Mereka yang dirindukan oleh Rasulullah

Kami telah menyampaikan dalam tulisan sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/22/sebaik-baik-manusia/ tentang kesalahpahaman ulama Ibnu Taimiyah yang  memandang Sahabat Nabi sebagai orang beriman terbaik, disusul Tabi’un kemudian Tabi’u at-Tabi’in, tidak mungkin muncul seorang yang lebih utama dari generasi tersebut di waktu kemudian.

Mereka mengomentari sebagai berikut
“Kenapa kita harus membenci Ibnu Taimiyah atau mengatakan paham beliau salah atau sesat. Itu hanya sebuah pemikiran bukan suatu yang prinsipil/mutlak.  Yang  mutlak adalah ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala  melalui sunnah-sunnah Rosul Shallallahu alaihi wasallam”
Kami tidaklah membenci ulama Ibnu Taimiyah dan juga tidak mengatakan bahwa beliau sesat.
Kami hanya menyampaikan beberapa kesalahpahaman-kesalahpahaman yang terjadi selama ini karena Allah ta’ala dalam rangka Ukhuwah Islamiyah.
Kita sebaiknya tidak boleh menghiraukan sebuah pemikiran atau pemahaman apalagi pemahaman tersebut dikatakan sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh, yang boleh jadi akan menjadi fitnah bagi para Salafush Sholeh,  jika pemikiran atau pemahaman tersebut justru menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.  Kita juga bisa menyaksikan bahaya pemikiran atau pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits yang dipahami oleh kaum Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme.
Permasalahannya adalah adanya segelintir saudara-saudara muslim kita, mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyah yang disangka mereka adalah pemahaman salafush sholeh sehingga mereka merasa paling benar dengan pendapat mereka.
“Sebaik-baik manusia” tidak terkait dengan kapan waktu seseorang itu dilahirkan.  Kita harus membuang jauh-jauh periodisasi antara salaf (terdahulu) dan khalaf (kemudian).
Apalagi Allah ta’ala telah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS Hujurat [49]:13 )
“Sebaik-baik manusia” terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Sufyan dari Maisarah dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu mengomentari ayat “Kalian adalah sebaik-baik umat yang diutus kepada seluruh manusia.” (QS.Ali Imran 110), kata Abu Hurairah; ‘Sebaik-baik manusia untuk manusia, adalah kalian membawa mereka dengan dirantai, hingga mereka masuk Islam.’ (HR Bukhari 4191). Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=45&ayatno=78&action=display&option=com_bukhari

Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata:
“Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam“
Begitu pula dengan Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Sahabat) maupun Tabi’ut Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Tabi’in adalah “sebaik-baik manusia” karena mereka termasuk manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan suatu ketika selepas shalat shubuh, seperti biasa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam duduk menghadap para sahabat.
Kemudian beliau bertanya, “Wahai manusia siapakah makhluk Tuhan yang imannya paling menakjubkan?”.
“Malikat, ya Rasul,” jawab sahabat.
“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka pelaksana perintah Tuhan?” Tukas Rasulullah.
“Kalau begitu, para Nabi ya Rasulullah” para sahabat kembali menjawab
“Bagaimana nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka?” kembali ujar Rasul.
“Kalau begitu para sahabat-sahabatmu, ya Rasul”.
“Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan. Mereka bertemu langsung denganku, melihatku, mendengar kata-kataku, dan juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kerasulanku.” Ujar Rasulullah.

Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam terdiam sejenak, kemudian dengan lembut beliau bersabda, “Yang paling menakjubkan imannya,” ujar Rasul “adalah kaum yang datang sesudah kalian semua. Mereka beriman kepadaku, tanpa pernah melihatku.
Mereka membenarkanku tanpa pernah menyaksikanku. Mereka menemukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membela aku seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku itu.”
Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wasallam meneruskan dengan membaca surat Al-Baqarah ayat 3,   “Mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakan sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka.”
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berbahagialah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan itu satu kali. “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku.” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan kalimat kedua itu hingga tujuh kali.
Rasululullah merindukan orang-orang beriman kepadanya namun tidak pernah melihatnya.  Mereka yang tidak melihatnya adalah kaum muslim sampai akhir zaman.
Bahkan Rasulullah menyampaikan bahwa para Nabi dan para Syuhada merindukan orang-orang yang akan bermunculan  sampai akhir zaman nanti  karena kedudukan (maqom) mereka di sisi Allah Subhanhu wa ta’ala. Para Sahabatpun akan mencintai mereka. Mereka adalah para Wali Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (maqom) mereka di sisi Allah Subahanahu wa ta’ala seorang dari Sahabatnya berkata,  “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah,  semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam  menjawab dengan sabdanya:  mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian Beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(QS Yunus [10]:62 )
Rasulullah telah menyampaikan bahwa akan selalu adanya kaum muslim sampai akhir zaman, di mana pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan Syuhada mereka adalah para Wali Allah atau kekasih Allah dengan berbagai tingkatan kedekatan hubungan dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kewalian atau al-walayah menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah kedekatan hubungan seseorang dengan Allah dan merasakan kehadiran dan karunia-Nya.
Al-walayah melahirkan relasi antara Allah dengan hamba dalam bentuk al-ri’ayah(pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Al-walayah merupakan makramat al-ilahiyyah (kemuliaan dari Allah) yang dianugerahkan kepada orang-orang tertentu yang menjadi pilihan-Nya.[1]
Al-Hakim al-Tirmidzi membagi al-walayah kedalam dua bagian, al-walayah al-’ammahb (kewalian umum) dan al-walayah al-Khas (kewalian khusus).
Kewalian umum mencakup semua orang yang beriman, beramal saleh, dan membenarkan para Rasul.[2] Kewalian ini oleh Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah dinamakan walayah al-tawhid (kewalian tauhid), yaitu kewalian orang-orang yang memurnikan keyakinannya dari menyekutukan Allah dengan memperolehanwâr al-mahabbah (cahaya cinta) yang disebabkan oleh ma’rifah kepada Allah; namun, jiwanya masih tetap dikuasai oleh dorongan rendah. Mereka yang berada pada tingkat kewalian umum ini disebut awliyâ` al-tawhid. Mereka masih jauh dari tingkat al-walayah al-Khasshah, kewalian khusus.[3]
Adapun kewalian khusus adalah ahbâb Allah (para kekasih Allah) dan ashfiyâ` Allâh (Manusia pilihan Allah), yaitu mereka yang dipilih oleh Allah untuk diri-Nya dan Allah pun membimbing mereka dengan karunia-Nya agar mereka lebih dekat kepada Allah.[4]
al-Walâyah al-Khâsshah dapat diraih oleh seorang hamba bila terpadu dua aspek, karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah. Aspek pertama merupakan hak prerogatif Allah; sedang aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam pengabdiaannya kepada Allah.
Para wali itu memiliki maqâmat al-walâyah, yakni posisi atau kedudukan mereka dihadapan Allah yang diperoleh berkat al-Ibadat (pengabdian kepada Allah), al-mujahadat (perjuangan dalam melawan dorongan rendah), al-riyadlat (latihan kerohanian), dan al-inqitha’ ila Allah (mengorientasikan diri lahir batin kepada Allah).[5]
al-Hakim al-Tirmidzi membagi maqamat al-walayah ke dalam lima maqamat.Kelima maqamat itu adalah: al-muwahhidin,al-shadiqin, al-shiddiqin, al-muqarrabindan al-munfaridin.[6]
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah(kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali).[7]
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.[8] Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.[9] Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).[10]
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.[11] Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.[12]
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka.[13] Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl,menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.[14] Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).[15]
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin(martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka. hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.[16] Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujudseperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal).[17]
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.[18]
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).[19]
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmahberarti mahfudz (terjaga) kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.[20]
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘ishmah al-anbiya(‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Al-Hakim al-Tirmidzi berpendapat bahwa al-walayah (kewalian) sama dengan al-Nubuwwah (kenabian), keduanya memiliki al-khatm, yakni penutupan. Sebab itu di dalam Islam selain ada khatm al-anbiya, pamungkas para nabi juga adakhatm al-awliya, pamungkas para wali. Jika khatm al-anbiya merupakan pamungkas para nabi dan nabi yang paling sempurna sehingga nabi Muhammad saw. Disebut Sayyid al-Anbiya wa al-Mursalin, pemimpin para nabi dan rasul; maka khatm al-awliya merupakan penutup para wali dan wali yang paling sempurna.

Semoga dengan penjelasan dari kami ini semakin jelas bahwa sebaik-baik manusia tidak terbatas pada generasi Salafush Sholeh saja atau tidak terkait dengan kapan seseorang itu dilahirkan. Sebaik-baik manusia adalah muslim dan sebaik-baik muslim adalah muslim yang ihsan serta sebaik-baik muslim yang ihsan adalah yang selalu melihat Rabb, mereka adalah para wali Allah atau kekasih Allah, mereka yang dirindukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi dan para Syuhada
Uraian tentang wali Allah dalam tulisan pada
Walaikumsalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Sumber tulisan yang bercatatan kaki berasal dari
http://asepusmanismail.wordpress.com/2009/10/28/kepercayan-masyarakat-kepada-wali-dari-fenomena-sosial/
Berikut keterangan catatan kakinya

[1]Osman Ismail Yahya, dalam pengantar editor, Hakim al-Tirmidzi,Kitab Khatm al-Awliya (Beirut: al-Matba’ah al-Katulikiyyah,1965), h.112
[2] Al-Tirmidzi, ibid.,h. 112
[3] Abd. Al-Fattah ‘Abdullah al-Barakah,Al-Hakim al-Tirmidzi wa Nadhoriyatuh fi al-walayah, jilid 2, (Cairo: Min Mathbu’at Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1971), h. 76-7
[4] Al-Tirmidzi, loc.it.
[5] Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi, al-Luma’, ‘Abd al-Hakim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960M/ 1380H), h. 65
[6] Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah tidak memasukan al-muwahhidin (penganut faham tauhid) dalam pembagian maqamat al-awliya;karena al-muwahhidintermasuk dalam kewalian umum; sedangkan pokok bahasan ini berkenaan dengan kewalian khusus. Lihat Barakah, op.cit.,h.253
[7] Abd al-Fattah ‘Abdullah Barakah tidak memasukan al-muwahhidin (penganut faham tauhid) dalam pembagian maqamat al-awliya;karena al-muwahhidintermasuk dalam kewalian umum; sedangkan pokok bahasan ini berkenaan dengan kewalian khusus. Lihat Barakah, op.cit.,h.253
[8] Barakah, op.cit.,h. 253
[9] Ibid., h. 82
[10] Ibid., h. 78
[11] Ibid., h. 80. Al-Tirmidzi, op.cit., h. 119-120.
[12] Ibid., h. 139
[13] Barakah, Ibid.,h. 120
[14] Al-Tirmidzi., op.cit.,h. 331
[15] Barakah, op.cit., h.78
[16] Al-Tirmidzi., op.cit h. 112
[17] Ibid.,h.331
[18] Barakah, op. cit.,h. 343
[19] al-Tirmidzi, op.cit.,h. 112
[20] Ibid.,h. 58-9

6 Tanggapan
USTADZ ada kabar baru ana ikut sedih guru habib diperbincangkanhttp://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183-habib-munzir-berdusta-atas-nama-imam-as-syafii tolong di buat sanggahan orang ini biar dapat pencerahan ………



mutiarazuhud
Alhamdulillah, dengan adanya perbincangan tersebut justru mereka memperlihatkan bahwa mereka memahami perkataan Imam As Syafi’i rahimahullah atau memahami perkataan ulama salaf yang sholeh atau memahami Al Qur’an dan Hadits secara apa yang tertulis. Inilah yang kami maksud mereka yang tidak membedakan antara terjemahan dengan makna sebagaimana yang kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/21/terjemahan-dan-makna/

Kami sudah mengirimkan komentar pada situs tersebut dalam 3 kali post karena panjang komentar di batasi.
Semoga ustadz Firanda mengijinkan untuk mereleasenya

Mohon dengan sangat jangan mempergunakan pendapat kami di bawah ini untuk mencela atau mempermalukan ustadz Firanda.
Insyaallah jika dalam 2×24 jam , ustad Firanda tidak memuat pendapat kami pada blognya maka akan kami akan kirimi peringatan secara pribadi melalu email yang berisikan tulisan tanggapan atas tulisan beliau tersebut yang memperlakukan tidak baik kepada Habib Munzir ~muslim yang masih “mendatangi” Rasulullah dalam arti sebenarnya melalui sarana yang dizinkan Allah ta’ala. Jika beliau tidak mengindahkan maka kami akan menyebarluaskan tanggapan kami.
Berikut isi komentar dari kami

Hal ini telah kami jelaskan dalam tulisan kami pada
Perkataan Imam As Syafi’i, “Aku benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya akhirnya dijadikan masjid, kawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat“. sama dengan perkataan Rasulullah “‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’. Aisyah berkata, Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” (HR Muslim 823) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=16&action=display&option=com_muslim
Oleh karena hadits ini menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud. Jadi makna hadits tersebut yang terkait dengan kaum Yahudi dan Nasrani adalah larangan menyembah kuburan. Termasuk kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani membuat gambar-gambar atau patung-patung pada kuburan untuk penyembahan. Hal ini terurai pada hadits-hadits yang lain.
Imam As Syafi’i rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat” maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang melakukannya walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah radiallahu anha “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” maknaya Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada kuburan Beliau menghindari fitnah terhadap yang bersujud maupun orang yang lain yang melihatnya walaupun di hati yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Begitu pula penetapan hukum perkara sebagaimana yang dikatakan Imam As Syafi’i “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid” maknanya “makruh jika seseorang bersujud pada makam walaupun diniatkan sekedar penghormatan untuk menghindari fitnah dari orang yang melihatnya”
Jadi tidk ada kaitannya dengan kegiatan membangun masjid sebagai makna yang kita kenal pada masa sekarang.
Begitupula dengan larangan mendirikan atau membangun masjid di atas kuburan adalah larangan mendirikan atau membangun masjid di atas kuburan sehingga kuburan tertutupi kecuali tidak diketahui bahwa di tanah tersebut pernah ada kuburan yang mana batas-batasnya sudah tidak dikenali
Oleh karenanya kuburan harus dengan mudah dikenali batas-batasnya.

“Batas kuburan” atau batas tanah yang dinamakan kuburan
Batas yang dinamakan kuburan adalah tegak lurus dari dalam liang lahad/kubur ke atas.
Untuk membedakan tanah bukan kuburan dengan kuburan dengan cara membentuk undukan yang rata (ukuran sejengkal) tanpa membentuknya seperti menyerupai tubuh atau bentuk lainnya.
Boleh meletakkan batu atau patok di sejajar posisi kepala ahli kubur.
Undukan tanah ini untuk menjelaskan “batas kuburan”, menghindari terinjak atau duduk di atas kuburan (“batas kuburan”)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Meratakan dalam bentuk undukkan yang rata namun jangan membentuknya seperti yang dilakukan orang-orang romawi

12.86/1608 Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir Ahmad bin Amru Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin Harits -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa’id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Amru bin Harits -sementara dalam riwayat Abu Thahir- bahwa Abu Ali Al Hamdani telah menceitakan kepadanya -sementara dalam riwayat Harun- bahwa Tsumamah bin Syufay telah menceritakan kepadanya, ia berkata; Kami pernah berada di negeri Romawi bersama Fadlalah bin Ubaid, tepatnya di Rudis. Lalu salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia, maka Fadlalah bin Ubaid pun memerintahkan untuk menguburkannya dan meratakan kuburannya. Kemudian ia berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakan kuburan.” (HR Muslim 1608)

Hal yang dilarang dilakukan di atas “batas kuburan” atau dikenal sebagai “kuburan” adalah
Mengapurnya atau menghiasnya sehingga menimbulkan kesombongan,
Membuat bangunan atau menutupi dengan bangunan/semen/lantai
Membuat patung, bentuk, gambar-gambar di atasnya
Duduk atau menginjak
Mendirikan/menjadikannya masjid (tempat sujud) maksudnya menyembah kuburan atau bersujud kepada kuburan walaupun diniatkan sekedar penghormatan. Hukumnya makruh untuk menghindari fitnah yang melihatnya

12.88/1610. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya. Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq semuanya dari Ibnu Juraij ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan hadits semisalnya. (HR Muslim 1610)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”

43.355/3584. Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha; Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan sebuah gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang didalamnya ada gambar. Lalu keduanya menceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: Sesungguhnya mereka, apabila ada orang shalih dari kalangan mereka yang meninggal dunia, mereka dirikan masjid (tempat sujud/menyembah kuburan) di atas kuburannya dan membuat patung dari orang yang meninggal itu. Mereka itulah seburuk-buruk makhluq disisi Allah pada hari qiyamat. (HR Bukhari 3584)

12.90/1612. Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya adalah lebih baik baginya daripada ia harus duduk di atas kuburan. Dan telah menceritakannya kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ad Darawardi -dalam jalur lain- Dan telah menceritakannya kepadaku Amru An Naqid Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubaidi Telah menceritakan kepada kami Sufyan keduanya dari Suhail dengan isnad ini, hadits yang semisalnya. (HR Muslim 1612)
Di atas “batas kuburan” diperbolehkan atap bangunan sebagaimana kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didalam sebuah ruangan yang beratap.
Diluar “batas kuburan” boleh kita duduk, menginjak atau mendirikan bangunan disekelilingnya sebagai tanda atau pembatas.
Pesan guru kami, hakikat tidak boleh menutupi “batas kuburan” dengan bangunan/semen/lantai adalah diibaratkan tidak “menyulitkan” ahli kubur bangkit dari kuburnya di kemudian hari . Namun ingat ini hanya ibarat atau seolah-olah saja sedangkan bagaimana persisnya kejadian di kemudian hari hanya Allah ta’ala yang tahu. (Wallahu a’lam)



alhamdulillah bang Zon …….semoga mereka mendapat hidayah Alloh …



pakbr kak zon?



Alhamdulillah artikel tsb dah sirna …….



mutiarazuhud

Alhamdulillah,
yup artikel yang meghujat Habib Munzir dari websitehttp://www.firanda.com akhirnya diturunkan walaupun tidak ada pesan apapun dari ust Firanda
=====
23 September 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar