Dalil Akal

Kami telah menyampaikan dalam tulisan sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/bahwa kita memahami Al Qur’an dan Hadits (dalil naqli) dengan mengembalikan kepada Allah Azza wa Jalla yakni menggunakan hati atau dalil aqli atau dalil akal sebagaimana Ulil Albab (orang-orang yang berakal)
Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)

Ulil Albab berasal dari lubb tingkatan dari qalb atau hati.
Merekapun menghujat kami bahwa kami telah menyesatkan orang banyak karena menganjurkan memahami Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran sendiri
Zaman sekarang ini segelintir ulama tidak lagi dapat membedakan akal dengan pikiran/logika
Ruhani(ruhNya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.

Akal Qalbu / Hati berbeda dengan Akal Pikiran / logika
Dalil Aqli adalah Akal Qalbu, “tanyakanlah pada hati” , “hati tidak pernah berbohong” , “nafsu yang mencari-cari alasan”

“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Akal Pikiran / logika adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau kerja otak sendiri
Akal Qalbu / hati adalah mengikuti cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa setiap manusia.

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )

Permasalahan manusia tidak lagi dapat menggunakan hati sebagai petunjuk dari Allah ta’ala adalah karena dosa. Keadaan ini dinamakan buta mata hati
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Manusia dapat melihat Rabb atau muslim yang ihsan (muhsinin) dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh), melihat dengan hati nurani, cahaya hati atau lubuk hati yang paling dalam. Perihal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
Berikut ilustrasi untuk dapat membedakan antara akal pikiran (logika) dengan akal qalbu (hati/hikmah) atau disebut juga hakikat

Ummi: “Abi, Abi sayang ndak sama ummi ? “
Abi : “Umi ini bagaimana sih seperti orang bodoh yang mengulang-ulang pertanyaan”

Dialog ini benar secara logika / ilmiah (pikiran dan memori) karena (berdasar memori si Abi) orang yang mengulang-ngulang pertanyaan adalah menunjukkan kebodohannya namun dialog ini keliru atau bermasalah kalau ditinjau dengan hikmah (akal qalbu)
Pemahaman terhadap petunjukNya (Al-Qur’an dan Hadits) tidak cukup berbekal pikiran dan memori yakni “terjemahkan saja” (pikiran) dan bukti-bukti / dalil-dalil naqli (memori) atau apa yang tersurat (apa yang “terlihat”) atau secara zhahir namun harus dengan hikmah, akal dan hati atau apa yang tersirat (di balik yang “terlihat”) atau secara hakikat.
Kita harus bisa membedakan antara pemahaman/pendapat dengan akal pikiran dan pemahaman/pendapat menggunakan akal qalbu atau akal di jalan Allah ta’ala dan RasulNya.
Rasulullah melarang ziarah kubur pada masa awal siar agama namun setelah “kematangan” ummat maka beliau membolehkan ziarah kubur artinya ziarah kubur terlarang jika timbul kesyirikan sepeti menyembah kuburan atau berkeyakinam terpenuhi kebutuhan karena selain Allah Azza wa Jalla.
Begitupula ketika kita memahami (hakikat) larangan terhadap gambar makhluk bernyawa, pada hakikatnya terlarang jika gambar tersebut menimbulkan kesyirikan. Terlarang gambar manusia ukuran penuh tergantung atau terbentang (seolah-olah hidup di hadapan kita) untuk menghindari kesyirikan.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Suhail bin Abu Shalih dari Sa’id bin Yasar Abu Al Hubab budak dari Bani An Najjar dari Zaid bin Khalid Al Juhani dari Abu Thalhah Al Anshari ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar. Zaid berkata; ‘Lalu aku menemui Aisyah dan aku tanyakan kepadanya; ‘Abu Thalhah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar. Apakah anda pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hal itu. Aisyah menjawab; ‘Tidak, akan tetapi akan aku ceritakan kepadamu perbuatan beliau yang pernah aku lihat. Aku pernah melihat beliau keluar dalam suatu perjalanan, lalu aku mengambil karpet kemudian aku tutupkan pada pintu. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan beliau melihat karpet tersebut, aku mengerti ada tanda kebencian dari wajah beliau, kemudian beliau mencabutnya dan memotongnya seraya bersabda; ‘Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah.’Aisyah berkata; Lalu aku memotongnya untuk dijadikan dua bantal dan aku isi dengan pelepah kurma. Beliau tidak mencelaku atas hal itu.” (HR Muslim)
Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb; Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Al Harits bahwa Bukair bercerita kepadanya, ‘Abdurrahman bin Al Qasim telah bercerita kepadanya, bahwa bapaknya berkata kepadanya, dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, suatu ketika membentangkan tirai yang bergambar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk dan beliau mencabutnya. Aisyah berkata; ‘Maka aku potong tirai tersebut untuk di jadikan dua bantal“. Seorang laki – laki yang pada waktu itu dia di panggil Rabi’ah bin Atha’ -budak dari bani Zuhrah- bertanya dalam sebuah Majilis; ‘Apakah kamu mendengar Abu Muhammad -yaitu Abu Bakr As Shiddiq- menyebutkan bahwa ‘Aisyah berkata; ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar pada dua bantal tersebut?.’ Ibnu Al Qasim berkata; ‘Tidak.‘ Dia berkata; Akan tetapi aku telah mendengarnya. -maksudnya dari (Al Qasim bin Muhammad). (HR Muslim)
Dari hadits ini dapat kita pahami yang dimaksud “aku telah mendengarnya – maksudnya” adalah memahami hakikat atau hikmah larangan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Inilah yang disebut menggunakan akal qalbu atau  akal atas petunjukNya atau mengunakan akal di jalan Allah ta’ala dan RasulNya untuk memahami Al Qur’an dan Hadits
Akibat tidak menggunakan dalil aqli atau akal qalbu maka terjadilah mereka yang terindoktrinisasi walaupun indoktrinisasi menggunakan dalil naqli yang sekedar diterjemahkan. Contohnya mereka yang menjadi “pengantin” alias bom bunuh diri bukan di wilayah peperangan. Bahkan ada yang bom bunuh diri di Masjid
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
 =====
16 September 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar