Generasi Terbaik

Kesalahpahaman tentang Generasi Terbaik
Sebagian muslim menyerukan supaya kita ramai-ramai mengikuti generasi Salaf. Ketika mereka mengetahui bahwa saya seorang muslim yang sependapat, mendalami dan menyiarkan  Tasawuf dalam Islam, mereka mengatakan seperti ini,
“Sezuhud-zuhudnya, sewara’-wara’nya, se tawadhu’-tawadhu’nya generasi Khalaf….Tidak akan pernah mampu menandingi generasi salaf”
Pernyataan ini mereka merujuk pada hadits berikut,
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya“. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.
Bagaimana mungkin matan hadits tersebut “sebaik-baiknya manusia adalah (yang hidup) di zamanku” berlaku untuk seluruh manusia generasi salaf di zaman Rasulullah SAW.
Matan hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an yang lebih banyak menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap kebanyakan kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saw?. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita kebanyakan dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), masih berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa’: 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan kebanyakan mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).
Kalau pula dikatakan bahwa ketiga generasi itu yang dikatakan terbaik, orang-orang muslim semuanya akan berpegang teguh pada satu akidah yang benar sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw.

Namun realitanya beragam sekte, firqah dan mazhab dalam masyarakat Islam timbul pada generasi itu.
Khawarij muncul dipenghujung tahun ke-30 H, mereka memiliki akidah yang batil mengenai keimanan, mereka membunuhi kaum muslimin yang berselisih paham dengan keyakinan mereka, dengan mudah mereka menyematkan kekafiran kepada banyak kaum muslimin, sehingga hamparan bumi bersimbah darah karenanya. Belum berakhir satu abad pertama, kembali muncul Murjiah, mereka mengajak umat Islam untuk berlepas dari tatanan dan komitmen syariat dengan slogan yang terkesan humanis dan elegan, “Selama seseorang masih beriman, maksiat apapun yang dilakukan tidak tercatat sebagai dosa”. Iman bagi paham ini cukup dengan ucapan, sehingga berbagai kewajiban agama, moralitas dan berbagai kode etik diremehkan dan ditinggalkan. Tidak lama berselang setelah itu, muncul kembali Mu’tazilah pada tahun 105 H dengan jarak yang singkat sebelum wafatnya Hasan al Bashri. Kehadiran paham baru ini semakin membuat jurang perselisihan dan perpecahan kaum muslimin semakin menganga dan melebar dan bahkan terkadang perselisihan yang ada mesti diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Bagaimana mungkin sebuah hadits bertentangan dengan realita yang terjadi ?
Pengertian sebenarnya dari Salafush Sholeh adalah mereka-mereka generasi salaf yang sholeh, sholeh = berakhlak baik. Yang menjalankan ketiga pokok ajaran Islam , termasuk Ihsan yang artinya berakhlak baik atau pun muslim yang terbaik atau muhsinin. (Ihsan dalam bahasa arab artinya terbaik, sempurna).
Siapa mereka ?, tentu adalah para Sahabat, para Tabi’in dan para Tabi’ut Tabi’in, disini jelas yang dimaksud adalah orangnya bukan generasinya.
Lalu, apakah tidak mungkin muslim yang hidup setelah generasi Salaf menjadi muslim yang terbaik, berakhlak baik, atau muhsinin ?
Firman Allah SWT, “Sungguh sebaik-baiknya diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat: 13).
Allah SWT berfirman, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Qs. Al-’Asr: 1-3). Ayat ini menegaskan manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka beriman, mengerjakan kebajikan, saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Allah SWT tidak mempersyaratkan generasi, masa dan zaman di mana seorang hambanya hidup dan bermukim.
Seorang manusia tidak pernah memilih dan tidak punya ikhtiar mengenai kapan dan dimana ia dilahirkan, sebab telah menjadi hak mutlak Allah swt untuk menetapkannya. Karenanya berdasarkan falsafah keadilan Ilahi adalah keniscayaan tidak menjadikan semata-mata masa dan tempat lahir sebagai persyaratan seseorang disebut memiliki kebaikan dan kemuliaan, melainkan berdasarkan kekuatan iman, kedalaman ilmu dan keikhlasan amal.
Coba kita perhatikan hadits diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah saww dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah saww adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau saww menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dimana beliau berkata hadis ini shahih.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih. Dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak Ash Shahihain juz 4 hal 85 hadis no 6992 dimana Beliau berkata hadis tersebut shahih dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak
Begitu juga ada sebagian muslim yang menyerukan bahwa kita sebaiknya tidak mengikuti Imam Madzhab yang empat yakni, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, karena mereka tidak maksum (terjaga dari kesalahan).  Padahal kita tahu bahwa yang maksum adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Imam Madzhab yang empat mengikuti Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Mereka menggali hukum (fikih) berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Begitu pula dengan metode pemahaman mereka secara dzahir, harfiah atau tekstual mereka beralasan kenapa kita tidak perlu mengikut imam madzhab yang empat, karena imam madzhab pernah menyatakan bahwa jika kita menemukan pendapat mereka yang keliru maka kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Mereka memahami pernyataan imam-imam madzhab itu dengan apa-adanya atau tekstual atau secara tersurat.
Padahal maksud Imam-Imam madzhab itu adalah agar kita mengikuti mereka tetap  merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Yang tersirat dari pernyataan Imam-imam Madzhab itu adalah  sikap tawadhu mereka. Ini adalah suatu tauladan akhlak yang terpuji.
Marilah kita mendalami dan menjalankan pokok-pokok ajaran dalam Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  Tasawuf). Kita mendalami dan menjalankan keseluruhan pokok-pokok ajaran dalam Islam  agar menjadi muslim yang sholeh, muslim terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin  yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah.
Seolah-olah melihat Allah timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perbuatan/perilaku secara sadar dan Mengingat Allah.
Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Alllah
Bagaimana caranya?
Caranya adalah menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah,
Artinya setiap perilaku kita / akhlak kita selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.
Contoh:
Kita mendirikan Sholat , sholat sudah mengikuti Al-Qur’an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah (Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh. Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !
Jadi yang benar adalah,  sholat mengikuti Al-Qur’an dan Hadits (fikih), sholat diniatkan karena Allah (Ushuluddin) dan dilakukan secara sadar dan mengingat Allah (tasawuf) ===> amal ibadah sholat kita akan sampai (wushul) ke hadhirat Allah. Inilah yang disebut sholat adalah mi’raj nya kaum muslimin (Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin ).
Wassalam
Zon di Jonggol
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar