Baha’iyah

Salah satu kekeliruan terjadi ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden RI. Beliau mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 69 Tahun 2000, Tentang pencabutan Keputusan Presiden RI No. 264 Tahun 1962, tentang larangan adanya organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge  (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i
Larangan terhadap organisasi-organisasi bentukan atau pendukung kaum Yahudi / Zionisme ditambah organisasi Baha’i  (organisasi yang berusaha menyatukan semua agama) dikeluarkan oleh Presiden I RI, Sukarno.
Menurut kabar, sesungguhnya “kejatuhan” Sukarno, salah satunya ditenggarai karena terbitnya Keppres No. 264 tahun 1962, yang “mengusik” kaum Yahudi dan menggerakkan “konspirasi”.
Sama pula dengan “kejatuhan” Suharto,  ada sebuah analisa bahwa kejatuhan Suharto (semula “a good boy” Amerika) karena adanya kemungkinan jika kekuasaan Suharto “diperpanjang” maka akan terjadi kebangkitan Islam di Indonesia. Untuk itu Rakyat Indonesia harus “diusik” dengan sesuatu.
Amerika mulai “terusik” oleh kelakuan Suharto, diawali pada tahun 1992, gerakan Non Blok putuskan untuk mengirim utusan Palestina ke negara-negara Arab adalah untuk langsung terlibat dalam negosiasi-negosiasi yang mendukung usaha Palestina memperoleh haknya kembali yang mana keputusan yang diambil oleh Ketua GNB – Presiden Soeharto mendapat dukungan dari Menlu Palestina Farouk Kaddoomi seusai sidang Komite Palestina GNB di Bali yang dalam hal ini menurutnya keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan Non Blok kepada rakyat Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan berusaha membuat warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite Palestina GNB terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia, Zimbabwe, Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh Indonesia.
Baha’iyah
(Sumber: I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, K.H. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru)
Kepercayaan Bahaiyah timbul dalam kalangan kaum Syi’ah Imamiyah di Iran pada abad ke 19. Ada seorang Syi’ah namanya Mirza Ali Muhammad (meninggal tahun 1853 M). Ia mendakwakan dirinya “Al Bab” dan pengajarannya awalnya dinamakan “Babbiyah”.
Dalam dakwahnya ini ia menerangkan bahwa agama yang tiga semuanya benar, semuanya datang dari Allah. Karena itu ketiganya harus disatukan, tidak ada Yahuidi, tidak ada Nasrani dan tidak ada Islam, yang ada ialah “Dinullah” (Agama Tuhan).
Ia menyeru manusia kepada memeluk “agama internasional”.
Fatwanya itu menimbulkan heboh di Iran, sehingga Mirza Ali Muhammad ini ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Syah di Tibriz pada tahun 1853M.
Sesudah itu murid dan penganut paham Mirza Ali Muhammad ini cerai-berai, berserakan. Ada yang ke Istambul, ke Adernah, ke Cyprus dan ke ‘Aka (daerah Palestina).
Diantara penganut paham Babbiyah ini ada seorang bernama Mirza Husein Ali Bahaullah di Aka Palestina (lahir 1817M dan meninggal 1892M). Ia mendakwakan dirinya wakil dari Mirza Ali Muhammad al Bab. Ia mengembangkan ajarannya di Aka sampai akhir umurnya
Wakil atau khalifah Mirza Ali Muhammad itu, yang bernama Mirza Husein ‘Ali Babaullah menyempurnakan pelajaran al Bab dan bahkan menukar nama mahzabnya dengan Bahaiyah, dibangsakan kepada dirinya yang bernama Bahaullah.
Jadi kalau tersebut dalam bukuk-buku agama ada nama-nama babbiyah, ada nama Bahaiyah maka itu adalah sama.
Sesudah Mirza Husein Ali ini meninggal tahun 1892 M, maka ajaranya diperluas oleh anaknya bernama Abdul Baha’, dan anaknya ini berjasa mengembangkan pahan Bahaiyah ke Eropa dan Amerika, sehingga sekarang paham Bahaiyah agak terdengar di gelanggang Internasional.
Dalam suatu siarannya, kaum Bahai mengatakan: “Sekarang kami sampaikan kepada saudara berita yang sangat baik. Bergembiralah bahwa Tuhan telah mengirimkan lagi kepada kita Matahari Kebenaran. Ia telah mewujudkan diri Nya dalam seorang besar untuk menyelamatkan kita dari semua kesengsaraan dan duka cita. Perwujudan Tuhan zaman ini bernama Bahaullah, yang berarti kemuliaan atau Cahaya Tuhan” (Lihat siaran ummat beragama Bahai IndonesiaJakarta).
Jelas dalam siaran ini bahwa kaum Bahai beri’tiqad (aqidah) bahwa Tuhan menjelma ke dalam tubuh Bahaullah, jadi ia adalah manifestasi dari Tuhan diatas dunia.
Nampak i’tiqadnya diambil dari kepercayaan Kristen atau kepercayaan Budha, yang mempercayai ada Tuhan yang batin dan ada bagiannya yang melahirkan diri.
Kaum Bahaiyah mengharamkan perang dengan senjata, walaupun perang itu untuk mempertahankan diri atau mempertahankan agama. Mereka hanya menganjurkan jihad dengan lisan saja.
Umpama dikatakan kepada kaum Bahaiyah, bahwa nabi Muhammad Saw,  acap kali perang dengan kafir Quraisy dan orang-orang yahudi, maka mereka menjawab bahwa hal itu dibolehkan pada zaman dahulu, tetapi pada zaman sekarang – abad sekarang ini – maka perang tidak dibutuhkan lagi.
Paham Inilah yang membawa terkenalnya paham Bahaiyah di Eropa dan Amerika, karena paham ini sesuai dengan selera kaum imperialis yang menjajah negeri-negeri Asia – Afrika.
Pada ketika itu kaum imperialis barat sedang menjajah hampir seluruh negeri Islam, dan ummat Islam di dunia sedang mempersiapkan perlawanan senjata dengan kaum imperialis untuk mengusir mereka.
Tiba-tiba datang kaum bahaiyah di Timur Tengah yang mengharamkan peperangan dengan senjata. Alangkah senangnya hati kaum imperialis ketika itu.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat, bahwa peperangan itu wajib dilakukan kalau kemerdekaan ummat Islam terganggu, kalau orang Muslim dijajah atau disiksa, kalau ummat islam diusir dari kampungnya, maka ketika itu wajiblah perang walaupun dengan senjata.
Firman Allah, “perangilah orang-orang musyrik seluruhnya, sebagaimana mereka memerangi kamu pula seluruhnya” (At Taubah : 36)
Jadi, berperang dengan senjata untuk mempertahankan diri adalah wajib menurut  i’tiqad kaum Ahlussunnah wal jama’ah, sesuai dengan ayat suci ini.
=====
10 Februari 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar