Mengenal Tasawuf

Pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf
Sumber : 
Pertemuan Pertama

Lihat tulisan pada http:istilah-tasawuf
Pertemuan Kedua
Imam Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, “Sesungguhnya kalangan ini (sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari pecahan kata yang diambil dari bahasa.” Artinya, istilah Tasawuf dan identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhkan definisi lagi. Beliau melanjutkan, “Tasawuf adalah makna (substansi)nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang mengungkapkan sesuai dengan apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya satu-persatu hanya akan mengeluarkan kita dari topik pembicaraan sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja.” Kemudian beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.
Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri, “Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari perilaku yang tercela.” Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan moral tapi di satu sisi mengabaikan agama.
Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang Tasawuf, “Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya.” Definisi ini agak dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata “darimu” maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, “Dia adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain.” Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna ini. Beliau menyanggah, “Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik.” Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati, tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.
Definisi lain dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata, “Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari popularitas setelah bersembunyi.” Definisi ini juga cukup dalam maknanya. Kalimat “merasa fakir setelah kaya” maksudnya adalah merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat “merasa hina setelah mulia” maksudnya adalah tawadhu’ dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian, kalimat “bersembunyi setelah tenar” maksudnya adalah menenggelamkan diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya, merasa kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi setelah ia mengakui kefakirannya, merasa mulia setelah ia mengakui kehinaannya dan mencari popularitas di mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.
Pertemuan Ketiga
Pada pertemuan ketiga, Syaikh Al-Buthi memulai penjelasan dari ucapan ‘Amr bin Utsman Al-Makki tentang tasawuf. Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusanya melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang berbunyi, “Setiap tempat punya perkataannya dan setiap perkataan punya tempatnya.”
Beliau memberikan contoh seseorang yang baru pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga ia menggunakan waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga. Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangannya dan merindukan kehadirannya.
Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan waktunya.
Tidakkah kita memperhatikan hadis yang berbunyi, “Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri). Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran)” (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluan istrimu ada sedekah.” Sebagian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatkan pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan kemaluannya di tempat yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?” Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Begitu juga jika ia meletakkannya di tempat yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Jadi, seorang muslim seharusnya senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat, waktu dan kondisinya. Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap waktu ada haknya masing-masing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.
Selanjutnya, Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud “zaman mulia” adalah zaman Nabi SAW, “pribadi mulia” adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan “kaum mulia” adalah para sahabat.
Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak dimiliki oleh sesuatu apapun.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi. Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.
Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Melepaskan jiwa bersama apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud “dikehendaki” adalah “diridhoi”. Artinya, seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan kehendak makhluk.
Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah saja tanpa menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud dengan “tanpa ikatan” yaitu tanpa keterikatan dengan selain-Nya.
Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, “Tasawuf dibangung di atas tiga hal: komitmen terhadap kefakiran dan ketergantungan kepada Allah, mewujudkan pengorbanan dan pemberian, meninggalkan usaha dan ikhtiar.”
Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang muslim senantiasa berkomitmen dengan rasa kemiskinan dan ketergantungan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbanan dan pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak dari sebelumnya, yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha yang dapat menggeser atau menghilangkan makna kalimat sebelumnya.
Ma’ruf Al-Karkhi berkata, “Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalkan apa yang ada di tangan makhluk.”
Demikianlah ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohullah.
Pertemuan Keempat
Al Junayd berkata, “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Maksudnya adalah kesungguhan tiada akhir. Tasawuf adalah usaha dan kerja keras yang tak kenal henti dalam melaksanakan ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT.
Dia berkata pula, “Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Maksudnya, mereka memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh selain mereka dalam akhlak, pergaulan dan lain-lain.
Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan, dan tindakan yang didasari Sunnah.” Dalam hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah memiliki pasukan malaikat yang bertugas untuk mencari dan mengikuti halaqoh-halaqoh majelis dzikir di bumi.” (HR. Al-Hakim, Sahih Al-Isnad)
Al Junayd menyatakan, “Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik.” Dia juga mengatakan, “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Semua itu disebabkan oleh rasa tawadhunya (perasaan hina) di hadapan Allah SWT.
Dia melanjutkan, “Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.” Karena perhatian terhadap lahiriah akan melalaikan perhatian terhadap batin. Seseorang yang disibukkan memperbaiki kulitnya akan terlupakan memperhatikan isinya.
Sahl bin Abdullah berkata, “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.” Ini adalah kiasan. Maksudnya ia merasa tak memiliki apapun karena dirinya sendiri adalah milik Tuhannya. Bukan berarti ia memanggil setiap orang untuk membunuhnya, karena hal itu mustahil dan dilarang syariat. Juga bukan berarti keputusasaan terhadap rahmat Allah SWT karena hal itu merupakan kekufuran.
Ahmad an-Nury berkata, “Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.” Artinya ketika dalam keadaan sulit ia diam, rela dan tidak mengeluh, namun ketika dalam keadaan lapang ia mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan, “Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf.” Ya, tasawuf adalah akhlak yang terpuji, barangsiapa bertambah akhlaknya, bertambah pulalah tasawufnya.
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan, “Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir.” Ini merupakan kiasan. Maksudnya seseorang pasrah di hadapan pintu rahmat Allah SWT, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa peduli apakah ia akan diterima atau ditolak. Ia hanya percaya terhadap kemurahan Allah dan sama sekali tidak mengandalkan amalannya. Dalam hadis, “Amalan seseorang takkan dapat memasukkannya ke dalam surga.” Karena yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah kemurahan Allah semata.
Dia juga mengatakan, “Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya.” Karena indahnya kedekatan terhadap Allah SWT hanya dapat dirasakan setelah seseorang bersusah-payah dalam mencapainya. Pepatah Arab mengatakan, “Tiada kenikmatan kecuali setelah kelelahan.”
Dikatakan, “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir.” Maksudnya seseorang yang mengaku sufi namun kikir, maka sebenarnya ia bukanlah sufi. Karena tidak mungkin bersatu antara seorang sufi dengan sifat kikir.
Dikatakan, “Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik.” Maksudnya tangan yang tidak menyisakan sedikitpun dunia kecuali diinfakkannya di jalan Allah, sedangkan hatinya tetap bersih hanya untuk Allah semata.
Demikianlah ringkasan pengajian pada kali ini. Semoga bermanfaat.
Damaskus, 9 July 2010
Pertemuan Kelima
Ini adalah ringkasan pertemuan kelima dalam serial Mengenal Tasawuf dan Sufi. Disarikan dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi.
Asy-Syibly mengatakan, “Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa kegelisahan.” Maksudnya adalah seseorang merasa yakin dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Bagaimana bisa khawatir sedangkan kekasihnya selalu berada di sampingnya.
Ketika ia diberikan kesehatan, ia merasa yakin bahwa kesehatan itu merupakan nikmat yang terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya, ketika ia ditimpa sakit atau musibah lainnya, ia merasa tenang dan yakin bahwa semua itu adalah yang terbaik dari Allah untuk dirinya. Ketika ia diuji dengan kemiskinan, ia yakin bahwa kondisi itulah yang terbaik menurut Allah SWT. Begitu juga ketika ia diuji dengan kekayaan, ia yakin bahwa itulah pemberian terbaik dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)
Abu Manshur berkata, “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah SWT, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Allah SWT.” Maksudnya, seorang sufi selalu mengingatkan kita tentang nikmat-nikmat yang datangnya dari Allah SWT, sementara orang-orang hanya mengingatkan kita tentang kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah SWT.
Asy-Syibly mengatakan, “Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah SWT.” Maksudnya adalah hatinya terpisah dari makhluk dan hanya terpaut dengan Allah saja. Keterpisahan ini tidak bermakna keterpisahan secara fisik dan materi. Boleh jadi fisiknya membaur dengan manusia di pasar, kantor, madrasah dan lain-lain, tapi hatinya hanya bersama Allah saja. Ini benar-benar hidup dalam keterasingan di tengah-tengah keramaian. Jasadnya berjalan di muka bumi, namun hatinya melayang-layang di kerajaan Allah. Orang semacam ini seolah-olah diciptakan untuk menjadi kekasih-Nya.
Allah SWT berfirman, “dan Aku telah memilihmu (Musa) untuk diri-Ku.” (QS. Thaha: 41). Yaitu memutusnya dari dari semua makhluk.
Kemudian Allah SWT berfirman, “Kau (Musa) takkan dapat melihat-Ku.” (QS. Al-A’raf: 143). Karena kedekatan seseorang terhadap kekasih akan mengundang rasa rindu untuk melihatnya. Namun sayang, di dunia ini tak satupun yang diizinkan oleh Sang Kekasih untuk melihat-Nya, bahkan Nabi Musa sekalipun. Hanya di akhirat saja tempat paling indah itu.
Allah SWT berfirman, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26). Tambahan itu berupa melihat wajah Allah secara langsung. (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syibly juga mengatakan, “Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Al-Haq (Allah SWT).” Ini adalah kiasan, karena seorang anak selalu merasa aman dan nyaman bersama ayahnya. Ia merasa tenang dari segala macam gangguan. Ia menyadari kelemahan dirinya, sekaligus mengakui kekuatan ayahnya. Demikian pula keadaan para sufi, mereka merasa tenang dan aman bersama Allah. Mereka menyadari kelemahan diri mereka sekaligus mengakui kekuatan dan kehebatan Allah. Oleh karena itu, mereka menyerupai anak-anak yang berada di pangkuan ayah mereka.
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nahl: 60)
“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ar-Rum: 27)
Demikian ringkasan pengajian kali ini. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Damaskus, 16 July 2010
Pertemuan Keenam
Inilah ringkasan pertemuan keenam dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi tentang Tasawuf.
Asy-Syibli berkata, “Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Maksudnya adalah kondisi batin yang berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja’ (harap) menguasai seorang sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu berubah-rubah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang menyala.
Asy-Syibli juga berkata, “Tasawuf adalah terlindung dari memandang makhluk.” Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihatan anda dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam warna-warninya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT. Anda sama sekali tidak melihat makhluk-makhluk itu. Yang ada di pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptakan semua itu, yaitu Allah SWT. Lalu bibir anda pun melantunkan kalimat-kalimat pujian yang indah, “Subhanallah. Maha Suci Allah.”
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Seorang sufi berjalan di atas muka bumi, berjual-beli dengan manusia di pasar, bercocok tanam di sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptakan dunia itu. Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya penglihatan. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu makhluk-makhluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan lain-lain, namun ia tidak melihatnya. Yang ia lihat hanyalah Allah SWT.
Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalnya wujud) yang menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.
Ruwaym berkata, “Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka.” Maksud bertengkar di sini adalah saling mengingatkan satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-olah tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-basi dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah SAW bersabda, “Agama itu adalah nasehat.”
Al Jurairy mengatakan, “Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab.” Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan syariat.
Khouf dan roja’ adalah dua sikap yang harus seimbang pada diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabkan seseorang mengalami Al-Ya’s (keputusasaan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT. Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan, “Sudahlah, Allah tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak.” Sebaliknya, rasa roja’ yang berlebihan juga dapat menyebabkan seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan mengatakan, “Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-banyaknya. Allah Maha Luas ampunan-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya.” Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak terjadi kepincangan.
Sedangkan makna “berpegang pada adab” adalah berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang paling taat menjalankan syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi namun syariatnya masih terbengkalai bukanlah sufi sebenarnya.
Al-Muzayyin menegaskan, “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” Maksudnya adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Abu Turab an-Nakhsyaby menyatakan, “Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya.” Ketika seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki, ia tidak bergeming, bahkan mengatakan, “Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu.” Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan, ia pun tak bergeming dan mengatakan, “Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang tahu.”
Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa yang melemparkan, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih dahulu, “Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran ini.”
Di tempat lain, dua orang sedang bersengketa mengenai suatu permasalahan. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama kemudian, masing-masing di antara dua orang yang bersengketa itu berhenti bersengketa dan tidak mau menuntut lawannya.
Demikianlah, semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihkan. Kehadirannya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan kontribusi positif dan konstruktif. Pujian maupun celaan tak dapat mengotori hatinya.
Allah SWT berfirman:
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Demikianlah ringkasan kali ini.
Damaskus, 23 July 2010

2 Tanggapan
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF
Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”
Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).
Kapan awal munculnya tasawuf
Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka­kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru­pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.
Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.
Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha­langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.
Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.
Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak
Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.
Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).
Perintis tasawuf tak diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami ting­galkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:
“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).
Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antara­nya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa ten­tang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi
Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.
Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh.
Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.
Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat
Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).
Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf, mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW, kemud­ian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali
(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.
Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi
Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.
Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.
Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.
Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi
Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.
Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.
Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan ke­bangkitan Islam baru.
Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17).

mamo cemani gombong
maaf ASWJ …….komen tanpa nama bagimana mau bisa percaya ??? kalau perkataan nt benar tunjukan kaya imam nt MAW …..
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar