Mengapa umat Islam berselisih

Salah satu penyebab penghambat kemajuan umat Islam adalah bagaimana menyikapi perbedaan pemahaman agama (Al-Qur’an dan Hadits). Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Perbedaan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits adalah kehendak Allah ta’ala
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).(QS Al Baqarah [2]: 269)
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan“. [QS An Nahl [16]:93 )
Namun yang akan ditanyakan kepada kita adalah bagaimana kita menyikapi adanya perbedaan pemahaman.
Apakah perbedaan pemahaman akan disikapi dengan perselisihan , berbantah-bantahan, pertengkaran bahkan saling membunuh antara sesama saudara muslim yang telah bersyahadat seperti yang kita lihat pertikaian/peperangan antara kaum Syiah dan kaum Sunni?
Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dengan berjama’ah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)
Sebagian ulama lainnya bahkan belum dapat memahami maksud ”perbedaan umatku adalah rahmat” bahkan sebagian lainnya mengingkari sehingga secara tidak disadari mengingkari kehendak Allah.
Perbedaan pemahaman tidak dapat dihindari karena akan adanya kesalahpahaman. Kita paham yang pasti benar hanyalah Al Qur’an dan Hadits
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.”(HR.Muslim).
Pendapat, pemahaman, perkataan manusia selain kedua pokok itu, bisa diambil dan bisa pula ditolak
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.”
Bagi mereka yang biasa berdiskusi, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.”
Hakikat perbedaan pemahaman
Pada hakikatnya keadaan/kejadian (akwan) perbedaan pemahaman ini adalah dinding/hijab yang mendidingi kita dari Allah ta’ala. Padahal hanya Allah ta’ala inilah yang berbuat (berkehendak) dibalik hijab semua keadaan / kejadian ini.
Jadi barang siapa terbuka hijab niscaya dilihatnya bahwa yang berbuat (berkehendak) pada segala keadaan/kejadian (akwan) itu adalah Allah ta’ala sendiri.
Dan barang siapa tidak terbuka hijab, maka ia terdinding dari keadaan/kejadian ini, sehingga ia tidak mampu memandang fa’il (pelaku) yang sebenarnya yaitu Allah.

Hakikat fungsi pemahaman
Apapun dan bagaimanapun pemahaman, madzhab, manhaj, tharekat, halaqah, kelompok atau bentuk jama’ah minal muslimin lainnya, semua itu adalah alat, sarana, kendaraan atau wadah mencapai tujuan hidup kita.
Kemanakah tujuan hidup kita ? surgakah ?
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Surga adalah ciptaanNya sedangkan tujuan hidup kita adalah untuk sampai (wushul) kepada-Nya.
Benarkah yang kita tuju ?
Untuk itulah kita harus mengenal Allah (ma’rifatullah) karena Allah ta’ala yang menjadi tujuan kita.
Awaluddin makrifatullah, awal-awal agama ialah mengenal Allah
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah.
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )

Bagaimanakah cara mencapai tujuan ?
Pemahaman, madzhab, manhaj, tharekat, halaqah, kelompok atau bentuk jama’ah minal muslimin lainnya, semua itu adalah alat, sarana, kendaraan untuk melakukan perjalanan (suluk) agar sampai kepada Allah.
Bagaimanakah cara melakukan perjalanan (suluk) agar sampai kepada Allah adalah memahami dan mengamalkan tasawuf dalam Islam
Sebagian orang bertanya ”Apakah ajaran tasawuf ajaran Islam ?” atau ada ulama yang menyatakan “tasawuf bukan Islam” atau bahkan ”tasawuf sesat”. Pertanyaan dan pernyataan tersebut menunjukkan ketidaktahuan mengenai istilah tasawuf.
Pertanyaan yang benar seperti ”Bagian manakah dalam agama Islam yang menguraikan tentang tasawuf?”
Tasawuf dalam Islam adalah bagian atau salah satu pokok dari agama Islam yakni tentang ihsan atau tentang akhlak.
Tasawuf dalam Islam menguraikan bagaimana akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah ta’ala, bagaimana akhlak terhadap diri sendiri, bagaimana berakhlak terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, tumbuh2an, hewan dan lain lain, termasuk berakhlak terhadap sesama manusia.
Tasawuf dalam Islam menguraikan ma’rifatullah, bertalian dengan hati (tazkiyatun nafs), khauf, raja, khusyu, tawadhu, mujahadah, muraqabah, sabar, qanaah, ikhlas, tawakal, zuhud dan lain-lain
Kita untuk sampai kepada Allah harus menjadi muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) yakni muslim yang seolah-olah melihat Allah ta’ala atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan/perilaku.
Sikap sebagian muslim atas perbedaan pemahaman
Saat ini sebagian muslim, dengan perbedaan pemahaman disikapi dengan berselisih, saling mengaku paling benar dan yang lain salah, saling mensesatkan atau saling mentakfirkan sehingga pada hakikatnya mereka seolah berselisih pada ”kendaraan” yang digunakan pada jalan yang lurus sehingga melupakan tujuan atau melenakan untuk sampai kepada Allah.
Perhatikanlah di beberapa milis, blog, forum diskusi,  jejaring sosial dapat kita temukan diskusi tentang Islam namun diikuti saling hujat, saling berolok-olok,  mencela, menuliskan kata-kata yang tidak perlu, menilai pribadi seseorang dan perbuatan tercela lainnya. Mereka seolah tidak merasa malu dengan Allah ta’ala yang begitu dekat. Kalaupun mereka tidak merasa dekat dengan Allah ta’ala, setidak-tidaknya mereka yakin bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka.
Sebagian muslim lainnya salah bersikap terhadap hadits tentang 73 firqah. Bagaimana kita bersikap, silahkan baca tulisan pada
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka. ” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya setiap muslim yang telah bersyahadat dengan “sidqan min qalbihi“ (betul-betul keluar dari qalbu) berada pada jalan yang lurus. Jika diantara mereka ada melakukan perbuatan yang mengakibatkan kekufuran maka perlu kehati-hatian dalam memvonis kufur dan hakikatnya muslim yang melakukan perbuatan kekufuran berbeda dengan orang kafir (orang tidak bersyahadat / non muslim).
Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Vonis kufur (takfir) pada hakikatnya tidak dapat dikenakan pada suatu kaum/kelompok karena bisa saja seorang yang merupakan bagian dari kaum/kelompok tersebut ternyata sama sekali tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kekufuran.
Selengkap mengenai takfir (pengkafiran) silahkan baca tulisan pada

Wassalam
Zon di Jonggol, 16830
Catatan, contoh pemahaman Tasawuf dalam Islam
Mengenal Allah (ma’rifatullah)
Allah ta’ala mengabulkan doa manusia bukanlah karena doa manusia karena “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Al Hajj [22]:14 )
Pahami bahwa Allah ta’ala berbuat bukan dikarenakan/dipengaruhi ciptaanNya.

Allah ta’ala memberikan kebutuhan, keinginan ataupun cobaan bagi manusia yang mengaku sebagai hamba Allah, pada hakikatnya Allah ta’ala tidak mengukur atau mempedulikan bentuk, kadar ataupun jenis kebutuhan, keinginan ataupun cobaan tersebut.
Namun pada hakikatnya Allah ta’ala ingin tahu kemanakah hamba Allah tersebut berserah diri dalam menghadapi kebutuhan, keinginan atau cobaan tersebut.
Kemudian apakah hamba Allah tsb merasakan “bersama” Allah ketika kebutuhan dan keinginan itu terpenuhi atau cobaan tersebut teratasi ?

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar