Pendidikan Agama & Akhlak

(Sebuah catatan untuk yang sedang atau akan menuntut ilmu)
Saya sedih sekali melihat keadaan saudara-saudara muslim kita saat ini. Oleh karenanya saya menuliskan pada blog http://mutiarazuhud.wordpress.comdalam rangka mengingatkan dan menjelaskan kepada saudara-saudara muslimku.
Apapun istilah atau propaganda yang tanpa mereka sadari ikuti, modernisasi agama, fundamentalis agama, pemabaharuan agama, ijtihad baru, persatuan dalam negara atau nasionalisme menggantikan persatuan dalam agama, taat pada penguasa negara yang mereka katakan ulil amri dll.

Semua itu bagi saya, semata-mata propaganda orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap kaum mukmin sebagaimana Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Sebagai contoh, akibat “modernisasi agama”, pendidikan agama telah mengalami pendangkalan tujuan, menjadi sekedar pengetahuan/pelajaran/pengajaran agama. Berbeda jauh dengan apa yang disebut dahulu sebagai “pondok” atau “mondok” atau “berguru”.
Sehingga sekarang kita dapati sebagian umat muslim semata-mata menjalankan sholat berdasarkan “pengetahuan” dan menurut pemahaman mereka bahwa mereka sudah “menyelesaikan” kewajibannya. Tampak masih jauh dari makna mendirikan sholat apalagi makna mi’raj seorang muslim.
Begitu pula yang mengikuti pendidikan tinggi agama baik di dalam negeri maupun di luar negeri sampai ketempat yang menggunakan bahasa arab, baik tingkat S1, S2, S3 dengan title LC,DR,PROF dll. Pendapat saya, mereka mendapatkan sekedar pengetahuan atau mendapatkan pengajaran agama. Sama sekali bukan “pendidikan” agama sebagaimana dahulu dikenal dengan kegiatan “pondok” , “mondok” atau “berguru”.
Memang mereka yang mengikuti “pondok”,”mondok” dan “berguru” tidak mendapatkan title, namun mereka mendapatkan “didikan” sehingga mereka Insyaallah sampai pada tingkatan Ihsan (muhsin), menyembah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka. Guru mereka membantu, membimbing, mendidik , menhantarkan mereka menuju kepada Allah, membuat mereka dapat mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, untuk “bertemu” Allah atau”terhubung” (wushul) dengan Allah. Sehingga mereka adalah sebenar-benarnya “bersaksi” atau “penyaksi” (syahid).
Setelah murid dapat “bertemu” Allah atau “terhubung”(wushul) dengan Allah,  Allah yang akan memimpin murid, mengajarkan,  membimbing dan mewariskan ilmu. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).   Diriwayatkan pula dalam suatu kabar, “Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang telah diketahui maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui“.
Insyaallah mereka yang telah “bersaksi” atau menjadi “penyaksi” (syahid) akan menjemput kematian (kembali kepada Allah) dengan husnul khotimah dan mati syahid (mati dalam keadaan bersaksi) sebagaimana mereka diciptakan Allah pada awal mula kejadian (ketika dalam alam kandungan).
Mengenai “bersaksi”, bacalah tulisan  selengkapnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

Pada awal mulai kejadian, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Ketika mereka “kembali”, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Sungguh, para pembaca , kalau umat muslim dapat sebenar-benarnya bersaksi, tidak akan terpecah, tidak akan berdebat, tidak akan mencaci, tidak akan menghujat, tidak akan mengolok-olok, tidak akan mensesatkan saudara muslimnya, tidak akan mengkafirkan sesama muslim, tidak akan memperturutkan hawa nafsunya, tidak akan sombong.
Jika sebenar-benarnya bersaksi, insyaallah kita akan tersungkur sujud dan mengatakan sebenar-benarnya perkataan , “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.
“Ya Allah, berikanlah kemudahan untuk menyampaikan kepada saudara-saudara muslimku agar mereka tidak menyia-nyiakan kehidupan mereka di dunia, agar mereka dapat berbekal bagi kehidupan akhirat dengan sebaik-baiknya bekal”
Wassalam
.
.
Zon di Jonggol
======================================================
Link / tulisan  terkait,
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ivan Illich dalam buku monumentalnya, Deschooling Society, mensyaratkan penghapusan sistem sekolah, demi terbebasnya potensi kreatif manusia.
Dalam potensi itu, manusia bisa mengalami pencerahan, yang sejak terbangunnya pendidikan formal, telah terbrangus, menjadi robot yang cetakan mesin pendidikan.
Ya, sebuah warna kontras, antara fungsi pendidikan sebagai penemuan kembali fitrah manusia, dengan formalisme sistem yang membuat manusia semakin jauh dari hakikat diri.
Apakah seradikal itu?
Ya, dan ini soal lain. Yakni soal bagaimana proses menjadi manusia yang fitri itu terhambat. Macet. Terkhusus sistem pendidikan akhlak kita. Sebuah pendidikan nan sumir, karena akhlak begitu abstrak, eufimis, dan sering hipokrit.
Bicara akhlak adalah bicara moral, yang setiap kita melongok ke ruang kuasa, baik pemerintah, sekolah, bahkan agama, seakan menjadi jual-bualan yang membuat kita pesimis, apakah sebegitu parah akhlak masyarakat kita?
Lalu kitapun menengok ke pesantren, tentu sebelum sistem sekolah itu mengotakkanya dalam silabus formal, yang mengikis mozaik tradisi keilmuan Islam.
Adalah fiqh-sufistik, sebuah korpus keilmuan yang menyatukan antara ketaatan terhadap hukum Islam, dengan pendalaman batiniah tasawuf. Ia bahkan sejak gelombang kedua Islamisasi awal abad ke-19, telah membentuk corak budaya dari warga muslim kita.
Di pesantren, pendidikan akhlak diajarkan bukan hanya level teoritis, tetapi praktis, sehari-hari, membentuk sub-kultur yang berbeda dengan hedonisme masyarakat luar pesantren.
Ia terlembaga, tidak dalam kurikulum formal, tetapi dalam tradisi wirid, keberanian mengutamakan motivasi keilahian diatas tarikan ego, menjadikan standar minimalis bagi materi, dan maksimalis bagi spiritualitas. Dan setelah itu, tidak perlu nilai : C, untuk mata pelajaran akhlak.
Dalam kaitan ini, Ahmad Shodiq, dosen akhlak dan tasawuf di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan menceritakan kisah sedih pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan kita.
Ia merupakan dilema, antara jauhnya standar akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuh sistem pendidikan. Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi.
Apakah begitu parah wajah sistem pendidikan akhlak kita, dan masihkah ada kesempatan memperbaikinya?
Berikut wawancara Cahaya Sufi dengan dosen yang akhirnya membuat pengajian rutin di rumah, dengan para mahasiswanya.

Bagaimana penerimaan tasawuf di ruang pendidikan kita, pak?
Ada kecenderungan beberapa mahasiswa yang anti tasawuf.  Kemungkinan karena ada unsur ideologi Wahabi atau salafi yang anti tasawuf. Itu karena tasawuf memang tidak langsung bisa dijelaskan, apalagi pada masa-masa awal kita menjelaskan, pasti ada yang menyangsikan.
Apakah ia merupakan realitas yang bisa dipahami?Itu kan yang sering dipertanyakan. Anak-anak yang kritis kadang mengambil posisi kontra dulu. Tapi setelah pertemuan tiga sampai empat kali, kecenderungannya menjadi mereda, kemudian akomodatif, dan cenderung memahami.
Menyikapi keadaan ini?Saya lebih menggunakan pendekatan persuasif, lebih mencari cara yang rasional. Karena menurut saya, perubahan akhlak itu tidak mungkin terjadi tanpa melalui rasionalisasi. Kecuali kalau kita menggunakan metodologi robbani, intuitif. Kalau itu kerjanya para masyayikh, mursyid, dan orang yang belum mencapai walayah (kewalian) saya kira kalau kita tidak akan mampu seperti itu.
Kalau dalam dunia akademis, maka harus melalui rasionalisasi. Karena sesungguhnya, jika ada perilaku salah, itu pasti karena konstruk batin yang salah. Karena menurut Imam al-Ghazali, akhlak itu gambaran keadaan batin (‘ibaaratun an al-hayatin nafsih) yang sudah tertanam mendalam (raasikhun) dimana semua perilaku menyandar pada keadaan yang mendalam itu (tashduuru fiihal af’al) yang kemunculannya secara gampang (bisuhuulatin wa yusrin).
Karena sudah mengalami internalisasi yang lama, sehingga perilaku itu menjadi kebiasaan yang tidak disadari lagi, maka ia muncul sebagai bentuk perilaku negatif atau positif. Ketika ada perilaku negatif, persoalannya bukan memarahi, tetapi lebih kita pahami, bahwa ini adalah tampilan dari kondisi dalam yang harus dibenahi secara intens.
Oleh karena itu keadaan batin ini nggak akan berubah selama sikap batin orang tidak berubah. Dari sini, perubahan harus dimulai dari sisi wacana, selayak Imam al-Ghazali yang selalu taqdiimul ‘ilmi.

Maksudnya perubahan wacana?
Ya dalam arti, berbagai konsep tentang kebaikan dan keburukan menurut murid harus di dekonstruksi dulu. Nah dekonstruksi ini tidak perlu mencaci-maki, tetapi lebih mendudukkan persoalan baik-buruk secara proporsional menurut dasar agama. Ketika itu dijelaskan, dia bisa mengerti, apa sebenarnya kebaikan dan alasan mengapa orang berbuat baik. Kenapa orang harus tunduk pada aturan Allah, dan kenapa orang harus mengikutinya.
Biasanya, saya memulai penjelasan dengan menjelaskan jati diri manusia. Saya lebih mengenalkan hakikat ruhani itu apa, supaya dia bisa mengenali dirinya sendiri. Dalam waktu terbatas, kita menginginkan dia mengintorspeksi diri, dan sedikit banyak bisa membenahi apa yang salah.
Karena ini pembelajaran orang dewasa kan tidak bisa murni indoktrinasi, tetapi harus melalui proses penyadaran. Kalau penyadaran ini berhasil, dia akan melakukan pilihan ulang terhadap sandaran hidup yang selama ini dia pegang.
Nah pada saat dia melakukan pilihan-pilihan ulang, kita berharap ada rasionalisasi yang lebih lurus. Pada saat itu, kalau dia berpihak pada kebenaran yang lebih lurus, baru kita bisa berharap, sikap atau akhlak yang lama terbentuk, kemudian terkoreksi. Maka dia akan menjadi gamang untuk melakukan keburukan lagi. Nah gamang ini menjadi pertanda baik. Tapi mungkin dia tidak sesegera itu berubah. Ini adalah masa dimana kita harus sabar menunggu orang untuk berubah. Karena semua bi ‘aunillah, semua dengan pertolongan Allah. Kalau Allah memberikan hidayah dengan kecepatan tertentu, orang bisa berubah sewaktu-waktu, tapi dalam proses normal biasanya butuh waktu.

Bagaimana anda  menyikapi akhlak murid yang kurang baik?
Saya memegang qaul Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa orang yang buruk itu seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Kata Imam Syafi’i, dia hitam, dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka yang hitam itu dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita terpancing.
Saya teringat muridnya Aby Yazid al-Busthami, yang selama 30 tahun selalu qiyamullail, shaimunnahar, puasa dan sholat malam tiap hari. Tapi ketika bertanya kepada Abu Yazid, “Syekh, perasaan saya, selama 30 tahun mendampingin Anda, saya tidak pernah merasakan apapun dari kenikmatan batin yang engkau ceritakan itu”.
Abu Yazid kemudian berkata, “Sampai mati kamu puasa dan sholat malam terus, kamu tidak akan merasakan apa-apa”. Dia kaget dan dia meminta terapi ruhani yang bisa mengobatinya.
Kata Abu Yazid, “Ada, tapi kamu tidak akan mampu”. Abu Yazid kemudian memberitahu, “Kamu harus mencukur jenggotmu, menjual semua hartamu, kemudian bajumu diubah dengan baju gembel, setelah hartamu yang kamu jual itu, kamu belikan mainan dan makanan anak-anak, kemudian dironce (di kalungkan) di leher, dan pergi ketempat dimana anak-anak kecil berada. Mintalah anak-anak itu untuk meludahimu, dan setiap satu kali ludahan, kau beri anak-anak itu satu mainan dan makanan, sampai makanan itu habis.
Kalau itu sudah selesai, kamu pergi ke pasar, dimana kau terkenal sebagai orang terhormat, kemudian dengan pakaian seperti itu kamu tidak boleh beranjak sebelum orang-orang sepasar itu melihat kamu dalam keadaan seperti itu”.
Nah sang murid itu kemudian berkata, “Subhanallah”.
Subhanallah-mu musyrik, kata Abu Yazid, karena Subhanallah kau ucapkan untuk menyanjung dirimu, yang tidak pantas kau perlakukan seperti itu. Akhirnya si murid tidak mampu melakukan itu, karena ada kesombongan dalam dirinya.
Memang kalau saya analisis penjelasan para sufi, hijab itu kan banyak. Nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga hijab.
Tetapi para ulama menyebut, hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain nggak kelihatan, bagaimana dia bisa melihat Allah.
Hal yang sama terjadi, ketika seorang sufi besar menemukan cara untuk menyembuhkan kesombongan muridnya. Jadi pada saat itu sang mursyid menyatakan, kalau kau mau sembuh dari kesombongan itu, kau harus menjadi orang miskin, dan membawa mangkok pengemis. Dan kau harus meminta-minta kesemua kampung dimana kau tinggal. Tapi kenyataannya setelah dilakukan, dan dia pulang ke mursyid, sang mursyid mengatakan, “Saya tidak tahu lagi caranya. Setelah kau lakukan saran saya, ternyata kau itu, kalau dulu sombong karena kekayaan, hari ini kau sombong karena mampu melaksanakan cara hidup seperti orang miskin”.
Bisa jadi kita itu bisa tidak sombong karena memakai baju mewah, tapi jangan lupa, menggunakan baju sederhanapun bisa sombong.

Seberapa efektifnya  pendidikan akhlak dan tasawuf dalam sistem pendidikan kita?
Bagi saya, pendidikan formal dalam rangka mewarisi akhlak yang digambarkan oleh para sufi, saya sebenarnya termasuk orang yang pesimis.
Kenapa?
Karena pendidikan kita itu lucu. Kalau saya analisis kurikulum madrasah ibtidaiyyah (mata pelajaran aqidah akhlak), setelah saya lihat, saya jadi bingung sendiri. Ini yang menyusun sadar atau tidak ya?
Karena kalau dari kaca mata pendidikan, sesungguhnya sangat verbalistik, dan kognitif oriented.
Kalau pembelajaran akhlak seperti itu, menurut saya tidak bisa. Kalau saya kembali ke penjelasan Imam al-Ghazali di Ihya’, beliau mengharuskan akhlak itu dalam bentuk pembiasaan, tidak bisa dengan pembelajaran.
Kalau kita ingin menjadikan orang melakukan suatu hal, maka Imam al-Ghazali mengharuskan ia melakukan perbuatan orang seperti yang ia inginkan. Jadi kalau dia ingin menjadi faqih, maka dia harus melakukan apa yang dilakukan faqih, sampai dia menjadi faqih.
Kalau ingin menjadi orang sabar, dia harus berbuat seperti orang sabar, meskipun dia susah melakukan itu.
Kalau melihat itu, maka pendidikan akhlak kita nggak mengacu kesana. Jadi pendidikan itu hanya masuk dalam logika-logika dangkal, yang tidak meresap dalam batin.
Itu saja, kalau kita ngomong kurikulum, seburuk apapun, asal sang guru ‘alim, saya kira nggak masalah. Guru bisa melakukan itu. Tapi persoalannya berapa persen guru yang benar-benar bisa mendidik anak-anaknya?
Karena akhlak itu tidak bisa terwujud jika seseorang tidak melakukannya kan. Itu yang repot di pendidikan akhlak. Bagaimana seseorang bisa mengajarkan sabar, kalau dia sendiri nggak sabar.
Bukankah di Risalah Qusyairiyah dijelaskan, bahwa al-tashawwufu khuluqun faman zaada ‘alaika fi khuluqi zaada ‘alaika fi al-shifa’. Tasawuf itu kan akhlaq. Semakin  akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya tambah bersih.
Bahkan sufi lain mendefinisikan laisa al-tashawwuf al-rasman walaa ‘ilman, tasawuf itu bukan keterampilan, bukan juga ilmu. Kalau tasawuf itu keterampilan, lafashala bil mujahadah, dia pasti bisa dicapai dengan mujahadah, training.
Seandainya tasawuf adalah ilmu, pasti dia bisa diperoleh melalui ta’lum, belajar. Tapi tasawuf itu sesungguhnya adalah takhalluq bi akhlaaqillah, bagaimana mengakhlakkan batin ruhani ini menjadi baik, sehingga tampil diluar menjadi baik, sebagai refleksi batin.
Contoh simple, ketika saya bertemu dengan Romo Yai Asrori (KH Ahmad Asrori Al Ishaqi) , ketika beliau menjelaskan masalah ini.
Beliau bilang, “Gampang ngukur orang itu sabar atau punya ilmu tentang sabar. Kalau ada kyai cerita tentang kesabaran, coba buang sandalnya. Kalau kemudian dia marah, berarti dia baru punya ilmu sabar, tetapi belum sabar”.
Jadi batasnya sandal ya, ha..ha..
Lha iya. Apalagi kalau kyai itu sambil marah mengatakan, “Kamu bisa dilaknat Allah, sandalnya kyai dibuang!”,
Ya itu, semakin menjustifikasi kemarahannya dengan dalil. Jadi dalam kaitan ini, maka orang tidak menjadi mudah dalam mengukur orang lain. Karena ukuran-ukuran substantif itu menjadi lebih esensial dalam tasawuf, daripada ukuran formal.
Bisa jadi orang itu tidak bisa mengeluarkan satu dalilpun tentang tasawuf, tetapi bisa jadi ruhaninya sampai pada Allah.
Orang-orang tua yang tulus mencarikan rejeki untuk anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Meskipun anaknya kuliah dan master dalam bidang ketasawufan, belum tentu dia bisa mengalahkan kesabaran bapak-ibunya.
Nah menurut saya, itu yang membuat Imam al-Ghazali mengatakan, sesungguhnya yang disebut ilmu ladunni dalam definisi luas, itu ya semua bentuk kesadaran batin yang mengantarkan orang untuk konsisten kembali kepada Allah.
Termasuk sabar, sebenarnya bagian dari mawahid. Kalau orang tidak diberi kesadaran ya nggak akan bisa.
Jadi kalau hadits Rasul mengatakan idza ahabballahu ‘abdan ibtalaahu wa idzabtalaahu shobbaraahu. Kalau Allah sayang kepada seorang hamba-Nya, maka ia akan dicoba, tapi ia dijadikan sabar oleh Allah. Kalau sudah sabar, innallaha ma’a al-shabirin.

Bagaimana anda memaknai tugas sebagai guru, dalam sistem pendidikan yang sebenarnya membuat para guru hanya fungsional, cari pekerjaan?
Ya benar. Dan saya tahu kita mengerti benar bagaimana hakikat mendidik dalam Islam. Tentu saja Sayyidina Ali mensyaratkan ada keikhlasan, tapi ya bagaimana wong sekarang ini anak-anak kuliah itu nyari nilai. Nah itu kan masalahnya.
Ya. Dan ketika masuk harus diabsen, sehingga absen itu lebih penting dari ilmunya kan.
Saya kira perjuangan yang sangat berat bagi orang yang memahami benar posisi pendidik, akan sepakat dengan Imam al-Ghazali di kitab Risalah, bahwa sesungguhnya pendidik itu seperti dokter, dan anak-anak itu pasien yang mengalami sakit. Yakni sakit ruhani yang terjadi karena pengalaman-pengalaman negatif setelah fitrah. Karena fitrah itu suci.
Imam al-Ghazali mengatakan kesucian fitrah itu bima’na ahlul ma’rifah.. Bahkan semua orang menurut Imam al-Ghazali punya kemungkinan untuk ma’rifat, tentu dalam skala yang berbeda, dan kualitas berbeda. Tetapi karena kemudian tarikan nafsu, syahwat, ghodlob, ketertarikan dunia, dsb membuat noktah-noktah hitam semakin banyak.
Ini membuat orang terjebak dalam sakit, dan tidak seorangpun lepas dari penyakit ruhani itu. Termasuk sang guru.
Maka sebenarnya guru harus belajar menyembuhkan dirinya. Dan dia harus punya guru, karena kalau dia nggak punya guru, konsultasinya sama siapa. Karena orang yang tidak punya guru akan cenderung menyebut baik dirinya.
Dan tentu saja, pengalaman sebaik-baiknya dari eksperimentasi sendiri, itu tidak akan lebih baik dari kesimpulan yang diambil dari sekian ribu guru yang sudah terwarisi, dan sudah disarikan dalam tradisi thariqah.
Saya tetap mengatakan bahwa seharusnya kalau kita bicara tasawuf yang hakiki, pasti tidak ada jalan selain thariqah, dan harus ada mursyid. Kalau kita bicara tentang posisi guru yang hakiki ya mursyid thariqah saya kira. Hanya persoalannya, mencari mursyid yang hakiki juga tidak mudah.
Tentang mursyid itu saya kira berat sekali persyaratannya. KH Hasyim Asy’ari misalnya dalam ad-Duratul Muntatsirah, memberi syarat mursyid itu harus mutabakhir, ilmunya melaut. Dia harus ahli fiqh, tafsir, hadist, dan syarat yang paling berat adalah dia harus waashil ilallah (sudah sampai kepada Allah).
Kalau dia tidak menguasai fiqh, tafsir, hadist, dan tidak waashil, KH Hasyim menyatakan, berada diluar thariqah lebih baik daripada didalam thariqah (tidak perlu jadi Mursyid).
Tapi kalau ketemu orang seperti itu, maka didalam thariqah  (tetap menjadi murid thariqah saja) lebih baik daripada diluar thariqah. Hanya bagi saya, meskipun ini belum ada penelitian, tapi saya sangat yakin, bahwa guru sufi, saya tidak pernah menemukan guru sufi yang tidak cerdas. Jarang sekali ada mursyid yang tidak kokoh dalam berbagai keilmuan.

Apakah guru sekolah bisa menjadi mursyid?
Nah persoalannya itu. Apakah guru dalam pendidikan formal bisa menjadi mursyid?
Terlalu berharap banyak kalau kita memberi syarat seperti itu. Guru itu bisa konsisten dengan standar akhlak yang standar saja, itu sudah baik. Guru itu bisa memberi contoh untuk tidak rakus ketika makan, tidak gampang marah, benar-benar berfungsi sebagai bapak bagi anak didiknya, itu sudah bagus.
Kalau kita tuntut untuk menjadi mursyid, itu terlalu tinggi. Meskipun saya berupaya untuk melakukan itu. Tapi menurut saya butuh usaha keras.
Ada satu hal yang menarik, ketika saya memberikan pelajaran tentang pemikiran ulama Indonesia. Waktu itu selesai mengkaji tentang Sultan Hasanudin Banten. Saya ingin ngajak anak-anak ke Banten, supaya mereka tahu kondisi di lapangan. Ternyata, ketika saya pinjam kendaraan ke fakultas, fakultas nggak mau menfasilitasi.
Jadi saya berpikir, pendidikan itu tidak sekadar formalistik, dan tidak betul-betul membentuk keruhanian anak yang baik. Itu yang membuat saya mengambil keputusan, harus berjalan sendiri. dan karena itu akhirnya, forum tersebut saya alihkan ke rumah. Karena menurut saya kita tidak bisa berharap banyak dari model sistem sekolah.

7 Tanggapan
hm….
penting banget buat nambah wawasan…






bagus artikelnya




Baru sempat mampir nih!
Liat-liat dulu….
Situsnya bagus nih!
apalagi kalau disuguhi makan!
hehehehehhehehe
Kunjungan balik ya sob, ini blog saya
Salam kenal….







wah sangat bermanfaat sekali ini infonya
terima kasih atas infonya ini semoga bermanfaat bagti semuanya ….



[...] Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/ [...]
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar