Saudara-saudaraku kaum Wahabi/Salafy melakukan pemahaman Al-Qur’an dan hadits menggunakan metode pemahaman secara harfiah, tekstual, secara tersurat atau secara apa yang tertulis. Mereka melakukan metode pemahaman seperti ini dengan maksud menerima apa adanya nash-nash Al-quran dan hadits tanpa dicampuri akal.
Padahal dalam bahasa Arab ada yang dinamakan ilmu Balaghah. Al-Quran dan hadits mengandung banyak hikmah atau pemahaman yang dalam atau tersirat.
“Demikianlah (kisah ‘Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Qur’an yang penuh hikmah. (QS Ali Imran [3]: 58)
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 269)
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hikmah. (QS Yunus [10]: 1)
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS Al Isra [17]:39 )
“Demi Al Quraan yang penuh hikmah” (QS Yaasiin [36]: 2)
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” (QS Az Zukhruf [43]:4 )
Sehingga apa yang terjadi dengan saudara-saudaraku kaum Wahabi/Salafy dalam memahami Ar-Rahman ‘Alal ‘Arsy Istawa (QS Thaaha: [5]:1 ) yang mereka gunakan sebagai petunjuk bahwa Allah ta’ala bertempat di atas ‘Arsy. dan ‘Arsy adalah tempat yang paling tinggi. Sehingga bagi mereka, Allah ta’ala itu jauh tinggi di atas.
Sehingga dengan i’tiqad / keyakinan seperti itu akan menyulitkan mereka mengamalkan apa yang dianjurkan Rasulullah yakni “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya“
Hal ini terjadi pula dikarenakan mereka anti dengan Tasawuf dalam Islam , dan mempermasalahkan istilah “Tasawuf” , juga selalu mempertanyakan apakah Tasawuf diamalkan Rasulullah dan para Salafush Sholeh.
Tasawuf itu cuma istilah dan penamaan, siapapun dapat menggantinya dengan nama atau istilah yang lain, pada hakekatnya adalah
Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”
Kami hanya mentaati dan mendalami perintah Rasulullah saw yakni “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya”
Dengan berupaya dan mengharapkan pertolonganNya, kami menempuh jalan (tarekat/manhaj) agar kami dapat mengenal Nya (ma’rifatullah) dan dekat denganNya untuk dapat setiap keadaan dan setiap melakukan perbuatan/ibadah seolah-olah melihatNya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan“.(QS Al Maaidah [5]:35 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ” ( Al Baqarah: 186).
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Dengan keadaan seolah-olah melihatNya pada setiap melakukan perbuatan/ibadah maka semua kewajiban dapat dilakukan dengan segala kesenangan sebagai perwujudan mencintai Allah ta’ala dan rasa bersyukur.
Dari Anas Ra, Rasulullah saw berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah saw sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa”
“Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Jika merasa bahwa Allah ta’ala begitu jauh tinggi di atas maka (sebagai contoh) ketika mendirikan sholat, kemungkinan besar tidak dapat merasakan kedekatan atau perjumpaan dengan Allah atau Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin (sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin) sehingga ibadah sholat bagi mereka yang tidak merasakan kedekatan, bisa jadi sekedar rutinitas atau sekedar melepas kewajiban. Mereka melakukan ibadah ketaatan / kewajiban karena terpaksa bukan karena mencintai Allah ta’ala.
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa” (QS Ar Ra’d [13]:15 )
Katakanlah: “jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At Taubah [9]:24 )
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai Allah SWT dan berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.”
Selengkapnya tentang Zuhud silahkan baca tulisan pada
Wassalammualaikum Wr Wb
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
2 Tanggapan
pada 20 Oktober 2010 pada 7:00 pm | Balassusilo
Allah beristiwa di atas ‘ars-Nya, dan dia sangat dekat.. lebih dekat dari urat nadi kita.. Kami menerimanya sebagaimana yang Allah terangkan. Dia di atas ‘arsy, dan dia dekat dengan kita. Hal itu mudah dan bukan mustahil bagi Allah, karena Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu.. Orang yg mengagungkan akal mungkin akan menolak yg seperti ini, bagaimana dikatakan dekat smentara di sisi lain Dia berada di atas ‘ars? Tapi, orang yg beriman tentu akan membenarkan apa yang dikabarkan dari Rabb-Nya, bahwasany Ia Maha Tinggi di atas ‘arsy dan Ia juga sangat dekat dengan hamba-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah karena Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu, meskipun akal-akal manusia tdk mampu untuk menjangkaunya..
pada 20 Oktober 2010 pada 8:50 pm | Balasmutiarazuhud
Nash-nash Al-Qur’an dan Hadits saling menerangkan. Tidak dapat menterjemahkan apa adanya khususnya pada ayat mutasyabihat (maknanya lebih dari satu). Apalagi menterjemahkan hanya pada satu ayat tanpa memandang ayat yang lain.
Allah taa’la ada sebelum ada sesuatu selainNya
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar