Kita pahami bahwa Allah menghendaki agar kita kaum muslim tidak bercerai-berai sebagaimana firmanNya yang artinya,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali-Imraan : 103).
Namun saat ini kita temui bahwa kita belum lagi bersatu dan menegakkan Ukhuwah Islamiyah karena terjadinya perbedaan pemahaman/i’tiqad/akidah.
Diantara yang berbeda dengan kaum Ahlussunah wal Jama’ah adalah antara lain yang jumlahnya cukup banyak, kaum Syiah dan kaum Salaf(i) / Wahabi.
I’tiqad/akidah kaum Syiah terlampau banyak perbedaannya dengan Ahlusunnah Wal Jama’ah diantaranya, kaum Syiah hanya mengakui hadits-hadits yang diriwayatkan Saidina ‘Ali, Saidinan Hasan dan Husen dan mereka menolak hadits-hadits dari Saidina Abu Bakar, Umar dan Ustman, apalagi hadits-hadits yang dirawikan oleh Sahabat-sahabat Nabi dari suku Bani Umayyah, semuanya tak diterima.
Sebagian kaum Syi’ah ada yang mempercayai bahwa ruh Imam-imam itu turun temurun, dari Imam Ali turun ke bawah, turun lagi kebawah sampai kepada Imam yang ke 12, sehingga ruh itu menjadi suci.
Di dalam Islam tidak diakui paham “Ruh turun temurun”. Setiap orang mempunyai ruh tersendiri yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan bersama jasadnya tentang apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia.
Mereka percaya bahwa Imam itu ma’shum terjaga dari segala kesalahan besar atau kecil. Apa yang diperbuat adalah benar, sedang apa yang ditinggalkan adalah berarti salah.
Bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, khalifah (yang dalam golongan Syi’ah dinamai Imam) adalah manusia biasa yang dapat salah dan lupa. Jadi tidak ma’shum sebagaimana pandangan Syi’ah
Lain lagi kaum Syiah aliran Abdullah bin Saba (Yahudi dari Yaman) yang meyakini Saidina Ali sebagai putera Mahkota dari Nabi Muhammad dan meyakini Ali tidak terbunuh melainkan Ali naik ke langit. Suara guruh dan petir adalah suara Saidina Ali yang marah melihat tindak tanduk Mu’awiyah, kata Abdullah bin Saba .
Salah satu pokok bagi i’tiqad kaum Syiah adalah at-taqiyah yaitu menyembunyikan paham yang sebenarnya dan melahirkan yang lain daripada yang ada dalam hati. Paham at-taqiyah ini sama dengan “membohong”. Bagi kaum Syiah kalau kita takut boleh melahirkan bohong, boleh melahirkan apa yang tidak ada dalam hati. Hal ini betentangan dengan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tetap beranggapan termasuk golongan orang munafik.
Begitu juga ada perbedaan dengan I’tiqad kaum dengan pemahaman dari Muhammad bin Abdul Wahab atau dikenal dengan nama kaum Wahabi atau kaum Salaf(i).
I’tiqad Muhammad bin Abdul Wahab sepemahaman dengan I’tiqad Ibnu Taimiyah bahkan sebagian orang mengatakan lebih lebih fanatik dan lebih radikal dari Ibnu Taimiyah.
Bagi saya pemahaman Wahabi cenderung menuju sekuler lebih mengutamakan urusan individu terhadap Tuhan dan “menyerahkan” urusan negara bagi penguasa. Sehingga mereka berpegang teguh untuk taat terhadap penguasa walaupun zhalim asalkan masih sholat dan penguasa tidak memerintahkan berbuat maksiat. Kecenderungan ini terjadi karena sikap pragmatis dari Muhammad bin Abdul Wahab..
Berdasarkan sejarah, gerakan da’wah wahabi pada awalnya ditolak dibeberapa tempat. Pahamnya tidak diterima di Basrah juga tidak diterima di “Ainiyah, sehingga ia diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa. Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam, buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya. Sulaiman bin Abdul Wahab.
Tersebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima ”.
Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan enam!
Muhammad: Apa, ?
Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : Terdiam dan marah.
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku“As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” yang tersebut di atas tadi.
Dari buku ini kita dapat melihat fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab yang ganjil-ganjil.
Pemahaman Abdullah bin Abdul Wahab sangat berbeda dengan pemahaman jumhur ulama (ulama pada umumnya) namun akhirnya dapat diterima di Dur’iyah.
Raja Dur’iyah bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam penyiaran paham-pahamnya.
Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang berlain kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi (yang sesuai) untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka bersatulah antara paham agama dengan raja, sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya paham Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman (sebelum Republik).
Keturunan Muhammad bin Sa’ud yang akhirnya “menguasai” daerah Hijaz dan sekitarnya sehingga terbentuk Kerajaan Saudi Arabia .
Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik suka cita melihat pemahaman “nation state” (negara bedasarkan kesatuan bangsa) atau yang lebih kita kenal dengan nasionalisme dapat diterima dan diwujudkan oleh kaum muslim di jazirah arab.
Padahal sejak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama bertahun-tahun sampai dengan berakhirnya kesultanan Turki Ustmani pada tahun 1924M.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan/hukum dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad).
Contoh ikatan shalat yang terlepas adalah kaum Ahmadiyah tidak mau sholat berjamaah dengan kaum non Ahmadiyah. Ini sebagai contoh memang mereka berbeda dengan kaum Ahlus sunnah wal jama’ah.
Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik ketika perang dunia dan penyerangan/ peperangan ke negeri/ wilayah muslim melakukan pengrusakan sumber-sumber tulisan, buku-buku karya Imam Muslim terdahulu, manuskrip yang banyak tersimpan di perpustakaan-perustakaan dan pelbagai tempat penyimpanan. Tidak seluruhnya mereka rusak namun mereka mempelajari terlebih dahulu yang mana sesuai dengan maksud/tujuan mereka. Oleh karenanya banyak tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah banyak tersimpan dengan baik di negeri-negeri yang dikuasai orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Merekapun turut membantu menyebarluaskan / penerbitan ulang karya-karya Ibnu Taimiyah yang ulama sejaman dengannya banyak berbeda pendapat dengan harapan terjadi konflik sesama muslim. Mereka turut menyebar luaskan dengan dalih pembaharuan. Sedangkan di luar jazirah Arab mereka menakut-nakuti dan menganjurkan kaum muslim untuk waspada terhadap paham Wahabi. Mereka sejatinya memecah belah umat muslim, “devide et impera” (farriq tasud).
Berpegang teguhlah pada peringatan yang di firmankan Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Sedangkan kaum Wahabi “mengundang” orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik untuk mendirikan pangkalan militer . Sehingga kaum Wahabi akan tetap menjaga dan melindungi mereka dengan dalil terikat perjanjian (al-mu’âhad).
Kaum Wahabi meneruskan “perjanjian” pengolahan minyak bumi yang membuat kekayaan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik makin bertambah sehingga mereka sanggup membiayai persenjataan untuk mengganggu kehidupan dan membunuh saudara-saudara muslim kita dipelbagai negeri muslim.
Hal serupa terjadi pula di negeri kami Indonesia, dimana pemerintah selalu meneruskan “perjanjian” pengolahan minyak bumi, hasil alam, hasil tambang lainnya yang merupakan karunia Allah, sehingga membuat kekayaan orang-orang Yahudi dan orang Musyrik bertambah banyak. Sehingga bertolak belakang dengan slogan “mendukung” saudara-saudara muslim yang sedang terjajah di negeri lain. Hal ini membuat pemimpin / penguasa menjurus kepada golongan orang munafik. Naudzubillah min zalik. Semoga Allah memberikan kekuataan kepada para pemimpin / penguasa untuk dapat mentaatiMu dan Rasulullah serta berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan pemahaman antara Wahabi dan kaum Ahlussunnah Wal Jamaah ini yang dapat kita lihat dalam hal “pembiaran” masalah Palestina. Walaupun Kerajaan Arab Saudi dan negara lain-lain yang tergabung dalam OKI sebenarnya mempunyai “kekuasaan” untuk menegakkan kebenaran terhadap masalah Palestina tidak lagi selemah-lemahnya bantuan hanya dengan doa semata.
Bagi kaum Wahabi, saudara-saudara muslim yang berjuang di Palestina (seperti HAMAS) adalah mereka yang tidak mengikut ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan mereka juga termasuk Ahlul Bidaah. Oleh karenanya fatwa-fatwa mufti Wahabi menyerukan (bahkan cenderung memastikan) bahwa saudara-saudara muslim yang berjuang di Palestina untuk bertobat.
Bagi kaum Wahabi, faktor penyebab berkuasanya kaum kuffar terhadap kaum muslimin adalah semata-mata kelemahan dan pertikaian pada kaum muslimin itu sendiri, mendurhakai perintah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan hasrat mereka terhadap dunia yang lebih didahulukan.
Bahkan sebagian kaum Wahabi menuduh mereka berperang dgn Yahudi hanya karena tanah (hasrat terhadap dunia) bukan agama.
Sesungguhnya yang membuat Wahabi menjaga jarak dengan kaum Ahlu sunnah wal jamaah adalah salah satunya karena perbedaan pemahaman tentang bid’ah.
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Arti kata-kata “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan kedunian atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Hal lain perbedaan kaum Wahabi dengan kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keenganan mereka untuk berkelompok / berjama’ah / jama’ah minal muslimin karena kekhawatirkan akan terjadinya fanatik tahazzub (bergolong-golongan), hizbiyyah yang memecah belah kaum muslim. Padahal Allah mewajibkan kita berjamaah sesuai firmanNya yang artinya,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali-Imraan : 103).
Agak aneh kita temui dalam terjemahan Al-Qur’an akhi-akhir ini kalimat “secara berjama’ah” tidak dicantumkan.
Turunnya ayat ini, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar peristiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpelukkan.
Sesungguhnya keenganan berjamaah adalah mendukung paham orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik, akan bersandar pada kekuatan individu. Sebagaimana mereka mensosialisakan demokrasi pemilihan langsung oleh rakyat/individu padahal kita lebih baik secara perwakilan (ahlul halli wal ‘aqdi) atau bersandar pada jama’ah yang berkompeten, berilmu dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Dirikanlah jama’ah minal muslimin dengan semangat Ukhuwah Islamiyah dan dalam harapan terwujudnya jama’atul muslimin disaat Allah menghendakinya nanti.
Sekali lagi, mari kita tegakkan Ukhuwah Islamiyah tanpa memandang bangsa, suku, ras, warna kulit, negara, wilayah, kerajaan, aliran, manhaj, metode, madzhab, golongan, tarekat, kelompok maupun jama’ah. Kita bersatu dalam kesatuan akidah Islam dan bersaudara sesama muslim.
Berikut pegangan kita untuk saling mengasihi dan bersaudara karena Allah,
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” ( Qs. Al-Hujjarat :10)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs Al-Hujurat : 13)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai. Apakah tidak perlu aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya maka niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian! (HR. Muslim).
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat mereka yang bukan para Nabi maupun para Syuhada, namun para Nabi dan para Syuhada cemburu dengan mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepada kami, siapakah mereka? “ Beliau bersabda: ”Mereka adalah kaum yang saling mencinta dengan ruh Allah, mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka maupun harta yang mereka kejar. Maka, demi Allah, sungguh wajah mereka bercahaya, dan mereka di atas cahaya. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih.” Lalu beliau membacakan ayat: ”Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak merasa takut dan tidak bersedih hati.” (HR Abu Dawud 3060)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
Sesunguhnya kelak di Hari Kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku”
Jalinan persaudaraan yang ada antara kaum muslimin adalah jalinan yang lahir akibat adanya persamaan yang mendasar antara kita, yaitu persamaan akidah tauhid yang terwujud melalui dua kalimat syahadat, dengan demikian seluruh yang mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi bersaudara.
Ukhuwah Islamiyah memiliki peranan yang penting bagi kehidupan muslim. Sehingga syareat Islam menggariskan beberapa aturan agar hubungan sesama kaum muslimin selalu Bagai tanaman yang harus dipupuk dan disiram, begitu pula ukhuwah Islamiyah haruslah dijaga dan dikokohkan.
Sekali lagi, marilah kita teguhkan Ukhuwah Islamiyah apapun suku, ras, warna kulit, negara, wilayah, kerajaan, aliran, manhaj, metode, madzhab, golongan, tarekat, kelompok maupun jama’ah.
Klo kita bersatu maka akan ada kekecewaan dikalangan orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar bagi orang-orang mukmin.
Orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar adalah yang sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Jadi sekali lagi harus diingat bahwa yang mempunyai rasa permusuhan yang besar terhadap orang mukmin bukanlah sesama muslim.
Juga marilah kita “periksa” pemahaman / i’tiqad / manhaj / metode masing-masing agar kita mendapatkan kebahagian akhirat kelak.
Jika sepanjang hidup dengan paham / i’tiqad / manhaj yang dipilih ternyata hanya disibukkan dengan “pembenaran”, “mencari-cari” dalil semata sehingga tidak menegakkan/mendapatkan kebenaran sejati. Sebagaimana Saidina Ali mengingatkan, “kalimatu haqin urida bihil batil” yang artinya perkataan/dalil yang benar dengan tujuan yang salah atau perkataan/dalil yang benar untuk maksud / tujuan yang “lain”.
Sekali lagi marilah kita berjalan diatas “kebenaran” dengan merujuk pada Al-Qur ‘an dan Hadits dan hindarilah berjalan diatas “pembenaran” dengan Al-qur’an dan Hadits karena akan membuat anda lelah dan merugi.
Wassalam
Catatan :
Pemahaman penulis, Wahabi berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah walaupun mereka mengakui sebagai/termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah atau mereka mengakui sebagai Ahlussunnah saja.
Tulisan terkait bacalah bahaya laten
Link terkait yang perlu kajian lebih lanjut dan otentifikasi (periksa kebenarannya).
=====
9 April 2010 oleh mutiarazuhud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar