Allah Turun

Perbedaan i’tiqad  Ibnu Taimiyah dengan Ahlussunnah wal Jamaah tentang Tuhan Turun Ke Langit Dunia Setiap malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepadaKu, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya!”[1]
Versi Syaikh Ibnu Taimiyah atau ulama-ulama salaf(i)
Hadits yang disepakati keshahihannya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang, yang menyatakan turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir.
Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki.
Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.
Demikian pula turunnya Allah pada Hari Kiamat, sebagaimana disebutkan dalam al-Kitab-dan as-Sunnah. TurunNya tidak sama dengan turunnya tubuh manusia dari atap rumah ke tanah, yang mana atap tetap berada di atasnya, tetapi Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu.[2]
SUMBER:
Kitab: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Penulis: Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy.
Edisi Indonesia: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah.
Penerjemah: Hawin Murtadho.
Penerbit: At-Tibyan.

FOOTNOTE:
^ Diriwayatkan al-Bukhari, Fathul Bari XI/377 dan Muslim I/201.
^ Syarh Hadits an-Nuzul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, halaman 33 dan ar-Raudhah an-Nadiyah, halaman 175. Lafazh hadits ini milik Muslim.
Versi Ahlussunnah wal jama’ah
Menurut I’tiqad kaum Ahlusunnah wal Jama’ah, Allah tidak turun sebagai manapun yang dikatakan Ibnu Taimiyah.
Maksuh hadist ini, bahwasanya pintu rahmat Allah terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Doa dan permohonan diterima ketika itu.
Oleh karena itu hendaklah mendoa ketika waktu itu. Inilah maksud hadits ini.
Fatwa Ibnu Taimiyah seperti di atas, ditolak oleh jumhur ulama sezaman beliau.
Kalau fatwa beliau dibuka / dipahami pada abad sekarang maka orang semua akan mentertawakannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa bumi ini bundar. Malam di suatu tempat, siang di tempat lain. Kalau di Indonesia, matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul 12 siang. Kalau di Indonesia siang bolong, umpamanya pukul 10 pagi maka dinegeri Belanda, betul-betul pukul 2 malam dan begitulah seterusnya.
Nah kalau Allah turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir seperti yang diyakini Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan Allah hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia, karena waktu sepertiga terakhir dari suatu malam bergantian di seluruh dunia, sedang Allah hanya satu.
Yang benar adalah tafsirannya kaum Ahlussunnah wal jama’ah, bahwa pintu rahmat Allah lebih terbuka pada sepertiga malam terakhir menurut waktu setempat. Karena itu mendo’alah pada waktu itu ! Hal ini dapat kita rasakan, mendoa ketika waktu seperti itu, lebih tenang , khusyuk, lebih berkesan dan sangat terasa dekatnya kita dengan Allah.
Semakna pula pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah lainnya yakni Habib Munzir yang kami kutipkan dari
Habib Munzir mendapatkan pemahaman i’tiqod dari lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Jadi bukan pemahaman i’tiqod yang didapati dengan upaya membolak balik kitab yang kecenderungannya akan bercampur dengan ra’yu (akal pikiran) sendiri
******awal kutipan *****
Sampailah kita kepada Hadits Qudsi, dimana Sang Nabi Saw bersabda menceritakan firman Allah riwayat Shahih Bukhari “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir).
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dg bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy. Karena apa? kalau Allah itu sepertiga malam turun ke langit yang paling dekat dengan bumi, kita mengetahui bahwa sepertiga malam terakhir itu tidak pergi dari bumi tapi terus kearah Barat. Disini sebentar lagi masuk waktu sepertiga malam terakhir misalnya, Lalu sepertiga malam terakhir itu akan terus bergulir ke Barat, berarti Allah terus berada di langit yang paling dekat dengan bumi. Tentunya rancu pemahaman mereka.

Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11) (Allah tidak sama dengan segala sesuatu).
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.

Hadirin hadirat, maka Allah Swt berfirman (lanjutan dari hadits qudsi tadi) “Man yad u’niy fa astajibalahu” (siapa yang menyeru kepada Ku maka aku akan menjawab seruannya). Apa maksudnya kalimat ini? maksudnya ketika kau berdoa disaat itu Allah sangat….,. sangat… ingin mengabulkannya untukmu. “Man yasaluniy fa u’thiyahu” (barangsiapa diantara kalian adakah yang meminta pada Ku maka Aku beri permintaannya). Seseorang yang bersungguh sungguh berdoa di sepertiga malam terakhir sudah dijanjikan oleh Allah ijabah (terkabul). Kalau seandainya tidak dikabulkan oleh Allah berarti pasti akan diberi dengan yang lebih indah dari itu. “Wa man yastaghfiruniy fa aghfira lahu” (dan siapa yang beristighfar mohon pengampunan pada Ku disaat itu, akan Kuampuni untuknya). Betapa dekatnya Allah di sepertiga malam terakhir. Hadirin hadirat, disaat saat itu orang orang yang mencintai dan merindukan Allah pasti dalam keadaan bangun dan pasti dalam keadaan berdoa.
*****akhir kutipan*****


28 Tanggapan
Allah turun ke langit dunia. untuk memahami hadist ini perlu ilmu yg mendalam karna itu dasarx ada di surh Al-Ambiyyah ayat 7 “bertanyalah kpd ahli zikir (orang berilmu) jika kamu tidak mengetahuinya” dan Al-Mujadillah ayat 11. lalu renungkan pepatah ahli zikir” brangsiapa mengenl dirix mk dpt mengnal tuhannya”.



Kenapa anda menolaknya lalu menakwilkannya, karena anda sendiri ketika mendengar hadits ini lalu anda membayangkan bagaimana caranya Allah turun ke langit dunia pada malam hari sementara waktu-waktu di bumi itu berbeda. NAH DISITULAH KESESATAN YANG DOUBLE AKIBAT DARI MENGAGUNGKAN AKAL…



pada 8 Mei 2010 pada 12:45 pm | Balasmutiarazuhud
Insya Allah ketika kami membaca atau mendengar kalimat “Allah turun” maka kami secara otomatis teringat firman Allah yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11). Sehingga membayangkannya pun sudah mustahil. Bacalah kembali tulisan ini
Allah menyuruh kita menggunakan akal dalam mempelajari/memaknai/memahami Al-Quran dan Hadits sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Al Baqarah : 269)
Yang terlarang adalah menggunakan akal untuk membuat hukum atau syariat karena Agama Islam sudah sempurna.



Kalau tidak memikirkan bagaimana cara turunnya Allah, mana mungkin anda menolaknya dan menakwilkannya dengan yang lain ?
karena setelah dipikirkan caranya dan tidak masuk akal, makanya menolak.
Akal itu digunakan untuk menerima dan membenarkan semua apa yang disampaikan dari Nabi SAW tanpa menanyakan bagaimana hakikatnya.
Malaikat jibril tidak ragu-ragu menyampaikan ayat samar kepada nabi muhammad SAW, begitu juga beliau tidak ragu menyampaikannya kepada para sahabat, namun kenapa orang2 asy’ariyah merasa khawatir dalam menyampaikan ayat kepada manusia?



Yang pasti , Allah tidak akan pernah naik lagi dan selalu berada di langit dunia. Kenapa ?. Karena tidak ada bagian langit / bumi yang tidak mengalami malam.
Tks



pada 9 Mei 2010 pada 4:52 pm | Balasmutiarazuhud
Ukhti Mawar, prinsip utama adalah Allah tidak bertempat dan berarah. Allah tidak bergantung pada ciptaanNya
Insya Allah ketika kami membaca atau mendengar kalimat “Allah turun” maka kami secara otomatis teringat firman Allah yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11). Sehingga membayangkannya pun sudah mustahil. Bacalah kembali tulisan ini



pada 12 Mei 2010 pada 10:53 pm | BalasYusuf Ibrahim
‘mutiarazuhud’ menafsirkan sabda Rasul diatas menurut versi ahlus sunnah, ahlus sunnah yang mana? tidak disebutkan disitu, ulama mana yang menafsirkan sabda Rasul tersebut seperti apa yang dikatakan Om ‘mutiarazuhud’ ini?
Mutiarazuhud berkata ;
“Sebagaimana dimaklumi bahwa bumi ini bundar. Malam di suatu tempat, siang di tempat lain. Kalau di Indonesia, matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul 12 siang. Kalau di Indonesia siang bolong, umpamanya pukul 10 pagi maka dinegeri Belanda, betul-betul pukul 2 malam dan begitulah seterusnya.

Nah kalau Allah turun ke langit dunia sepertiga malam terakhir seperti yang diyakini Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan Allah hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia, karena waktu sepertiga terakhir dari suatu malam bergantian di seluruh dunia, sedang Allah hanya satu.”
komentar saya ;
logika berpikir macam apa itu?
tanpa Om sadari, sesungguhnya perkataan Om itu menggambarkan seolah-olah Allah tidak mampu atau mustahil melakukan hal demikian (turun ke langit dunia pada sepertiga malam, padahal waktu di dunia berbeda-beda) dan yang demikian itu hanya akan membatasi keesaan Allah itu sendiri….
ini merupakan logika berpikir yang bathil menurut saya…..

jika yang melakukannya itu adalah makhluk Allah, bisa saja perbuatan itu mustahil, akan tetapi jika yang melakukannya itu adalah Allah Tuhan Semesta Alam tentu saya percaya bahwa Allah akan turun ke langit dunia pada sepertiga malam sesuai dengan kehendak-Nya, walaupun waktu di bumi berbeda-beda dan itu bukanlah hal yg sulit bagi-Nya, mengenai bagaimana cara turunnya, tentu kita tidak perlu mengetahui…..
itulah makanya, kenapa Ibnu Taimiyah melarang kita untuk mempertanyakan sifat dan cara bagaimana Allah turun ke langit dunia, karena dikhawatirkan umat muslim akan berpikiran seperti Om ‘mutiarazuhud’ yg terlalu mengedepankan akalnya…..



pada 13 Mei 2010 pada 12:23 am | Balasmutiarazuhud
Supaya tidak ada orang yang akan mempertanyakannya dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat seperti ayat, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11)
Berangkat dari ayat yang muhkamat ini, maka akan dapat kita disimpulkan bahwa Allah
itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.
Maka ambillah pelajaran (hikmah) dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Hikmah tersebut merupakan karunia dan dikaruniakan Allah kepada siapa yang dikehendakinya dan mau mempergunakan akalnya, sebagaimana Allah sampaikan dalam firmanNya yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Ibnu Taimiyah dan kawan-kawan salah paham seolah-olah kami “mengedepankan” akal. Sebagaimana firman diatas Allahlah yang menganjurkan kita menggunakan akal untuk “mengambil pelajaran” dari firman Allah.
Yang terlarang adalah menggunakan akal untuk membuat/merubah hukum, dalil, nash-nash karena Islam telah sempurna.

Oleh karena dari “menggunakan akal” untuk “mengambil pelajaran” maka kita menjadi “yakin” kemudian setelah itu kita akan menjadi “ainul yakin” (“melihat”) dan “haqul yakin” (“merasakan”).
Dalami lagi tulisan berikut



pada 13 Mei 2010 pada 9:59 amYusuf Ibrahim
iya saya sudah tau, bukankah memang telah diperingati sebelumnya oleh Ibnu Taimiyah agar kita umat muslim tidak mempertanyakan bagaimana sifat dan cara Allah turun? karena turunnya Allah tentu tidak sama seperti turunnya makhluk Allah…..
Yg saya permasalahkan disini adalah bahwa Om telah membuat perumpamaan-perumpamaan bathil bahwa seolah-olah Allah tidak mungkin turun ke langit dunia pada sepertiga malam karena waktu didunia itu berbeda-beda dan saya mengartikan kalo perumpamaan Om tsb telah membatasi keesaan Allah, pola pikir yang seperti itulah yg saya tidak setuju !
kalo soal Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, jelas itu tidak bisa kita pungkiri lagi….
Mengenai Q.S.al-Syura : 11 tsb, ulama mana yang menggunakan ayat tersebut sbg dalil bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah? tanpa tempat itu maksudnya ada di mana-mana tempat atau bagaimana? rancu sekali penafsirannya…..
Jika Allah tanpa tempat dan arah, lalu dimana Dzat Allah berada? Bagaimana jika nanti ada seorang non muslim bertanya kpd kita dimana Allah? dimana Tuhan yang kamu (umat muslim) sembah sehari 5 kali berada?
Allah memang menganjurkan kita untuk menggunakan akal kita, akan tetapi bukan berarti kita bebas menggunakan akal kita untuk menafsirkan ayat Allah dan sabda Rasul tanpa ilmu dengan hanya mengatas namakan klaim semata bahwa kita telah mendapatkan ‘al-hikmah’ dari Allah.
Jika seperti itu, Mirza Ghulam Ahmad-pun mampu.

Bisa saja nanti datang orang bodoh yg mengaku-aku bahwa dia adalah termasuk orang yang telah dianugrahkan ‘al-hikmah’ (kepahaman tentang Al-Quran dan Sunnah) oleh Allah dan sudah mampu ‘mengambil pelajaran’ dari Al-Quran dan Hadits, lalu ia menafsirkan Al-Quran dan Hadits berdasarkan akal dan hawa nafsunya sendiri lalu ia sebarkan penafsirannya itu sebagaimana yg pernah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Mereka (Ahmadiyah) sesat dan kufur bukan karena mereka mengingkari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi, mereka sangat patuh dan taat terhadap dalil Al-Quran dan Hadits, akan tetapi kekufuran mereka adalah menafsirkan ayat dan sabda Nabi menurut akal dan hawa nafsunya sendri.
Itulah yg membuat mereka ‘keluar’ dari Islam, menafsirkan menurut akalnya sendiri, tafsiran-tafsiran yg tidak pernah dijumpai pada masa Sahabat, Tabi’n dan Tabi’ut Tabi’in.



pada 13 Mei 2010 pada 4:10 pmmutiarazuhud
Prinsipnya “mengambil pelajaran” tetap dalam batasan Al-Qur’an dan Hadits.
Begitu juga yang berhak menta’wilkan sudah diuraikan dihttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/tawil/
Sedangkan kaum liberalisme sudah jelas ber paham yang “membebaskan” manusia terhadap aturan Allah / Agama.




@ yusuf ibrahim
anda bilang :
Jika Allah tanpa tempat dan arah, lalu dimana Dzat Allah berada? Bagaimana jika nanti ada seorang non muslim bertanya kpd kita dimana Allah? dimana Tuhan yang kamu (umat muslim) sembah sehari 5 kali berada?

saya jawab :
kata dimana tidak perlu ditanyakan kepada Allah secara hakiki, karena kata dimana adalah menunjukkan arah, dengan menanyakan dimana, maka pikiran anda pasti membayangkan Dzat Allah sesuai gambaran asal kata ‘dimana’..

kalau ada orang non muslim bertanya dimana ALlah?
akan saya tanya kepada mereka lebih dulu, memang bagaimana anda mengenal Tuhan, apakah definisi Tuhan dalam pandangan anda…
mereka pasti menjawab, Tuhan adalah Pencipta..
nah kalau sudah tahu dan yakin 1000000 persen kalau Tuhan adalah Pencipta, kenapa masih menggambarkan Tuhan seperti makhluq yang terikat dengan arah, tempat dan waktu…
sama saja mereka telah mengeluarkan kata TUhan dari definisi asalnya yaitu Pencipta..
kalau mereka membantah, lho kok bisa,,,
memang ARAH itu bukan ciptaan
memang WAKTU itu bukan ciptaan
memang TEMPAT itu bukan ciptaan..




pada 25 Mei 2010 pada 12:36 pm | Balassalafi wahabi
Filsafat tentang ketuhanan itu hanya digeluti oleh orang2 yang tidak punya agama.
Filsafat itu tidak ada habisnya, bahkan banyak para ulama yang bertobat dari ilmu itu yang diciptakan oleh orang Yunani ..
Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan apa yang perlu diketahui oleh Manusia ..
Makanya kita harus berpegang teguh terhadap para sahabat yang dijamin PEMAHAMANNYA oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW
Teori itu hanya dijamin oleh aqal sendiri yang disangka baik dan benar



pada 25 Mei 2010 pada 12:43 pm | Balassalafi wahabi
@ Saudara mumetzwae
Sebelum anda menolak arah, waktu, dan tempat bagi Allah pasti terlebih dahulu anda pasti membayangkan bahwa Allah ada di suatu tempat, mengarah ke arah mana, dan terikat waktu, lalu anda membuyarkannya bayangannya itu dan menolaknya.



pada 25 Mei 2010 pada 1:06 pm | Balassalafi wahabi
@ saudara mumetzwae
Jadi dimana Allah menurut anda? setelah penjelasan anda panjang lebar kesimpulannya apa?



Allah itu beserta kekasihnya.
Siapa menemui kekasih Allah ia mengenal Allah.
Yang mengenal Allah maka adalah agama baginya.
Yang dapat beragama selamatlah ia.




@ yusuf ibrahim
kalau anda ingin mengetahui ALlah dalam al qur’an dan sunnah, lihatlah surat Al Ikhlas,,,
apakah makna surat tsb tidak cukup jelas bagi kita?



Tak akan mengenal Allah dengan membaca Quran.
Walau beribu kali khtam sekalipun.




pada 25 Mei 2011 pada 7:51 ammamo cemani gombong
setuju mas Adi …….



pernah kah anda brfkr bahwa anda bsa mlhat apa yg anda lihat



tajjali ny allah tak mmbuat kita ragu lagi tk mngnal allah yg srba mha



wahabi ngaco lagi…..



pertanyaan ana banyak sekali kepada penulis artikel maupun pemilik blog:
1) kenapa yang disebutkan hanya Ibnu Taimiyah saja, padahal ada begitu banyak ulama ahlus sunnah yang sepemahaman dengan beliau. katakanlah ada Al Ajurri, Hammad bin Abi Hanifah, Fudhoil bin Iyadh, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abdil Barr, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Ash Shobuni, Ibnu Rohuyah, Ibnul Mubarok, dll?
2) kenapa tidak disebutkan siapa ulama yang membantah beliau dan bagaimana bantahannya dan bagaimana pula jawaban Ibnu Taimiyah atas bantahan ulama tersebut?
3) kenapa bantahannya main akal-akalan sendiri padahal ngakunya pengikut sahabat nabi dan ulama ahlus sunnah?
jika alasan “tidak masuk akal” dipakai untuk menentang wahyu, akan ada begitu banyak wahyu (Alquran dan Assunnah) yang harus dibatalkan atau ditakwil. misalnya:
tidak mungkin matahari akan didekatkan sampai sehasta pada hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar dengan alasan suhunya akan membuat leleh apa saja yang ada di dekatnya.
tidak mungkin Rasulullah melakukan perjalanan bolak balik dari madinah ke palestina dalam waktu hanya semalam dengan alasan kendaraan pada zaman itu tidak ada yang mampu melakukannya.
tidak mungkin tongkat Nabi Musa berubah jadi ular, tidak mungkin Nabi Sulaiman menguasai jin dan binatang, tidak mungkin Nabi Yunus selamat setelah dimakan ikan, tidak mungkin mu’minin menang pada perang Badr, tidak mungkin Abu Hurairah menjadi penghafal hadits no 1, tidak mungkin sungai Nil tunduk pada kertas surat yang ditulis Umar, dan lain-lain. semuanya dibatalkan dengan alasan tidak masuk akal.
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Bukhori menukil dari Imam Az Zuhri bahwa beliau berkata: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk” (Fathul Bari 13/512)



pada 25 Mei 2011 pada 7:58 am | Balasmamo cemani gombong
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah)
tidak cukupkah hal ini untuk kajian ??? kenapa kita debat mengenai bagaimana, dimana , Alloh ??? kenapa kita nggak berusaha menemuiNya berserah diri ke HadiratNya ?????




Allah itu dekat…. bahkan lebih dekat dari urat nadi kita…….. Dia tidak pernah jauh karena Dia meliputi.. kalau seandainya kata -Turun- dinisbatkan kepada Allah seperti Makhluq maka logika kita akan rancu…… banyak hadist dan ayat yang harus kita fahami…. itulah gunanya akal yg dianugrahkan kpd kita…. jdi saya lebih cendrung dengan pemahaman ahlussunnah wal jamaah bhwa bukan turun secara fisikli…… baca juga hadist “jika kamu mendekat kepada Allah berjalan maka Dia akan mendekati kamu dengan berlari”.. kalau diartikan secara harfiah kan terasa aneh….. jadi jangan ragu gunakan akalmu karena agama itu untuk orang-orang yg berakal… dan orang yg tidak berakal tidak dikenakan kewajiban dalam syari’at sebagaimana orang yg berakal tidak wajib sholat…. yang penting niat dan itikad kita…. segala sesuatu tergantung niatnya…..



Alhamdulillah, kami sepakat dengan apa yang telah disampaikan kang iyan,
hadist “jika kamu mendekat kepada Allah berjalan maka Dia akan mendekati kamu dengan berlari” telah terurai dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/17/miraj/

Sedangkan kewajiban menggunakan akal dalam memahami Al Qur’an dan Hadits telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/16/dalil-akal/



Silakan baca link berikut :



pada 18 November 2011 pada 5:01 am | Balasmutiarazuhud
Terima kasih mas Sadino, mas telah mencontohkan lagi ulama yang tidak bermazhab yakni ulama Muhammad Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir As-Sidawi atau ulama Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi.
sanad hadits sama pentingnya dengan sanad ilmu / sanad guru.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah

Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.



wk wk wk… pengen ketawa gak enak..
baca komen2nya..subhanallah.. sufi emang aneh..
buktikan saja besok di akhirat..
wassalam,
=====
10 April 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar