Perlunya Madzhab

Kembali ke Qur’an dan Hadits
Tanya:
Saya hanya sekedar bertanya, Islam kok pakai Mahdzab si Anu & si Anu ? Bukankah  yang benar,  yang mengikuti Qur’an & Hadist?

Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perkenankan saya mengajukan pertanyaan: Apakah dengan mengikuti suatu madzhab berarti tidak mengikuti Qur’an dan hadits?
Bisa dicek, hasil ijtihad mana (dalam suatu madzhab) yang tidak kembali kepada Qur’an dan hadits,  kecuali bila Qur’an dan Hadis itu tidak mengaturnya.
Jika demikian, apakah suatu hasil ijtihad yang tidak kembali ke Qur’an dan hadits (karena tidak terdapat landasannya dalam al-Qur’an dan Hadis), bisa dianggap berlawanan dengan keduanya?
Memang sumber hukum yang utama adalah al-Qur’an, nomor dua hadits, namun cara berfikir masing-masing mujtahid itu kan berbeda-beda?
Contoh:
Salah satu yang membatalkan wudhu’  adalah bersentuhan dengan perempuan (selain mahram) berdasar ayat 6 Surat al-Maidah.  Ayat yang dibahas satu itu, tapi kenyataan pendapat mereka berlaian.
Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dnegan “al-lams” (bersentuhan) dalam ayat tersebut adalah bersetubuh.  Sehingga wudhu’ hanya akan batal karena melakukan setubuh (Arab = jimaa’), dan tidak batal dengan sekedar bersentuhan kulit –baik ada syahwat saat bersentuhan atau tidak.
Malikiyah dan Hanbaliyah mengatakan wudhu’ tidak batal bila tidak ada syahwat saat bersentuhan, dan batal jika disertai dengan syahwat. Karenanya, walaupun yang disentuh itu anak ingusan, bila ada syahwat, tetap batal.
Hanbaliyah: hanya perempuan yang wajarnya menimbulkan syahwat saja yang membatalkan. Demikian, karena kedua madzhab (Malikiyah dan Hanbaliyah) ini melandaskan pendapatnya di samping pada ayat di atas juga pada beberapa hadis yang menyiratkan tidak batalnya wudhu’ hanya sekedar dengan bersentuhan biasa (tanpa syahwat).
Syafi’iyah: tambah ketat lagi, baik ada syahwat atau tidak, jika yang disentuh itu perempuan yang sudah baligh maka membatalkan wudhu’. Argumennya, yang dimaksud dengan “al-lams” dalam ayat 6 surat al-Maidah itu adalah bersentuhan secara hakiki, antara dua kulit yang berlainan jenis, laki-laki dan perempuan yang sama-sama dewasa.
Itu satu contoh kecil. Dan perbedaan-perbedaan yang lain pun terjadi karena demikian itu: metodologi istinbath (pengambilan dalil) yang berlainan.
Lalu bagaimana sikap kita?
Kita, selama belum mampu berijtihad sendiri ya mengikuti saja yang sudah ada, yang cocok dan mantap untuk kita laksanakan.
Dan jika Qur’an dan Hadis itu belum mengatur, atau sudah mengatur tapi sifatnya temporer, maka kita diharuskan berijtihad menggunakan akal kita. Yang terpenting adalah kita selalu mengupayakan kemaslahatan umat manusia.
Arif Hidayat
——————————
“…menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama…”

8 Tanggapan
Kalau memilih milih mahzab berdasarkan yang termudah gimana hukumnya?



pada 20 Mei 2010 pada 5:02 pm | Balasmutiarazuhud
Islam adalah sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Pada zaman beliau umat Islam belum mengenal mazhab-mazhab.
Namun, setelah beliau tidak ada dan peranannya dipegang oleh para sahabat, timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menafsirkan (istinbath) hukum-hukum Allah.
Rasulullah tidak pernah menyuruh umatnya mengikuti sahabat yang satu dan melarang mengikuti sahabat yang lain. Tetapi Rasulullah mengisyaratkan bahwa mengikuti salah seorang dari mereka berarti telah mengikuti kebenaran. Artinya, fatwa-fatwa para sahabat yang saling berbeda diakui keberadaannya oleh Rasulullah. Selanjutnya, beliau membenarkan siapa pun yang mengikuti fatwa-fatwa salah satu mereka.

Sejarah tidak pernah mengungkapkan bahwa ada sahabat yang mengikuti pendapat (taqlid) sahabat yang lain dengan alasan rukhsah (keringanan). Yang ada adalah sahabat yang mengambil pemikiran sahabat lainnya karena melihatnya lebih dekat kepada kebenaran.
Dari analisa di atas kita pahami bahwa mengikuti salah satu ulama shahibul mazahib dengan tujuan mencari keringanan atau rukhsah tidak ada pembenarannya baik di masa Rasulullah maupun di masa sahabat. Mencari-cari rukhsah adalah indikasi ketidakikhlasan dalam beragama. Dengan kata lain, seyogyanya umat Islam memilih salah satu pendapat yang paling diyakini berdasarkan ilmu dan pemikirannya, bukan yang termudah menurut hawa nafsunya.
Lain halnya seseorang yang mendapat kesulitan dalam beramal, seperti pengikut mazhab Syafi’i yang sulit sekali menjaga wudhu’ di Masjidil Haram pada musim haji. Bagi mereka, bersentuhan kulit antara lawan jenis yang bukan muhrim membatalkan wudhu’, sedangkan kondisi di tempat itu penuh sesak laki-laki dan perempuan disebabkan keberadaan kiblat di tengah masjid dan tempat thawaf yang satu. Dalam hal ini, apabila ada pendapat lain yang sesuai Al-Quran dan Hadist yang bisa dilaksanakan, maka mereka dapat mengikuti pendapat yang lain tersebut untuk menyelamatkan amalannya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Kesimpulan kami: Ikutilah pendapat imam madzhab dengan ilmu dan pemahaman, karena Allah memberikan karunia hikmah (pemahaman yang dalam) kepada siapapun yang Allah kehendaki.




tolong penjelasan untuk mazhab syiah



mengapa cuma ada 4 mazhab? apakah mazhab jafariyah yang dipakai orang2 syiah tidak termasuk? imam hanafi dan maliki merupakan murid dari imam jafar. tolong penjelasannya



pada 9 Februari 2011 pada 11:27 am | Balasmutiarazuhud
Yup, sebenarnya mazhab lebih dari empat. Yang populer, mazhab yang empat itu bahkan diibaratkan setiap sisi ka’bah merupakan perlambangan 4 mazhab tsb.
Wallahu a’lam



Mas -Saya ada pertanyaan , yang saya tidak mengerti , kenapa antar Madzhab saling sikut -( Ekspansi Madzhab) utamanya Madzhab yang bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah , apakah mereka ( yang didalamnya ) merasa sangsi atas hasil Ijtihad Imam yang diikutinya sehingga butuh dukungan yang lebih ……….atau memang iri karena melihat Madzhab lain lebih maju dan terurus.
Untuk menghindari percekcokan antar umat , alangkah lebih baik masing -masing penceramah membuka identitas dirinya ( kejujuran) dalam memberikan FATWA , misal :….menurut pandangan WAHABI …atau…Syi’ah…bahwa Bid’ah itu…(bla..bla…bla..) yang merujuk pada kitab…(…ini…) yang di fatwakan oleh Ulama kami (…si fulan…)……Jadi orang yang dengar bisa ngambil kesimpulan , apakah yang lebih baik itu Madzhab yang ini ….atau ….yang ono…gitu lho… makasih , wassalam.



pada 2 Maret 2011 pada 4:25 pm | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam
Pada hakikatnya tidak ada yang namanya ekspansi madzhab.
Kita mengikuti ulama kaum kita atau ulama di mana tempat kita hidup/tinggal

” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Begitupula ketika sholat berjamaah di manapun atau di negara manapun, kitapun mengikuti imam dari madzhab mana pun.
Kita mengikuti mazhab di tempat (kaum) kita tinggal agar kita dapat hidup “berjamaah” dan memudahkan untuk mendalami, menjalankan agama dan saling mengingatkan. Mazhab yang mana pun pada hakikatnya berupaya untuk berada pada jalan yang lurus. Pada hakikatnya kita “berjamaah” bukan hanya pada saat sholat saja namun “berjamaah” setiap saat dan Allah ta’ala sangat meridhoi hambaNya yang berjama’ah.
“Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku” QS (Al Fajr [89] 27-30 )
Umumnya umat muslim salah memahami hadits ”73 golongan masuk neraka dan hanya satu masuk surga”.
Keputusan kita termasuk ke dalam golongan “satu yang masuk surga” adalah merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla. Kita sebagai hambaNya hanya bisa berupaya agar kita termasuk ke dalam golongan “satu yang masuk surga” dengan sikap takut (khauf) dan harap (raja). Kita selalu takut tidak termasuk ke dalam golongan “satu yang masuk surga” namun kita tetap berkeyakinan mempunyai harapan atau kita berharap kepada Allah Azza wa Jalla agar Allah ta’ala meridhoi kita untuk dapat masuk ke dalam golongan “satu yang masuk surga”.

Mereka yang masuk ke dalam golongan “satu yang masuk surga” bisa berasal dari mazhab manapun, kelompok manapun, jama’ah manapun, harakah manapun, tarekat manapun, organisasi massa manapun dan bentuk jama’ah minal muslimin manapun asalkan beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya



Terimakasih Jawabannya , mudah-mudahan kita semua ada dalam Ridha Allah swt. wassalam.
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar