Ahli bid’ah sebenarnya

Dalam beberapa tulisan berturut-turut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.  Janganlah memahaminya dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Para ulama telah menyampaikan ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’ah” (menelaah kitab) semata  dengan mengesampingkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahuan khushush dan dapat dipercaya) dikarenakan terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupan” dan “pendustaan” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaimana mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya. 
Kita sebaiknya menghindari kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari ahli bid’ah; juga dari orang yang tidak engkau ketahui catatan pendidikannya (sanad ilmu); serta dari orang yang mendustakan perkataan manusia, meskipun dia tidak mendustakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“
Ahli bid’ah adalah  mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan (halal) menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang  menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa)
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber:
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Sekarang telah mulai tampak ahli bid’ah bermunculan. Mereka membuat perkara baru (bid’ah) pada perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun  yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)

“mendekatkan dari surga” = kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = larangan , pengharaman (dikerjakan berdosa)
Jika ulama berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), perkara larangan (dikerjakan berdosa) dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah, salah seorang ulama bermazhab,  berjuang keras menentang kewajiban (ditinggalkan berdosa) menggunakan Niqab ( Cadar / Purdah) atau penutup muka bagi kaum perempuan.
Mufti menegaskan : ” bawah fatwa yang di keluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir dan Lembaga Riset Islam yang terdiri dari ulama besar di seluruh dunia menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk auratnya perempuan, sebagaimana juga pendapat mayoritas ulama Islam dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hanbali mengatakan bahwa pendapat yang sahih adalah muka dan telapak tangan tidak termasuk aurat “.
Penggunaan Niqab ( Cadar / Purdah) adalah sebuah kebiasaan dan bukan perkara kewajiban dalam arti jika ditinggalkan berdosa. Allah ta’ala maupun RasulNya tidak pernah menyampaikan adanya kewajiban penggunaan Niqab ( Cadar / Purdah).  Andaikan itu sebuah kewajiban maka akan bertentangan dengan larangan menutup muka ketika ihram bagi kaum wanita. Adalah hal yang mustahil dalam perkara syariat ada yang saling bertentangan.
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Sebagaimana pula yang dikatakan oleh Imam Malik ra di atas bahwa kita jangan pula mengambil ilmu dari orang yang mendustakan perkataan manusia, meskipun dia tidak mendustakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Contohnya  mereka mendustakan maksud perkataan Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam. Dimana dalam kumpulan fatwa beliau, Kitab Al Fatawa (hal. 46, 47), beliau menyatakan,”Bersalaman setelah shubuh dan ashar bagian dari bid’ah-bid’ah. Kecuali bagi orang yang datang dan berkumpul dengan orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyariatkan ketika bertemu.”
Istilah bid’ah menurut Imam Izzuddin berbeda dengan istilah yang dipakai oleh mereka yang menilai bahwa seluruh bid’ah adalah sesat.  Dimana Imam Izzuddin berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dalam hukum lima, wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah, seperti yang termaktub dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339). Sehingga, ketika Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman pada dua waktu itu termasuk bid’ah tidak otomatis merupakan hal yang haram.
Sebaliknya, dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah,”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama. Sehingga siapa saja tidak bisa memaksa istilah Imam Izzuddin untuk dimaknai sesuai dengan istilah pihak yang menyatakan seluruh bid’ah adalah sesat.
Nah, hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa maksud pernyataan Imam Izzuddin dalam fatwa itu adalah bid’ah mubah. Dan pemahaman para ulama yang mu’tabar semakin mengukuhkan kesimpulan itu, diantara para ulama yang memiliki kesimpulan serupa adalah:

Imam An Nawawi
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut  As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Imam An Nawawi (631-676 H) sendiri merupakan ulama yang hidup semasa dengan Syeikh Izzuddin (578-660) dan dua-duanya adalah ulama Syam, hingga beliau faham benar pernyataan Imam Izzuddin. Dengan demikian kesimpulan beliau tentang pernyataan Imam Izzuddin amat valid.
Lebih dari itu, Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.

Mufti Diyar Al Hadrami Ba Alawi
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”

As Safarini Al Hanbali
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali,  beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Dengan demikian pendapat pihak yang menyebut bahwa Imam Izzuddin menghukumi haram berjabat tangan setelah shalat ashar dan shubuh hanya bersandar dari sebutan “bid’ah” dari beliau adalah kesimpulan yang jauh dari kebenaran. Hal ini disebabkan mereka tidak memahami bahwa Imam Izzudin memiliki istilah yang berbeda dengan istilah mereka. Sehingga pemahaman mereka tentang pernyataan Imam Izzuddin pun bertentangan pula dengan pemahaman para ulama mu’tabar. Allahu Ta’ala A’la wa A’lam
Oleh karenanya marilah kita kembali mengambil ilmu dari para ulama bermazhab. Ditengarai kaum Zionis Yahudi berkeingingan meruntuhkan Ukhuwah Islamiyyah dengan cara ghazwul fikri (perang pemahaman) melalui pusat-pusat kajian Islam yang mereka didirikan.
Dalam tulisan kami pada
telah kami uraikan hasil analisa kami bahwa empat gerakan yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi

1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan metodologi “terjemahkan saja”  hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan  nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan
4. Paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (SEPILIS) disusupkan kepada umat muslim yang mengikuti pendidikan di “barat” .
Contoh bukti korban ghazwul fikri adalah adanya yang memahami ayat-ayat mutasyabihat secara harfiah / dzahir  atau memahami dengan metodologi “terjemahkan saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan  nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra  berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi)

Ironis sekali, mereka selalu meneriakkan dakwah tauhid memerangi kesyirikan namun pada kenyataannya mereka dapat terjerumus ke dalam kesyirikan. Untuk itulah kami berupaya meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka karena Allah ta’ala semata dengan semangat persaudaraan sesama muslim. Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua dan terhindar dari kesyirikan karena kesalahpahaman.
Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830


3 Tanggapan

zon,
seharusnya dengan Al Qur’an anda bisa membaca keadaan ummat islam saat ini, bagaimana anda memfungsikan pendengaran, penglihatan, akal/fikiran yang Allah berikan?
Mata anda yang buta ataukah hati anda yang terbutakan??




komennya isinya cuma hujatan ………..




ahmad
komen andi menunjukkan bahwa dia amat dangkal ilmu agamanya.
=====
3 November 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar