Pemahaman Salaf

Pemahaman kami adalah pemahaman Salaf.
Ada sesuatu kesalahpahaman dan kita temui dalam kehidupan beragama pada masa kini. Kesalahpahaman ini menimbulkan malapetaka berkelanjutan sehingga timbul perdebatan, perselisihan, pertengkaran  bahkan ada yang saling menghancurkan.
Kadang kita temui sebagian muslim berpemahaman bahwa yang mereka pahami adalah pasti benar karena mereka memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman Salaf.  Tentu yang dimaksud mereka dengan “Pemahaman Salaf” adalah “Pemahaman Salafush Sholeh” karena kita tahu bahwa orang salaf (terdahulu) ada yang baik (sholeh) dan ada pula yang buruk.
Keliru jika ada yang mengatakan bahwa pemahaman kami terhadap Al-Qur’an dan Hadits sesuai/sama/identik dengan pemahaman Salafush Sholeh.
Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) akan pemahaman mereka sesungguhnya.
Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, riwayat, lafadz, nash Al-Qur’an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.
Jadi setiap upaya pemahaman/pemkiran/pendapat seorang muslim bukan selalu mutlak benar , bisa saja salah.
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih
Hal ini ditunjukkan pula oleh sikap tawadhu dari Imam Madzhab yang empat bahwa jika kita menemukan kesalahan/perselisihan atas pemahaman/pendapat/pemikiran mereka maka kita diminta  kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
] يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا [
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri ( pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).
Pendapat/Pemahaman/Pemikiran seorang muslim bisa  benar dan bisa salah namun perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah yang pasti benar.
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).
Syaikh  Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan.:
“Tidak tercela orang yang menunjukkan madzhab salaf, menisbatkan dan menyandarkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima hal itu darinya, karena madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran” [Al-Fatawa 4/149]

Dari uraian di atas, dapat kita pahami letak kekeliruan perkataan Syaikh Ibnu Taimiyah.
Benar, bahwa tidak tercela menunjukkan, menisbatkan, menyandarkan kepada Salafush Sholeh.  Namun upaya mereka menyandarkan tersebut belum tentu atau pasti sebuah keberhasilan sehingga mendapatkan kebenaran.
Tetaplah apa yang dipahami oleh Syaikh Ibnu Taimiyah adalah pemahaman beliau sendiri dan tidak selalu identik/sama/serupa dengan pemahaman  Salafush Sholeh, karena bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi).
Sedangkan yang pasti benar hanyalah perkataan Allah swt dan RasulNya. Dengan kata lain setiap arti/makna/terjemahan, tafsir, pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits belum pasti benar, yang pasti benar adalah perkataan/lafadz/nash-nash dalam Al-Qur’an dan Hadits. Terjaganya Al-Qur’an, salah satunya dikarenakan ada yang selalu menghafal Al-Qur’an.
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu“. (QS Al Baqarah [2]:147 )
Oleh karenanya kita kaum muslimin harus dapat saling menghargai , dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) jika ditemukan perbedaan/perselisihan  pendapat/pemikiran/pemahaman.
Contoh paling baru bahwa adanya perbedaan pemahaman adalah perbedaan pemahaman antara Ustadz Ja’far Umar Thalib dengan Ustadz  Abu Bakar Baasyir, selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar