak pernah dilakukan seorang pun di antara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang keras”.
(Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/296. Lihat pula Tarikh Al-Umam wal-Mulk oleh Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, 10/281.)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati
suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
———————————————–
[1] Telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm :
وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ ، فإن الله عز وجل يقول : { ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها } [ الإسراء : 110 ] يعني – والله تعالى أعلم – الدعاء ، ولا تجهر : ترفع . ولا تخافت : حتى لا تسمع نفسك
“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat, dan MELEMBUTKAN SUARA DALAM BERDZIKIR kecuali seorang imam yang ingin MENGAJARKAN kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang dimaksud dengan ayat ini adalah doa”.
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala : { وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ }
“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan DENGAN TIDAK MENGERASKAN SUARA, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [QS. Al-A’raaf : 205].
Wallahu ‘Alam…semoga bermanfaat……


mam srihono, penjelasan pak yusuf ibrahim sudah sangat gamblang, semoga Alloh swt memberi petunjuk kepada anda, amin.
Mas mam tolong jawab pertanyaan saya :
- Kalo menurut anda bid’ah itu tidak sesat, lantas siapa orang yang berhak membuat bid’ah?
- Siapa yang akan menjelaskan ibadah yg baru ini (bid’ah) ganjarannya begini dan begitu, siapa yang sanggup mengetahui perkara yg ghaib tersebut mas?


Ass. Wr. Wb.
Saya heran kepada bapak yusuf ibrahim, padahal imam syafi’i sendiri tidak melarang adanya maulid Nabi SAW, tapi kenapa anda menggunakan perkataan imam syafi’i??
dengan adanya perdebatan ini, sya harap di hati kita tidak ada rasa KEBENCIAN antar sesama muslim, karena lewat KEBENCIAN itu lah setan berusaha memisahkan. mencerai-beraikan umat muslim. Zaman sekarang seharusnya jgn terus-terusan masalah ilmu yg di debatkan, tapi masalah akhlak, akhlak-akhlak anak muda sekarang sudah hancur karena ulah orang-orang nasrani dan yahudi, kenapa kita masih memperdebatkan masalah ini, kenapa kita tidak mendebatkan orang-orang nasrani dan yahudi yg sudah menghancurkan akhlak umat islam. orang yang berilmu belum tentu berakhlak tapi orang yg berakhlak sudah pasti berilmu.
demikian yg sy smpaikan, kurang lebih sya mohon maaf
Wss. Wr. Wb.


pada 4 September 2010 pada 5:06 pm | BalasYusuf Ibrahim
-Faris-
….ya jelas tidak ada larangannya mas dari Imam Syafi’i,……Memangnya perayaan maulid itu pertama kali muncul tahun brp mas? Sedangkan Imam Syafi’i wafat tahun brp? Bagaimana bisa Imam Syafi’i melarang suatu perbuatan yang baru muncul jauh setelah beliau wafat? jadi saya mohon pertanyaannya itu yang rasional sedikit….
Namun yg perlu digaris bawahi disini adalah bagaimana Imam Syafi’i memberikan suatu kaidah yang sangat bagus, yakni :
Imam Syafi’i berkata,
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”
(Ar-Risalah, hal. 507)
Imam Syafi’i juga berkata,
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
Dan saudara perlu simak dan pahami kaidah yang dikeluarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini,
Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah. Dan segala sesuatu (selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah
(Majmuu’ Fataawaa karya Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/196)
Jujur saja mas, saya disini tidak membenci si A atau si B, si fulan atau si fulan, adapun yang saya benci itu hanyalah sebatas perbuatannya saja….dan saya disini tentu tidak menyalahkan masing-masing individu yang melakukan bid’ah tsb, karena bisa saja mereka masih belum tahu (paham) tentang apa itu sebenarnya bid’ah karena mungkin masih banyak syubhat (kerancuan) dikepalanya ….
Kalo saudara merasa bahwa masalah ilmu itu dinomor duakan setelah akhlak, maka saya ingin tanya, bagaimana bisa akhlak ‘tegak’ tanpa ilmu?
Itulah sebabnya mengapa yahudi dan nasrani seolah sangat mudah sekali merusak akhlak umat muslim khususnya anak-anak muda sekarang ini, hal tsb dikarenakan kurangnya ilmu mereka tentang agama Islam ini, sehingga membuat akhlak mereka mudah sekali ‘goyah’ bahkan sampai ada yang ‘rusak’ akibat minimnya ilmu yang mereka miliki tentang Islam ini…..
Jadi, membahas masalah ilmu itu penting juga mas, karena berkaitan dengan akhlak juga. Akhlak akan bisa tegak dengan kokoh hanya dengan ilmu….
Namun dengan adanya permasalahan tentang akhlak anak muda tsb, bukan berarti masalah bid’ah menjadi ‘tidak penting’ atau seolah tidak perlu dibahas lagi. Perlu saudara Faris ketahui bahwa bid’ah itu merupakan suatu permasalahan yang sama pentingnya, karena iblis dan bala tentaranya lebih menyukai umat muslim melakukan perbuatan bid’ah ketimbang perbuatan maksiat, karena perbuatan maksiat bisa memungkinkan sesorang untuk bertaubat dikemudian hari, sedangkan orang yang melakukan perbuatan bid’ah akan sangat sulit untuk bertaubat karena merasa perbuatannya itu benar……
Imam Sufyan ats-Tsaury berkata,
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”
(Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no.238))
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari berkata,
“Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan- pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”
(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no.7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radadi, cet.II/Darus Salaf, th. 1418 H)
Waallahu ‘Alam…….


Akhi,
Imam Syafi’i juga berkata,
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)
Perkataan Imam Syafi’i adalah menganggap baik dalam agama atau ibadah mahdah atau sebagian hadits menyebutnya “urusan kami” yang disebut bid’ah dholalah.
Sedangkan disisi lain Imam Syafi’i menyatakan bid’ah mahmudah untuk bid’ah dibidang ibadah ghairu mahdah
Imam as Syafii ra mengatakan “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)“.


Perhatikan kata kuncinya mas ! yakni sesuai dengan sunnah atau tidak menyalahi Al-Quran dan Sunnah, jika bid’ah mahmudah yang dikatakan oleh Imam Syafi’I tsb disandarkan kepada perbuatan-perbuatan seperti merayakan maulid setiap tahun, yasinan setiap malam jumat dari satu rumah ke rumah lainnya, adzan di dalam kubur, tahlilan di setiap hari kesekian dan sekian di rumah duka dll, maka penyandaran perbuatan-perbuatan tsb dengan mengatasnamakan perkataan Imam Syafi’I tidaklah tepat, karena Imam Syafi’I mengatakan sesuai dengan sunnah atau tidak menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, sedangkan perbuatan-perbuatan tsb apakah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah atau tidak? jika sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, pernahkah Rasulullah dan para Sahabat melakukannya? Jika tidak, maka ketahuilah bahwa perbuatan-perbuatan tsb pastilah menyelisihi Al-Quran dan Sunnah. Jika sesuai dengan sunnah, maka sunnahnya siapa? Sunnah Rasulullahkah? Sunnah Sahabat Khulafaur Rasyidin kah? Sunnah Sahabat lainnyakah? Atau Sunnah Imam Madzhabkah?
Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Syafi’i tentang bid’ah dibagi 2,
Ibnu Rajab berkata :”…..Adapun bid’ah mahmudah (yang baik) yakni sesuai dengan sunnah, yaitu apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara bahasa, bukan menurut syara’….”
(Shifatus Shafwah,2/256)
Jadi, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnyabahwa kebanyakan para ‘aktivis bid’ah’ salah paham terhadap perkataan Imam Syafi’I tsb, padahal bid’ah mahmudah yang dimaksud adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa saja sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Rajab yang maknanya umum seperti yang sudaha saya jelaskan diatas sebelumnya dan memiliki faktor penghalang yang membuat perkara baru tsb tidak ada di zaman Rasulullah dann zaman Sahabat.
Sebagai contoh adalah adzan menggunakan mikrophon dan speaker, apakah di zaman Rasulullah dan Sahabat ada faktor penghalang tidak digunakannya mikrophon dan speaker pada saat adzan? Jawabannya Ada ! karena dahulu teknologi tidak secanggih sekarang….lagipula mengenai perkembangan teknologi seperti mikrophon, speaker, hp, internet dll yang berkaitan dengan hal keduniaan, maka itu diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang dilarang,
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad)
contoh lainnya adalah pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf, apakah ada faktor penghalang dikumpulkannya Al-Quran di zaman Rasulullah? Ada ! karena memang ayat-ayat pada zaman Rasulullah hidup masih turun dan syari’at bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kehendak Allah yang kemudian disampaikan kepada Rasul-Nya…..selain itu, pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf ini juga merupakan hasil ijma (kesepakatan) para Sahabat yang sudah bisa dijadikan ‘pegangan’ dalam agama Islam ini….
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
contoh berikutnya adalah mengumpulkan umat shalat tarawih dalam satu imam selama satu bulan penuh, apakah ada faktor penghalang yang membuat Rasulullah tidak melakukan shalat tarawih terus-menerus selama satu bulan penuh? Ada ! karena Rasulullah khawatir jika beliau melakukan shalat tarawih terus-menerus, maka akan membuat shalat tarawih itu diwajibkan, sehingga dapat memberatkan umat muslim diseluruh dunia….dikatakan oleh Umar bid’ah karena memang pada zaman kekhalifahan sebelumnya (Abu Bakar), tidak pernah dilakukan shalat tarawih berjamaah satu bulan penuh. Jadi, bid’ah dalam perkataan Umar tsb adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa yang memiliki makna yang umum (tidak ada contoh sebelumnya) yang dalam hal ini masa kekhalifahan sebelum Umar yakni Abu Bakar……
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Bid’ah ada dua macam: bid’ah syari’at seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkataan umar bin Khaththab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih :”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem 1/223)
Namun, sesuatu yang menurut bahasa bid’ah, belum tentu secara istilah dianggap bid’ah.
Dan yang harus kita fahami adalah bahwa Allah dan Rosul-Nya selalu menyampaikan syari’at ini dengan makna syari’at, seperti bila Allah dan Rosul-Nya menyebutkan kata ‘sholat’, maka maknanya adalah makna secara syari’at yakni perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam, bukan makna sholat secara bahasa. Demikian pula kata bid’ah, bila diucapkan oleh pemilik syari’at, maka harus dibawa kepada makna syari’at, bukan makna bahasa.
Berbeda halnya dengan merayakan maulid atau memperingati hari kelahiran Rasulullah, apakah ada faktor penghalang tidak dilakukannya perayaan maulid di zaman Rasulullah dan zaman Sahabat? Jawabannya adalah TIDAK ADA ! tapi, kenapa Rasulullah dan para Sahabat tidak melakukannya?pernahkah setelah Rasulullah wafat, para Sahabat merayakan hari kelahiran Rasulullah setiap tahunnya? Kalo memang memperingati maulid Nabi itu baik (maslahat) dan BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya, kenapa para Sahabat tidak ada yang melakukannya?
Jawabannya adalah tentu karena memang merayakan hari kelahiran atau memperingati hari ulang tahun itu tidak ada syari’atnya dalam Islam…..maka, jika tidak ada faktor penghalangnya, namun Rasulullah dan para Sahabat tidak melakukannya padahal bukan maksiat, maka sesungguhnya perkara tsb bukanlah maslahat dan pasti maksiat……
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Jadi, bisa dikatakan bahwa merayakan maulid itu termasuk bid’ah dalam pengertian secara istilah (syari’at) yang terlarang dan termasuk perbuatan yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, bukankah Allah telah berfirman,
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.”
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahunnya dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .]
Sekali lagi, peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, NISCAYA MEREKA TELAH LEBIH DAHULU MELAKUKANNYA.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”
[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]
Ada beberapa kesalahpahaman tentang penyandaran perkataan Imam Syafi’I tsb, salah satunya contohnya adalah tentang masalah tahlilan di hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 dirumah duka, sebagian besar orang yang melakukannya berdalil bahwa itu (tahlilan di hari ke sekian sampai sekian) adalah bid’ah hasanah dengan berlandaskan kepada perkataan Imam Syafi’I yang membolehkan bid’ah hasanah, padahal Imam Syafi’I sendiri berkata dalam kitab Al Umm,
“Aku tidak menyukai mat’am, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248)
waallahu ‘alam…..


Tampaknya antum belum memahami tentang ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan). Silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-ketaatan-dan-kebaikan/


sepertinya ada satu kaidah rancu disini….
bisakah saudara ‘mutiarazuhud’ ini sebutkan, siapa yang menciptakan kaidah/pembagian ibadah seperti yang mas sebutkan itu? apakah dari Rasulullah sebagai pembawa risalah, Sahabat, Imam Madzhab, atau dari Ulama-Ulama Salaf (terdahulu)? adakah dari mereka yang membagi ibadah menjadi ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
datang dari siapakah pemahaman adanya ibadah mahdah dan ghairu mahdah tsb?
karena sejauh yang saya tau dan saya pelajari sampai detik ini, yang namanya ibadah itu hanya ada 2 jenis :
1. ibadah wajib (fardu), dan ibadah fardu tsb masih dibagi 2 lagi yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah.
2. ibadah sunnah/sunnat.
waallahu ‘alam…..


Dan didalam Mazhab Imam Syafi’i, dalam sholat subuh memakai doa Qunut, Bapak Yusuf Ibrahim sendiri sholat sbuhnya pakai doa Qunut atau tidak?kalau tidak, kenapa Bapak pakai perkataanya Imam Syafi’i?


Mas Yusuf & Mas Sunan ysh,
Masalah Bid’ah,dzikir berjamaah, peringatan maulid nabi dsb menurut saya tidak akan selesai.
1. Sebenanrnya masalah dzikir berjamaah saya juga sudah banyak membaca yang pro dan kontra, seperti yang telah Mas Yusuf tuliskan tentang riwayat Ibnu Mas’ud dsb pun saya sudah mengetahui. Tetapi mohon maaf, saya tidak menampilkan di sini dalil-dalil lebih lanjut golongan yang memperbolehkan dzikir berjamaah (kalau saya tampilkan sekarang juga akan terlalu panjang, karena saya akan mencuplikkan artikel tentang Maulid Nabi yang saya peroleh dari majelis rasulullah). Yang saya ingin garis bawahi sebenarnya adalah jangan dengan gampang mengatakan golongan lain melakukan bid’ah dan sesat, seolah-olah kita yang paling tahu.
2. Mengenai Peringatan Maulid, saya cuplikkan artikel dari majelis rasulullah sbb :
Peringatan Maulid Nabi SAW
Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
* Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
* Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)
* Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
* Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
* Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
* Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
* Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa. Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yg terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya “urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : “maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ‘Iraqy dg maulidnya “maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’ dg maulidnya addiba’i
18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’ dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.
Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah, Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib. contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .
contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
Walillahittaufiq
Terakhir Diperbaharui ( Sunday, 30 March 2008 )
Saya sampaikan juga pendapat para Imam & Muhaddits yang saya peroleh dari majelis rasulullah juga sbb :
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “Kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG-ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300, dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman-teman dan saudara-saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab.
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata “tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi dengan karangan maulidnya yg bernama “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dengan maulidnya “urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : “maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ‘Iraqy dengan maulidnya “maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yang terkenal dengan ibn diba’ dengan maulidnya addiba’i
18. Imam ibn hajar al haitsami dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid sayid waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’ dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
Namun memang setiap kebaikan dan kebangkitan semangat muslimin mestilah ada yg menentangnya, dan hal yg lebih menyakitkan adalah justru penentangan itu bukan dari kalangan kuffar, tapi dari kalangan muslimin sendiri, mereka tak suka Nabi saw dicintai dan dimuliakan, padahal para sahabat radhiyallahu’anhum sangat memuliakan Nabi saw, Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yg sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yg sakit (shahih Muslim hadits no.2069).
seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan bertanya : “dimana tempat yg kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits no.1130). Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang yg merobek perutnya dengan luka yg sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), “Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra”, maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yg sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : “Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”.
Dan masih banyak riwayat shahih lainnya tentang takdhim dan pengagungan sahabat pada Rasulullah saw, namun justru hal itu ditentang oleh kelompok baru di akhir zaman ini, mereka menganggap hal hal semacam itu adalah kultus, ini hanya sebab kedangkalan pemahaman syariah mereka, dan kebutaan atas ilmu kemurnian tauhid. Maka marilah kita sambut kedatangan Bulan Kebangkitan Cinta Muslimin pada Nabi saw ini dengan semangat juang untuk turut berperan serta dalam Panji Dakwah, jadikan medan ini benar benar sebagai ajang perjuangan kita untuk menerangi wilayah kita, masyarakat kita, masjid kita, musholla kita, rumah rumah kita, dengan cahaya Kebangkitan Sunnah, Cahaya Semangat Hijrah, kemuliaan kelahiran Nabi saw yg mengawali seluruh kemuliaan islam, dan wafatnya Nabi saw yg mengawali semangat pertama setelah wafatnya beliau saw.
Saudara saudarku, kelompok anti maulid semakin gencar berusaha menghalangi tegaknya panji dakwah, maka kalian jangan mundur dan berdiam diri, bela Nabimu saw, bela idolamu saw, tunjukkan akidah sucimu dan semangat juangmu, bukan hanya mereka yg memiliki semangat juang dan mengotori masji masjid ahlussunnah dengan pencacian dg memfitnah kita adalah kaum musyrik karena mengkultuskan Nabi,
Saudaraku bangkitlah, karena bila kau berdiam diri maka kau turut bertanggung jawab pula atas kesesatan mereka, padahal mereka saudara saudara kita, mereka teman kita, mereka keluarga kita, maka bangkitlah untuk memperbaiki keadaan mereka, bukan dengan pedang dan pertikaian, sungguh kekerasan hanya akan membuka fitnah lebih besar, namun dg semangat dan gigih untuk menegakkan kebenaran, mengobati fitnah yg merasuki muslimin muslimat..
Nah saudara saudaraku, para pembela Rasulullah saw.. jadikan 12 Rabiul awwal adalah sumpah setiamu pada Nabimu Muhammad saw, Sumpah Cintamu pada Rasulullah saw, dan Sumpah Pembelaanmu pada Habibullah Muhammad saw.
Terakhir Diperbaharui ( Thursday, 27 March 2008 )
Sekali lagi saya sampaikan, jangan suka menganggap golongan lain sesat hanya karena berbeda pendapat. Ini baru masalah perbedaan pendapat masalah dzikir dan peringatan maulid nabi, belum perbedaan pendapat yang lain.
Wassalam


pada 13 September 2010 pada 9:23 am | BalasYusuf Ibrahim
Mungkin mas mam dan habib munzir ini lupa atau pura-pura tidak tahu, sudah bukan rahasia umum lagi kalo hampir semua umat muslim termasuk beberapa yang awam tahu kalo yang namanya merayakan hari kelahiran setiap tahun atau bahasa sekarangnya adalah merayakan hari ulang tahun itu bukanlah ‘ritual’ yang ada di dalam Islam…..
>>>>>>>Mengenai Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memuliakan hari kelahirannya sebagaimana dalam hadits tentang puasa hari Senin, sabda beliau:
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
———————————————————-
Berdalil dengan hadits tsb tidaklah tepat, apabila ditinjau dari beberapa segi:
1. Apabila maksud dari maulid disini adalah mensyukuri atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka secara dalil dan akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana syukurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa pada hari senin yang berarti bahwa hendaknya kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa. Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab bahwa hari Senin adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disyariatkan.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkhususkan pada hari kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa atau amalan lainnya. Beliua shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada hari Senin yang datang setiap pekan. Sedangkan Allah azza wa jalla berfirman:
“Sesunggunya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS.al-Ahzab/33 :21]
3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kelahirannya, apakah beliau menambahinya dengan perayaan maulid seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu tidak, cukup HANYA dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan petunjuk nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil bukan perasaan dan hawa nafsu ! [Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid: 44-45 oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi]
4. Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran beliau sewaktu beliau hidup, demikian juga para sahabat tidak merayakannya. Seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita, karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka meninggalkan amalan kebajikan dan meremehkannya?!! Sekali-kali tidak.
5. Puasa hari Senin bukan hanya karena hari itu hari kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan alasan-alasan lainnya yaitu turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa hanya diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan Rasul-Nya?! [Minhatul Allam 5/78-79 oleh Syaikh Abdullah al-Fauzan]
6. Jika memang Sabda Rasul tsb itu adalah sebuah Sunnah memperingati hari kelahiran Rasulullah, adakah Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb seperti apa yang Habib tafsirkan? Jawablah wahai habib,…atau mungkin mas mam bisa menjelaskan….
7. Rasulullah tidak berpuasa pada hari kelahiran beliau yaitu tanggal 12 rabbui awal (inipun masih ada perselisihan mengenai tanggal lahir Rasulullah), akan tetapi beliau berpuasa pada hari senin yang setiap bulan berulang sampai empat kali……(Lihat Ar-Roddul Qowy hal.61-62)
8. Rasulullah tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari senin saja, melainkan beliau juga berpuasa pada hari kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah secara marfu’ :
“Amalan-amalan disodorkan setiap hari senin dan kamis, maka saya senang jika amalan saya disodorkan sedang saya dalam keadaaan berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi no.747)
Jadi, berdalilkan dengan puasa hari senin untuk membolehkan perayaan maulid adalah puncak takalluf (pemaksaan) dan pendapat yang sangat jauh dari kebenaran. (Hammad Abu Mu’awiyah As-Salafi, studi kritis perayaan mauled nabi, hal.221)
>>>>>>>Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431).
————————————————————
1. Itu adalah mimpi dan mimpi tidak bisa dijadikan hujah dalam syariat [Lihat masalah ini secara panjang lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan dan Umar bin Ibrahim], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu, KECUALI mimpi para nabi karena mimpi mereka adalah haq (kebenaran).
2. Hadits tsb memberikan pahala kepada orang kafir, padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang kafir tidak diberi pahala di akhirat dan amal perbuatannya sia-sia.
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” [QS.al-Furqon/25: 23]
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslan amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][ Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145]
3. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan tabi’at saja, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan tidaklah diberi pahala melainkan apabila untuk Allah azza wa jalla.
4. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu (lahirnya Rasulullah), buktinya setelah dia mengetahuinya maka dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.[ Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl Ismail al-Anshori hal.486-489]
>>>>>>>>>Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”
—————————————————————-
1. Sesunggunya seluruh umat islam mengetahui sunnahnya puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya kebenaran dan dihancurkannya kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah yang membenarkan perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti anjuran untuk menjadikannya sebagai perayaan maulid, tetapi anjuran untuk bersyukur kepada Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada hari tersebut seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.55-56, Abdullah al-Mani’]
2. Kita semua senang dan gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya beliau sebagai nabi, hijrahnya beliau dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa jihad dan ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran darinya. Namun semua itu bukan hanya dalam sehari saja dalam setahun, akan tetapi disyariatkan pada setiap waktu dan setiap tempat.[ Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.85, Abdullah al-Mani’]
3. Mengqiyaskan (menganalogikan) bid’ah maulid dengan puasa Asyuro adalah suatu bentuk takalluf (pemaksaan) yang nyata dan tertolak karena ibadah landasannya adalah syariat, bukan berdasarkan pendapat ataupun anggapan baik. (Hammad Abu Mu’awiyah As-Salafi, studi kritis perayaan maulid nabi, hal.217)
4. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari sanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(lihat : http://alqiyamah.wordpress.com/2009/12/10/barzanji-kitab-induk-peringatan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/)
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).]
—————————————————————
Ketahuilah ! seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, maka Nabilah orang pertama yang mengerjakannya, karena acara ini menyangkut kelahiran beliau. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu paman Nabi, Al-Abbas bin Abdul Muthalib lah yang paling tahu tentang kelahiran Rasulullah yang lebih dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, niscaya dua Sahabat beliau yang terdekat yakni Abu Bakar dan Umar lah yang lebih dahulu merayakannya. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu istri-istri Nabi lahyang pertama kali memperingatinya karena merekalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Seandainya maulid Nabi adalah sebuah kebaikan, tentu para Sahabat beliau dan penduduk Madinah akan mengadakannya karena mereka adalah orang-orang yang berkumpul dengan beliau dan hidup bersama beliau di kota Madinah.
Tapi kenyataannya, tidak ada satupun riwayat dari mereka semua yang menyebutkan bahwa mereka memperingati kelahiran Rasulullah setiap tahunnya. Bisakah anda menuduh bahwa mereka sengaja membuat umat lupa terhadap hari kelahiran Rasulullah? Karena terbukti bahwa para ulama saja masih berselisih pendapat tentang tanggal kelahiran beliau.
—————————————————————-
Note :
Imam asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka diatas kebenaran.”
Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i agar memahaminya seperti pemahaman para pendahulu (sahabat) dan oraktik amaliah mereka, karena itulah jalan yang benar dan lurus.” [Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52]
waallahu ‘alam…..
———————————————
Penjelasan ilmiah selengkapnya bisa di lihat di :


“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau walaupun menurut antum terjadi perbedaan pendapat mengenai tanggal 12 Rabiul Awal.
Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau bersholawat. Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah saw adalah merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban, Larangan dan Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt diamkan atau bolehkan (mubah), Allah swt tidak lupa.
Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan merupakan anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan kebaikan/pahala.
Bacalah tulisan selengkapnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/08/ibadah-ketaatan-dan-kebaikan/


“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [HR.Muslim 1162]
Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah saw mengingat hari kelahiran Beliau………..”
———————————————————-
Adakah dari kalangan Sahabat yang menafsirkan Sabda Rasulullah tsb sebagaimana yang saudara ‘mutiarazuhud’ tafsirkan?
Adakah dari kalangan Sahabat yang menggunakan Sabda Rasulullah tsb sebagai dalil untuk melakukan perayaan hari kelahiran Rasulullah setiap tahun?
Apakah ada Sahabat yang merayakan hari kelahiran Rasulullah setiap tahunnya? Jika tidak ada, maka apakah para Sahabat tidak paham apa yang disampaikan Rasulullah dalam Sabdanya tsb?
“Tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. jika hamba Allah swt memperingati kelahiran Rasulullah saw dengan ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan seperti pengajian atau bersholawat….”
—————————————————————-
Kalo kaidahnya “…yang penting tidak ada larangannya….”, maka repot urusannya, akan jadi apa agama (Islam) ini? pantas saja orang-orang sufi dzikirnya sambil menari-nari (muter-muter), sholawatnya diiringi musik band seperti berdoanya orang-orang nasrani, kyainya berdakwah sambil bernyanyi-nyanyi seperti pendeta nasrani, semua itu memang secara khusus tidak ada larangannya……
membaca Al-Quran sambil ‘nungging’ juga tidak ada larangannya mas, membaca Al-Quran dari kiri ke kanan seperti membaca lafadz latin juga tidak ada larangannya……
maka, termasuk ke dalam ibadah apakah perbuatan-perbuatan tsb? ibadah ghairu mahdah atau ibadah mahdah?
(maaf jika tersinggung, karena memang sebagian besar isi blog ini juga banyak yang menyinggung saya)
“Dan tidak satupun ulama yang menganggap bahwa peringatan kelahiran Rasulullah saw adalah merupakan suatu kewajiban bagi muslim karena mereka paham bahwa Kewajiban, Larangan dan Pengharaman harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, dan selebihnya Allah swt diamkan atau bolehkan (mubah), Allah swt tidak lupa.”
————————————————————-
Kalo memang perayaan maulid itu bukan suatu kewajiban, apakah itu artinya merayakan hari kelahiran Rasulullah itu hukumnya sunnah? atau mubah?
“Apalagi bagi muslim yang mengerjakan sesuatu perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan merupakan anjuran dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka mereka akan mendapatkan kebaikan/pahala.”
—————————————————————-
Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang merayakan maulid setiap tahun? kalo tidak ada, apakah saudara ingin menuduh bahwa para Sahabat tidak mengerjakan anjuran yang ada pada Al-Quran dan Hadits?
Apakah anda ingin menuduh bahwa para Sahabat malas merayakan maulid setiap tahun? padahal tidak ada faktor penghalangnya, akan tetapi para Sahabat tidak ada yang merayakan maulid setiap tahun pada saat itu……


Bagaimanakah antum bertanya “Kalo memang merayakan maulid itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits, lalu adakah dari kalangan Sahabat yang merayakan maulid setiap tahun?
Sedangkan kita paham bahwa perbuatan/ibadah ghairu mahdah, maulid Nabi saw adalah perkara yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush Sholeh. Kita paham bahwa maulid Nabi saw tidak ada satupun larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ini sesuai dengan hadits Nabi saw berikut
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Sungguh tepatlah ketiga kaidah ini
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya“
Kita sudah paham bahwa Allah swt telah menetapkan seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman sedangkan selebihnya Allah swt telah diamkan/bolehkan. dan Allah swt tidak lupa. Seluruh yang Allah swt telah tetapkan, sudah dijelaskan, disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, kepada hamba Allah swt. Seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Itulah yang disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan.
Seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman atau seluruh syariat bagi hamba Allah swt telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an dan Hadits, selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Apalagi jika perbuatan/ibadah yang dibolehkan tersebut termasuk perbuatan/ibadah yang dianjurkan maka mereka yang melaksanakan akan mendapatkan kebaikan/pahala.
Seluruh perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan, sebagai tanda kasih Allah swt pada hambaNya.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Oleh karenanya dapat kita pahami kesalah-pahaman ulama/syaikh selama ini dengan kaidah ““Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena seluruh yang bathil, yang diharamkan, yang dilarang, telah Allah swt syariatkan, telah Allah swt tetapkan dan telah disampaikan, dijelaskan Rasulullah saw, seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Allah swt tidak lupa !


Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam……..”
——————————————————————–
1. Sepertinya ada kekeliruan dalam mengartikan Sabda Rasul diatas sehingga menjadi rancu.
2. Di dalam lafadz (teks) pada Hadits tsb tertulis “man sanna fil islami sunnatan hasanatan”, yang dimana bahwa kata “man sanna” adalah “barangsiapa yang melakukan amalan (sunnah)” sebagai penerapan dari syariat yang telah ada sebelumnya karena dilanjutkan dengan kalimat “fil islami” (di dalam islam). Artinya amalan tersebut telah ada tempat kembali (asalnya) dalam syariat. Bukan menciptakan/membuat suatu sunnah yang baru.
3. Sehingga dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melakkukan, melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (menciptakan) suatu sunnah.
4. Yang menunjukan bahwa pengertian yang lebih tepat adalah “Barangsiapa yang melakukan sunnah” yakni faktor penyebab disabdakannya Hadits tsb, yaitu sedekah yang memang sudah ada syariatkan,
Dari Jabir bin Abdullah berkata : Rasulullah pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan diwajah beliau kemudian datanglah seorang anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga Nampak keceriaan diwajah beliau, maka beliaupun bersabda : “Barangsiapa……….”
5. Sesungguhnya sahabat yang memulai melakukan amalan sedekah tsb tidaklah melakukan sesuatu yang baru dalam syari’at. Sedekah memang sudah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb alam semesta dalam Al Qur’an dan juga ada dalam sunnah.
6. Di sini, sedekah dikatakan sebagai sunnah hasanah, dan tidak bersedekah sebagai sunnah sayyiah (jelek), yang jelas menunjukkan bahwa bersedekah adalah bagian dari sunnah Rasulullah shollallahu `alaihi wa sallam, dan tidak bersedekah adalah bagian dari sunnah yang buruk yang memang tidak dicontohkan oleh Rasulullah.
7. Sekedar mengingatkan bahwa pengertian ‘sunnah’ menurut bahasa artinya adalah jalan/cara, apakah itu baik atau buruk. (Lisaanul ‘Arab (VI/399).
8. Jika Sabda Rasulullah diartikan “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam……..” yang mengandung pengertian bahwa bolehnya membuat (menciptakan) perkara baru/syari’at baru dalam Islam yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah , maka hal tsb tentu sangatlah mustahil, karena disisi lain Rasulullah juga bersabda,
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Jadi, mana mungkin Sabda Rasulullah saling bertentangan?
“…..maulid Nabi saw adalah perkara yang baik yang mulai dilaksanakan setelah Zaman Salafush Sholeh……”
——————————————————-
Saya ingin tanya, baik menurut siapa?
Kalaulah perbuatan itu baik, pastilah para Sahabat telah mendahului kita melakukannya. Jika para Sahabat tidak melakukannya padahal BUKAN MAKSIAT dan tidak ada faktor penghalangnya, pastinya perbuatan itu TIDAK MENGANDUNG MASLAHAT !
Maka cukuplah Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang membantah perkataan saudara,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Perayaan maulid setiap tahun itu termasuk perbuatan yang mengada-ada di dalam Islam. Buktinya saudara sendiri mengakui dan menjawabnya bahwa perbuatan tsb tidak pernah dilakukan di zaman Salafush Shalih. Itulah sebabnya perkara tsb termasuk ke dalam perkara bid’ah secara syari’at
Al Imam Asy Syatibi berkata bahwa bid’ah adalah : “Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah)”. (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
“………Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
waallahu ‘alam…..


Tampaknya antum masih salah paham saja tentang bid’ah.
Baiklah saya jelas lagi dengan cara yang lain. Silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/


Tampaknya saudara mutiarazuhud ini belum memahami makna dari kata bid’ah itu sendiri, baik makna secara bahasa dan makna secara istilah (syari’at) sehingga menafsirkan Sabda Rasul seenaknya……
Ingat mas ! Islam itu agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya, jangan sampai kaidah yang saudara buat (karang) yakni pembagian ibadah menjadi ibadah mahdah dan ghairu mahdah membuat hukum Islam itu sendiri menjadi rancu dan tidak jelas batasan-batasannya….
Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
Jangan seperti ahmadiyah yang menafsirkan (sendiri) bahwa yang dimaksud ‘penutup para nabi’ dalam sabda Rasul itu adalah Nabi yang membawa syari’at…..
sedangkan saudara menafsirkan ‘bid’ah dholalah’ yang dimaksud dalam Sabda Rasul itu adalah bid’ah dalam hal ibadah mahdah……
yang jika dicermati bersama-sama dimana kedua tafsiran itu adalah tafsiran-tafsiran belakangan (baru) yang diciptakan demi membenarkan ‘amalan’ mereka….
Mungkin agar permasalahan menjadi lebih jelas dan penjelasan yang saudara maksud bisa sampai kepada saya dan teman-teman yang sepaham dengan saya yang sedang mengunjungi blog saudara, maka saya ingin kasih saudara cara lain untuk menjelaskan selain memberi link tulisan-tulisan saudara sendiri, karena penjelasan saudara itu penuh dengan kerancuan…..
adapun cara yang saya sarankan itu adalah menjawab pertanyaan saya yang belum terjawab yakni Salafush Shalih mana yang membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
dan juga menjawab pertanyaan saudara ‘sunan’ dibawah yang sepertinya juga belum dijawab….
mungkin dengan dijawabnya pertanyaan tsb, tidak akan terjadi kesalah pahaman lagi….
waallahu ‘alam…..


Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.
Kami mengkajinya dari,
dari Hadits Nabi saw
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
dan firman Allah swt
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami”
2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah, perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.
Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.
Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah (buruk/tertolak).
Bid’ah atau perkara baru pada kategori ibadah ghairu mahdah (perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan) pada asalnya hukumnya boleh(mubah) bahkan perkara baru yang baik dinamakan bid’ah hasanah atau mahmudah.


Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
- Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?
- Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu (perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.


Mas MutiaraZuhud, saya mau tanya, batasan seseorang menganggap sesuatu itu sebagai ibadah yang baik seperti apa..? Apakah saya juga bisa membuat sesuatu yang saya anggap baik..? Misalnya, saya membuat perayaan tentang kemenangan Perang Badar, karena hal tersebut dapat mengingatkan ummat akan tentang sebuah peristiwa penting dalam sejarah ummat Islam….
Saya akan merayakan hari kemenangan Perang Badar dengan serangkaian acara yang meriah, ada pembacaan ayat suci al Quran, lalu membaca sirah Badar, setelah itu diadakan pula tari2an perang yang menyimbolkan patriotisme para ahlul Badr, setelah itu dilanjutkan dengan dzikir bersama dan berdoa bersama.. apakah boleh..?
Saya juga akan memperingati hari kekalahan di Medan Uhud, dengan serangkaian acara, yaitu pembacaan ayat suci al quran yang berkaitan dengan perang Uhud, pembacaan sirah tentang perang Uhud, lalu dilanjutkan dengan menangis bersama2 dan bersedih atas kekalahan di medan uhud. ya, mirip2 orang syi’ah dalam merayakan karbala, tapi tidak seekstrem mereka… Apakah diperbolehkan..?
Jika diperbolehkan, mengapa..? Dan jika dasarnya kuat saya juga akan membuat hal2 baru yang lain yang menurut saya baik…
Jika tidak diperbolehkan dan termasuk bid’ah, mengapa..? Bukankah memulai sesuatu yang baik adalah kebaikan..?


Perbuatan memperingati masa lampau untuk pelajaran hari esok termasuk ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan).
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )
Namun yang menjadi hal yang harus diperhatikan adalah bentuk pengisian acara peringatannya, apakah ada menyalahi larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits ?


Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
- Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?
- Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu (perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.


Panggil saja saya Zon, saya tinggal di Jonggol, Kab bogor 16830
Prinsipnya adalah:
Perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah mahdah yakni yang hukumnya wajib, baik wajib ditaati (kewajiban) maupun wajib dijauhi/ditinggalkan (haram – dilarang atau diharamkan) tertolak (dholalah).
Sedangkan perkara baru / bid’ah dalam hal perbuatan/ibadah ibadah ghairu mahdah yakni hukumnya boleh, baik perkara boleh-boleh (mubah), boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) atau boleh-tidak disukai (makruh) adalah boleh atau termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan/bolehkan. Perkara baru / bid’ah dalam kategori ibadah ghairu mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan perkara baik atau bid’ah hasanah atau bid’ah mahudah.
Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka“. (QS At Taubah [9]:111 )


Jawaban anda ngga nyambung bung.
saya ulangi pertanyaan saya.
Pak mutiara zuhud, kalo memang membuat ibadah jenis baru itu boleh dan baik, maka :
- Siapakah yang berhak membuat ibadah model baru?
- Apakah dia sanggup menjelaskan ini pahalanya sekian, ganjarannya di akherat begini dan begitu (perkara ghaib)?
Saya mau tahu jawaban anda, manusia jenis apa yang mampu membuat, menyusun, dan menciptakan ibadah baru, tolong jelaskan.


pada 5 Oktober 2010 pada 10:32 pm | BalasYusuf Ibrahim
Berhubung sepertinya tanggapan-tanggapan saudara ‘mutiarazuhud’ ini sudah mulai banyak yang rancu, ‘ngambang’, ‘jaka sembung’, mutar-muter, tidak menjawab pertanyaan secara tegas, dan cenderung itu-itu saja, maka langsung saja saya tarik kesimpulan berdasarkan tanggapan-tanggapannya bahwa saudara ‘mutiarazuhud’ ini telah :
1. Membuat Islam yang pada awalnya Agama yang tegas aturannya dan jelas batasan-batasannya, menjadi agama yang rancu dan tidak jelas batasannya dengan membagi ibadah menjadi 2 yakni ibadah mahdah dann ghairu mahdah sebagai ‘hasil’ penafsiran sendiri dengan tannpa ilmu pastinya. Padahal tidak ada Salafush Shalih yang membagi ibadah menjadi 2 sebagaimana yang diyakini ‘mutiarazuhud’ ini.
2. Menafsirkan Firman Allah dan Sabda Rasul dengan tanpa ilmu dan lebih mengedepankan akal dan perasaan dalam menafsirkan dalil.
3. Membuat kaidah sendiri yakni membagi perbuatan ketaatan dan perbuatan kebaikan, seolah-olah kedua-duannya itu berbeda, maka tanyakanlah apakah perbuatan ketaatan bukanlah suatu perbuatan kebaikan? dan apakah perbuatan kebaikan bukanlah suatu perbuatan ketaatan?
4. Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Padahal Agama (Islam) ini adalah agama yang berdasarkan wahyu Allah yang disampaikan melalui Sunnah Rasulullah, bukan suatu hasil pemikiran akal dan perasaan semata.
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali-Imran : 31)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.”
Dari Ali bin Abi Thalib Radiallahu anhu berkata :Seandainya agama itu semata-mata menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu daripada bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya (diriwayatkan oleh, Imam Abu Daud No. 162, Imam Baihaqi (1/292), Imam Daruqutni (1/75), Imam Addarimi (1/181), Imam Baghwai (239) dan dishahihkan Al Hafidz Ibnu Hajar didalam kitabnya At Talkhisu Al Khabir)
Abis bin Rabi’ah, dia berkata : “Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu‘anhu mencium Hajar Aswad dan berkata,
“Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu” [Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]
Coba perhatikan ! Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihatlah ! betapa Umar Radhiyallahu ‘anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat)
Imam Syafi’i berkata,
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”
(Ar-Risalah, hal. 507)
Imam Syafi’i juga berkata,
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”
(Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya)


buat yusuf ibrahim and all wahabi/salafi
kaidah yang disampaikan mutiara zuhud bukanlah karangan beliau sendiri, itu merupakan kesimpulan ulama Ahli Sunnah yang betul betul Rosikh fil ilm berikut saya bawakan salah satu sumbernya
Menurut DR. Abdul karim zaidan dalam bukunya Al- madkhol lidirosati syari`atil Islamiyah bahwa Secara garis besar Nushusyari`ah baik dari qur`an maupun hadist nabi, kita dapati nushusyari`ah tersebut mengandung tiga hal
1. masalah Prinsip atau Aqidah seperti iman kepada Allah malaikat kitab dan lain lain masalah aqidah
2. masalah Akhlak seperti jujur, ikhlas, tepat janji yang bisa kita pelajari dari ilmu akhlak atau Tashowuf
3. masalah muamalat terbagi menjadi dua : a. hubungan manusia dengan Tuhanya b. hubungan manusia dengan sesamanya
A. Hubungan manusia dengan tuhannya atau apa yang disebut dengan Ibadah jika kita cermati dalil-dalil yang berkaitan dengan I`badah kita dapati ibadah itu ada dua :
pertama, Ibadah yang terikat dengan tata cara atau kaifiyat yang digariskan oleh Allah dan Rosulnya seperti sholat, zakat, puasa haji, dan lain lain ibadah yang diikat dengan tata cara pelaksanaanya yang disebut dengan ibadah mahdloh
Kedua, Ibadah yang tidak diikat dengan tata cara atau kaifiyat tertentu seperti dzikrulallah, sodaqoh dan lain – lain ibadah yang tidak terikat dengan tata cara pelaksanaannya atau disebut ibadah Ghoiru mahdloh.
YUSUF IBRAHIM berkesimpulan ponit 4
Beribadah hanya berdasarkan akal dan perasaan semata dst kesimpulan nt keliru sebab 1. Qur`an dan Hadist untuk orang yang berakal 2. tanpa akal tidak mungkin qur`an hadist bisa dipahami 3. mutiara zuhud tidak akal akalan seperti yang kita lihat bersama, meskipun di beberapa sisi masih ada yang belum dipahami.
yusuf ibrahim menukil qoul imam Syafi`i
Imam Syafi’i berkata,
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”
(Ar-Risalah, hal. 507) dst.
nt faham tidak apa yang dimaksud oleh imam syafi`i tentang Istihsan ? kalo nt faham nt ga bakal menukil qoul imam Syafi`i ini untuk menguatkan pendapat nt, sebab yang dimaksud dengan Istihsan diatas adalah Istihsan Yang Fasid sebagai mana di jelaskan oleh Doktor Wahbah Zuhaili dalam tulisannya Usul Fiqh Islam dan ulama syafi`iyah lainya menyatakan hal yang sama, jadi sebaiknya nt banyak blajar dulu lah sebelum berkomentar.


pada 5 Oktober 2010 pada 10:36 pm | BalasYusuf Ibrahim
6. Menganggap semua/setiap perbuatan itu ibadah, padahal tidak semua perbuatan itu dikatakan ibadah, maka tanyakanlah apakah ‘ngupil’, main remi, main catur, main gaple, apakah itu semua termasuk ibadah?
7. Meyakini adanya bid’ah hasanah di dalam Islam, maka tanyakanlah apakah batasan-batasan suatu perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? apakah setiap perbuatan yang kita anggap baik bisa kita masukan ke dalam bid’ah hasanah? apakah ada, perkara hasanah yang belum ada di dalam Islam?
8. Jika bid’ah hasanah itu termasuk ibadah yang berpahala dan termasuk bagian dari Islam, maka tanyakanlah siapa orang yang berhak dan berwenang menciptakan/membuat bid’ah hasanah di dalam Islam saat ini? dan siapa juga orang yang mampu menjelaskan keutamaan dan pahala dari ‘ibadah’ baru tsb?
9. Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam Agama (Islam) ini, berarti secara tidak langsung telah memberikan catatan kaki terhadap Firman Allah yang berbunyi : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian……[1]”
————————————–
[1] Belum sempurna ! masih ada perayaan maulid setiap tahun, tahlilan setiap malam ke sekian dan sekian, merayakan/memperingati ini dan itu dan lain-lain dan lain-lain……


pada 5 Oktober 2010 pada 10:39 pm | BalasYusuf Ibrahim
10. Meyakini bahwa ada ibadah yang Allah diamkan, padahal Allah telah sempurnakan Agama (Islam) ini tanpa ada yang tertinggal satupun kecuali telah dijelaskan melaliu Rasul-Nya sehingga tidak memerlukan lagi tambahan sedikitpun,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian…..” (Al Maidah : 3)
Imam Malik bin Anas berkata : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan menganggapnya baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berkhianat dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini, Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku cukupkan ni’mat-Ku kepadamu, dan Aku ridla Islam jadi agamamu..”(Al Maidah 3).
Maka, apa-apa yang pada hari itu (turunnya ayat tersebut) bukan termasuk ajaran agama, maka niscaya tidak akan menjadi ajaran agama pada hari ini.” (al I’stisham oleh Imam asy Syathibi juz I hal.49)
11. Meyakini bahwa ibadah dzikir dan shalawat boleh dilakukan dengan berbagai cara dan tidak terikat (tidak harus) mencontoh Rasulullah, seolah-olah Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengajarkan bagaimana cara dzikir dan shalawat. Jangankan dzikir dan shalawat, buang air saja diwajibkan/diharuskan mengikuti Sunnah Rasulullah, bagaimana mungkin dzikir dan shalawat tidak harus mengikuti Rasulullah? kecuali jika saudara ‘mutiarazuhud’ ini ‘cebok’ dengan tangan kanan.
Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.”
Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R. Ath-Thabarani]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/223,262), At Tirmidzi (1/16,24), An Nasai (1/40, 72), Abu Daud (1/3,7), Ibnu Majah (1/15,115) dari Salman Al Farisi radliyallahu ‘anhu, katanya:
“Seorang musyrik berkata kepadanya sambil mengejek:”Sungguh, saya lihat sahabat kalian ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) mengajarkan segala-galanya kepada kalian sampai urusan buang air besar?”
Salman mengatakan:”Betul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat (Ka’bah) atau memunggunginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan istinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami mencukupkan dengan tiga buah batu (istijmar) tidak dengan tulang dan kotoran hewan yang kering.”


point 9 dan 10 . yusuf Ibrahim membawakan ayat tentang kesempurnaan agama : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian…..” (Al Maidah : 3)
seolah olah orang yang meyakini adanya Bid`ah hasanah telah menentang ayat ini, serta membawakan qoul Imam malik ra. : “Barangsiapa yang melakukan suatu kebid’ahan dan menganggapnya baik, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berkhianat dalam (menyampaikan) risalah.
faham kah yusuf ibrahim dengan yang dimaksud oleh ayat 3 surat maidah tentang sempurnanya agama ini ?.
faham kah yusuf Ibrahim dengan perkataan Imam malik ra ? yang dia nukil dari al I`tisham, coba nt pelajari lagi Tafsir tentang ayat 3 surat al-maidah dari kitab kitab yang mu`tabar.
poin 12. yang menentang dan menganjurkan ummat untuk meninggalkan Ibnu taymiyah bukan hanya mutiara zuhud banyak sekali ulama yang menyatakan hal itu bahkan sejak ibnu taymiyah masih Hidup, hingga beliau matyi dalam penjara, bahkan kalo nt sudah baca karya karya orsinil ibnu taymiyah, nt akan dapati Ibnu taymiyah mengkafirkan Ibnu taymiyah sungguh aneh bukan ?
point 13. yusuf ibrahim menganggap sempit pandangan kaum sufi terhadap maksiat meskipun kata sufi masih diberi tanda kutip, menurut saya yang sempit itu justru nt yusuf Ibrahim karena nt tidak tahu kaum sufi sebenarnya, dan jika nt menjadikan Asyathibi sebagai salah satu panutan, kenapa justru nt tidak mengikuti Asyathibi yang banyak menyanjung Kaum sufi ? atau nt hanya milih milih pendapat ulama seperti Asyathibi hanya untuk mendukung hawa nafsu nt saja ? sementara pendapatnya yang tidak sesuai dengan hawa nafsu nt, nt tinggalin ?.
untuk ponit ke 14 mas mutiara zuhud sudah mengomentarinya, mohon maaf saya ikut berkomentar,.


pada 5 Oktober 2010 pada 10:41 pm | BalasYusuf Ibrahim
12. Menentang (membantah) bahkan menganjurkan umat muslim untuk meninggalkan seorang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (guru dari Ibnu Katsir & Ibnu Qayyim Al-Jauziyah) dengan tanpa ilmu dan kedudukan (siapa ‘mutiarazuhud’? seorang ulamakah?), padahal keilmuan ‘mutiarazuhud’ ini jika dibandingkan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ibarat sebutir buih di tengah lautan.
13. Memiliki sudut pandang yang sempit terhadap perbuatan maksiat, karena sepertinya perbuatan maksiat dimata si sufi ‘mutiarazuhud’ ini hanyalah sebatas minum khamar, judi, zina, dan riba saja.
Sa’id bin Musayyib pernah melihat orang sholat setelah munculnya fajar lebih dari dua rakaat, maka diapun melarang orang tersebut. Lalu orang itu menjawab: “Wahai Abu Muhammad ! Apakah Allah akan menyiksaku karena sholat?! Beliau menjawab: Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi sunnah“. (Riwayat Baihaqi 2/466, ad-Darimi 1/116 dll dengan sanad shohih).
14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan salah satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara ‘mutiarazuhud’, namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun misalnya.
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”
[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]
——————————————-
Note :
Imam Syafi’I berkata :
“Kalau seorang belajar tasawuf di waktu pagi, maka pada waktu siang dia telah menjadi orang yang paling dungu.” (Al Fikru ash Shufi hal.49 & 63 oleh Syaikh Abdurrahman Aabdul Khaliq)
Waallahu ‘alam……


pada 5 Oktober 2010 pada 11:45 pm | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, panjang sekali komentar yang antum berikan.
Termasuk note dari Imam Syafi’i Rahimullah, namun cara memahaminya yang berbeda.
Saya hanya akan mengomentari
14. Secara tidak langsung telah menuduh para Sahabat lalai dalam melaksanakan/mengerjakan salah satu amaliah kebaikan yang berpahala dalam Islam yang dianggap baik oleh saudara ‘mutiarazuhud’, namun tidak dikerjakan oleh para Sahabat seperti merayakan maulid setiap tahun misalnya.
Wahai saudaraku, Yusuf Ibrahim.
Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan Hadits walaupun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat atau Salafush Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama salaf(i) ) bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?
Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang dilakukan kaum muslim pada zaman sekarang maupun nanti sampai menjelang kiamat dan jelas tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan Hadits, namun belum pernah dicontohkan , bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?
Adanya kecenderungan sebagian ulama (tanpa mereka sadari) bersikap ghuluw/ekstrem/berlebihan/melampaui batas.
Mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah/melarang hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
Maknanya mereka mengubah hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi wajib atau hukum perbuatan yang semula sunnah/mandub menjadi haram/dilarang
Contoh ada ulama yang mengharamkan peringatan maulid Nabi saw.
Kalau ada ulama yang mengharamkan/melarang tata cara mengisi peringatan maulid Nabi saw masih dibenarkan karena dapat kita temukan dalil/hujjah dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti tata cara peringatan Maulid dengan pesta foya-foya dll.
Contoh lain, keliru jika ada ulama yang melarang/mengharamkan matan/isi sholawat Nabi berdasarkan ungkapan kecintaan pribadi karena sesungguhnya sholawat itu hukum dasarnya/awalnya adalah boleh sehingga perkara baru/bid’ah dalam hal ini sejauh tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah perkara baik, hasanah atau mahmudah.
Hal yang perlu diinggat bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan / bolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan perkara baik walaupun perbuatan tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush Sholeh maupun ulama salaf.
Oleh karenanya ada ulama berpendapat bahwa hadits dhoif dapat digunakan sebagai landasan amal (ibadah ghairu mahdah ) asalkan matan/isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits lainnya.
Namun hadits dhoif dilarang untuk landasan hukum perbuatan, baik hukumnya wajib maupun hukumnya haram
Berikut pemetaan hukum perbuatan/ibadah.
Ibadah mahdah (ibadah ketaatan), ibadah wajib yakni
* wajib dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya wajib)
* wajib dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya haram, berupa yang dilarang dan diharamkan)
Ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), ibadah boleh yakni
* sebaiknya dilakukan (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-dianjurkan / sunnah / mandub)
* sebaiknya dihindari (perbuatan/ibadah yang hukumnya boleh-boleh / mubah dan boleh-tidak disukai / makruh)
Pemetaan perbuatan/ibadah ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap segala perbuatan yang akan kita lakukan.
Dengan tumbuhnya kesadaran sebelum melakukan perbuatan inilah yang merupakan bagian akhlakul karimah atau kesadaran mengingat Allah swt.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah swt.
Dengan pemetaan perbuatan/ibadah ini kita dapat menghindari dari paham sekularisme yang membolehkan perbuatan memperturutkan kepada hawa nafsu atau menghamba kepada hawa nafsu.
Ingat selalu pepatah orang tua kita dahulu, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna“
Setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik (mengingat Allah, merujuk kepada petunjukNya) sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari atau di akhirat kelak.
Wassalam


“Apakah perbuatan baik / amal kebaikan yang tidak melanggar larangan/batas dalam Al-Qur’an dan Hadits WALAUPUN TIDAK PERNAH DICONTOHKAN oleh Rasulullah saw maupun para Sahabat atau Salafush Sholeh atau tidak pernah dicontohkan ulama salaf ( ingat! berbeda dengan ulama salaf(i) ) bukanlah perbuatan baik atau amal kebaikan ?”
——————————————
saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum (tidak) pernah dilakukan/dijelaskan/dicontohkan oleh Rasulullah/Sahabat Khulafaur Rasyidin/Para Sahabat Salafush Shalih?
apa masih kurang jelas perkataan Ibnu Katsir dibawah ini ;
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena BILA HAL ITU BAIK, NISCAYA MEREKA AKAN LEBIH DAHULU MELAKUKANNYA DARIPADA KITA. Sebab MEREKA TIDAK PERNAH MENGABAIKAN SATU KEBAIKAN PUN KECUALI MEREKA TELAH TERLEBIH DAHULU MELAKSANAKANNYA.”
[ Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279)]
Janganlah suadara membuat pemahaman sendiri dengan berkata bahwa masih ada perbuatan/amal kebaikan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Sahabat…….
makanya dari itu saya berkata kepada saudara, jika saudara masih meyakini bahwa masih ada perbuatan/amal kebaikan yang berpahala yang tidak dicontohkan/dijelaskan Rasulullah dan para Sahabat, maka itu sama saja saudara telah menuduh mereka telah lalai dalam menjalankan salah satu amaliah berpahala di dalam Islam…….
Bahkan ekstrimnya sebagaimana perkataan Imam Malik, saudara sama saja telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah…..
Ingatlah selalu perkataan Imam Syafi’i,
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu”
(Ar-Risalah, hal. 507)


You wrote:
“Saya balik tanya dulu sebelumnya, apakah ada suatu perbuatan baik/amal kebaikan yang belum (tidak) pernah dilakukan/dijelaskan/dicontohkan oleh Rasulullah/Sahabat Khulafaur Rasyidin/Para Sahabat Salafush Shalih?”
Baiklah akan kami contohkan bahwa perbuatan baik/amal kebaikan atau perbuatan/ibadah ghairu mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Quran dan Hadits tetaplah sebagai perbuatan/perkara baik atau hasanah atau mahmudah.
Jika seorang muslim menemukan sebuah penemuan alat atau sistem yang bermanfaat bagi kebaikan manusia walaupun penemuan itu belum pernah dicontohkan.
Saya memperbaiki mesin cuci tetangga sebelah yang tua renta tetaplah sebagai amal kebaikan walaupun amal kebaikan ini tidak pernah dicontohkan.
Saya membeli tiket pesawat untuk orang tua saya, tetaplah sebagai amal kebaikan walaupun amal kebaikan ini tidak pernah dicontohkan.
Kami merasa bahwa masa kehidupan kami telah terlampau jauh dengan masa kehidupan Rasulullah, maka kami merasa perlu mengingat kembali perjalanan hidup Rasulullah untuk memotivasi kami meneladani Rasulullah bagi kehidupan kami masa kini dan esok. Sehingga kami sepakati melakukan pengajian dengan tematik perjalanan kehidupan Rasulullah dan menyesuaikan pelaksanaannya pada bulan kelahiran Rasulullah. Amal kebaikan ini tetaplah amal kebaikan walaupun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
Kullu bid’atin dhalaalah, “Sekalian bid’ah adalah dholalah” .
Sekali lagi kami sampaikan sekalian itu bukan berarti seluruhnya karena sesungguhnya bid’ah dholalah hanya untuk perbuatan/ibadah mahdah saja . Ibadah Mahdah adalah urusan kami, ibadah yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Semua yang ditetapkan Allah ta’ala telah dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah saw.
Contoh lain yang lebih jelas lagi silahkan baca tulisan yang merupakan sebuah tinjauan terhadap pendapat umum ulama Wahabi/Salaf(i) terhadap sistem pemerintahan kerajaan (monarki) dan pembiaran para ulama Wahabi terhadap kebijakan umara mereka mengikat perjanjian dengan kaum kafir.


SUFI/TASAWUF/THOREQOT/NU/ atau apapun namamu, telah merubah syariat islam yang sempurna. Syahadat pertama anda dipertanyakan, kenapa ? anda tidak berdoa langsung kepada Alloh swt. Syahadat anda yang kedua “ashadu anna muhammadarrosululloh” di pertanyakan, kenapa? anda sudah tidak menganggap beliau SAW sebagai rasululloh lagi, karena syariat yang beliau bawa anda rubah, tolak, dan lawan. contoh :
Alloh SWT berfirman : Bedoalah langsung kepadaku
Tasawuf berkata : Berdoalah melalui imam tasawuf yang sudah mati, ada karomah, “Jangan Langsung ke Alloh”. “ente ngga level”, pake analogi dagelan “kalo mau menghadap presiden melalui mentri dulu”.
Rasululloh bersabda : Setiap bid’ah sesat
Tasawuf berkata : Bid’ah itu baik (hasanah)
Rasululloh bersabda : Jangan duduk-duduk (bermajelis) di kuburan
Tasawuf berkata : Kuburan di megahkan, dibangun masjid, tempat berdoa.
Rasululloh bersabda : Selisihilah yahudi dan nasrani. (perayaan kelahiran, kematian, dll)
Tasawuf berkata : Rayakanlah kelahiran Nabi SAW, rayakanlah kematian syekh fulan…
Ajaran Rasululloh : Berzikir sendiri-sendiri
Ajaran Tasawuf : Berzikirkah berjamaah, lebih afdhol
Rasululloh bersabda : Jangan ada asap, berilah makanan pada keluarga mayit.
Tasawuf berkata : Masaklah selama 7 hari, berikan makanan pada yang mendoakan mayit.
Ajaran Rasululloh : Talqin untuk orang hidup menjelang ajal
Ajaran tasawuf : Talqin untuk mayit.
Rasululloh bersabda : Adzan adalah panggilan sholat
Ajaran Tasawuf : Adzan untuk orang mati, berangkat haji, pindahan rumah.
Ajaran Rasululloh : Membaca Alquran sendiri-sendiri
Ajaran tasawuf : Membaca Alquran berjamaah (koor).
Ajaran Rasululloh : Kuburan rata dengan tanah, atau sejengkal, hanya di beri tanda.
Ajaran tasawuf : Kuburan dibangun megah, apalagi kuburan guru/imam tasawuf seperti istana.
Ajaran Rasululloh : Puasa senin kamis, maksimum puasa daud.
Ajaran Tasawuf : Puasa setiap hari (kyai hos)
Rasululloh bersabda : MUSIK HARAM
Ajaran Tasawuf : Bermusik di masjid, bernyanyi di masjid, sebagian ada yang menari di masjid (tarian sufi), setelah adzan bernyanyi (mereka bilang puji-pujian). Dan lain-lain, masih banyak.
Fatwa/ajaran dan guru-guru tasawuf sudah cukup untuk membuat agama baru yaitu “AGAMA TASAWUF” yang sangat berbeda dengan agama Islam yang dibawa oleh Rasululloh saw. Beribadahnya berbeda, kebiasaannya berbeda, berdoanya pun bukan langsung kepada Alloh yaitu melalui imam tasawuf yang sudah MATI. Naudzubillahi min zaalik.


pada 16 Oktober 2010 pada 5:48 pm | Balasmutiarazuhud
Astaghfirullah, begitukah prasangka antum terhadap sesama muslim.
Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS 49: 12).
Sungguh setiap muslim pada umumnya terproteksi dari kesyirikan bagi mereka yang memahami ucapan-ucapan yang berulang kali setiap hari, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala. begitu juga mereka mengulang-ngulang setiap sholat wajib bahwa
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al Fatihah [1]:5 ).
Saudaraku-saudaraku kaum wahabi/salaf(i) sering berprasangka bahwa selain pemahaman mereka adalah sesat.
Padahal pendapat/pemahaman/pemikiran bisa benar dan bisa salah.
Yang benar hanyalah lafadz/nash-nash/perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih.
Sebuah kekeliruan jika seorang muslim mengatakan bahwa pendapat/pemahaman/pemikirannya adalah pasti benar sehingga menjadi fanatik dengan pendapat/pemahaman/pemikiran sendiri
Padahal teknik pemahaman mereka lebih besar kemungkinannya keliru yakni secara tekstual, harfiah, tersurat menjauhi dari karunia Allah ta’ala yakni pemahaman yang dalam, hikmah, tersirat.
Saudaraku kaum Wahabi mengeneralisir saudara muslim lain dengan apa yang mereka prasangkakan. Contoh ketika ada seorang muslim mengaku mereka mendalami Tasawuf dalam ISlam, maka otomatis dipikiran mereka adalah orang-orang thawaf di kuburan, penyembah kuburan, menjadikan perantara wali dalam pengertian dzhahir dan lain-lain prasangka buruk yang intinya adalah menuju kesyirikan.
Kalau boleh kami mengingatkan antum, sebaiknya janganlah meremehkan setiap saudara muslim yang telah bersyahadat.
Ketika Sahabat Usamah RA meremehkan, berprasangka buruk, menyangsikan terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat bahkan telah membunuhnya. Rasulullah saw menegurnya dan berkata “Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
Kita sebagai muslim dilarang merendahkan, menghinakan setiap orang yang telah bersyahadat (muslim)
“Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya,merendahkannya, menyerahkan (kepada musuh) dan tidakmenghinakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan merendahkan saudara muslim lain maka kelak tidak akan masuk surga. Naudzubillah min zalik
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran danmeremehkan manusia” (HR. Muslim)
Wassalam


Justru yang kaum tasawuf rendahkan adalah Alloh swt dan rasulnya, dengan tidak berdoa langsung kepada Alloh swt, dan merubah syariat yang diajarkan beliau SAW.
Sebenarnya simple saja, beribadhalah, berdoalah hanya kepada Alloh swt saja, dan gunakanlah tatacara ibadah ala Rasululloh SAW. Agama ini mudah….siap pake, ngga perlu berfilsafat, meditasi, takwil untuk membuat ibadah jenis baru.


pada 17 Oktober 2010 pada 7:09 am | Balasmutiarazuhud
Siapa yang tidak berdoa langsung kepada Allah swt ?
Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu memegang teguh pada firmanNya yang artinya:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al Fatihah [1]:5 ).
Siapa merubah syariat yang diajarkan beliau SAW ?
Kami adalah kaum muslim yang insyaallah selalu teguh pada hukum/perkara ibadah sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah/mandub maka kami tetaplah sebagai yang sunnah/mandub. Kita dapa melihat sebagain ulama wahabi/salaf(i) merubah hukumnya sunnah/mandub menjadi hukumnya wajib atau merupah hukumnya sunnah/mandub menjadi hukumnya haram (terlarang).


Lantas untuk apa kalian membangun bangunan yang megah pada kuburan-kuburan guru kalian? sebagian dari kalian melakukan safar hanya untuk ke kuburan?
sebagian dari kalian ada yang bertawaf mengelilingi kuburan guru kalian, untuk apa?
Sebagian lagi berwudlu sebelum memasuki kuburan sang guru, apakah ini syariat islam?
Sebagian lagi menganggap ada keutamaan berdoa di kuburan sang guru, tempat mustajab, aturan dari mana?


pada 20 Oktober 2010 pada 11:54 am | Balasmutiarazuhud
Kita harus melihatnya kasus per kasus. Sebaiknya tidak mengeneralisir. Bukankah kita tidak bisa mengatakan bahwa agama Islam itu menghalalkan minuman keras setelah melihat seorang muslim atau sekelompok muslim tengah meminum minuman keras.


yang saya jelaskan adalah tentang torekot sufiah yang anda tawarkan. Kuburan mursyid kalian pun diagungkan, di bangun dengan megah, siapa yang menggeneralisasi masalah ini? saya fokus membicarakat torekot anda pada khususnya, dan thorekot yang lain pada umum nya


pada 3 November 2010 pada 9:14 pm | Balasmutiarazuhud
Memang akhi tahu tarekat/manhaj yang saya ikuti ?


mas mutiara zuhud , tolong di posting sebenarnya manhaj atau metodologi yang digunakan oleh sekte wahabi salafi dalam memahami Nushusyari`ah seperti apa ? sebab dari sekian banyak komentar yang di lontarkan oleh pembela wahabi salafi, terlihat ngawur dan fasid, ibarat membuka sebuah baut rupanya alat yang digunakan bukan kuncinya yang pas, malah bisa jadi baut itu dibuka paksa menggunakan pahat dan palu, memang sih baut itu bisa dibuka tapi ya rusak dan tidak bisa dipakai lagi karena dibuka bukan dengan alatnya, jadi tolong mas mutiara zuhud bikin postingan tentang manhaj atau metodologi yang digunakan kaum wahabi salafi dalam memahami Qur`an dan Hadist, atau mungkin pengikut wahabi salafi ada yang bisa menyampaikan dan menjelaskan metodologi mereka ? tapi tolong jangan bilang mengikuti manhaj salaf ya, sebab manhaj salaf terlau banyak dan masing masing mempunyai metodologi yang berbeda hingga kita mengenal banyak madzhab waktu itu, sekalian tolong sebutkan sumber hukum bagi mereka apa saja ? menurut saya ini sangat penting untuk menguji keabsahan metodologi yang mereka gunakan , apakah lebih mendekati kebenaran atau lebih dekat dengan kesesatan. sebelumnya saya ucapkan teimakasih


To all wahabi salafi, Rosulallah salallahu alaihi wasallam tidak pernah melarang peringatan hari lahirnya ( maulid nabi ) kenapa justru kalian mengaramkannya ? hati hati kalian telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh pembawa syarea`t, jika maulid nabi itu haram niscaya Allah melalui rasulnya akan mengabarkannya kepada kita bahwa maulidan haram jangan dilakukan.
to yusuf ibrahim penisbatan pemahaman kita terhadap nushusyari`ah jangan sekali kali kita katakan menurut islam bla bla bla sebab itu hanya persepsi kita saja, kecuali pada masalah tertentu yang datang dengan dalil yang bersifat qoth`i, shorih seperti sholat zakat puasa naik haji haramnya babi dll yang ada dalil qoth`i dan shorihnya, diluar itu sebaiknya dinisbatkan kepada kita ” menurut pemahaman saya terhadap nash bla bla bla seperti itulah manhaj salaf dalam mengemukakan pendapat dalam agama.


point 6 yusuf ibarahim menolak bahwa semua perbuatan bisa menjadi ibadah, ini menunjukan betapa minimnya hadist yang dia ketahui, hingga membawakan contoh-contoh perbuatan yang tidak sesuai.
point 7 dan 8. yusuf ibrahim menolak adanya bid`ah Hasanah ini menunjukan minimnya ilmu yang bersangkutan dalam memahami Hadist hadist tentang Bid`ah.
atau memahaminya tanpa ilmu


pada 6 Februari 2011 pada 1:42 pm | BalasYusuf Ibrahim
-ahmadsyahid-
ya sudah…..kalau saja anda lebih memahami hadits tentang bid’ah hasanah, maka saya ingin tau, siapa orang di jaman sekarang ini yang berhak membuat/menciptakan bid’ah hasanah dalam agama Islam yang mulia ini?


Mas Yusuf, saya rasa dalam hal ini penulis masih mencampurkan antara istilah dan bahasa.. jadi jawabannya ya tetap kesitu aja..


Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak
menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :
“Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang seam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi)


pada 6 Februari 2011 pada 1:50 pm | BalasYusuf Ibrahim
-faris-
ya sudah…..kalau memang sabda Rasulullah itu diartikan menjadi “Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas saya ingin bertanya seperti pertanyaannya saudara ‘sunan’, kalau begitu, siapa orang yang berhak membuat hal baru tsb dalam agama Islam sekarang ini? ustadzkah? kiayikah? habibkah? atau setiap muslim berhak membuat perkara baru dalam agama?


Antum harus paham bahwa perkara baru dalam agama atau syariat atau perkara yang hukumnya Wajib atau hukumnya Haram ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Allah ta’ala tidak lupa.
Namun ada perkara baru yang merupakan “turunan” dari apa yang telah Allah Azza wa Jalla telah tetapkan. Inilah yang sekarang ini disebut fatwa ulama. Hal yang perlu diingat fatwa ulama tidak dikeluarkan secara perorangan atau secara sepihak suatu kaum saja. Namun dilakukan oleh para halinya dengang merujuk kepada Al-Qur’an, Hadits dan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang jelas sanad ilmu mereka.
Sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan atau ghairu mahdah, bisa saja muncul atas kehendak Allah ta’ala sampai hari akhir nanti dan kita meyakini perkara baru berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits berlaku sampai hari akhir nanti. Contoh pada zaman Rasulullah tidak dikenal istilah fiqih atau sifat 20 Allah, namun semua itu merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Wassalamualikum


pada 6 Februari 2011 pada 9:32 pmYusuf Ibrahim
Meyakini adanya bid’ah hasanah dalam agama tentu memiliki konsekuensi, sedangkan pertanyaan saya tsb merupakan konsekuensi dari keyakinan adanya bid’ah hasanah dalam agama.
Maka dari itu saya selalu bertanya, kalau memang sabda Rasulullah tsb diartikan“Barangsiapa membuat – buat hal baru yang baik dalam Islam dst………”, lantas siapa orang yang berhak membuat perkara baru tsb dalam agama ini?
Begitu juga, jika memang membuat perkara baru dalam agama ini memang ada, maka apa batasan-batasan suatu perbuatan itu dikatakan bid’ah hasanah? karena hasanah menurut kita, belum tentu hasanah menurut orang lain, begitu juga hasanah menurut orang lain, belum tentu hasanah menurut Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Seperti misalnya,
tidak kita ingkari bahwa adzan merupakan hasanah terbesar dalam Islam, salah satu syiar Islam terbesar adalah adzan, lantas jika seandainya ada orang yang adzan dulu sebelum makan, maka apakah perkara tsb bisa kita masukan ke dalam bid’ah hasanah?


Bid’ah terhadap sesuatu yang sudah disampaikan oleh Rasulullah ataupun sudah ditetapkan/disyariatkan oleh Allah ta’ala bukanlah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah. Salah satu contoh bid’ah hasanah adalah tentang Fiqih walaupun tidak dikenal atau tidak disampaikan oleh Rasulullah namun Fiqih merupakan metodologi yang istimewa dalam memahami Al Qur’an dan Hadits. Contoh kesalahpahaman ulama kaum Salafi Wahhabi tentang bid’ah selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/


pada 27 Maret 2011 pada 10:36 pm | BalasWisnu Wardana
Sulit rasanya memahami alur pemikiran kaum Takfirin/Mujassim ini.
Mereka sering sekali mengatakan tulisan golongan lain sebagai:”Tidak ilmiyah”, atau:”Tidak pakai logika”, serta tuduhan tuduhan lain yang terkesan “merasa pintar sendiri”.
(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana, bahas sini. kasih wejangan ini dan itu. Tapi nyatanya?)
Padahal nyata sekali alur pikiran serta nalar merekalah yang sulit difahami oleh logika umum yang normal, atau dalm istilah umum sebagai “common sense”.
Sebagai contoh:
Mereka menempatkan “kaum kafir” lebih rendah dari seekor binatang. Misalnya tidak boleh menegur lebih dahulu, tidak boleh memberi salam lebih dahulu, kalau seorang kafir berjalan didepan kita, harus didesak dan tidak boleh diberi jalan, dst.
Padahal tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya.
Listrik, komputer, ponsel, internet, kendaraan, dst.
Adakah sumbangsih kaum takfirin pada perkembangan dunia modern, selain memecah belah ummat Islam ?
Kalau kita mengikuti faham kaum mujassim, niscaya bukannya maju, namun akan mundur 14 abad. Buktinya:
Siapapun tahu dan telah terbukti bahwa dunia ini bulat, namun apa kata Bin Baz? “Dunia ini ceper seperti piring”.
Juga mereka percayai dengan takzim bahwa:”Matahari tenggelam/terbenam dilumpur hitam.
Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan “penemuna baru” dan meyakini bahwa :”Mataharilah yang mengelilingi bumi”.
Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih menganut faham purba. Bagaimana bisa maju.
Bagaimana pendapat kita kalau melihat ada orang yang memiliki dua buah tangan, namun tangan kanan semua.
Niscaya akan terbersit pemikiran: “Kasihan, tangannya cacat. Bagaimana caranya dia merengkuh, memeluk, menggotong, serta kegiatan lainnya yang memerlukan kerjasama tangan kiri dan sekaligus tangan kanan.
Sampai ahirnya kita akan menyadari betapa sempurnanya Allah menciptakan kedua tangan untuk digunakan manusia.
Namun bukanlah watak wahabi/salafi kalau tidak “senantiasa terlihat berbeda/unik”. Sebagai rasa terima kasih yang dalam, mereka “hadiahkan” tuhan, dua buah tangan. Celakanya tangan kanan semua.
Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar “menengok” kaum mujassim ini.
Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-masing bintang masih memiliki sejumlah planet/tata surya.
Aduuh aduh.
Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut kusut, celana isbal, sendal jepit dan sejengkal ranting siwak.
Bukan maksud saya hendak merendahkan mereka. Namun merekalah yang merendahkan agama, golongannya, sekaligus merendahkan tuhannya.
Wallahu’alam.


pada 17 April 2011 pada 2:50 pm | BalasYusuf Ibrahim
mas wisnu wardana :
(Saya sedikit menyitir tulisan diatas”adzan sebelum makan”. Betapa bodohnya ini orang. Adzan itu maksudnya untuk apa? dan adakah hubungannya dengan makan. Katanya anda pandai, kupas sana, bahas sini. kasih wejangan ini dan itu. Tapi nyatanya?)
—————————————-
mas wisnu wardana yang pintar, itu hanya contoh saja mas, seandainya bid’ah hasanah dalam agama itu ada, maka saya ingin tanya, apakah adzan sebelum makan bisa kita masukan ke dalam bid’ah hasanah?
Bukankah org yg adzan di dalam kuburan (pada saat pemakaman) boleh? adzan mengantarkan org berangkat haji boleh? adzan sebelum memberangkatkan pengantin boleh?…..lalu kalau adzan di dalam kuburan boleh, adzan sebelum memberangkatkan org haji boleh, maka saya ingin tau, adzan sebelum makan boleh atau tidak? bolehkah kita masukan perbuatan tsb ke dalam bid’ah hasanah? dan ini belum terjawab…..
Jadi, pertanyaan saya diatas itu bukanlah bodoh-bodohan, atau tanpa sebab mas, melainkan memiliki korelasi dengan kenyataan yg memang sudah ada sebelumnya…..
“….tidakkah mereka sadari bahwa semua “kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini, adalah sepenuhnya buah karya kaum kafir yang mereka benci sampai keurat lehernya. Listrik, komputer, ponsel, internet, kendaraan, dst…..”
—————————————-
terus masalahnya apa mas? intinya apa? apakah kita lantas tidak boleh ‘benci’ dengan orang-orang kafir?
sekedar mengingatkan saja mas, dalam urusan muamalah atau keduniaan, kita boleh-boleh saja bermuamalah dengan orang2 kafir mas….Islam itu agama yang adil mas….tidak semua orang kafir itu harus diperangi….. seharusnya anda sudah akan hal tau…..
“Kita sudah lama meningalkan konsep (prasejarah) geosentris. Eehh..mereka malah bangga akan “penemuna baru” dan meyakini bahwa :”Mataharilah yang mengelilingi bumi”.
—————————————-
kalo masalah tsb, itu sih terserah anda, anda mau ikut pendapat siapa, kalo anda ingin mengikuti pendapatnya pythagoras, copernicus, aristoteles, galileo, yaa saya sih silahkan saja…..
bukankah kita ini bebas berpendapat mas? kenapa jika pendapat kita menyelisihi pendapatnya orang-orang kafir, anda tidak suka? mereka (orang kafir) saja boleh berpendapat, tp knp kita tidak boleh…..?
“Sungguh. Dizaman modern ini, masih ada kaum yang mengaku dirinya “Ilmiyah” namun masih menganut faham purba. Bagaimana bisa maju.”
———————————
apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah ‘orang purba’?
saya ingin tau, pngertian ‘maju’ yang ada di pikiran anda itu seperti apa ya?
“……Tidak lupa mereka “suruh” tuhannya naik turun tiap malam dari arasy ke dunia, untuk sekedar “menengok” kaum mujassim ini.
Nah kalau tiap hari kerjanya tuhan cuma naik turun kedunia, bagaimana tuhan mampu mengurus sekitar 100 milyar Galaksi, yang masing-masing galaksi memiliki 300 milyar bintang, dan masing-masing bintang masih memiliki sejumlah planet/tata surya.”
——————————————–
aduh….aduh……
makanya jangan dibayangin donk mas bagaimana seperti apanya, semakin anda membayangkan seperti apa dan bagaimana Allah Subhanahu wata’ala bersemayam di Arsy, maka semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala anda….sehingga semakin banyak syubhat (kerancuan) yang muncul di dalam otak anda nantinya….
sampai kapanpun, akal anda tidak akan bisa menjangkau kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala mas, kita cukup meyakini saja akan sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala…..
sebagaimana kisah dari Imam Malik berikut ini,
ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) ditanya tentang bagaimana istiwa’ Allah Subhanahu wata’ala, maka beliau menjawab ;
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak dapat diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tsb adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali dalam kesesatan.”
kemudian Imam Malik menyuruh orang tsb pergi dari majelisnya. (Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171))
Imam Abu Hanifah :
“Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wata’ala berada diatas langit, maka ia telah kafir.” (Mukhtashar al-’Uluw ‘Aliyyil Ghaffaar (hal.137,no.119)
“Coba deh pikir. Bagaimana anda bisa bergaul didunia internasional, kalau hanya modal janggut kusut, celana isbal, sendal jepit dan sejengkal ranting siwak…..”
—————————————-
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok…….” (Q.S Al-Hujaraat : 11)


Satu persatu ya mas.
Masalah adzan menjelang makan, atau dipemakaman.
Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang dimaksud.
Sekarang mengenai interaksi terhadap kaum non muslim.
Dibanyak literatur atau jurnal-2 ilmiah yang dipublikasikan sampai saat ini, nampaknya gambaran kejam, ganas dan tanpa ampunnya kaum Khawarij terhadap kaum non muslim, bahkan terhadap ummat Islam sendiri. Dan Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi dan Salafi. Ibarat faham Trinitas.
Bagaimana tidak, lahir dari rahim yang sama, beribu bapak sama, berkerabat sama, demikian juga berperilaku sama. Bedanya Khawarij Wahabi sudah mengantongi “Licence to kill”. Sedangkan Salafi masih digodok dalam kawah Candradimuka, baru sebatas mencoba nyali untuk mengkafirkan sesama muslim.
Jadi jangan lagi bicara mengenai Ukhuwah Wathoniah, Ukhuwah Islamiyahnya sendiri sangat diabaikan.
Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir.
Sedangkan untuk thogut-thogut non-muslim telah disiapkan berbagai racikan bom, lengkap, mulai dari LE sampai dengan HEAP.
Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya dinikmati. Munafik abizz.
Mengenai pendapat matahari mengelilingi bumi, serta
pendapat bahwa Dunia ini datar.
Berpendapat demikian tentunya boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Antitesa.
Namun kemajuan sains dan teknologi, yang didorong oleh perkembangan akal budi. Berdasarkan fakta-fakta, telah dapat disimpulkan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Atau konsep Heliosentris (Copernicus) telah menumbangkan teori purba Geosentris Ptolomeus).
Bilamana pada zaman modern ini, yang kata Alvin Toffler berada pada “era informasi”dimana ilmu pengetahuan demikian mudah diakses melalui internet, atau jurnal-jurnal ilmiah, dan kita masih berpegang teguh pada teori purba itu. Apa kata dunia? Antitesa.
Inilah salah satu contoh jumud, yang disebabkan oleh taqlid yang membabi buta. Seperti kata pepatah “Agama tanpa ilmu buta, ilmu tapa agama tuli”.
Apakah menurut anda orang2 yang mengikuti Al-Quran dan Hadits serta ijma para Sahabat adalah ‘orang purba’?
Tentu tidak. Mereka berpandangan sangat jauh kedepan, atau dalam bahasa gaulnya “futuristik”. Sebaliknya andalah yang telah mempersempit cakrawala luas para pengikut Al-Qur’an, Hadits, serta Ijma dari para sahabat Rasulullah.
Sebagian diantaranya melalui pemahaman secara literal/letterlijk/tekstual atas Firman-firman Allah SWT.
Mengenai jisim Allah. SWT.
Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20. Allah tidak bertempat. Sehingga kami tidak perlu bersusah payah mereka-reka bentuk fisik Allah. Dan dengan terbata-bata, bersusah payah menjelaskan eksistensi jissim Allah SWT. Yang bagi dirinya sendiripun merupakan sebuah dogma yang sulit difahami, jangan lagi untuk orang lain.
Eksistensi Allah untuk lebih jelasnya, barangkali bisa dilihat di An-Nur 35.
Dengan “menjisimkan Allah” itu, selain telah merendahkan derajat Allah, juga telah menentang sunat Allah. Sulit difahami kan?
Kalau memperolok-olokkan, sumbernya bukanlah dari kami, tapi dari kabilah anda sendiri. Bagaimana menuduh kami sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir.
Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid.
Iblis masih lebih terhormat daripada malaikat.
Berpuluh tahun sudah bergandengan tangan dengan Muhammadiyah, namun tidak pernah pernah benturan. Lain halnya dengan kaum takfirin ini. Baru berapa tahun saja sudah nampak usaha mereka untuk memecah belah ummat.
Sungguh, saya concern sekali atas usaha-usaha “Menebar fitnah, merusak aqidah” yang selama ini dilakukan oleh kaum takfirin secara inten terhadap mereka yang tidak sefaham.
Mereka serasa sudah memiliki surga dengan mengancam ummat Islam yang tidak seaqidah (aqidah trinitasnya kaum Wahabbi) dengan api neraka.
Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll. Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya.
Wallahu’ alam bishawab.


pada 25 Mei 2011 pada 8:29 pm | BalasYusuf Ibrahim
-kiki alias wisnu wardana-
“Masalah adzan menjelang makan, atau dipemakaman.
Apakah ada dalilnya yang melarang atau mengharamkannya? kalau ya, tolong sampaikan dalil yang dimaksud….”
———————————–
Lah….koq malah nanya? menurut mas wisnu kan saya ini org bodoh, masa’ sampeyan bertanya kpd orang bodoh sih?
saya ini bertanya, adzan sebelum makan bs kita masukan ke dalam bid’ah hasanah atau tidak? jawabannya HANYA YA atau TIDAK, jika YA kenapa? jika TIDAK kenapa? apa msh blm jelas pertanyaan saya?
“Khawarij ini merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan dari Wahabi dan Salafi. Ibarat faham Trinitas…”
——————————
jgn lah anda berkata sesuatu yg sebenarnya anda tidak ketahui karena sesungguhnya setiap perkataan akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti….
bagaimana bisa mas, khawarij disamakan dg salafi-wahhabi? itu kalo ada org khawarij baca, bs marah dia sama sampeyan…..
ada satu perbedaan yg sangat menonjol dan sangat terkenal antara khawarij dg salafi-wahhabi mas, dan semoga anda sedang tidak PURA-PURA TIDAK TAU, perbedaan itu sangatlah vital sehingga TIDAK MUNGKIN keduanya itu bs disamakan….
perbedaan tsb adalah khawarij terkenal mengkafirkan pemerintah dan yg taat kpd pemerintah sama saja kafir, sedangkan salafi-wahhabi terkenal sangat taat kepada pemerintah (selama tdk diperintah maksiat), sangking taatnya, mereka sampai-sampai melarang demonstrasi (melarang dg dalil & hujjah pastinya).
jadi, menyamakan keduanya merupakan satu bentuk ‘PEMAKSAAN’…
“….Tegasnya. Ummat Islam yang tidak sefaham, dicap sebagai penyembah kubur, pencinta khurafat, musyrik, bahkan dituduh kafir….”
————————————————
sebelumnya, mas wisnu ini tau ga syarat-syarat seseorang layak dijatuhi vonis kafir?
“…..Itulah contoh tidak adanya konsistensi antara kata dan perbuatan. Orangnya dibunuh, karyanya dinikmati. Munafik abizz.”
————————————-
sbnrnya mas wisnu ini lg ngomongin siapa sih? khawarij atau salafi-wahhabi?
kalo yg dimaksud salafi-wahhabi, tentu ini merupakan tuduhan yg keji, karena saya yg seorang salafi-wahhabi ini selalu diajarkan di majelis-majelis ilmu satu hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
” Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun ” . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]
Liat mas ! membunuh orang kafir, apalagi membinuh seorang muslim?
“Kami bukan penganut musyabbih mujassim. Eksistensi Allah sudah dijelaskan didalam sifat 20. Allah tidak bertempat…..”
———————————–
Jika Allah Subhanahu wata’ala tidak bertempat, lantas bagaimana hukum bertanya ‘DIMANA ALLAH?’, bukankah pertanyaan ‘DIMANA’ menunjukan bahwa org yg bertanya tsb meyakini bahwa apa yg ditanyakannya itu memiliki tempat?
Lantas bagaimana dengan org yg selalu berkata ; ‘semuanya tergantung sama yg diatas’?
“Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid….”
————————————–
kalo lebih baik, menurut saya tidak ada yg baik antara keduanya, yg pasti seorang pelacur mempunyai kans utk bertobat jauh lebih besar ketimbang ‘aktivis’ maulid, karena seorang pelacur mengetahui bahwa perbuatannya itu salah, sedangkan ‘aktivis’ maulid merasa bahwa perbuatannya tsb benar, sehingga kans utk taubat seorang pelacur lebih besar…..paham?
“Iblis masih lebih terhormat daripada malaikat…”
——————————
itu sih kata sampeyan mas, tidak ada seorang muslim yg msh sehat akalnya yg berkata demikian….
“Padahal apabila kami teliti lebih jauh lagi, siapa itu Ibnu Taymiyyah, Albani, Bin Baz, Fauzan, dll. Ternyata mereka itu, banyak menyimpan masalah atau setidaknya kontradiksi selama kiprahnya….”
—————————————————
tidak perlulah anda menjelek-jelekkan ulama, apalagi ulamanya itu sekaliber Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…..jika dibandingkan dg beliau, ilmu anda itu ibarat buih di tengah lautan mas…..apa kapasitas anda merendahkan beliau? sudah setara kah ilmu anda dg beliau?
sekedar perbandingan, sudahkah anda atau guru anda turun langsung di medan perang jihad?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah melakukannya di perang Tartar melawan pasukan Mongol…..
mampukah anda atau guru anda melahirkan murid-murid sekaliber Ibnu Katsir, Ibnu Jauzy, Imam AdzDzhabi?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sudah melakukanya….


pada 25 Mei 2011 pada 9:25 pmmutiarazuhud
Mas Yusuf Islam, kami sekedar menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman saja koq


pada 26 Mei 2011 pada 11:09 pmYusuf Ibrahim
-mutiarazuhud-
Begitu pun jg saya mas, saya jg disini ingin meluruskan kesalah pahaman-kesalah pahaman sebagian besar kaum muslimin ttg salafi-wahhabi…..
bnyk org yg bilang salafi-wahhabi itu begini dan begitu….
bahkan saya sering kali berdiskusi di blog ‘anti-wahhabi’, di blog itu ‘wahhabi’ digambarkan sangat menakutkan, suka mengkafirkan seorg muslim, menghalalkan darah, berbicara kasar dan lain lain dan lain lain banyak sekali….akan tetapi ketika saya meminta utk menunjukan satu saja bukti ; ‘apakah ada perkataan saya yg seorg wahhabi ini yg menggambarkan tuduhan2 tsb?’, maka tidak ada satupun org yg mampu membuktikannya, yg ada jawabannya kemana-mana…..


pada 27 Mei 2011 pada 5:02 ammutiarazuhud
Mas Yusuf Ibrahim, ulama yang suka meng-ahlul bid’ahkan orang yang telah bersyahadat adalah termasuk yang mengkafirkan seorang muslim karena segala kesesatan tempatnya di neraka. Meng-ahlul bid’ah-kan adalah bahasa halus dari pen-takfir-an.
Cobalah periksa sejarah berapa jiwa muslim yang terbunuh hanya karena telah dianggap ahlul bid’ah atau kafir.
Janganlah fanatik dengan ulama sehingga kita menutup mata hati kita sendiri.


pada 28 Mei 2011 pada 12:02 amYusuf Ibrahim
Coba pelajari kembali om…..
tidak selamanya pelaku kebid’ahan itu lantas langsung divonis ahlul bid’ah, dan tidak selamanya org yg melakukan kesyirikan lantas langsung di vonis musyrik serta tidak selamanya org yg berbuat kekufuran lantas langsung di vonis kafir……pahami….pahami dan pahami kembali….jangan menutup mata terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu Allah Subhanahu wata’ala itu luas….siapa yg sebenarnya disini yg taklid membabi buta?
saya katakan dg tegas bahwa tidak selamanya org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan atau kekufuran lantas kita vonis org tsb ahlul bid’ah, musyrik dan kafir….TIDAK ! TIDAK SAMA SEKALI, karena banyak hal-hal yg perlu dipertimbangkan dalam memvonis individu per individunya…..
ada kaidah-kaidah sebelum memvonis orangnya…
Adapun memvonis perbuatannya, tidak lantas langsung memvonis orang yg melakukannya…..karena bisa saja org yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan dan kekufuran tsb masih belum tahu kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik dan kufur karena mungkin saja org tsb msh memiliki ‘syubhat’ (kerancuan) di dalam otaknya atau mungkn minimnya ilmu yg dimilikinya sehingga vonis thd org tidak bisa dijatuhi begitu saja atau bisa jg org yg melakukan perbuatan tsb dilakukan diatas ancaman dll msh bnyak lg sebab-sebabnya…..maka hal tsb msh diberi uzur, dan tidak langsung divonis orangnya…..
lain halnya jika yg melakukan kebid’ahan, kesyirikan, dan kekufuran tsb adalah orang2 yg sudah tau (sampai dakwah kepadanya) kalo perbuatan tsb bid’ah, syirik, dan kufur, orang2 tsb berakal (tidak gila), baligh, dalam keadaan merdeka (tidak sedang dlm ancaman), sudah dinasihati dll, maka vonis thd orangnya bisa saja ‘jatuh’, akan tetapi itupun yg berhak memvonis org tsb adalah ulama.
Mengenai vonis masuk nerakanya, itu adalah hak Allah Subhanahu wata’ala…..jadi tidak ada disini yg mengatakan si A masuk neraka, si B masuk neraka, atau si fulan masuk neraka…..TIDAK ADA ! jika Allah Subhanahu wata’ala mau memaafkan, maka tidak ada satupun makhluk yg bisa mencegahnya….
Yang ada adalah jika kita melakukan perbuatan syirik, maka kita akan terancam masuk neraka dan kekal di dalamnya jika sebelum wafat kita belum bertaubat….
Mengenai istilah om zuhud ; “Meng-ahlul bid’ah-kan adalah bahasa halus dari pen-takfir-an….”
tentu itu merupakan ungkapan tanpa ilmu yg didasari perasaan saja, tentu berbeda jauh sekali om antara perbuatan bid’ah dengan perbuatan kufur……


pada 16 Mei 2011 pada 9:35 pm | BalasWisnu Wardana
Menakutkan
Betapa menakutkan serta menyeramkannya bilamana kaum kawarij-salafi-wahabi (kasawah) sampai menguasai dunia. Jauh lebih dahsyat dari apa yang mampu kita perkirakan.
Kejahiliyahan para penguasa Saudi Arabia, yang sudah kita kenal selama ini, mungkin tidak sebanding dengan sepak terjang mereka dikemudian hari.
Seni budaya tidak berkembang karena diharamkan, sehingga banyak fakultas yang ditutup, diantaranya jurusan sinematografi, koreografi, dsb. Pagelaran musik, pertunjukan film, pameran busana, dilarang. Sehingga gedung-gedung pertemuan atau gedung pertunjukan kesenian banyak yang tutup. Demikian juga dengan gedung pertunjukan film, dan konservatori.
Buku-buku geografi direvisi total
Tidak boleh ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa bumi ini bulat. Tidak boleh ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa bumi ini mengelilingi matahari. karena semua itu merupakan perbuatan kufur.
Bumi harus berbentuk ceper seperti permukaan meja, dan matarilah yang mengelilingi bumi. Karena semua itu merupakan fatwa yang telah disampaikan oleh ulama ulama Wahabi.
Tidak peduli ilmu pengetahuan dan sains berpendapat lain.
Mereka harus tetap berpegang teguh, bahkan bila perlu, fatwa sang ulama itu digigit dengan gigi gerahamnya.
Globe (miniatur bola dunia) dimusnahkan. GPS, Glonas, dan Google Earth, dilarang dipergunakan. Karena semua itu merupakan representasi dari wujud dunia yang bulat.
Setiap pesawat yang sedang terbang tinggi, terutama bagi pesawat antar benua, harus menutup seluruh tirai jendelanya. Karena takut penumpang mengintip keluar, dan melihat kenyataan, bahwa dunia ini bulat.
Pabrik rokok harus ditutup, karena rokok merupakan barang haram. Namun ini barangkali satu-satunya berita baik untuk kita semua.
Bursa saham, bursa efek, serta perdagangan porto folio lainnya harus ditutup. Karena mengandung riba, dan itu haram hukumnya.
Demikian pula dengan ratusan Bank Bank konvensional, dengan ribuan cabang-cabangnya, terpaksa harus ditutup. Karena itupun riba, dan hukumnya sudah jelas haram.
Yang lebih menyedihkan, kita tidak akan lagi mendengar lantunan indah ayat-ayat suci al-Qur’an, demikian juga panggilan shalat melalui indahnya lantunan adzan yang menyelinap jauh kerelung hati.
Itu baru sebagian, yang lainnya masih banyak lagi.
Semoga itu tidak akan pernah terjadi. Wallahu alam bishawab.


Masya Allah Wahabi !


Semakin dibahas bid’ah semakin melantur aja,
Sesuatu hal yang diabaikan dari pengamatan saya, terhadap pemikiran wahabiyah adalah masalah niat, seperti kita berbuat sesuatu pasti niatnya sesuatu. misalnya salah satu masalah aja saya bahas agar tak melantur kemana2 sbb
“Menganggap semua/setiap perbuatan itu ibadah, padahal tidak semua perbuatan itu dikatakan ibadah, maka tanyakanlah apakah ‘ngupil’, main remi, main catur, main gaple, apakah itu semua termasuk ibadah?”
Jika melakukan sesuatu lihatlah tujuannya dan prosesnya, lalu baru lakukan aktifitasnya, jadi tujuan ada pada niat, aktifitas adalah perbuatan dan proses adalah hasil.
Setiap perbuatan yang ditujukan kepada Allah adalah ibadah, dan jika ada perbuatan ditujukan selain kepada Allah, berarti kita memilih Tuhan lain , artinya kita mengikuti kehendak yang lain, berarti bisa terbawa kepada perbuatan syirik, karena bertentangan pernyataanNya dalam Adzariat:56,
Allah tak akan menciptakan manusia di bumi ini sia-sia, kecuali untuk menentukan golongan mana yang baik dan mana yang buruk(Al-Anfaal: 37)
Jadi ngak ada tujuan lain di dunia ini selain beribadah kepada Allah, tapi mengapa Allah membiarkan diantara kita berbuat zalim dan kerusakan, disinilah kezaliman dan kebodohan manusia (Al-Ahzaab: 72) tapi karena kemurahanNya manusia tetap dibiarkan melewati suatu proses yaitu kehidupan di dunia.
Lalu mengapa sebagian kita ada yang melakukannya, tak lain karena bodoh, lalai dan lemah dari dorongan hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Lalu bagaimana kita beraktifitas di dunia bisa dinilai ibadah, tentu bisa, karena ibadah itu adalah mengikuti kehendak Allah, yaitu menunaikan amanah, amanah ini adalah sebagai khalifah /pengganti atau pelaku yang menunaikan aktifitas berbuat kebaikan2 di muka bumi baik, lalu dimanakah letaknya syariat, syariat adalah aktifitas tertentu dikehendaki sebagai tanda adanya hukum/aturan (agama) datang dari utusanNya, yaitu Rasulullah SAW sebagai utusan penutup.
Karena sifat manusia itu tak sama kemampuannya, yang dipengaruhi oleh keadaan qalbunya, dan niat terletak pada qalbu maka Allah menetapkan amalan fardu sebagai ibadah ketaatan dan amalan sholih sebagai nilai lebih hamba dalam berlomba berbuat kebajikan.
Amalan fardu tentu telah kita mengerti seperti sholat fardu, zakat dst. Amalan fardu didorong oleh rasa takut akan murkaNya hingga melahirkan takwa di dalam qalbu.
Amalan sholih adalah untuk nilai lebih, dan tak dibatasi selagi mampu dan tidak berbuat melebihi kemampuan (zalim), Amalan sholih didorong oleh rasa harap akan ridhoNya hingga melahirkan ikhlas sampai cinta dalam qalbu.
Karena itulah kita ngak bisa berbuat seenaknya mengkaitkan sesuatu yang telah diatur Rasulullah SAW , tanpa menimbang tujuan dan akibatnya seperti contoh “adzan sebelum makan”, tak ada kaitan antara tujuan adzan dengan tujuan makan, bisa jadi kalo masih kenyang ngak masalah adzan sebelum makan dst. Perlu diingat “tujuan” ada dinyatakan dalam qalbu dan akibat dapat diamati oleh akal kita sendiri.
Rasulullah melarang bid’ah, adalah mempertahankan apa2 yang telah disampaikan beliau agar tak melewati garis lurus (aturan) yang jelas dalam agama agar tak memberatkan umatnya supaya tidak memaksa diri (sesuai keadaan qalbunya) hingga menimbulkan kezaliman. tentunya kezaliman adalah sesuatu yang dimurkai Allah.
Tapi Rasulullah memperbolehkan itjihad untuk perkara2 yang memiliki kondisi baru, karena kebutuhannya untuk membuat aturan2 baru selagi memenuhi syarat2 tertentu juga, yaitu mampu dari segi ilmu dan pengalaman. Itjihad ini tidaklah boleh dikatakan dari Rasulullah tapi diri mutjahid seperti penamaan mazhab hanafi, maliki , syafi’i dan hambali. jadi kaidah baru dinyatakan wahabiah menolak hadits doif, (tak seperti imam 4) dinyatakan mazhab salaf, adalah bid’ah sebenar2 bid’ah, sebab merupakan metoda dikemukakan ulama belakangan tapi dinyatakan metoda para sahabat (salaf/salafus sholih) jadi ngak masuk akal dari segi ilmiah.
Jadi jika beramal sholih seperti dicontohkan Rasulullah SAW, seperti berdzikir dinyatakan sebanyak2nya, berarti ngak dibatasi waktu , tempat dan keadaannya
Bagaimana tuduhan beribadah amalan sholih dengan memperingati sesuatu, seperti mengisi maulid dengan berzikir
1. Memperingati berarti mengingat sesuatu peristiwa dengan kegiatan, berupa ibadah, dan ibadah amalan sholih berupa dzikir tentulah dibolehkan , karena semua kegiatan kita didunia ini ngak bisa dipisahkan dengan dzikir, misalnya memulai sesuatu pastilah baca bismilah dst.
2. Amalan dzikir dilakukan bersama2 ada tujuannya yaitu membentuk kebersamaan di dalam qalbu peserta, jika ada mengingkari, berarti ngak mau menyadari fakta yang ada
3. Amalan dzikir berdiri sendiri, bukan ibadah maulid seperti anggapan anti maulid, maulid itu peringatannya ada dipikiran dan dihayati dihati , bukanlah perbuatan. Karena itulah niat hal yang penting dijaga, dan diluruskan pemikirannya agar tercapai tujuan, yaitu ukhuwah dan mencintai perjuangan Rasulullah SAW.
Karena itulah , perbuatan wahabiah memisahkan aktifitas menjadi ibadah dan muamalah, adalah rancu, sebab muamalah pasti diiringi dzikrullah adalah ibadah, sesuai kehendak Allah dalam Adzariat:56.
Semoga kita sadar, janganlah tuduhan bid’ah membuat kita dalam beraktitas lupa padaNya, sehingga perintah berlomba2 berbuat kebajikan bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk akhirat. Karena Akhirat lebih baik daripada dunia.
Semoga tercerahkan, maaf sebelumnya, hanya berbagi pemikiran, semoga damai slalu ada untuk semua


pada 30 Agustus 2011 pada 11:36 am | BalasBima AsSyafi'i
@Yusuf Ibrahim :
Terkagum-kagum saya membaca pernyataan Anda di bawah ini :
“Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid….”
————————————–
kalo lebih baik, menurut saya tidak ada yg baik antara keduanya, yg pasti seorang pelacur mempunyai kans utk bertobat jauh lebih besar ketimbang ‘aktivis’ maulid, karena seorang pelacur mengetahui bahwa perbuatannya itu salah, sedangkan ‘aktivis’ maulid merasa bahwa perbuatannya tsb benar, sehingga kans utk taubat seorang pelacur lebih besar…..paham?
Selamat, Anda lebih paham masalah Maulid dari Imam Ibnu Hajar dan imam-mam lainnya.


pada 30 Agustus 2011 pada 4:20 pm | Balaspeace forever
Tuduhan terlalu menurutkan hawa nafsu sbb:
“Seorang pelacur masih lebih baik daripada penggiat Maulid….”
Biarlah Allah menilai siapa hatinya lebih tulus kepada nafsunya atau kepada Penciptanya,
Semua yang kita lakukan di dunia ini, tak akan sia-sia dalam arti pastilah dibalas, dan ketulusan jauh lebih berharga, sehingga Allah pun menegaskan dalam Alquran sbb:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ”
Jelaslah perkara niat dalam perbuatan walaupun orang lain menilai itu bid’ah hingga syirik, maka Dia yang lebih berhak menilai baik atau buruk, bukanlah kita yang ilmunya sangat sedikit, tapi besar kesombongannya, semoga saya terhindar dari sifat tersebut,
Jelaslah bagi orang berakal dapat dibedakan keadaan hati , seorang pelacur yang terbenam dalam kesenangan dunia (jika tidak ada niat taubat) , jauhlah beda dengan seorang pengiat pujian untuk Rasulullah SAW (aktifis maulid),
Baik itu dari sikap antara keduanya, akibat perbuatannya dilingkungannya, dan yang terjadi pada diri keduanya jauh berbeda.
Saya teringat kisah seorang mualaf awalnya adalah pastur, yang bercerita sering memurtadkan umat islam karena merasa pemahamannya benar(merasa menolong manusia), karena sering kali sepenuh hati berdoa kepada sang pencipta, suatu saat ketika bangun pagi (subuh), melihat acara dzikir bersama, hatinya bergetar hingga tak mampu bertahan, karena itulah ketika menyatakan hal ini kepada seorang tokoh islam dikenalnya berkat ” Saudara dberi hidayah”, Mulailah dia berikhtiar mencari lebih dalam tentang islam dan apa yang dialaminya, sampailah ia menjadi mualaf, jauh lebih baik dan lebih mantap dengan keyakinannya, Percaya atau tidak itu terserah kita, tapi tak sedikit dahulunya berbuat sangat keji, tapi akhirnya Allah menuntukannya kepada kebenaran, begitu pula awalnya dari tokoh kalangan baik2, akhirnya terjun kepada kebinasaan. Semua itu dilihat dari lintasan hati, dan Allah yang membuat lintasan di hati berharga, karena itu hatilah2 menempatkan sesuatu di dalam hati, bisa jadi karena tuduhan2 yang ngak masuk akal, Allah mengunci hati kita kepada kekufuran selamanya, semoga kita terhindar dari hal ini, astaqfirullah .
Semoga peringatan Allah ini, dapat menyadarkan kita , sbb
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (Ghaafir: 58)
Bahwa yang berhak menghakimi hanyalah Allah yang Maha kuasa atas segala sesuatu hingga tak ada yang mampu menentangNya (mengalahkan) , dijelaskan sbb:
Katakanlah (ya Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan. (Saad: 65)
Semoga kami selalu dapat berlindung padanya, tak akan mundur memujiNya dan mengagungkanNya, dibalik tuduhan2 keji dari manusia kami bersabar, dari pujian /doa hamba2Mu kami berharap, amin
Maaf, kalo terlalu panjang, semoga kita selalu objektif berdiskusi, tanpa sampai menimbulkan kedengkian dan hasad, semoga tercerahkan dan berguna, peace for all
20 April 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar