Jika itu baik

Kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) adalah kaidah yang menimbulkan friksi (gesekan) dalam kehidupan beragama umat muslim. Dikarenakan berpegang kepada kaidah tersebut sebagian umat muslim tidak menyukai keadaan setiap bulan Rabiul Awal, di masa banyak umat muslim memperingati Maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Setelah dikaji lebih lanjut ternyata tidak ada dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang dapat mendukung kaidah tersebut. Tampaknya kaidah tersebut hanyalah perkataan atau pendapat pribadi semata.
Ada sebuah perkataan Ibnu Katsir yang persis sama dengan kaidah diatas yakni dalam tafsir beliau ketika menjelaskan QS An-Najm ayat 38 dan 39 namun perkataan itu adalah pendapat beliau bahwa para sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“. Sama sekali beliau tidak bermaksud membuat kaidah apalagi ayat yang dijelaskan/ditafsirkan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kaidah di atas
Ada yang mendekati kaidah itu seperti,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
atau
“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Namun keduanya menjelaskan bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasulullah, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya.
Kesimpulannya, kaidah tersebut tidak dapat kita gunakan sebagai landasan (hukum) melakukan atau tidak melakukan sebuah amal perbuatan.
Pada hakikatnya, amal kebaikan (amal sholeh) adalah amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah (Hadits) walaupun amal perbuatan tersebut belum dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat. “Tidak bertentangan” artinya sejalan atau “tidak menyalahi”
Pendapat Imam Syafi’i –Rahimullah-
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Kita harus berhati-hati berpegang pada sebuah kaidah yang tidak landasannya, apalagi digunakan untuk melarang amal perbuatan seseorang karena kewajiban, batas/larangan dan pengharaman adalah ketetapan Allah Azza wa Jalla.  Jika ulama hendak menetapkan (fatwa) untuk perkara baru sebagai kewajiban, batas/larangan dan pengharaman adalah merupakan “turunan” dari ketetapan Allah ta’ala
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Jika membuat sebuah kaidah sebagai sebuah batas/larangan dan tidak berdasar Al-Qur’an maupun Hadits, sama saja menganggap Allah ta’ala lupa. Naudzubillah min zalik
Berikut studi ulama(ahli ilmu)  lain terhadap kaidah di atas, apakah segala yang ditinggalkan (tarku) oleh Rasulullah maupun para Sahabat merupakan perkara buruk ?
Seringkali kalangan yang mengaku berpemahaman serupa dengan pemahaman Salafush Sholeh memulangkan persoalan bid’ah pada semboyan: lau kana khairan lasabaquna ilaihi(andai hal itu baik niscaya mereka Nabi, para sahabat dan ulama salaf telah melakukannya).Logikanya:- Kalau hal itu baik tentu telah mereka kerjakan.- Ternyata mereka tidak melakukannya. Berarti hal itu tidak baik.
Kesimpulannya segala yang ditinggalkan (tarku) oleh para ulama pendahulu berarti tidak baik. Sering diistilahkan dengan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim.” Ini adalah kaidah yang diada-adakan dan baru muncul sekarang ini. Bukan termasuk dalil ijmal ushul fikih. Bukan kaidah aghlabiyah karena memang tidak ada furu’ fiqih yang bisa dimasukkan di dalamya. Tidak juga kaidah mukhtalaf sebab tidak ditemui para ulama memperselisihkan hal ini dalam kitab Qawaidh Fikih.
Sebelumnya kita perjelas dulu definisi tarku:
أَنْ يَتْرُكً النَّبِيُّ صلّى الله عليه وآله وسلّم شَيْئاً لَمْ يَفْعَلْهُ أَوْ يَتْرُكَهُ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثٌ أَوْ أَثَرٌ بِالنَّهِي عَنْ ذَلِكَ الشَّيْءِ الْمَتْرُوْكِ يَقْتَضِي تَحْرِيْمَهُ أَوْ كَرَاهَتَهُ
Meninggalkannya Nabi SAW. atau para ulama salaf akan sesuatu dengan tanpa ada keterangan hadits atau atsar yang menjelaskan pelarangannya entah dalam kerangka haram ataupun makruh .
Sehingga ketika Nabi atau sahabat dan ulama meninggalkan minum khamr, judi, dll itu bukan tarku karena sudah jelas telah ada larangan tentang hal tersebut. Jadi yang dibahas di sini adalah tarku tanpa ada dalil pelarangan sebelumnya.
Sebenarnyalah perkara yang ditinggalkan oleh Nabi tidak berarti menunjukkan keharaman. Melainkan bisa karena berbagai faktor seperti:
Nabi SAW. meninggalkannya semata karena terkait adat (kebiasaan). Tersebut dalam hadits:
Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, lalu ada yang berkata: “itu biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali. Beliau ditanya: “apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: “Tidak, hanya saja daging biawak ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk memakannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Nabi SAW. meninggalkan sesuatu karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Seperti saat Rasulullah meninggalkan shalat tarawih justru ketika para sahabat berkumpul untuk mengikuti tarawihnya dari belakang.
Nabi SAW. meninggalkannya karena memang tidak terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu itu. Dahulu Rasulullah khutbah jum’at hanya di atas sebuah tunggul kurma. Tidak pernah terlintas sebelumnya oleh Beliau untuk membuat sebuah mimbar sebagai tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat mengusulkan untuk membuat mimbar, Nabi SAW. pun menyetujuinya sebab itu sebuah usulan yang baik dan membuat semua jama’ah dapat mendengar suara Beliau.
Nabi SAW. meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang Beliau katakan pada Aisyah:
“Seandainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka’bah dan kemudian aku bangun kembali dengan pondasi Ibrahim AS. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi begitu pendek.” (HR. Bukhari-Muslim)
Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak goyah.
Nabi SAW. meninggalkanya disebabkan sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan. Misalnya ibadah-ibadah tathawwu’ berupa sedekah, dzikir, Shalat Dhuha, tilawah Qur’an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk dalam keumuman QS. Al-Hajj: 77

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Dan lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung.
Nabi SAW. tidak melakukan Shalat Dhuha setiap harinya. Itu bukan berarti Beliau ingin memberitahukan bahwa Shalat Dhuha tiap hari itu haram. Begitu juga dzikir seusai shalat terkadang ditinggalkan lantaran perang, menunaikan hak kaum muslimin, dan sebagainya. Ini pun tidak berarti dzikir setiap kali selesai shalat adalah haram.
Nabi SAW. meninggalkannya karena lupa. Suatu waktu Rasulullah terlupa dalam shalat. Lalu ditanyakan kepadanya:
“Ya Rasulullah apakah telah terjadi sesuatu dalam shalat? Beliau berkata: ‘Apakah itu?’ Mereka menjawab: Baginda shalat begini dan begitu. (Ibnu Mas’ud berkata) Kemudian Beliau merapikah kedua kakinya dan menghadap kiblat, sujud dua kali kemudian salam,setelah itu Beliau menghadap orang-orang dan bersabda: ‘Sesungguhnya jika terjadi sesuatu dalam sholat maka akan aku beritahukan padamu. Tapi aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, bisa lupa seperti kalian. Maka apabila aku lupa ingatkanlah aku dan apabila seseorang di antara kamu ragu dalam sholatnya hendaknya ia meneliti benar kemudian menyempurnakannya lalu sujud dua kali.” (HR. Bukhari-Muslim)
Nabi SAW. meninggalkannya karena menjadi khususiyah Beliau. Seperti sikap Rasulullah yang meninggalkan harta shadaqah, bersamaan shadaqah dianjurkan bagi kaumnya.
Penyebab kaidah tarku dikatakan tidak mu’tabar untuk beristidlal ada beberapa landasan: Dalam ushul fikih, dalil ijmal yang berfaedah menunjukkan keharaman hanya 3 macam: 1. Lafadz nahi. Seperti (ولا تقربوا الزنا) dan (ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل).2. Lafadz tahrim. Seperti (حرمت عليكم الميتة).3. Lafadz yang mencela perbuatan/ancaman siksa. Seperti (.(من غش فليس مناTampak bahwa tarku sama sekali tidak termasuk dalam dalil ijmal dilalah haram dalam ushul fikih.
Dalam QS. al-Hasyr: 7 disebutkanوَمَا آتَاُكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”Tidak ada kalimat “وما نهاكم عنه وما تركه فانتهوا”Jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasul, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya.
Dalam HR. Bukhari tertulis:ما أمرتكم به فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah.”Tidak ditemui juga tambahan kata “وما نهيتكم عنه وما تركته فاجتنبوه
Para ulama ushul mendefinisikan sunnah dengan perbuatan, ucapan, maupun ketetapan Nabi. Tidak ada tambahan ‘tarku nabi’ karena hal itu memang tidak bisa dijadikan dalil.
Telah diketahui bahwa ‘tarku nabi’ bisa dimungkinan karena beberapa hal selain haram. Sedang dalam kaidah ushul setiap hal yang masih ihtimal tidak bisa dijadikan istidlal.
Bisa ditambahkan juga untuk para salafi yang selalu tekstual, mana ayat atau hadits yang bisa dipakai beristidlal Nabi meninggalkan sesuatu berarti haram?
Sekarang kita persempit lagi pembahasan tarku.
1. Tarku yang seketika itu diutarakan alasannya. Seperti dalam hadits biawak, perobohan ka’bah, dan lupanya Nabi. Tarku seperti ini meniadakan ihtimal sehingga sudah jelas hukumnya.
2. Tarku yang tidak diketahui alasan kenapa Nabi meninggalkannya. Inilah semurni-murninya pembahasan tarku. Dalam ranah ini tarku tetap tidak menunjukkan pada keharaman. Para ulama justru berpendapat bahwa tarku menunjukkan pada kebolehan dengan beberapa argumen:
Imam al-Asyqari berkata:
فكما أن من الأفعال أفعالاً جبلية اضطرارية لا أسوة فيها، فكذلك التروك العدمية جبلية اضطرارية، ولا أسوة فيها. وكما أن من الأفعال ما هو معلوم الحكم فيتأسى به، فكذلك في التروك. وكما أن مجهول الحكم من الأفعال يحمل على الندب أو الإباحة ويتأسى به على ذلك الأساس، فكذلك الكف والإمساك، يحمل مجهول الحكم منه على الكراهة أو الإباحة
Sebagaimana dalam perbuatan Nabi ada yang kodrati sebagaimana manusia biasa lainnya yang tidak harus dicontoh, maka dalam Nabi meninggalkan sesuatu juga ada yang kodrati dan tidak mesti dicontoh. Jika perbuatan Nabi yang diketahui ada hukumnya mesti diikuti, maka berlaku juga dalam meninggalkannya Rasul akan sesuatu. Jika perbuatan Nabi yang tidak diketahui hukumnya diarahkan pada hukum sunah dan mubah, begitu juga ketika Nabi meninggalkan diri dari sesuatu dan tidak diketahui hukumnya maka diarahkan pada makruh dan mubah.
Imam asy-Syaukani berkata:
تركه (ص) للشيء كفعله له في التأسي به فيه
Meninggalkannya Nabi akan sesuatu sama hukumnya dengan melakukannya Nabi akan sesuatu dalam hal ditaati oleh kaumnya.
Al-Jashshash berkata:
نقول في الترك كقولنا في الفعل. فمتى رأينا النبي (ص) قد ترك فعل شيء، ولم ندر على أي وجه تركه، قلنا تركه على جهة الإباحة. وليس بواجب علينا إلا أن يثبت عندنا أنه تركه على جهة التأثم بفعله، فيجب علينا حينئذ تركه على ذلك الوجه حتى يقوم الدليل على أنه مخصص به دوننا
Kita membahas tarku nabi sebagaimana pembahasan fi’lu nabi. Ketika kita melihat Nabi meninggalkan sesuatu dan tidak tahu atas dasar apa Beliau meninggalkannya maka kita katakan: ‘Nabi meninggalkannya atas dasar hukum mubah (bahwa itu boleh ditinggalkan).’ Tidak wajib bagi kita untuk ikut meninggalkannya kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa hal itu ditinggalkan karena berdosa jika dilakukan. Maka saat itu wajib bagi kita untuk ikut meninggalkannya sampai ada dalil lain yang menegaskan bahwa itu merupakan khususiyah Nabi.
At-Tilmisani berkata:
ويلحق بالفعل في الدلالة, الترك ، فإنه كما يستدل بفعله صلى الله عليه وآله وسلم على عدم التحريم يستدل بتركه على عدم الوجوب
Sama hukumnya antara dilalah fi’lu dengan dilalah tarku. Maka sebagaimana perbuatan Nabi dijadikan dalil bahwa hal itu bukan perkara haram, meninggalkannya Nabi juga dijadikan dalil bahwa hal itu bukan perkara wajib.”
Di sinilah letak kecerobohan menjadikan tarku sebagai dilalah haram. Sebab tarku Nabi yang tidak diketahui alasannya akan diarahkan pada mubah atau makruh. Sedang untuk menjadikan tarku sebagai dilalah haram butuh dalil lain yang memastikan keharamannya.
Memasukkan persoalan tarku dalam kaidah “al-Ashlu fil ‘Ibadah Haram” merupakan bentuk ketergesa-gesaan yang lain. Sebab yang dimaksud ibadah dalam kaidah itu adalah ibadah mahdhah. Padahal banyak persoalan yang dianggap bid’ah berupa ibadah ghairu mahdhah. Tambahan pula ibadah mahdhah banyak dijelaskan dengan keterangan yang sharih. Sehingga kaidah “al-Ashlu fil ‘Ibadah Haram” lebih tepat dikaitkan dengan kaidah “as-Sukut fi Maqamil Bayan” yang akan kita bahas nanti.
Yang selanjutnya menjadi persoalan yaitu klaim salafi atas pembagian hukum tarku menjadi dua berdasarkan motifnya:
1. Tarku yang tidak ada motif pendorongnya di masa Nabi, lalu menjadi ada di masa kemudian. Tarku seperti ini boleh dilakukan.
2. Tarku yang ada motif pendorongnya di masa Nabi dan Beliau tetap meninggalkannya. Sekira ada mashlahat tentulah Nabi akan melakukan tapi ternyata tidak. Berarti hal ini menunjukkan tidak diperbolehkannya melakukan hal tersebut.
Pembagian seperti ini antara lain dikemukakan oleh asy-Syatibi dalam al-I’tisham, lalu dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah dengan kasus bid’ah adzan ‘iedain (hari raya). Argumen Ibnu Taimiyah yaitu mengingat pada ‘iedain ada motif pendorong berupa seruan untuk beribadah shalat ‘ied, selain itu juga bisa diqiyaskan dengan adzan Jum’at. Maka ketika Rasul menyerukan adzan untuk shalat Jum’at dan di lain waktu shalat ‘ied tanpa adzan dan iqamah, berarti hal itu menunjukkkan bahwa meninggalkan adzan ‘iedain adalah sunnah.
Ini adalah contoh yang fasid. Kasus adzan ‘iedain bukan lantaran kaidah tarku. Melainkan masuk dalam pembahasan kaidah fikih:
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Arti dari kaidah itu bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya. Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.Bila diterapkan pada adzan ‘iedain, maka tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan adzan pada hari raya, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain.
Contoh lain dari kaidah ini seperti dalam QS. At-Taubah ayat 60:
اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِى الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan
Nash syariat menjelaskan kalau yang berhak diberi shadaqah ada 8 golongan. Maka yang didiamkan seperti orang-orang kaya, ataupun non muslim terlarang dari shadaqah.
Atau juga seperti dalam HR. Muslim:
اِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ اِنَّمَا هِىَ اَوْسَاخُ النَّاسِ وَ اِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَ لَا لِآلِ مُحَمَّدٍ
Sesungguhnya shadaqah itu kotoran manusia, dan shadaqah tidak halal bagi Muhammad, tidak juga bagi keluarga Muhammad.
Yang diterangkan adalah Nabi dan keluarganya, maka yang didiamkan (bukan keluarga Nabi) boleh menerima shadaqah.
Dan banyak contoh lain seperti ayat wukuf di ‘Arafah, maka tempat lain yang didiamkan tidak sah menjadi tempat wukuf. Begitu juga Nabi shalat Shubuh dua raka’at, puasa wajib di Bulan Ramadhan, berthaharah dengan air dan debu, maka hal-hal lain yang didiamkan terlarang untuk dilakukan. Setiap ada nash yang menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan. Ibadah mahdhah banyak diterangkan tata-caranya oleh nash sehingga yang didiamkan berarti terlarang untuk dilakukan. Di sinilah titik temu dengan kaidah “al-Ashlu fil Ibadah Haram.”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
18 Tanggapan
“LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) —> ini perkataan siapa ya??? hadits ap ulama yg berkata???
syukron



mutiarazuhud
Sudah disampaikan dalam tulisan, ada perkataan Ibnu Katsir, “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” dalam tafsir beliau ketika menjelaskan QS An-Najm ayat 38 dan 39 namun perkataan itu adalah pendapat beliau bahwa para sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“. Sama sekali beliau tidak bermaksud membuat kaidah apalagi ayat yang dijelaskan/ditafsirkan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kaidah di atas




afwan….kelewatan ana baca..
jazakalloh



kalau iya kita mengaku beriman harusnya jangan suka mendahului Allah dan Rasul-Nya, jangan suka melebihi suara Nabi sebaliknya hendaknya merendahkan suara.
orang beriman itu benci pada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. bukan malah sebaliknya.
orang beriman itu tidak suka menyembunyikan yang Haq, atau pura2 tidak tahu, apalagi menolak yang Haq.
orang beriman itu, beriman dengan totalitas, tidak menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya.



mutiarazuhud
Alhamdulillah, mas Andi silahkan beri komentar buat tulisan-tulisan yang telah kami sampaikan. Mas Andi ndak perlulah memberikan penilaian terhadap diri pribadi kami. Semoga mas Andi dapat mengerti. Sungguh akhir/output dari beragama adalah beraklakul karimah. Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).




smoga kita dapat berakhlakul karimah….
amiinn



menempatkan sesuatu itu “baik atau tidak” dalam konteks Din Al Islam haruslah menurut Allah dan Rasul Nya.
saya disini cuma mengajak untuk menimbang / menakar pemahaman kita dengan Qur’an, kalau kata Qur’an benar tentu selaku orang yang mau beriman pasti kita akan membenarkan, begitu pula ketika Qur’an menyatakan bathil/batal seharusnya orang yang beriman pun akan mengatakan bathil, bukan malah mencari2 dalil / mengakal – akali Qur’an sebagai pembenaran pemahaman kita.



mutiarazuhud

Kami setuju dengan apa yang telah mas Andi uraikan itu.
Kita tidak boleh melakukan pembenaran pemahaman kita, ini yang dinamakan berdalih.
Kita seharusnya sekedar menyampaikan kebenaran, ini yang namanya berdalil
Terima kasih



Maaf . kang …saya pernah baca dibuku KH. Ali Mustafa Ya qub , : bunyinya kira-kira – Dab yang dimaksud – Kadal Besar lidahnya tidak bercabang dan hanya hidup diPadang Pasir ‘ Wallahu a’alam. wassalam.



HARY PRIYATNA
Melihat perbedaan yang cukup bertolak belakang ini: satu pihak mengatakan bid’ah pihak lain mengtakan sunnah, mengapa tidak dilakukan tabayyun antara kedua belah pihak, dengan menggunakan rujukan masing-masing, dengan tujuan kemaslahatan dan bersatunya ummat Islam, bukan untuk menang-kalah.
Bukankah Al Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa apabila kamu berbeda pendapat, maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Hadits? Sehingga didapat suatu rujukan yang sesuai Al Qur’an dan Sunnah yang tidak membuat bingung ummat dengan perbedaan yang ada.
Kalau memang diperlukan, saya bersedia menjadi fasilitator dan mediator pertemuan ini. Qadarullah, saya juga mengenal Ustadz-ustadz yang sering menggunakan dalil Lau Kana khairan lasabakuna ilaih.

Jazakumullahu khoiran,
Hary Priyatna



mutiarazuhud
Alhamdulillah, mas Hary Priyatna, silahkan sampaikan kepada ustadz-ustadz yang sering menggunakan dalil Lau Kana Khairan Lasabakuna Ilaihi, apa saja dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang mendukungnya. Lalu kabarkan lewat kolom komentar ini. Terima kasih sebelumnya



kang saya mau tanya tentang / atau mencari padanan kata dari :
……….Hanyasanya……

76.4/6729.
Sesungguhnya Allah telah mengkayakan atau meninggikan derajat kalian dengan Islam dan dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Abdullah berkata, Di sini tertulis ‘Allah mengkayakan kalian’, padahal dengan redaksi ‘Hanyasanya ketinggian derajat kalian’, ini bisa dilihat dalam asli kitab yang berjudul al-I’tisham (karangan Imam Bukhari lainnya). == ada beberapa Hadits yang saya rubah jadi ……HANYA SAJA….tadinya.saya pikir ada kesalahan ketik…
bantuannya ditunggu………terimakasih ,wassalam.



mutiarazuhud
Innamaa diterjemahkan …..hanyasanya…. sepadan dengan hanyalah atau hanya saja (sebagai penguatan) dengan kata lain hadits tersebut dapat dimaknai bahwa Allah ta’ala mengkayakan atau memuliakan manusia hanyalah dengan Islam dan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” atau dimaknai tidak ada jalan selain dengan Islam dan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” manusia menjadi mulia. Manusia mulia dibandingkan ciptaanNya yang lain karena dikaruniakan akal (akal jasmani dan akal ruhani). Manusia yang dapat memuliakan dirinya adalah mereka yang dapat menggunakan akalnya di jalan Allah ta’ala dan RasulNya. Ingat akal jasmani = otak , akal ruhani yang disebut berakal (ulil albab). CiptaanNya yang lain seperti hewan mempunyai otak (akal jasmani) tapi tidak berakal (akal ruhani). Segala yang ruhani seperti akal, hati dan rasa berkaitan dengan ruhNya. Firman Allah ta’ala yang artinya “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku” (QS Al Hijr [15]:29 )



Kang ….terimakasih keterangannya , jadi andaipun saya merubah dari HANYASANYA menjadi HANYA SAJA tidak akan merusak makna ….apa betul demikian…..
Atau bagaimana baiknya…???…
Wassalam.



[...] Keduanya menjelaskan bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasulullah, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya. Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/ [...]



machsun amin

Assalamkum….
Bang zon, mohon pencerahannya mengenai paragrapg ini, saya masih bingung :
” Bila diterapkan pada adzan ‘iedain, maka tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan adzan pada hari raya, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain”.

Maksud dari kalimat : ” melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain” itu apa ? Mohon Penjelasannya.
Terima kasih
Wassalam



mutiarazuhud

Mas Macshun Amin, tulisan tentang tarku (segala yang ditinggalkan) oleh Rasulullah di atas bersumber dari penkajian ulama yang lain.
Namun kami akan mencoba menjelaskannya berdasarkan pemahaman kami

Pendapat ulama tersebut menyatakan “Bila diterapkan pada adzan ‘iedain, maka tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan (tarku) adzan pada hari raya, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain” adalah untuk menjawab pendapat ulama Ibnu Taimiyah yang mencontohkan penerapan kaidah ulama Syatibi bahwa
“Tarku (segala yang ditinggalkan) yang ada motif pendorongnya di masa Nabi dan Beliau tetap meninggalkannya. Sekira ada mashlahat tentulah Nabi akan melakukan tapi ternyata tidak. Berarti hal ini menunjukkan tidak diperbolehkannya melakukan hal tersebut.”
Pendapat ulama Ibnu Taimiyah mencontohkan “pada ‘iedain ada motif pendorong berupa seruan untuk beribadah shalat ‘ied, selain itu juga bisa diqiyaskan dengan adzan Jum’at. Maka ketika Rasul menyerukan adzan untuk shalat Jum’at dan di lain waktu shalat ‘ied tanpa adzan dan iqamah, berarti hal itu menunjukkkan bahwa meninggalkan adzan ‘iedain adalah sunnah”.

Kemudian ulama tersebut membantah contoh dari Ibnu Taimiyah bahwa kasus adzan ‘iedain bukan lantaran kaidah tarku (segala yang ditinggalkan).
Melainkan masuk dalam pembahasan kaidah fikih: “Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan” makna kaidah ini adalah

Bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya
bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan
Bila diterapkan pada adzan ‘iedain, maka tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan (tarku) adzan pada hari raya, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain. Jadi apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan atau larangan adzan pada ‘iedain



machsun amin
Syukron katsir mas atas penjelasan-nya…
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar