Ulama yang keluar dari keumuman pendapat ulama

Ulama yang keluar dari keumuman pendapat ulama
Dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/  ada termuat anjuran ulama untuk menghindari buku-buku karya ulama Ibnu Taimiyah maupun para pengikutnya seperti ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah dan lain lain.
Pada masa selanjutnya  termasuk menghindari pemahaman atau buku-buku karya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang termasuk pengikut dan yang “mengangkat” kembali pemahaman ulama Ibnu Taimiyah.

Pendapat kami , boleh kita membaca buku mereka selama kita dapat memfilter atau membedakan antara yang benar dengan yang salah pikir (fikr) atau salah paham. Namun kalau ragu atau tidak dapat membedakannya lebih baik ditinggalkan saja
Ulama-ulama terdahulu kamipun telah menganjurkan hal yang serupa seperti Syeikh Ahmad Khatib (1276H  /1860 M – wafat di Makkah 1334H /1916 M). Sedikit uraian tentang beliau ada padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/03/syaikh-ahmad-khatib-al-minangkabawi/
Beliau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul Karim Amrullah (tokoh kaum muda) yang menurut beliau telah terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh Abdul Karim Amrullah] adalah sesat.
Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, golongan tersebut sesat karena keluar daripada pemahaman Ahlussunnah wal  Jamaah dan menyalahi pegangan mazhab yang empat.  Beliau menuliskan pada ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.
Di antara nasihatnya: “Maka betapakah akan batal dengan fikiran orang muqallid yang semata-mata dengan faham yang salah dengan taqlid kepada Ibnu al-Qayyim yang tiada terpakai qaulnya (pendapatnya) pada kaum bermazhab Syafie.  Maka wajiblah atas orang yang hendak selamat pada agamanya bahwa dia berpegang dengan segala hukum yang telah tetap pada mazhab kita. Dan janganlah ia membenarkan akan yang menyalahi demikian itu daripada fatwa yang palsu.”
Memang tidak seluruh pemahaman Ulama Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya adalah keliru. Sebagian dari pemahaman beliau turut mempengaruhi dalam pendirian kalangan Muhammadiyah melalui jalur ulama Muhammad Abduh. Jalur perkembangan pemahaman ulama Ibnu Taimiyah telah kami sampaikan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/21/pemahaman-ibnu-taimiyah/
Beberapa pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya telah keluar dari keumumuman pendapat/pemahaman mayoritas ulama. Beliau bahkan telah menyelisihi mazhab Hambali yang semula telah diikutinya. Para Imam Mazhab adalah termasuk ulama yang sanad ilmu atau sanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jika menyelisihi para Imam Mazhab pada hakikatnya telah memutus sanad ilmu / sanad guru.
Rasulullah hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya. Oleh karenanya para ulama harus meneladani Rasulullah dengan hanya menyampaikan apa yang disampaikan Rasulullah melalui lisan ke lisan ulama-ulama sholeh yang tersambung sanad ilmu / sanad guru, jangan dicampuri oleh ra’yu (akal) sendiri.
Imam Syafi’i ~rahimullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Banyak dari kita salah memahami perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hakikat hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami sendiri namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “mendengar” firman Allah Azza wa Jalla melalui malaikat Jibril. Selanjutnya ilmuNya mengalir dari lisan ke lisan orang-orang sholeh yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya. Itulah yang hakikat makna “Kami dengar dan kami taat”.
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/18/hadits-dhoif/  tentang adanya segelintir ulama seolah-olah mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’.
Ustadz Tengku Zulkarnaen dalam uraiannya tersebut juga menyayangkan adanya segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu.  kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!
Begitulah permasalahan pada zaman kini adanya ulama yang keluar dari keumuman pendapat ulama atau dapat dikatakan termasuk ulama fasiq.
Abu Abdillah al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthubi, (Cairo Mesir: Dar al-Syiab, 1372), Jilid 1: 245, kata fasiq berasal dari bahasa arab yaitu فسق– يفسق– فسقا.  artinya secara etimologi adalah keluar dari sesuatu.
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 54 menyampaikan bahwa fasiq secara garis besarnya adalah keluar dari pokok agama (pen.  keluar dari pemahaman agama yang sebenarnya), atau keluar dari hidayat Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan kita bahwa ada suatu masa dimana “suara orang (ulama)  fasiq berkumandang di beberapa masjid”
Nasehat Rasulullah ini salah satunya termuat dalam kitab Durrotun Nashihin buah karya Syekh Usman bin Hasan Ahmad Asy-Syakir Al-Khubawi.
Oleh kalangan ulama mereka yang keluar dari keumuman pendapat ulama, kitab nasihat seperti  Durrotun Nashihin dianggap kitab yang harus dihindari.
Ulama mereka berpendapat, “Kitab (Durrotun Nashihin) tidak bisa dijadikan sandaran karena banyak memuat hadits-hadits palsu dan hal-hal yang tidak bisa dijadikan sandaran, termasuk diantaranya dua hadits yang ditanyakan oleh si penanya di atas, sebab kedua hadits tersebut tidak ada asalnya dan didustakan kepada Nabi. Maka kitab seperti ini dan juga kitab sepertinya yang memuat banyak hadits-hadits palsu jangan dijadikan sandaran…”. (Fatawa Nur Ala Darb hal. 80)
Mereka memberikan pendapat terhadap hadits yang termuat pada Durrotun Nashihin antara lain,
“Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka”
Ulama berpendapat  “Melihat lafaz dan kandungan hadits ini, ia mempunyai ciri-ciri hadits palsu, yaitu satu amalan kecil yang menjanjikan pahala yang begitu besar. Alasan kedua adalah hadits ini tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadits yang mu’tabar, termasuk dalam kitab-kitab yang mengandung hadits-hadits dha’if, maka hadits ini dapat digolongkan sebagaimana yang dikenali dalam istilah ilmu hadits dengan la yu’raf lahu ashlun atau la ashla lahu (tidak diketahui sumber asalnya), ini akan menyebabkan hadits itu dihukumi palsu. Oleh karena itu, hadits ini adalah palsu karena sebab di atas.”
Hadits-hadits seputar tentang Ihsan yakni nasehat, akhlak atau amal kebaikan ada yang tidak termuat dalam kitab-kitab hadits. Umumnya tersampaikan melalui lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh dan tersambung kepada lisan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Pada kitab Durrotun Nashihin dan pada umumnya kitab-kitab tentang Ihsan / akhlak/ nasehat tidak dicantumkan sanad atau takhrijnya.  Hadits tanpa sanad , kita tidak dapat menetapkan sebagai hadits palsu  atau dhoif (lemah) dari sisi perawi. Hal yang dianalisa adalah matan/redaksi hadits saja.
Pendapat kami, matan/redaksi hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Mereka yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan tentulah mereka yang telah menjalankan perkara syariat.
Perkara syariat adalah perkara syarat sebagai hamba Allah Azza wa Jalla yakni yang termuat dalam rukun Islam (tentang Islam / kitab fikih) dan rukun Iman (tentang Iman / kitab ushuluddin / i’tiqod).
Bagi mereka yang telah menjalankan perkara syariat langkah selanjutnya adalah “mendekatkan diri” atau  “memperjalankan” dirinya pada “jalan yang lurus” agar sampai kepada Allah Azza wa Jalla.
Perkara “memperjalankan” diri adalah yang dimaksud mengamalkan tentang Ihsan atau tentang akhlak yang termuat dalam kitab-kitab Tasawuf atau kitab-kitab nasehat / akhlak
Ihsan kondisi minimal adalah selalu meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan kita
Ihsan kondisi terbaik adalah dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimananan.
“Bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan”  termasuk sikap muslim yang Ihsan, muslim yang berbuat kebaikan. Muslim yang  bersikap Ihsan sehingga dicintai / diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran [3]:148 )
Bagi mereka yang menjalankan perkara syariat atau amal ketaatan yang  disebut orang beriman dan menjalankan/mengerjakan kebaikan maka akan masuk surga tanpa dihisab
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab” (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124)
“Bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan”   memang seperti terlihat hal yang remeh namun hikmah di dalamnya terkandung luas.  Mereka termasuk yang tidak menganggap puasa Ramadhan sebagai beban. Mereka yang bergembira karena akan sering bertemu Tuhan sepanjang bulan Ramadhan, karena mereka telah mengetahui hakikat puasa sebenarnya. Kami telah menguraikan tentang hakikat puasa padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/15/2010/08/05/hakikat-puasa/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar