Mustahil dibatasi atau berbatas dengan Arsy

Sesuai sunnah Rasulullah agar tidak terjerumus dalam kesesatan maka seharusnyalah kita mengikuti pendapat jumhur ulama. Jika mengingkari pendapat jumhur ulama dikatakan oleh Rasulullah sebagai “orang-orang muda” seperti anak panah melesat lepas dari busurnya. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/06/2011/10/15/orang-orang-muda/  Pemahaman mereka yang keluar dari pemahaman jumhur ulama disebut juga sebagai khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.  Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (kesepakatan jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Jumhur ulama telah bersepakat sejak dahulu kala sampai sekarang bahwa ulama sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) adalah para Imam Mazhab yang empat karena mereka adalah ulama-ulama dengan pemahaman Al Qur’an dan As Sunnah yang terbaik dan terbaik pula dalam memahami perkataan/pendapat Salafush Sholeh bahkan mereka bertemu langsung dengan Salafush Sholeh (minimal Tabi’ut Tabi’in) untuk mengkonfirmasi pemahaman mereka sebenarnya. Hal ini akan sulit dicapai oleh ulama yang memahami hanya melalui upaya pemahaman lafaz/tulisan perkataan  Salafush Sholeh dan kemungkinan salahnya akan lebih besar karena memahami dengan akal pikiran sendiri , dimana di dalamnya ada unsur hawa nafsu dan kepentingan seperti pembenaran apa yang telah dipahami selama ini.
Untuk itulah kami mengingatkan gigitlah As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarkan pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada
Juga telah kami uraikan perbedaan memahami Al Qur’an dan As Sunnah antara belajar sendiri (secara otodidak) bersandarkan hanya pada muthola’ah (mengkaji/menelaah) kitab semata dengan akal pikiran sendiri dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab atau bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah dalam tulisan pada

Sedangkan akibat dari tidak bermazhab telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/07/akibat-tidak-bermazhab/   Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
Penyerupaan Allah Azza wa Jalla dengan mahlukNya adalah kesesatan.
Untuk itulah kita harus menghindari kitab-kitab karya ulama yang tidak bermazhab sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada
Kami menghindari kitab-kitab yang dihasilkan oleh para ulama yang tidak bermazhab, seperti Ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, termasuk ulama Al Albani yang telah diajak berdialog oleh pakar fiqih, ulama besar Syria, DR. Said Ramadhan Al-Buthy. Hingga Dr. Said Ramadhan menuliskan buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam. Sedikit penjelasan tetang buku tersebut dalam tulisan pada
Mereka bertanya dari mana kami mengetahui pemahaman ulama mereka seperti ulama Ibnu Taimiyyah kalau tidak membaca kitab-kitab mereka.
Kami mengetahui pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dari kitab-kitab para ulama yang bermazhab yang menjelaskan letak kesalahpahaman ulama Ibnu Taimiyyah ditambah (kalau perlu) melihat pembelaan ulama mereka terhadap ulama Ibnu Taimiyyah. Dari situlah kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga.
Himbauan untuk menghindari kitab-kitab ulama yang tidak bermazhab bersumber dari himbauan ulama-ulama terdahulu seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.  Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan Muhammad bin Abdul Wahhab telah keluar daripada pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan dan menyalahi pemahaman para pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab. Antara lain tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.
Begitupula contoh himbauan untuk menghindari kitab-kitab ulama yang tidak bermazhab diuraikan dalam tulisan pada
Berikut kutipan dari link tersebut, pendapat ulama yang bermazhab tentang kesalahpahaman mereka yang semula adalah pengikut Imam Hambali.
*****awal kutipan****
مطلب في عقيدة الإمام أحمد رضي الله عنه وأرضاه
وسئل رضي الله عنه ونفعنا به : في عقائد الحنابلة ما لا يخفى على شريف علمكم ، هل عقيدة الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه كعقائدهم ؟
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau
***** akhir kutipan *****
Syaikh  Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan tentang i’tiqod Imam Ahmad bin Hambal ra bahwa Allah Azza wa Jalla tidak bertempat.
Begitupula pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim lainnya seperti Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Ulama Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa Allah ta’ala bertempat di atas ‘Arsy  seperti contoh yang terurai dalam tulisan padahttp://almanhaj.or.id/content/3048/slash/0  atau bahkan ada ulama yang lain menyampaikan keyakinan ulama Ibnu Taimiyyah bahwa Allah ta’ala duduk di atas Arsy atau bahkan duduk di atas kursi.
Para pengikut Ibnu Taimiyyah seperti pada 
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/beberapa-catatan-tentang-ijmaa.html  atau padahttp://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs Mereka melakukan pembelaan menyampaikan hujjah/dalil dari pemahaman mereka terhadap lafaz/tulisan perkataan Salafush Sholeh.
Padahal para Salafush Sholeh,  mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih lebih dari itu. Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana IbnuTaimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Pada haikatnya mereka yang beri’tiqod bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit  telah melakukan pengingkaran terhadap ke Maha Kuasa an Allah Azza wa Jalla karena mustahil Allah Azza wa Jalla dibatasi atau berbatas dengan Arsy atau dengan langit. Pengingkaran akan ke Maha Kuasa an Allah ta’ala sama saja pengingkaran terhadap Tuhan sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Pada hakikatnya Arsy diciptakan untuk menunjukkan kekuasaanNya
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya”
Hakikat Arsy (Singgasana) diciptakan agar tidak menjadikan tuhan selain Tuhan (yang memelihara dan menguasai) Manusia,  Raja Manusia karena tidak ada lagi yang mampu mempunyai / menguasai singgasana seperti Arsy

Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia“,
“Raja Manusia”,
“Sembahan manusia”. (QS An Naas [114]: 1-3 )
Rasulullah bersabda “… warobbal ‘arsyl ‘azhimi“,  “Tuhan yang menguasai Arsy yang agung“  (HR Muslim 4888) Link: 
Begitupula hakikat “di langit” “di atas” bukanlah dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai padanan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar