Ulama di antara kita

Kenapa harus fanatik dengan ulama di luar kalangan kita sendiri
Ketika kami menguraikan bahwa ulama nenek moyang kami mengikuti Salafush Sholeh dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/19/sejak-abad-ke-1-h/ beragam tanggapan ataupun komentar yang kami dapatkan. Pada umumnya mereka baru sadar dengan sejarah Islam Nusantara.
Diantara mereka tidak sepakat dengan pernyataan kami bahwa “Dalam perkembangannya, pendirian ormas Nahdlatul Ulama (NU) pada hakikatnya sebagai bentuk protes terhdapap ulama di Jazirah Arab karena pemahaman agama mereka mulai ada ketidak sesuaian dengan ajaran agama Islam yang aslinya”. Terlebih lagi kami memang bukan tokoh ormas NU semakin menambah ketidak-percayaan mereka. Orang tua kami memang cenderung mengikuti ormas Muhammadiyah , namun ketika ibtidaiyah kami mendapatkan pengajaran agama dari ustadz/ustadzah dengan latar belakang ormas NU. Bagi orang tua kami tidak membeda-bedakan antar ormas karena pada hakikatnya ormas adalah sekedar jama’ah minal muslimin yang semuanya berupaya mentaati Allah ta’ala dan RasulNya. Hal ini sedikit telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/siapa-kami/
Ulama (ahli ilmu) sebagian mulai melupakan sejarah, sehingga mereka melupakan ulama-ulama nusantara yang berjasa sehingga orang tua, kakek/nenek, buyut mereka mendapatkan ni’mat iman dan ni’mat Islam. Malah mereka mengagung-agungkan ulama yang bukan kaumnya seperti ulama Ibnu Taimiyah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab ataupun ulama Al Albani yang banyak ulama yang mengkritisi pemahaman mereka.
Ormas Nahdlatul Ulama (NU), didirikan merupakan kelanjutan dari “Komite Hijaz” yang berupaya mempertahankan apa-apa yang telah diupayakan oleh para Imam Mazhab yang empat. Sedangkan penguasa dinasti Saudi berkeinginan mengikuti ulama-ulama yang sepemahaman dengan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Selengkapnya silahkan lihat sejarah resmi pendirian ormas NU pada http://www.nu.or.id/page/id/static/9/Sejarah.html
atau
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/riwayat-perjuangan-jamiyyah-nahdlatul-ulama/
atau
http://khaylif.multiply.com/journal/item/71
Mereka bertanya “apakah seseorang yang tidak berpendapat dengan pendapat salah satu atau semua dari 4 madzhab besar dianggap telah keluar dari salaf atau ahlus sunnah ?”
Jika orang yang tidak mau mengikuti pendapat imam mazhab dan mereka merujuk langsung (menggali hukum) dari Al-Qur’an dan Hadits namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid serta menggunakan metodologi “terjemahkan saja” maka kemungkinan besar akan timbul kesalahpahaman-kesalahpahaman.
Banyak ulama menyerukan kepada orang awam untuk merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah (hadits) ketimbang mengikuti hasil kerja keras Imam Mazhab. Ulama-ulama tersebut tidak memperhatikan kompetensi muslim yang awam sehingga menjadi fitnah terhadap Salafush Sholeh jika pemahaman/pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat/pemamahan Salafush Sholeh sebenarnya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/24/menjadi-fitnah/
Permasalahan dalam dunia Islam pada zaman modern ini, orang awam dipaksakan untuk merujuk (berijtihad) langsung pada Al-Qur’an dan Hadits sehingga timbul keanehan-keanehan seperti ada yang berkeyakinan bahwa sholat diatas sajadah adalah haram/bid’ah/sesat sehingga mereka menggali lantai rumah mereka dan sholat di atas tanah sebagaimana yang mereka pahami. Mereka bisa jadi telah menyeleweng dari jama’ah.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Alloh bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/merekak-yang-melesat/
Semoga mereka bukanlah yang dimaksud oleh apa yang disampaikan Rasulullah, “mereka membaca Al-Quran tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar darinya seperti anak panah keluar dari busurnya.” (HR. Muslim).
Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, kami pahami adalah mereka yang memahami petunjukNya secara ilmiah/logika saja tanpa melanjutkan dengan mengambil pelajaran atau hikmah (pemahaman yang dalam) menggunakan akal dan hati. Pemahaman secara ilmiah/logika telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/24/jarh-wa-tadil/ atau padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/16/walau-satu-ayat
Firman Allah ta’ala yang maknanya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269 )
Jadi kenapa harus fanatik dengan ulama yang sepemahaman dengan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab karena Allah ta’ala menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan di belahan bumi manapun.
Kenapa harus fanatik dengan ulama yang tidak memahami kata kiasan (balaghah) seperti “dengan Rasulullah” sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/2011/05/10/dengan-rasulullah-2/
Kenapa harus fanatik dengan ulama yang diluar kaum kita karena Allah ta’ala memerintahkan untuk mentaati ulama dari kaum kita yang mentaati Allah ta’ala dan Rasulnya sebagaiman firmanNya yang artinya
” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ [4] : 59 )
Sebagian ulama berpendapat bahwa firman Allah ta’ala terssebut berkaitan dengan pemerintahan padahal ayat itu sebagai petunjukNya bagi kita dalam menjalankan kehidupan seutuhnya tanpa memisahkan urusan dunia maupun urusan akhirat sebagaimana kaum sekulerisme.
Dalam ayat tersebut, Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rosul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya.
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rosulullah saw adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafa’ rasyidin sesudahnya : Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya.
Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rosul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/06/25/taatilahulama/
Jika kita mentaati ulama diluar kaum kita maka hal itu pada hakikatnya telah meremehkan ke-ulama-an para ulama kita. Juga hal itu dapat menimbulkan perpecahan seperti contoh perselisihan peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Janganlah menyelisihi takdir bahwa kita terlahir di Nusantara. Allah ta’ala tentu telah mempunyai rencana akan takdir kita itu.Terlebih lagi kita tidak pernah jelas dengan riwayat keturunan (silsilah) para penguasa dinasti Saudi. Para penguasa itu telah mempengaruhi para ulama di sana bahkan mereka menyusun kurikulum pendidikan bekerjasama dengan non muslim. Mereka menajdikan non muslim sebagai teman bahkan sebagai penasehat mereka dalam menjalani kehidupan. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/
Taatilah para ulama dari kaum kita sendiri, tentu taatnya kepada ulama yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

2 Tanggapan
assalamualaikum. awalnya saya bingung, yang mana harus saya ikuti. membaca artikel diatas membuat saya memahami, yang mana dulu yang harus ditaati.


=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar