Tauhid Asma’ Wa Sifat maknanya beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam dengan Sunnahnya atau hadits.
Pada umumnya kita, kaum muslim tidak ada kesulitan dalam memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla yang termuat dalam Asma’ul Husna.
Asma’ul husna adalah nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berati yang baik atau yang indah jadi Asma’ul Husna adalah nama nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.
Asmaa’ul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.
Namun ketika kita memahami sifat-sifat Allah, telah terjadi salah pikir (fikr) atau salah paham yang dialami oleh segilintir ulama. Mereka menyampaikan kesalahpahaman dalam menjelaskan dan menguraikan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla. Hasil istiqro atau telaah mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits mengalami kesalahpahaman , pada hakikatnya karena mereka memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah (dzahir) atas lafadz-lafadz Al Qur’an dan Hadits yang menerangkan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla.
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Mereka yang salah pikir (fikr) atau salah paham menyampaikan kepada kami tentang i’tiqod mereka bahwa “Allah ta’ala punya wajah namun tidak seperti wajah makhlukNya, sebagaimana Allah ta’ala punya pendengaran dan penglihatan namun tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Kita dapat jumpai dalam Al Qur’an dan Hadits bahwa Allah ta’ala Maha Mendengar dan Maha Melihat”
Wajah, mata, tangan, kaki, bertempat, mempunyai bayangan adalah sifat bagi manusia bukanlah atau mustahil sifat bagi Allah Azza wa Jalla.
Termasuk mempunyai pendengaran dan mempunyai penglihatan bukanlah atau mustahil sifat bagi Allah Azza wa Jalla. Sifat Allah Azza wa Jalla adalah Maha Mendengar (As Sam’u) dan Maha Melihat (Al Basharu).
Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan pendengaran maupun penglihatan. Dia tidak membutuhkan apapun dari ciptaanNya termasuk tidak membutuhkan namaNya maupun af’al Nya atau perbuatanNya.
Andaikan mereka mau memahami dan mendalami apa yang telah disampaikan oleh para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang terurai dalam Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah yang terkenal dengan istilah “sifat wajib bagi Allah” , insyaallah mereka tidak terjerumus dalam kekufuran dalam I’tiqad. Tentang Aqidatun Khomsin , ada sedikit kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/lima-puluh-aqidah/ danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/10/nothing-likes-him/
“Sifat wajib bagi Allah” bukan berarti sebuah kewajiban untuk memahaminya. “Sifat wajib bagi Allah” adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan “Sifat mustahil bagi Allah” adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara jaiz / mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Dalam Aqidatul Khomsin atau Lima puluh Aqidah dijelaskan dengan Qiyamuhu bin Nafsi, Allah Azza wa Jalla, Maha Berdiri Sendiri tidak membutuhkan apa-apa pun dari makhlukNya termasuk “tempat” atau “Arsy” atau “langit” atau “kursi” atau pendengaran atau penglihatan, sebaliknya kita membutuhkan Allah Azza wa Jalla.
Aqidatul Khomsin atau lima puluh aqidah adalah hasil istiqro atau telaah terhadap Al Qur’an dan Hadits tentang sifat-sifat Allah ta’ala dan RasulNya yang dilakukan oleh ulama-ulama pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Mereka ulama-ulama yang sholeh atau ulama yang baik atau ulama yang ihsan artinya ulama yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan sehingga mereka berkompetensi menguraikan tentang sifat-sifat Allah ta’ala dan RasulNya yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
Ayat-ayat dalam kitab suci Al Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat mukhkamat (dari kata al muhkam , yang jelas maknanya) adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah ta’ala:
“laysa kamitslihi syay-un”, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS Asy Syuura [42]:11)
“walam yakun lahu kufuwan ahad”, “dan tidak ada seorangpun yang setara/serupa dengan Dia” (QS Al Ikhlas [112]:4 )
“hal ta’lamu lahu samiyyaan”, “Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama/serupa dengan Dia (yang patut disembah)” (QS Maryam [19]: 65 )
Ayat-ayat mutasyabihat (dari kata al mutasyabih, yang tidak jelas maknanya) adalah ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat.
Seperti firman Allah ta’ala ,
“arrahmaanu ‘alaal ‘arsyi istawaa” , “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha [20]: 5 )
Istawaa yang arti umumnya bersemayam namun jangan dimaknai atau dipahami sebagai bertempat karena sifat tempat , mustahil bagi Allah Azza wa Jalla. Mustahil Allah Azza wa Jalla membutuhkan tempat. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/06/10/mereka-masih-bertanya/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/27/bukan-tempat-baginya/
Jada pada prinsipnya tidak semua terjemahan lafadz Al Qur’an dan Hadits itu serupa dengan maknanya. Inilah dikenal juga dengan makna majaz. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/23/makna-majaz/
Sebagaimana yang disampaikan sebagai berikut,
Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang sahabat Rasulullah yang buta matanya. Akan tetapi kekurangan tersebut tidak menjadikannya terhalang untuk menerima cahaya Islam. Justru ia termasuk seorang sahabat yang gemar beribadah.
Setelah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Isra [17]:72 , waman kaana fii haadzihi a’maa fahuwa fiil-aakhirati a’maa wa-adhallu sabiilaa, “Barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”
Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat ra yang tuna netra itu pergi menghadap Rasulullah dengan wajah murung. Ia menyangka pengertian “buta” dalam ayat itu adalah buta mata.
“Ya Rasulullah, ayat itu sungguh membuat hatiku sedih. Aku sudah rela dengan kebutaan di dunia ini, tapi aku tidak sanggup dengan kebutaan di hari akhirat kelak.“
Sebelum Rasulullah menjawab pengaduan tersebut Allah Ta’ala berkenan menurunkan ayat lainnya yang menjelaskan maksud ayat di atas. ”fa-innahaa laa ta’maal-abshaaru walaakin ta’maal quluubu allatii fiishshuduuri“… sesungguhnya bukan buta mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [2]: 46).
Lalu Rasulullah berkata: “Ya Ummu Maktum, apakah kamu tidak ridha kalau kamu orang pertama yang melihat zat Allah di hari kiamat kelak.“
Jadi dapat kita ketahui bahwa “waman kaana fii haadzihi a’maa” yang terjemahannya adalah “barang siapa yang buta” (QS Al Isra [17]:72 ) dalam hal ini terjemahannya berbeda dengan maknanya, maknanya adalah barang siapa yang buta mata hatinya atau buta pada hakikat kebenaran atau hakikat keimanan bukan buta mata kepala.
Mereka yang buta mata hatinya adalah mereka yang tidak ihsan atau mereka yang tidak dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau miminal mereka yang tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan.
Mereka yang buta mata hatinya atau mereka yang tidak ihsan adalah mereka yang tersesat. Mereka yang tidak ihsan atau mereka yang tidak berakhlak baik atau mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka dalam kesesatan.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 ).
Allah Azza wa Jalla tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah maanusia untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah Azza wa Jalla terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah Azza wa Jalla itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah Azza wa Jalla itu mustahil.
Sesungguhnya yang terhalang adalah manusia karena manusia menyandang sifat jasad (jasmani), sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila kita ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri kita, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
Langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwai, “tiada Tuhan selain Allah”.
Bagi mereka yang di surga atau penghuni surga maka mereka akan dibersihkan dari segala dosa atau “disingkapkanlah tabir penutup”. Hati mereka tanpa bintik hitam atau tabir sehingga tidak terhalang atau tidak terhijab dari melihat Allah Azza wa Jalla. Mereka melihat Allah Azza wa Jalla semudah melihat bulan purnama tanpa kesulitan atau tanpa hambatan dan tanpa keraguan.
Rasulullah bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” [HR Muslim].
Imam Nawawi mengatakan, artinya “kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya.“
Hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
“Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Nabi bersabda, ”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”
Mereka melihat Allah Azza wa Jalla tidak melihat dengan mata kepala karena apa yang dilihat oleh mata kepala dicitrakan dalam benak kita dan pasti mempunyai batas atau ukuran.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
“Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah).
Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Terhalang melihat Allah Azza wa Jalla adalah karena berlumpur dosa atau tidak berakhlak baik atau tidak Ihsan
Sejak dahulu kala di perguruan tinggi Islam , tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan
Sekarang ini ada segilintir ulama yang menyesatkan kaum muslim karena berpendapat bahwa tasawuf adalah sesat. Sejauh tasawuf adalah tentang Ihsan atau tentang akhlak maka itu adalah tasawuf dalam Islam.
Tasawuf atau tentang akhlak atau tentang Ihsan adalah puncak risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihiw wasallam. Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad). Indikator seseorang muslim telah beragama atau berpemahaman agama yang baik dan benar terwujud dalam akhlak yang baik. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/indikator-muslim-baik/
Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan yang disebut muslim yang terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin atau muslim yang sholeh atau sholihin.
Muslim yang sholeh adalah satu dari 4 golongan manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla, yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Muslim yang sholeh adalah yang berjalan di atas jalan Rasulullah dan jalan para Sahabat. Oleh karenanya mereka yang salaf (terdahulu) ada yang dipanggil salaf yang sholeh atau Salafush Sholeh. Muslim yang sholeh adalah pengikut Rasulullah yang sejati sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/13/2011/03/05/pengikut-salafush-sholeh-sebenarnya/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/13/2011/05/10/sertifikat-pengikut-rasulullah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
24 Juli 2011 oleh mutiarazuhud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar