Terkait dengan agama

Seluruh perbuatan manusia harus terkait dengan agama
Allah ta’ala berfirman yang maknanya, “Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam) ” (QS Al Baqarah [2]:256).
Kaum liberalisme berpendapat bahwa tidak ada paksaan untuk beragama Islam.
Kaum Pluralisme berpendapat ada agama lain selain agama Islam.
Tidak ada paksaan namun pada ayat yang sama dijelaskan bahwa
“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (QS Al Baqarah [2]:256)
Dan Allah ta’ala telah mengilhamkan setiap jiwa manusia, (jalan) kefasikan dan ketakwaan
(jalan) kefasikan = Jalan yang sesat, ketakwaan = Jalan yang benar
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10)
Pilihan hanyalah beragama atau tidak beragama
Pilihan hanyalah menjadi muslim atau non muslim
Pilihan hanyalah bersyahadat atau tidak bersyahadat.
Dalam Al-Qu’an dan Hadits tidak pernah dikatakan agama Yahudi atau agama Nasrani, yang ada adalah kaum Yahudi dan Kaum Nasrani.
“Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka” (QS Ali Imran [3]: 19)
Sesungguhnya agama sejak nabi Adam a.s sampai Rasulullah hanyalah Islam, tidak berselisih jika orang-orang yang mengetahuinya.
Namun sayang sekali orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani tidaklah lagi dikatakan beragama karena mereka tidak menegakkan syahadat.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah swt. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah swt. menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah saw. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. ( QS Ali Imran [3]:81 )
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan“. (QS Al Baqarah [2]:140 )
Firman Allah ta’ala yang artinya
Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al Maa’idah [5]:68 )
“Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)
Walaupun mereka tidak dikatakan beragama, namun kita harus memperlakukan mereka secara baik dan adil sebagaimana perlakuan kita kepada ciptaanNya yang lain.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Mumtahanah [60]:8 )
Kode etik menghadapi kaum non muslim ada diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/10/03/etik-dengan-non-muslim/
Agama adalah apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla meliputi perkara kewajiban, batas/larangan dan pengharaman. Allah ta’ala tidak lupa. Inilah yang disebut amal ketaatan, perkara syariat, “urusan kami”.
Allah Azza wa Jalla telah menetapkan perkara kewajiban, larangan dan pengharaman sejak Nabi Adam a.s sampai dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” ( QS Al Maaidah [5]:3 )
Sebelum umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ada juga kewajiban berpuasa sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al Baqarah [2]:138 )
Amal perbuatan dikatakan sebagai amal kebaikan jika amal perbuatan tersebut sesuai atau tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman atau amal ketaatan.
Amal perbuatan kaum Nabi Musa a.s dikatakan sebagai amal kebaikan jika amal perbuatan tersebut sesuai atau tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman atau amal ketaatan yang termuat dalam kitab suci Taurat.
Amal perbuatan kaum Nabi Isa a.s dikatakan sebagai amal kebaikan jika amal perbuatan tersebut sesuai atau tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman atau amal ketaatan yang termuat dalam kitab suci Injil.
Amal perbuatan kaum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dikatakan sebagai amal kebaikan jika amal perbuatan tersebut sesuai atau tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman atau amal ketaatan yang termuat dalam kitab suci Al Qur’an dan dijelaskan dalam Hadits.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa amal kebaikan (amal sholeh) adalah amal perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman atau amal ketaatan yang termuat dalam kitab suci Al Qur’an dan dijelaskan dalam Hadits.
Jadi semakin jelas kesalahpahaman kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para Sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). Hal itu baik atau amal kebaikan tidak harus selalu terkait dengan dicontohkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ataupun para Sahabat.
Kesalahpahaman kaidah tersebut telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/2011/05/04/apa-kaitannya/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/2011/04/20/jika-itu-baik/
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
atau
“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Keduanya menjelaskan bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasulullah, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya atau yang tidak pernah dicontohkannya.
Namun untuk perkara amal ketaatan yakni meliputi kewajiban, larangan dan pengharaman wajib kita mengikuti apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berhati-hatilah dengan paham sekulerisme bahwa ada urusan atau perbuatan manusia tidak terkait dengan agama.
Seluruh urusan atau perbuatan manusia sebagai hamba Allah Azza wa Jalla harus terkait dengan Agama.
Manusia sebagai hamba Allah harus menjalankan agama atau menjalankan syariat atau syarat menjadi hamba Allah yakni menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya atau perkara amal ketaatan.
Jika syarat sebagai hamba Allah telah ditaati atau dilaksanakan maka lakukanlah segala amal kebaikan yakni segala amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Misalkan bekerja adalah hukum dasarnya adalah boleh. Akan menjadi amal kebaikan (amal sholeh) jika pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan Agama atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Contoh, jika bekerja dalam hal memproduksi atau menjual minuman keras maka pekerjaannya bertentangan dengan agama atau bertentangan dengan perkara syariat atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan hadiah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebuah minuman khamr, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,”Apakah aku harus menjualnya?”, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya”. Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?” Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, diharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi”. Laki-laki itu kembali bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan dengannya?” Beliau menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam selokan.” (HR Al Khumaidi dalam Musnad-nya).
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Telah diharamkan perniagaan dalam minuman keras (khamr).” (HR. Bukhari No. 2226, Abu Daud No. 3490, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10823)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhuma, dia mendengar bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata di Mekkah saat hari penaklukan kota tersebut, “Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan jual-beli khamr. (HR. Bukhari No. 2236, 4296, Muslim No. 1581)
Kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau benda] yang membawa kepada yang haram, hukumnya haram).
Jadi, meskipun hukum asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada yang haram.
Syarat penerapan kaidah ini ada dua;
Pertama, bahwa perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram.
Kedua, bahwa akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil syar’i (An-Nabhani, 2001:92).
Contoh penerapan, haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur –dan yang semacamnya– yang diketahui akan dijadikan khamr.
Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.
Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda,””Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).
Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234). Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.
Seluruh perbuatan manusia harus terkait dengan agama. Terkait dengan pilihan tidak bertentangan atau bertentangan dengan agama. Terkait dengan pilihan yang haq atau bathil. Tulisan terkait silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/21/2011/03/05/hakikat-manusia/
Jadi dari tulisan kami diatas maka kita dapat pahami perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak “. (HR. Bukhari Muslim)
“Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak“.
Maknanya yang tertolak adalah mengada-ada dalam agama atau amal ketaatan atau mengada-ada dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.
Oleh karenanya mereka yang mengada-ada kewajiban, larangan dan pengharaman tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits adalah mereka yang terperosok kedalam bid’ah dloalalah. Hal ini telah kami jelaskan dalam beberapa tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/04/terjerumus-bidah/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/05/membuat-perkara-baru/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/bidah-dalam-larangan/
Sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan dibolehkan selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak harus terkait dengan dicontohkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat. Hal ini telah kami jelaskan dalam beberapa tulisan pada
Imam as Syafi’i ~rahimullah membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh), dikatakan beliau sebagai, “apa yang baru terjadi dari kebaikan“
Imam Asy Syafi’i ~rahimullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Hukum asal amal ketaatan atau agama adalah haram/terlarang sampai ada dalil yang memerintahkan
Hukum asal segala amal perbuatan diluar amal ketaatan adalah boleh sampai ada dalil yang melarang. Jika tidak bertentangan dengan agama atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk amal kebaikan (amal sholeh)

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar