Pemahaman secara hikmah

Kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka terjadi pada hakikatnya karena salah memahami perkataan Imam Ahmad  bin Hambal ~rahimahullah  bahwa “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini” sehingga mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah atau apa adanya atau apa yang tertulis/tersurat. Mereka yang menyandarkan pemahaman agama secara ilmiah / logika / akal pikiran / ra’yu mereka sendiri. Pemahaman yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemahaman yang tidak melampaui kerongkongan atau pemahaman sebatas akal pikiran atau akal secara dzahir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah SAW bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sndiri di dlm neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jumhur ulama yang sholeh dalam memahami Al Qur’an dan Hadits menyandarkan kepada (karunia) Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh pemahaman yang dalam atau pemahaman secara hikmah. Pemahaman yang melampaui kerongkongan atau pemahaman dengan hati atau akal secara bathin  sebagaimana Ulil Albab.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Tulisan-tulisan kami sebelumnya tentang perbedaan pemahaman secara Ilmiah dengan pemahaman secara hikmah berdasarkan karunia Allah Azza wa Jalla telah diuraikan pada,

Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits sebaiknya tidak bersandar pada “terjemahannya saja” atau pemahaman secara dzahir atau yang kami katakan sebagai metodologi terjemahkan saja sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Hal yang berbahaya dalam pemahaman secara dzahir adalah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
“Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Baihaqi dan lainnya)
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat yang terkait dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, kita tidak boleh memahaminya secara harfiah untuk menghindari kekufuran dalam i’tiqod. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami sendiri namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=42&ayatno=124&action=display&option=com_bukhari

Rasulullah hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya. Untuk itulah para ulama hanya menyampaikan apa telah disampaikan oleh Rasulullah melalui lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh dan jangan mencampurkannya dengan hawa nafsu atau akal pikiran sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “mendengar” firman Allah Azza wa Jalla melalui malaikat Jibril. Selanjutnya ilmuNya mengalir dari lisan ke lisan orang-orang sholeh yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya. Itulah yang hakikat makna “Kami dengar dan kami taat”.
Dalam meraih ilmuNya atau memahami Al Qur’an dan Hadits tidaklah disandarkan pada tulisan atau kitab namun bersandar pada apa yang dikatakan dan apa yang didengar atau melalui lisan dan pendengaran atau dikenal dengan penyampaian atau imla’ / dikte . Nash/Lafadz Al Qur’an dan Hadits terjaga kemurniannya, salah satunya melalui para penghafal Al Qur’an maupun Hadits. Tulisan atau kitab sangat rentan dari pemalsuan atau sekedar tindakan pentahrifan berdasarkan kepentingan. Hal ini telah terurai dalam tulisan pada,

Oleh karenanya dalam meraih ilmuNya tidak baik belajar sendiri (otodidak) karena bersandarkan pada tulisan atau kitab, selain adanya bahaya pemalsuan kitab, juga besar kemungkinan akan bercampur dengan ra’yu (akal/rasio/otak) atau pendapat sendiri .
Akal manusia harus mengikuti firman Allah ta’ala dan Sunnah Rasulullah maka hal inilah yang dikatakan menyampaikan kebenaran atau menegakkan kebenaran atau disebut juga berdalil.
Jika akal mendahului firman Allah ta’ala dan Sunnah Rasulullah maka hal ini dinamakan menyalahgunakan kebenaran atau melakukan pembenaran atau disebut juga berdalih.
Penyalahgunaan kebenaran (firman Allah ta’ala dan sunnah Rasulullah) atau disebut dengan “pembenaran” adalah yang dimaksud dengan perkataan Imam Sayyidina Ali ra, “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang batil/salah). Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/maksud-yang-berbeda/
Pada zaman ini semakin banyak ulama yang tidak lagi mau mengikuti imam mujtahid mutlak atau Imam Mazhab. Pada hakikatnya bagi mereka yang tidak berkompetensi sebagai imam mujtahid dan tidak mau mengikuti atau bahkan menyelisihi para Imam Mazhab termasuk mereka yang memutus sanad ilmu atau sanad guru. Hal ini telah terurai dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Marilah kita mengikuti cara/jalan/metode Salafush Sholeh melalui apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab dan para pengikut Imam Mazhab karena Imam Mazhablah yang mendengar dan melihat secara langsung cara/jalan/metode Salafush Sholeh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Janganlah kita mengikuti ulama yang salah pikir (fikr) atau salah paham apalagi belum jelas kompetensi mereka sebagai imam mujtahid. Mereka hanya sekedar mengaku-aku mengikuti cara/jalan/metode Salafush Sholeh karena mereka yang mengasingkan diri atau membentuk kelompok minoritas ,  pada hakikatnya menyempal (keluar) dari mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak). Mereka secara tidak sadar telah menentang sunnah Rasulullah untuk mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) sehingga mereka tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mereka boleh jadi termasuk ulama yang keluar dari keumuman pendapat ulama sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/keluar-dari-keumuman/
Mereka boleh jadi telah keluar seperti anak panah yang meluncur dari busurnya atau keluar dari jamaah atau keluar dari As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam).
Mereka boleh jadi mirip dengan khawarij yang berbeda pemahamannya dengan Imam Sayyidina Ali ra tentang makna firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Barang siapa yang membuat keputusan hukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka ia adalah kafir” (Al-Maidah: 44)
Kemiripan lainnya mereka dengan khawarij adalah,
Sebagaimana kaum Khawarij  dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir,  mereka pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.  Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya.
Abdullah bin Umar dalam mensifati kaum Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.
Sebagaimana kaum Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”, maka sejarah telah membuktikan bahwa mereka pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana terlukiskan pada

Mereka keras terhadap kaum muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya sebaliknya mereka membiarkan kaum kafir dan bahkan menjadikan teman kepercayaan seperti yang telah kami uraikan dalam tulisan pada

Hal ini berlawanan dengan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (Qs. Ali-Imran : 28)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai  Allah sebagai teman ? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar