Ikutilah orang sholeh

Ikutilah salaf yang sholeh atau orang sholeh yang kemudian (khalaf) sampai akhir zaman.
waman yusyaaqiqi alrrasuula min ba’di maa tabayyana lahu alhudaa wayattabi’ ghayra sabiili almu’miniina nuwallihi maa tawallaa wanushlihi jahannama wasaa-at mashiiraan
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS An Nisaa [4]:115 )
Asbabun Nuzul:
Qatadah bi nu’man berkata: kedua ayat ini diturunkan sebagai teguran Allah kepada orang-orang yang menggabungkan diri dengan musuh kaum muslimin setelah datang ajaran yang benar secara nyata dan jelas, yaitu ajaran Allah dan RasulNya” (HR Tirmidzi dan Hakim)

Ayat di atas “dipergunakan” oleh ulama mereka untuk membenarkan adanya manhaj atau mazhab Salaf.
Ulama mereka berpendapat bahwa (QS An Nisaa [4]:115) adalah dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti ”jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat
Mereka berpendapat seperti itu berdasarkan pendapat ulama Ibnu Taimiyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat ”jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para Sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Memang benar orang-orang mu’min ketika itu adalah para Sahabat namun kata ‘mukminin’ atau golongan orang-orang beriman dalam ayat di atas, mencakup seluruh orang-orang beriman dari jaman para sahabat sampai hari kiamat nanti, selama mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Orang yang menentang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam ayat diatas adalah orang-orang kafir, orang-orang yang tetap “berpaling” setelah kedatangan Rasulullah. Mereka adalah orang yang “mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min” atau orang yang mengikuti jalan yang sesat. Mereka tersesat karena menyekutukan Tuhan, hal ini dapat kita pahami pada ayat berikutnya,
“inna allaaha laa yaghfiru an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzaalika liman yasyaau waman yusyrik biallaahi faqad dhalla dhalaalan ba’iidaan”
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa’ [4]:116)

Jadi (QS An Nisaa [4]:115 ) tidak ada hubungannya dengan manhaj atau mazhab Salaf.
Mereka “menggunakan” ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, dan mereka maknai sesuai keinginan (hawa nafsu) mereka untuk dihantamkan kepada para kaum muslim yang tidak sepaham dengan pemahaman mereka.
Mereka katakan kaum muslim yang tidak sepamahaman dengan mereka adalah telah menentang Rasulullah dan kemudian mereka mencari-cari nash-nash Al-Qur’an yang artinya “menentang Rasulullah” dan mereka temukan dalam (QS An Nisaa [4]:115 ). Padahal telah jelas bahwa yang dimaksud orang yang menentang Rasulullah adalah orang-orang kafir yang menolak bersaksi / bersyahadat atau mereka yang menolak menjadi muslim atau mereka yang memusuhi kaum muslim yang telah bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, sebagaimana asbabun nuzul yang telah disampaikan di atas.
Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat atau bahkan berfatwa bahwa,
“Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatakan dan menasabkan padanya, bahkan wajib menerimayang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada manhaj salaf kecuali kebenaran (Majmu’ Fatawa 4/129).

“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “manhaj salaf” atau “mazhab salaf” adalah pasti kebenaran.
Kebenaran hanyalah yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan melalui perkataan Nabi kita, Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
yaa ayyuhaa alnnaasu qad jaa-akumu alrrasuulu bialhaqqi min rabbikum“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu” (QS An Nisaa’ [4]:140 )
wamaa yanthiqu ‘ani alhawaa“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya” (QS AN Najm [53]:3 )
in huwa illaa wahyun yuuhaa
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS AN Najm [53]:4 )

Jika manhaj atau mazhab salaf itu adalah kebenaran pastilah sudah dikatakan/disampaikan oleh para Salafush Sholeh yang mengambil/mengikuti dari perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Kenyataannya perkataan/pendapat tentang “mazhab salaf” maupun “manhaj salaf” hanya perkataan ulama diantara lain adalah ulama Ibnu Taimiyah
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas ra) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Artinya pendapat/perkataan/pemahaman dari kita bisa diambil dan bisapula ditolak kecuali perkataan Rasulullah pastilah kebenaran.
Sedangkan kita kenal ada Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali yang kita sandingkan kepada nama para Imam Mazhab karena kita tahu para Imam Mazhab memang mengakui telah melakukan upaya pemahaman (ijtihad) atau mereka telah mengakui penggalian hukum (istinbath) dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan upaya pemahaman ulama Ibnu Taimiyah terhadap Al-Qur’an dan Hadits , dia sandingkan kepada mazhab salaf atau manhaj shalaf, padahal itu pemahaman beliau semata. Jumhur ulama berpendapat bahwa ulama Ibnu Taimiyah belum sampai derajat imam mujtahid sehingga kita tidak mengenal nama mazhab yang disandingkan kepada nama beliau.
Istilah mazhab salaf bisa menghipnotis kaum muslim, seolah-olah setiap perkataan ulama yang bermazhab/bermanhaj salaf pastilah kebenaran. Inilah yang terjadi pada sebagian saudara-saudara kita yang telah bersyahadat namun mengikuti ulama bermazhab/bermanhaj salaf, mereka seolah terhipnotis sehingga tidak lagi menggunakan akal dan hatinya untuk memahami kebenaran yang sesungguhnya.
Ulama Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang berkeinginan pintu ijtihad terbuka kembali namun syarat kemampuan sebagai mujtahid diabaikan oleh mereka. Bagaimana dikatakan mereka mempunyai kemampuan berijtihad ketika kita tahu mereka tidak memahami kata kiasan (balaghoh) sebagai contoh kecil “dengan Rasulullah” sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/10/dengan-rasulullah-2/
Semakin kita dapat memahami memang ada pihak yang ingin mengangkat kembali pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa adanya mazhab Salaf dan pastilah kebenaran untuk menghantam mayoritas kaum muslim yang bermazhab dengan Imam Mazhab.
Mereka berpendapat bahwa para Imam Mazhab pun telah melarang kaum muslim untuk mengikuti (taqlid) kepada mereka sebagaimana apa yang mereka pahami dengan perkatan Imam Mazhab seperti.
Imam Asy Syafi’I berkata: “Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taqlid kepadaku.” (Lihat Manaqib asy Syafi’i, 1/472 dan 473)
Kalau kedua perkataan diatas adalah larangan untuk mengikuti (taqlid) kepada Imam Mazhab lalu buat apa para Imam Mazhab melakukan ijtihad atau beristinbath ?
Apakah hasil jerih payah Imam Mazhab tidak untuk diikuti oleh kaum muslim namun hanya sekedar untuk memenuhi lemari buku saja ?
Imam Asy Syafi’i dengan dua perkataan diatas hanya mengingatkan agar kita meninggalkan perkataan/pendapat beliau hanya jika menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Jadi kita dilarang taqlid hanya kepada perkataan Imam Asy Syafi’i yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam saja dan untuk itulah kita bermazhab seraya merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber para Imam Mazhab melakukan istinbath.
Pada kenyataannya kita sangat jarang mendapatkan perkataan/pendapat Imam Mazhab yang menyelisihi Al-Qur’an maupun Hadits. Memang para Imam Mazhab tidak maksum namun mereka itu mahfuzh (dipelihara) dengan pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang soleh. Mereka yang dengan sholatnya telah terjaga dari perbuatan keji dan mungkar atau mereka yang dengan sholatnya telah terjaga dari kesalahan.
Ikutilah orang-orang sholeh (ulama yang sholeh) yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya karena merekalah pengikut sejati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para pemegang “sertfikat” pengikut Rasulullah sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/06/2011/05/10/sertifikat-pengikut-rasulullah/.
Orang-orang sholeh adalah mereka yang termasuk orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla dan mereka yang termasuk 4 golongan manusia yang di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka bersama para Nabi, para Shiddiqin dan para Syuhada.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Celakalah orang yang telah memperolok-olok orang-orang sholeh karena mereka memperolok orang yang telah diutamakan oleh Allah Azza wa Jalla.
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Satu Tanggapan
pada 6 Juni 2011 pada 6:19 pm | Balaspeace all
Bang zon yang saya hormati:)
Kelemahan utama yang saya lihat dari semua yang pernah saya alami dalam pemahaman mereka adalah
Mereka kalo sudah melihat suatu hadits dinilai shahih, berarti dari segi isi udah benar dan sesuai kejadian yang nyata di zaman Rasulullah:)
Padahal , seharusnya kita melihat Alquran dari sudut pandang pertama, karena merupakan suatu untaian kalimat yang lengkap dan telah dicatat dan diteliti kembali oleh Rasulullah dan para sahabat dalam setiap sholat
tapi hal ini tidak berlaku untuk hadits, kadang berada dalam sudut pandang kedua atau ketiga dalam hal ini adalah penyampaian dari para sahabat, yang sedikit dicatat, kadang dihafal, banyak diceritakan yang jarang melalui suatu koreksi seperti halnya AlQuran, karena itulah ada diantara sahabat Rasul membakar catatannya, karena turun larangan untuk mencatat, seperti Abu bakar As siddiq, Umar bin khatab dst menurut suatu riwayat
Karena itulah para Muhaddits, zaman dahulu menyusun menurut kaidah shahih, hasan, ahad doif, maudhu dst dengan beberapa catatan, yang catatan ini kurang diperhatikan ulama salafiyun belakangan ini, padahal Imam yang 4 terbesar telah menyusun kaidah2 mazhab untuk kemudahan bagi yang awam, atau menengah seharusnya kita hargai
Seperti yang terjadi pada hadits jariyah, mereka berpatokan kalo dinilai shahih, berarti semua uraian benar adanya walau bertabrakkan dengan pemahaman muhadits sendiri (Imam bukhari , Imam muslim dst) dan imam mazhab 4 sebelum ibnu taimiyah:) Apakah mereka yang dekat dengan para sahabat dan keturunannya masih hidup tidak dinilai lebih baik sama sekali, :) Padahal perbedaan mereka antara Imam mazhab timbul disebabkan pengetahuan diperolah dimasanya hidup untuk membandingkan Alquran dan hadist dengan tanda2 atau keadaan masalah dihadapi di zamannya, hanya dalam masalah cabang , bukan masalah pokok seperti aqidah Allah Maha Suci dari kelemahan makhluk butuh tempat dst. Tentu Allah memaafkan mereka dengan ikhtiar yang tinggi karena cara adalah jalan, sedangkan keimanan adalah tujuan dicapai hanya oleh kesucian hati adalah pandangan:)
Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita, sebab biarpun kita awam, Allah tetap meminta pertanggung jawaban kita, apakah kita taqlid terhadap ulama belakangan jika jelas2 berbeda dengan imam2 yang terdahulu tidak jauh masanya dari kehidupan para sahabat & Rasulullah sendiri:)
Maaf, bukan maksud mencari kesalahan, tapi sebagai bahan renungan, semoga hidayahNya dilimpahkan Allah kepada kita:)

=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar