Berdiskusi vs Berdebat

Marilah kita tegakkan Ukhuwah Islamiyah karena “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (QS Al Hujurat [49]:10 )
Kita berdiskusi bukannya berdebat atau bukan untuk mencari mana yang kalah atau mana yang menang
Kita berdiskusi dalam rangka saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh)  dengan memegang satu prinsip bahwa apa yang kita sampaikan bisa benar dan bisa pula salah dan apa yang disampaikan oleh teman diskusi  kita bisa benar dan bisa pula salah.
Seorang penyampai atau pendakwah tidak boleh meyakini bahwa apa yang disampaikannya adalah pasti benar dan wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Kebenaran (Al Haq) itu satu yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan dijelaskan oleh perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits bisa saja terjadi perbedaan. Allah ta’ala memberikan karunia pemahaman yang dalam (hikmah) kepada siapa yang dikehendakiNya
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
“Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS Ali Imran ayat 103)
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat mereka yang bukan para Nabi maupun para Syuhada, namun para Nabi dan para Syuhada cemburu dengan mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepada kami, siapakah mereka? “ Beliau bersabda: ”Mereka adalah kaum yang saling mencinta dengan ruh Allah, mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka maupun harta yang mereka kejar. Maka, demi Allah, sungguh wajah mereka bercahaya, dan mereka di atas cahaya. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih.” Lalu beliau membacakan ayat: ”Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak merasa takut dan tidak bersedih hati.” (HR Abu Dawud 3060)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Sesunguhnya kelak di Hari Kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku”

Jalinan persaudaraan yang ada antara kaum muslimin adalah jalinan yang lahir akibat adanya persamaan yang mendasar antara kita, yaitu persamaan akidah tauhid yang terwujud melalui dua kalimat syahadat, dengan demikian seluruh yang mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi bersaudara.
Ukhuwah Islamiyah memiliki peranan yang penting bagi kehidupan muslim. Sehingga syariat Islam menggariskan beberapa aturan agar hubungan sesama kaum muslimin selalu  diutamakan bagai tanaman yang harus dipupuk dan disiram, begitu pula ukhuwah Islamiyah haruslah dijaga dan dikokohkan.
Sekali lagi, marilah kita teguhkan Ukhuwah Islamiyah apapun suku, ras, warna kulit, negara, aliran, manhaj, metode, madzhab, golongan, tarekat, kelompok maupun jama’ah.
Klo kita bersatu maka akan ada kekecewaan dikalangan orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar bagi orang-orang mukmin.
Orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar adalah yang sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Jadi sekali lagi harus diingat bahwa yang mempunyai rasa permusuhan yang besar terhadap orang mukmin bukanlah sesama muslim.
Jika kita memusuhi muslim lain atau siapapun yang telah bersyahadat maka kita perlu intropeksi diri akan ucapan syahadat kita.
Pembeda manusia di muka bumi ini adalah bersyahadat atau tidak bersyahadat.
Jika bersyahadat maka Allah Azza wa Jalla akan membimbing kita. Jika tidak bersyahadat pastilah Allah Azza wa Jalla akan memusuhi, mensesatkan bahkan memurkai.
Pesan guru kami , jika kita membaca Al-Qur’an cobalah timbulkan rasa bahwa Allah ta’ala membimbing kita. Jika kita membaca hadits cobalah timbulkan rasa bahwa Rasulullah dihadapan kita yang menyampaikannya langsung kepada kita karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hidup sebagaimana para Syuhada.
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara dzahir telah wafat namun beliau tetap hidup di hati orang-orang beriman. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada
Ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz hanyalah sebagai bekal/syarat/syariat bagi kita untuk tujuan sesungguhnya. Tujuan sesungguhnya adalah memperjalankan diri kita (jasmani dan ruhani) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah Azza wa Jalla sang pemilik ilmuNya.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Oleh karenanya marilah kita temui Allah Azza wa Jalla dengan sholat sunnat dua raka’at dan mohon ampunanNya atas ketersia-siaan waktu karena ilmuNya begitu luas tidak hanya sebagaimana syaikh/ulama/ustadz ajarkan kepada kita.
Biarkanlah Allah Azza wa Jalla yang membimbing kita sekalian untuk memahami ilmuNya.
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).
Jika kita telah ada kemauan untuk menuju kepadaNya, Allah Azza wa Jalla akan menentukan melalui sarana apa kita akan dibimbingnya seperti hati, ilham, firasat, mimpi atau melalui kekasihNya (Wali Allah), dan sarana lain yang dikehendakiNya.
71.9/6475. Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Musayyab, bahwasanya Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kenabian tidak ada lagi selain “berita gembira”, para sahabat bertanya; ‘apa maksud “berita gembira”? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; mimpi yang baik.
Sumber:

71.14/6480. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ubaidullah bin Abi Ja’far telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Qatadah mengatakan, Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “mimpi yang baik adalah berasal dari Allah, sedang mimpi yang buruk berasal dari setan, maka barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah ke samping kirinya sebanyak tiga kali, dan mintalah perlindungan dari setan, sesungguhnya mimpinya tersebut tidak akan membahayakannya, dan setan tidak mungkin bisa menyerupaiku.”
Sumber:

Contoh bimbingan melalui mimpi
14.159/1575. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami An-Nadhar telah mengabarkan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Abu Jamrah berkata; Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma tentang muth’ah (hajji tamattu’), maka dia memerintahkan aku untuk melaksanakannya. Dan aku bertanya pula kepadanya tentang Al Hadyu (hewan qurban), maka dia berkata: ‘Untuk Al Hadyu boleh unta, sapi atau kambing atau bersekutu dalam darahnya (kolektif dalam penyembilahannya). Dia berkata: Seakan orang-orang tidak menyukainya. Kemudian aku tidur lalu aku bermimpi seakan ada orang yang menyeru: Hajji mabrur dan tamattu’ yang diterima. Kemudian aku menemui Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma lalu aku ceritakan mimpiku itu, maka dia berkata: Allahu Akbar, ini sunnah Abu Al Qasim Shallallahu’alaihiwasallam. Dia berkata; Dan berkata, Adam, Wahb bin Jarir dan Ghundar dari Syu’bah dengan redaksi: ‘Umrah mutaqabbalah (Umrah yang diterima) dan hajji mabrur.
Sumber:

Jangan ilmu yang kita dapat dari syaikh/ulama/ustadz justru menghijab diri kita dengan Allah Azza wa Jalla. Hal ini diungkapkan oleh ulama Tasawuf sebagai berikut,
Mereka yang terhalang melihat Allah yakni mereka yang tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya atau amalnya.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jallan dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya.
Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.
Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Kita katakan bahwa sholat yang kita lakukan selama ini adalah berdasarkan ilmu dari syaikh/ulama/ustadz adalah sebagaimana sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun sebagaimana yang dilakukan para Sahabat. Pertanyaannya adalah, sudahkah sholat yang kita lakukan tersebut menghantarkan kita ke hadhirat Allah Azza wa Jalla ?
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
26 Juni 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar