Makhluk paling mulia

Ulama mereka berpendapat bahwa “mengucapkan “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk paling mulia  adalah kata-kata yang tidak benar“.  Menurutnya ini adalah ungkapan para ahli tasawuf. Ia berdalil dengan firman Allah yang artinya: “Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya” ( QS An Nahl [16]:8 )  menurutnya; makhluk Allah ini sangat banyak, kita tidak dapat menghitung jumlahnya, [menurutnya bisa saja ada yang lebih mulia dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam]; maka kenapa kita harus mengatakan bahwa nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai makhluk Allah paling mulia?
Ulama mereka yang lain berkata bahwa keyakinan nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah makhluk Allah paling mulia secara mutlak, ini adalah keyakinan  yang seharusnya ditetapkan dengan dalil yang nyata (qath’iyyutsubut), dan petunjuk yang jelas (qath’iyyuddilalah); artinya harus ada ayat al Qur’an yang menetapkan secara jelas keyakinan semacam ini, atau hadits Nabi yang mutawatir menunjukan demikian. Sekarang… mana dalil pasti yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai makhluk Allah yang paling mulia secara mutlak.
Kami tertegun pada perkataan “mana dalil pasti yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai makhluk Allah yang paling mulia secara mutlak?”.
Tentu mereka mengharapkan ada satu nash baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang memuat matan (redaksi) seperti itu.
Inilah karena mereka memahami agama dengan metodologi “terjemahkan saja” atau menterjemahkan secara harfiah/dzahir/apa yang tertulis.
Mereka belum atau tidak mau memandang nash-nash Al-Quran dan Hadits secara menyeluruh (holistic), kait mengait atau saling terhubung. Mereka dengan sebuah hadits dan terjemahannya saja dapat beristinbath (menetapkan hukum perkara) tanpa menghafal dan memperhatikan dahulu secara menyeluruh seluruh nash-nash Al Qur’an dan Hadits. Salah satu syarat menjadi Imam Mujtahid adalah seberapa banyak menghafal dan mengetahui hadits. Selengkapnya mengenai syarat sebagai imam mujtahid telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
Dalam keterhubungan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits dapat kita ketahui keutamaan, kemuliaan baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Perhatikanlah firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“. (QS al Hujurat [49]:13 )
Paling mulia adalah yang paling taqwa.
Siapakah manusia yang paling taqwa selain Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah yang Allah ta’ala kehendaki untuk kita jadikan contoh/tauladan dalam ke-taqwa-an ?
Semua itu sudah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/11/manusia-paling-mulia/
Setelah kita sampaikan hujjah di atas pada mereka, mungkin mereka akan berkata  bahwa mereka sepakat bahwa Rasulullah adalah manusia yang paling mulia namun bukan makhluk yang paling mulia.
Jadi sekarang pertanyaannya benarkah manusia adalah makhluk yang paling mulia ?
Firman Allah Azza wa Jalla
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik -baiknya” (QS At Tiin [95]:4)

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati tanah itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadiukan segumpal darah, dari segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging (QS Al Mu-minun (23): 12-14)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruhKu, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama” (QS Al Hijr (15):28-30)
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya ruhKu; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS Shaad [38]:72 )
Manusia adalah makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan yang sempurna dan telah ditiupkan ruhNya.
Apakah yang dimaksud dengan ditiupkan ruhNya ?
Dalam diri manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati(insan kamil) terdapat secuil ‘unsur yang sangat mulia,’ yaitu yang dibahasakan dalam Al Qur’an sebagai ‘Ruhul Quds’. Ruhul Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruhul Amin, bukan Ruh Al-Quds
Ruh-Nya atau Ruhul Quds ini bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki ruh yang menghidupkan-Nya seperti kita. Ruh ini merupakan ruh ciptaan-Nya, sebagaimana ruh yang menjadikan diri kita hidup sekarang, namun dalam martabat tertingginya, dalam tingkatannya yang paling agung dan paling dekat kepada Allah.
Setiap ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan(ruh hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya ‘hidup’ dan terus berputar, dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya ‘hidup’. Karena itu pula, benda, tumbuhan, hewan, bahkan anggota tubuh kita kelak akan bersaksi mengenai perbuatan kita di dunia ini. Namun demikian, ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh Al-Quds.
Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia denganRuh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.
Manusia adalah wadah dari semua sifat-sifat makhluk Allah, dan juga wadah dari sifatNya. Di dalam Al Qur’an , kalau kita pelajari dengan seksama , tidak akan pernah kita temukan sifat manusia yang kita temui adalah sifat binatang, sifat iblis, sifat malaikat, sifat Rosul dan sifat Allah ta’ala semata.
Sekarang tugas manusia menjaga kesempurnaannya, dengan memilah dan memilih sifat-sifat tersebut, memahami dan mengenalinya, dan mengambil sifat-sifat yang baik sehingga menjadi makhluk yang mulia, sebagai pegangan dan pedoman di dalam setiap ucapan, tindakan dan perbuatan manusia.
Jadi manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan mulia adalah manusia yang mau menyempurnakan kesempurnaannya dan memuliakan kemuliannya dan menjaganya.
Jika manusia memperturutkan hawa nafsunya maka pada hakikatnya mereka “memilih” sifat binatang dan menjadikan dirinya mendapatkan keburukan, kerendahan atau kenistaan.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?  atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS Al Furqaan [25]: 43-44 )

“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Dan orang-orang kafir  bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang.  Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka“. (QS Muhammad [47]:12)
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir , karena mereka itu tidak beriman” (QS Al Anfaal [8]:55 )
Salah satu ibadah yang memuliakan kemuliaan manusia adalah puasa.
Hakikat puasa adalah menahan hawa nafsu dan menahan dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari puasa Ramadhan yang kita jalani kali ini sehingga mendapati “baju baru” sebagai pakaian ruhani dengan akhlakul karimah yakni kesadaran atau berbuat dan berperilaku secara sadar dan selalu mengingat Allah Azza wa Jalla
Dengan akhlakul karimah ini mengantarkan kita dapat melihat Allah ta’ala dengan hati atau hakikat keimanan.  Sehingga kita mendapatkan kehidupan yang terpuji (mulia) karena selalu bersamaNya atau selalu  di sisi Allah Azza wa Jalla. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/26/2010/08/05/hakikat-puasa/
Namun jika ibadah puasa kita belum mencapai tingkatan itu maka yakinlah bahwa Allah ta’ala selalu melihat perbuatan dan perilaku kita semua.
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.
Namun sebagian umat muslim hanya memaknai secara lahiriah atau tekstual dengan mengenakan “baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.  Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin  akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya tambah bersih.  Diri yang dapat mengendalikan hawa nafsu yang dikatakan “mematikan” diri  atau naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah sehingga dapat “mati syahid” atau menyaksikan Allah dengan hati atau hakikat keimanan.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa ash-shalatul mi’rajul mu’minin,  “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.  yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).

Untuk itulah syarat syahnya sholat (mi’raj kaum muslim) adalah dengan bersuci atau berwudhu, yang diuraikan dalam thaharah.
“Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]
Nasehat ulama Sufi, Syaikh Ibnu Athailllah
“Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”

Wassalam
Zon di Jonggol,  Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar