Dari pada urat leher

Dalam sebuah diskusi ada yang bertanya apa makna dari firman Allah ta’ala yang artinya “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS Qaaf [50]:16 )
Salah seorang dari mereka menyampaikan bahwa makna firman Allah ta’ala tersebut adalah “anjuran utk tidak berdoa dengan teriak-teriak“  Mereka melanjutkan pendapatnya dan mengatakan, “Selain allah tidak tuli, allah juga dekat. Saking dekat nya, tidak perlu berdoa memakai washilah, dukun, batu, kuburan org yg dianggap sholeh,dll. “
Kami menyalin tulisan mereka apa adanya. Menuliskan lafadz Allah dimulai dengan huruf kecil dan tidak dilanjuti dengan minimal dengan Ta’ala atau Subhanahu wa ta’ala atau Azza wa Jalla , dll
Selain itu mereka tidak menyampaikan satupun dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits untuk landasan pendapat mereka.
Berani sekali mereka memahami firman Allah Azza wa Jalla dengan akal pikiran sendiri.
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
“Barangsiapa mengulas Al Qur’an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka.” (HR. Abu Dawud)
Mengulas artinya memahami dan menyampaikan kepada orang lain.
Baiklah, sebelum kita memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS Qaaf [50]:16 ), kita harus “mengambilnya” satu set dengan ayat yang terkait baik sebelumnya jika yang sebelumnya yang terkait atau sesudahnya jika ayat sesudahnya yang terkait.
kadzdzabat qablahum qawmu nuuhin wa-ash-haabu alrrassi watsamuudu
[50:12] Sebelum mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh dan penduduk Rass dan Tsamud,

wa’aadun wafir’awnu wa-ikhwaanu luuthin
[50:13] dan kaum Aad, kaum Fir’aun dan kaum Luth,

wa-ash-haabu al-aykati waqawmu tubba’in kullun kadzdzaba alrrusula fahaqqa wa’iidi
[50:14] dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’ semuanya telah mendustakan rasul-rasul maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan.

afa’ayiinaa bialkhalqi al-awwali bal hum fii labsin min khalqin jadiidin
[50:15] Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama ? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.

walaqad khalaqnaa al-insaana wana’lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wanahnu aqrabu ilayhi min habli alwariidi
[50:16] “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya“

Sekarang coba kita pahami hubungan/kaitan antara “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher” sebagai “anjuran utk tidak berdoa dg teriak2″
Apakah benar firman Allah ta’ala yang artinya “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher” sebagai “anjuran utk tidak berdoa dg teriak2″ ?
Apakah ada hubungannya firman Allah ta’ala yang artinya “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher” dengan “anjuran utk tidak berdoa dg teriak2″ ?
Mereka memahami firman Allah ta’ala dengan metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan terdahulu padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/23/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Inilah permasalahan sebagian ulama (ahli ilmu) , memotong firman Allah ta’ala dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri.
Pikiran adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami dengan menterjemahkan / logika)
Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran / hikmah)

Berpikir, berhubungan dengan kemampuan jasmani, dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal, berhubungan dengan ruhani,  dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat.

Hati dalam bentuk jasmani adalah “segumpal darah”
Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”

Kita dalam memahami firmanNya harus  menggunakan “akal dan hati” di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau yang mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai Ulil Albab sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah ta’ala antara lain,
wamaa yadzdzakkaru illaa uluu al-albaab …
“dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269 )

Kami coba memahami mereka bahwa mereka mendapat inspirasi kata “dekat” tersebut berhubungan dengan berdoa sebagaimana firman Allah ta’ala pada ayat yang lain.
wa-idzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa-innii qariibun ujiibu da’wata alddaa’i idzaa da’aani falyastajiibuu lii walyu/minuu bii la’allahum yarsyuduuna
[2:186] Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Berdoa dalam (QS Al Baqarah [2]:186) bukanlah “anjuran utk tidak berdoa dg teriak2″.
“Mengabulkan permohonan orang yang berdoa” adalah menerangkan Aku nya atau menerangkan Allah Azza wa Jalla nya.

Firman Allah ta’ala dalam (QS Al Baqarah [2]:186) menerangkan jika manusia bertanya tentang Aku atau tentang Allah Azza wa Jalla maka jawablah “Aku adalah dekat” atau “Allah Azza wa Jalla adalah dekat”
Dekat , qariibun adalah berhubungan ruhani atau ke-dekat-an bukan dekat yang berhubungan dengan jasad (dzahir) yang mempunyai jarak/dimensi/ukuran.
Allah ta’ala mengungkapkan kedekatan dengan kata kiasan “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS Qaaf [50]:16 ) bukan berarti Allah ta’ala mempunyai jarak/dimensi/ukuran dekat dengan urat leher kita.
Kedekatan adalah bagaikan sepasang kekasih yang berhubungan dengan rasa, cinta , kasih sayang.
Begitu pula Allah ta’ala dengan Ar-Rahmaan dan Ar Rahiim Nya paling dekat dengan manusia karena kasih sayangnya melebihi kasih sayang antara manusia. Sehingga kedekatan Allah ta’ala adalah paling dekat dan diibaratkan “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS Qaaf [50]:16 )
Inilah firman Allah ta’ala yang menyampaikan bahwa kita jangan menanyakan tentang DzatNya namun rasakanlah kedekatanNya , rasakanlah Ar Rahmaan dan Ar RahiimNya, rasakanlah ni’mat yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla.
Uraian kami ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Kalau kita ingin mendalami, menyelami “berfikir tentang nikmat-nikmat Allah ta’ala” atau dengan kata lain mengenal Allah ta’ala (ma’rifatullah) maka itu akan berhubungan dengan ruhani, ruhNya, akal dalam bentuk ruhani, hati dalam bentuk ruhani, jiwa, qalbu, rasa, hawa nafsu dll
Pengetahuan tentang jiwa, ruhNya, hawa nafsu, akal, hati, rasa adalah contoh bagian dari pengetahuan tentang ghaib , sesuatu yang tidak dapat diindera oleh panca indera seperti mata kepala kita.
Semua ini ada dalam pengenalan tentang diri kita (jasmani ruhani), mengenal Allah ta’ala (ma’rifatullah), takzkiyatun nafs, Takhali (mengosongkan dari sifat sifat yang tercela) , Tahalli (mengisinya dengan sifat-sifat terpuji) hingga selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (Tajalli).
Semua hal yang di atas adalah yang dimaksud dengan Tasawuf dalam Islam atau tentang Ihsan atau tentang akhlak
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal  dirinya akan Mengenal Allah)

Firman Allah Taala :
“ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )

Awaluddin makrifatullah, Awal agama adalah mengenal Allah, akhirnya adalah berakhlakul karimah atau muslim yang baik, muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan. Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Begitulah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di depan para sahabat bahwa tonggak Islam ada tiga yakni tentang Islam (rukun Islam/fiqih), tentang Iman (rukun iman/ushuluddin/i’tiqad) dan tentang Ihsan (akhlak/tasawuf).
Dari sejak dahulu kala dalam perguruan tinggi Islam yang dimaksud Tasawuf dalam Islam adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan namun pada zaman ini ada ulama (ahli ilmu) mengingkari tasawuf dalam Islam atau tidak mendalami / menjalankan tasawuf atau tentang Ihsan sehingga sebagian mereka masih bertanya “di mana” atau “bagaimana” Allah Azza wa Jalla. Maha suci Allah ta’ala dari “di mana” maupun “bagaimana”
Sayang sekali mereka telah melupakan bahkan mengharamkan Tasawuf dalam Islam yang sejatinya adalah tentag Ihsan atau tentang akhlak. Tentang bagaimana mencapai muslim yang Ihsan (mushin/muhsinin), muslim yang baik atau muslim yang sholeh, sholihin golongan/tingkataan manusia yang paling awal di sisi Allah Azza wa Jalla.
Ihsan, “…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Pada hakikatnya mereka terhasut oleh ulama (ahli ilmu) tentang Islam namun non muslim yang mencitrakan buruk tentang tasawuf atau terhasut oleh dukhala ilmi (mereka yang berkecimpung dalam ilmu namun bukan ahlinya). Hakikatnya mereka sekedar berkecimpung dalam ilmu namun tidak mendapatkan keahlian. Wallahu a’lam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Satu Tanggapan
terima kasih untuk kang zon atas semua artikel nya.
saya mendapat banyak pencerahan..
syukron katsir..
semoga anda senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT.

=====
29 Mei 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar