Syariat Thariqat Hakikat Makrifat

Mereka bertanya, apa sih maksud syariat itu seperti kulit?  apakah karena remeh lalu syariat di anggap hanya kulit?
Untuk menjawab pertanyaan ini kami kutipkan apa yang disampaikan oleh KH Jamaluddin Kafie pada bukunya berjudul “Tasawuf kontemporer”
****awal kutipan****
Tanaman
Kalau Tasawuf diibaratkan tanaman, maka pohon sebagai syariat. Thariqatnya adalah menyiram, memupuk dan memeliharanya dari benalu dan berbagai macam gangguan, agar menghasilkan buah hakikat. Berhasilnya orang yang menanam tanaman itu dapat mencicipi dan menikmati buah tanamannya tersebut itulah makrifat.


Perjalanan
Orang yang akan atau sedang melakukan perjalanan, ibaratnya sebuah kendaraan. Jalan raya yang harus dilalui merupakan syariat. Thariqat adalah jalan-jalan kecil sebagai jurusan yang akhirnya mengarah kepada terminal hakikat. Dari sinilah kemudian perjalanan dilanjutkan menuju ke tujuan akhir yaitu makrifat.


Telur
Kalau tasawuf disimbolkan berupa sebutir telur, maka kulit luarnya sebagai syariat, putih telurnya thariqat, sedangkan merah telur adalah hakikat dan inti dari merah telur sebagai makrifat.
Tidak ada telur tanpa kulit, sebagaimana tasawuf tanpa syariat. Bahkan kulit telur itu diupayakan jangan sampai retak, apalagi pecah. Jadi harus tetap utuh. Kalau tidak, maka seluruh isi telur itu akan membusuk dan tidak berguna lagi.
Unsur paling penting dari sebutir telur adalah titik inti pada merah telur itu (makrifat). Titik inti ini tidak akan kita dapati pada telur yang dihasilkan dari “ayam petelur”, karena telur semacam itu artificial (bikinan), atau boleh disebut tasawuf palsu (pseudo shufi) yang biasa dilakukan oleh kalangan mustawif (mereka yang pura-pura bertasawuf). Titik inti itu hanya akan kita dapatkan dalam merah telur, karena tidak ada makrifat sebelum mencapai hakikat. Merah telur dibungkus dengan putih telur sebagaimana hakikat merupakan perolehan setelah menjalani thariqat. Semuanya berada di dalam kulit telur. Artinya, semuanya tetap berada di dalam koridor syariat.
“Demikianlah Kami telah jadikan kamu berada di atas satu syariat tentang urusan agama ini, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu mengikuti kemauan orang-orang yang tidak mengetahui “(QS Aljatsiyah 18)
*****akhir kutipan*****
Kami ulangi kembali nasehat dua ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan Hadits
Imam Syafi’i rahimahullah telah menasehatkan, “Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)“. [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Begitupula nasehat Imam Malik Rahimahullah, “dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . Hnya siapa yang memadukan keduannya terjamin benar “.

Wassalam
 Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar