Pertentangan Pendapat Mereka

Mereka mendapatkan pertentangan dalam pendapat mereka sendiri
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Firman Allah ta’ala  dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka.
Dengan arti kata lain segala pendapat atau pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada pertentangan di dalam pendapat atau pemahaman mereka.

Sekarang kita perhatikan pendapat dari salah seorang ulama mereka.
*****awal kutipan*****
“Hadits semua bid’ah adalah sesat, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Utsaimin dalam  al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13).
*****akhir kutipan*****

Pendapat dilain kesempatan berbunyi,
*****awal kutipan*****
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan Baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang  menunjukkan keberlakuannva.” (Al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah al Wasithiyyah, hal. 639-640)
*****akhir kutipan*****

Pertentangan dalam pendapat mereka sendiri yakni,
Pada pendapat pertama beliau menyampaikan bahwa “semua bid’ah adalah sesat (tanpa terkecuali)” namun pada pendapat kedua beliau bertentangan dan menyatakan bahwa bid’ah ada dua macam yakni bid’ah dalam urusan-urusan dunia dan bid’ah dalam urusan-urusan agama.
Pada pendapat kedua beliau menyampaikan bahwa bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram kecuali ada dalil dari al Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.   Pendapat ini bertentangan karena bid’ah adalah perkara baru, kalau ada bid’ah yang mempunyai dalil dari al Kitab dan Sunnah maka itu namanya bukan perkara baru
Pendapat atau pemahaman atau definisi atau kaidah yang benar akan teruji dan tidak ada pertentangan di dalamnya.  Jika ada pertentangan di dalamnya maka jelaslah ada tercampur dengan akal pikiran sendiri atau tercampur dengan hawa nafsu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya, tidak bercampur dengan akali pikiran  sendiri maupun hawa nafsu.
Oleh karenanyalah para ulama sebaiknya  hanya menyampaikan apa yang didengar dan dipahami dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Inilah yang dinamakan dengan sanad ilmu atau sanad guru.
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Contoh rantai sanad ilmu Imam Asy Syafi’i
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’,Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Bagi ulama yang tidak bermazhab maka pada hakikatnya telah memutus rantai sanad ilmu atau sanad guru.
Selain itu pergunakanlah akal qalbu (hati / lubb) sebagaimana ulil albab dalam memahami Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Ulil albab dengan ciri utamanya sebagaiman firmanNya yang artinya
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka ” (QS Ali Imran [3] : 191)

Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada 
Hati adalah wadah cahayaNya , sarana mendapatkan petunjukNya, tabir komunikasi antara hamba dengan sang Khaliq
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (QS  Asy Syuura [42]:51)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
‘Fu’aad (hati) tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)
“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40 )
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az Zumar [39]:22)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai“.  (QS al A’raaf [7]:179)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS al Hajj [22];46)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

3 Tanggapan

Abu Prismanda
Bagus tulisannya, cuman anda terkesan mempertentangkan dua hal yang sebenarnya tidak bertentangan. Bahwa bid’ah itu hanya dalam masalah ibadah dan memang tidak usahlah kita bagi menjadi dua, tiga atau lima. Kalau masalah dunia itu bukanlah bid’ah, kalaupun dipaksa dikatakan bid’ah, ia bid’ah dalam arti lughowi ( bahasa ). Sedangkan hal-hal yang baru untuk urusan dunia itu namanya inovasi maka berlaku kaidah “Al-ashlu fil asyyaa-i al ibahah hattaa yadullu daliilu ‘alaa tahriimi” Hukum asal segala sesuatu (terkait keduniaan) itu boleh sehingga ada dalil yang melarang. Tentu berbeda dengan hukum asal ibadah yang prinsipnya haram kecuali ada dalil yang memerintahkan. Wallahu a’lam bishshowab.



mutiarazuhud
Mas Abu Prismanda, sebaiknya jangan pernah katakan bahwa urusan dunia tidak terkait dengan urusan akhirat atau tidak terkait dengan Al Qur’an dan Hadits. Pemisahan seperti itu yang dilakukan kaum dengan pemahaman sekulerisme
Seluruh sikap dan perbuatan kita adalah ibadah karena kita diciptakan Allah Azza wa Jalla untuk beribadah kepadaNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz Dzariyat [51]:56 )
Ibadah terdiri dari dua kategori yakni amal ketaatan dan amal kebaikan.
Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran baik ganjaran baik atau pahala maupun ganjaran buruk atau dosa.
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal ketaatan dikenal juga sebagai perkara syariat artinya syarat yang harus dipenuhi atau ditaati sebagai hamba Allah Azza wa Jalla.

Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Bid’ah dlolalah adalah bid’ah dalam amal ketaatan, bid’ah dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.
Bid’ah hasanah/mahmudah adalah bid’ah (perkara baru) di luar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Imam as Syafi’i ~rahimullah membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh), dikatakan beliau sebagai, “apa yang baru terjadi dari kebaikan“
Imam Asy Syafi’i ~rahimullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”




namanya kata kerja pasti niatnya ibadah donk..
ane tanya, hp,motor,internet juga bid’ah? ini terkait keduniaan lho..
yg namanya bid’ah tu dalam urusan agama,
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar