Salaf ala Ibnu Taimiyah

Salaf ala Ibnu Taimiyah

Sebagian umat muslim, semakin hari semakin merasa ibadah mereka seperti
rutinitas yang “kering”. Pengajian yang mereka ikuti, bagi mereka memang terasa lebih “ilmiah”dan “masuk-akal” namun kurang terasa “kedalamannya” pada lubuk hati mereka.
Begitu banyak cara, jalan, metode, aliran, manhaj, madzhab dalam mempelajari agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Kesempatan kali ini saya cuplikan pengkajian salah seorang ulama negeri kita, Alm. K.H Siradjuddin Abbas disekitar tahun 1976 (34 tahun yang lampau). Salah satu kajian beliau pada Madzhab ala Ibnu Taimiyah.
“MADZHAB SALAF” IBNU TAIMIYAH MUNCUL
Berkata Muhammad Abu Zahra, pengarang terkenal di Mesir pada abad ini, dalam bukunya “Tarikh Al Madzahibul Islamiyah” (Sejarah Madzhab-madzhab dalam Islam), Juz I halaman 211 :
“Yang Kami maksudkan dengan orang-orang Salaf” ialah orang-orang yang menamakan dirinya penganut faham Salaf. Mereka lahir pada kurun ke IV H. Mereka adlaah penganut-penganut Madzhab Hanbali, dan mereka mengatakan bahwa faham mereka diambil dari faham Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikatakannya Imam yang menghidupkan dan mempertahankan i’tiqad salaf itu.
Kemudian, diperbaharui lahir mereka pada kurun yang ke VII Hijriyah, olehsyaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau dengan cara gigih menganjurkan supaya orang mengikut Madzhab Salaf itu”.
Dari uraian pengarang sejarah terkenal Abu Zahrah ini nyatalah, bahwa apa yang dinamakan “Madzhab Salaf” itu muncul pada abad ke IV H., tetapi tidak dikatakan siapa itu ulama yang memunculkan Madzhab Salaf itu, dan orang-orang penganut faham apa.
Tetapi pengarang Tafsir Qurthubi mengungkapkan sedikit orang-orang itu, yaituHisyam al Jawaliqi dan sekumpulan orang-orang firqah Mujassimah, yakni orang yang berfaham bahwa Tuhan itu bertubuh. (Tafsir Qurthubi Juz 12 halaman 256).
Jadi, apa yang dinamakan “Madzhab Salaf” ditimbulkan pada mulanya oleh orang-orang yang menganut faham firqah Mujassimah, yaitu faham yang menganggap Tuhan itu mempunyai tubuh.
Kemudian madzhab ini hilang saja, tak terdengar lagi kabar beritanya. Mungkin karena dasar madzhab itu tidak kuat, tidak tahan menghadapi tantangan zaman.
Baru pada abad ke VII H., yakni 300 tahun kemudian, muncul seorang ulama penganut Madzhab Hanbali juga,  bernama Ibnu Taimiyah di Damsyik, Syria., yang mengeluarkan sejumlah fatwa tentang ‘aqidah KeTuhanan, yang dikatakannya, bahwa fatwanya itu adalah Madzhab Salaf.
Beliau memperinci dasar-dasar madzhab itu, mengarang buku-buku tentang apa yang dinamakannya Madzhab Salaf, dan menyiarkan seluas-luasnya kepada Ummat Islam di pelosok dunia.
Jadi, apa yang dinamakan “Madzhab Salaf itu pada hakikatnya adalah Madzhab Ibnu Taimiyah yang dikatakannya Madzhab Salaf, atau dengan kata lain boleh disebut Madzhab Salafnya Ibnu Taimiyah.
POKOK-POKOK PENGAJIAN MADZHAB SALAFNYA IBNU TAIMIYAH.
Dalam kitab-kitab karangannya, yaitu kitab “Aqidah al Wa Sithiyah, Munazharah fil ‘Aqidah al wasithiyah,’Aqidah al Hamawiyah al Kubra dan lain-lain, cetakan Muhd. Ali Sabih, Kairo 1966 M, Ibnu Taimiyah menerangkan dasar-dasar pokok dari pengajiannya, terutama dalam soal mengartikan ayat-ayat mutasyabih.
Kesatu
Di antara dasar pengajiannya dikatakan:
Artinya : Memperlakukan/mengartikan Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang bertalian dengan Sifat Tuhan menurut lahirnya (sebagai yang tertulis), dengan catatan meniadakan bentuk dan keserupaan Tuhan dengan makhluk (Lihat Munazharah fil ‘Aqidah al Wasithiyah, hal. 416).
Kedua
Ibnu Taimiyah berkata :
Artinya : Iman dengan Allah ialah mempercayai sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang diterangkanNya dan yang diterangkan RasulNya, dengan tidak membelokkan, tidak meniadakan, tidak merupakan, dan tidak menyerupakan.
Maksudnya ini meniadakan ta’wil, yaitu memalingkan lafazh dari lahirnya, baik ta’wil wajib atau ta’wil harus. (Majmu’ah Rasailul Kubra, hal. 415)
Ketiga
Perkataan Imam Malik :
Artinya : Istimewa telah dikenal, Kaifiatnya tidak diketahui dan bertanya-tanya dalam soal itu bid’ah (Munazharah fil Aqidah al wasithiyah halaman 416).
Maka sesuai dengan dasar-dasar itu, Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa dalam ‘aqidah usuluddin, menyiarkan, mempropagandakan dengan gigih dan mempertahankannya mati-matian.
Fatwa-fatwa itu adalah :
Tuhan Allah duduk bersela mantap di atas ‘Arsy.
‘Arsy itu di atas langit yang tujuh, dus Tuhan Allah itu duduk di atas ‘Arsy dan di atas langit yang tujuh.
Tuhan Allah berada dijihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
Tuhan Allah mempunyai muka.
Tuhan Allah mempunyai mata dua atau bermata banyak.
Tuhan Allah bertangan dua.
Tuhan Allah mempunyai anak jari banyak.
Tuhan Allah mempunyai kaki dan tumit.
Tuhan Allah berada di langit dan turun tiba-tiba malam ke langit dunia (langit yang dekat ke dunia).
Tuhan datang dan pergi.
Tuhan marah dan ketawa
Tuhan Allah berjalan dalam naungan awan.
Tuhan Allah bersama manusia dimana saja manusia berada.
Muka Tuhan serupa dengan muka Nabi Adam.
Hijir Aswad tangan kanan Allah di bumi.
Tuhan mempunyai nyawa.
Dan lain-lain.
Tetapi, kata Ibnu Taimiyah, sifat-sifat Tuhan yang serupa itu tidak serupa dengan yang ada pada makhluk, Maha suci Tuhan akan serupa dengan Makhluk.
Dan barangsiapa yang menta’wilkan atau mentafsirkan Ayat-ayat atau Hadits-hadits yang bertalian dengan sifat-sifat Tuhan, maka orang itu adalah orang yang tersesat, dikutuk, dan harus ditaubatkan.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah untuk memperkuat faham Madzhab Salafnya adalah Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang diartikannya sercara harfiah, yakni menurut lahir lafazhnya saja, yaitu :
Kesatu
Tuhan berfirman :
Terjemahannya : Tuhan Yang Rahman bersela mantap di atas ‘Arsy (Surat Thaha: 5).
Artinya “istawa”, menurut Ibnu Taimiyah, ialah duduk bersela mantap, sebagaimana biasa disebut oleh orang ‘Arab :
Terjemahannya : Duduk bersela mantap seorang laki-laki di atas punggung untanya (Kamus Mukhtar Shihah, hal. 566).
Kedua
Ada dalil yang mengatakan begini, kata Ibnu Taimiyah :
Tuhan Allah di langit, di atas ‘Arsy. ‘Arsy itu  di atas langit yang tujuh (Lihat kitab Hamawiyah al Kubra, hal. 452).
Jadi Tuhan Allah duduk di atas langit.
Ketiga
Dalam Khutbah Haji Wada’ di ‘Arafah Nabi berkata :
Artinya : Hei, apakah saya sudah menyampaikan ?
Maka dijawab oleh ummat : “sudah”.
Lalu Nabi mengangkat anak jarinya ke langit (menunjuk ke atas), dan memutar kepada mereka, sambil mendo’a : Ya Allah, saksikanlah.
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Nabi menunjukkan tangan beliau ke langit ketika berdo’a. Ini satu tanda, bahwa Tuhan itu di langit, kata Ibnu Taimiyah.
Keempat
Tuhan berfirman :
Artinya : Sekalian yang berada di dunia akan lenyap, dan kekal ialah hanya “Muka Tuhan” yang punya sifat Kebesaran dan Kemuliaan (Ar Rahmaan : 26-27).
Ini satu dalil, kata Ibnu Taimiyah, bahwa Tuhan itu mempunyai muka.
Kelima
Artinya : Dan buatlah perahu itu dengan Mata Kami dan Wahyu Kami (Hud : 37)
Ayat ini menyatakan, bahwa Tuhan mempunyai mata, kata Ibnu Taimiyah.
Keenam
Tuhan berfirman :
Artinya : Tangan Tuhan Allah di atas tangan mereka (Al Fath : 10).
Dan dalam satu hadits ada Nabi mengatakan, bahwa Tangan Tuhan itu dua. Tuhan Allah mempunyai tangan dua, kata Ibnu Taimiyah.
Ketujuh
Tersebut dalam Hadits :
Artinya : Bahwasanya hati manusia terletak diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan.
Tuhan Allah itu mempunyai anak jari, kata Ibnu Taimiyah.
Kedelapan
Tersebut dalam Hadits :
Artinya : Meletakkan Tuhan akan tumitNya ke dalam Neraka.
Tuhan Allah mempunyai Tumit, kata Ibnu Taimiyah.
Kesembilan
Tersebut dalam Al Qur’an :
Artinya : Apakah kamu berasa aman terhadap Siapa (Tuhan) yang di langit, bahwa kamu akan ditenggelamkannya ke dalam bumi, yang ketika itu bergoncang keras (Al Mulk : 16).
Dalam ayat ini dinyatakan, kata Ibnu Taimiyah, bahwa Tuhan itu di langit.
Kesepuluh
Tersebut dalam satu Hadits :
Artinya : Berkata Nabi Muhammad SAW : Tuhan kita, Maha Suci Ia, turun tiap-tiap malam ke langit dunia. Hadits ini sahih riwayat Bukhari.
Jadi, Tuhan Allah itu turun ke langit dunia tiap-tiap malam, kata Ibnu Taimiyah.
Kesebelas
Ibnu Taimiyah melanjutkan :
Tuhan berfirman :
Artinya : Tiada suatu juga yang menyerupai Dia (As Syura :11).
Oleh karena itu, kata Ibnu Taimiyah, duduk Tuhan di atas langit, Muka Tuhan, Mata Tuhan, Tangan Tuhan, Anak jari Tuhan, Tumit Tuhan, Adanya Tuhan di langit, Turunnya Tuhan ke langit dunia tiap-tiap malam mesti diakui.
Tetapi semuanya itu, baik bentuknya, baik kaifiatnya, baik tubuhnya tidak serupa dengan makhluq, Maha suci Tuhan akan serupa dengan makhluq.
Demikianlah kesimpulan fatwa Ibnu Taimiyah yang tertulis dalam bukunya, walaupun Ibnu Bathutah melaporkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah berkata di atas mimbar mesjid Bani Umaiyah di Damsyik, bahwa duduk dan turun Tuhanserupa dengan duduk dan turun Ibnu Taimiyah.
Aliran Salaf dan Aliran Khalaf
Pada zaman terakhir timbul istilah-istilah “Ahlus Salaf (orang salaf), “Qaulus Salaf” (perkataan orang salaf) “thariqatus Salaf” (aliran orang Salaf) dalam membicarakan masalah Ushuluddin. Tetapi sejarah tidak mencatat dengan pasti bila istilah-istilah itu muncul dan siapa yang  membuat istilah istilah itu.
Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV Hijriah.
Imam Ghazali (lahir 450H – wafat 505H), telah mempergunakan istilah-istilah ini dalam kitabnya “Iljamul Awam fi Ilmil Kalam”, yaitu kitab yang paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab tauhid yang dikarangnya.
Sesudah zaman Imam Ghazali banyak sajalah ulama-ulama Ushuluddin dan ulama-ulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya perkataan “Thariqatus Salaf” (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf (Aliran Orang Terkemudian).
Kami selanjutnya akan memakai juga istilah itu, yaitu istilah Aliran Salaf dan Aliran Khalaf, dengan arti sebagai berikut:
Aliran Salaf ialah cara-cara sebagian orang Salaf, yaitu Sahabat-sahabat Nabi, Tabi’i  dan Tabi’i Tabi’in, dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabih.
Aliran Khalaf ialah cara-cara sebagian orang Khalaf, yaitu ulama-ulama yang hidup dibawah tahun 300H, dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabih.
Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H – wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya “Al Burhan fi ‘Ulumil Quran” begini artinya: ‘Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran :
Golongan yang pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang lahir saja, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah (firqah yang beri’tiqad bahwa Tuhan itu dapat serupa dengan makhluq).
Golongan yang kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti dita’wilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa “arti lain” itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi  kita tetap mengi’tiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran orang-orang Salaf..
Golongan yang ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Golongan yang pertama adalah aliran batil, sedang aliran yang kedua dan ketiga bersumber diambil dari sahabat-sahabat Nabi.
Golongan  yang kedua diambil dari Ummu Salamah Rda, sedang Golongan  yang ketiga diambil dari Saidina ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas dll Radhiyallahu ‘anhum (Al Burhan fi Ulumil Quran, juz II, halaman 78 dan 79)
Demikian keterangan Imam Badaruddin Zarkasyi, seorang ulama terbesar pada akhir abad ke VIII H.
Dapat diterangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang pertama adalah golongan “Musyabbihah” atau kadang-kadang disebut golongan “Mujasimah”, ya’ni golongan orang-orang yang berpendapat, bahwa Tuhan itu bisa serupa dengan makhluq, dengan kita ini.
Kata mereka : Tuhan Allah mempunyai tangan serupa dengan tangan kita, mempunyai muka serupa dengan muka kita, mempunyai mata serupa dengan mata kita, mempunyai kaki serupa dengan kaki kita dll.
Di dalam Al Quran – kata mereka – ada dalil-dalil yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai tangan, mempunyai muka, mempunyai mata, dan mempunyai rusuk dan didalam hadits-hadits ada dikatakan, bahwa Tuhan itu mempunyai kaki, mempunyai anak jari, mempunyai nyawa dan lain-lain serupa manusia.
Mereka, kaum musyabbihah, mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan secara harfiyah, menurut lafazhnya yang tersurat saja.
Faham Kaum Musyabbihah ini, menurut Imam Badaruddin Zarkasyi, pengarang kitab “ Al Burhan fi ‘Ulumil Quran” adalah faham bathil, faham salah dan sesat karena menentang ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang mengatakan bahwa Tuhan ‘Azza wa Jalla tidak serupa dengan mahluk.
Tuhan berfirman dalam Al Qur’an:
Artinya : Tiada sesuatu juga menyerupai Dia (As Syura:11)
Golongan kedua dimasyhurkan dengan nama “Aliran Salaf (aliran orang-orang yang terdahulu), walaupun pada hakikatnya tidak semua orang terdahulu berfaham begitu.
Yang menganut faham ini adalah sahabat-sahabat Nabi serupa Ummu Salamah (Isteri Nabi),Imam Malik bin Anas (Tabi’in), Sofyan Tsuri (Tabi’in) dan lain lain
“Aliran Salaf” ini berpendapat, bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertalian dengan sifat Tuhan, mesti dita’wilkan dan dialihkan artinya ke arti-lain, tetapi apa “arti lain” kita tidak perlu tahu, kita serahkan 100% kepada Tuhan, dengan pengertian bahwa kita selalu beri’tiqad bahwa Tuhan Maha Sucir daripada akan serupa dengan mahlukNya. Ta’wil aliran salaf ini dinamai “Ta’wil Ijmali” , yaitu Ta’wil secara umum.
Golongan yang ketiga ialah golongan yang berpendapat bahwa, ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihaat mesti dita’wilkan sama juga dengan pendapatan Aliran Salaf, tetapi ta’wilnya itu diterangkan seterang-terangnya. Ta’wil ini dinamai ta’wil Tafsili, ta’wil secara terperinci.
Golongan ketiga dimasyurkan namanya dengan Aliran Kalaf (aliran orang-orang terkemudian), walaupun pada haikiatnya tidak semua orang yang hidup terkemudian berfaham begitu.
Sumber dari faham aliran khalaf, sebagai yang dikatakan Imam Zarkasyi, adalah dari sahabat-sahabat Nabi juga, yaitu dari Saidina Ali, dari Ibnu Abbas, dari Ibuny Mas’ud dan lain lain
Ditegaskan sekali lagi, baik aliran salaf maupun aliran khalaf  tidak mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihaat secara harfiah menurut lafazhnya yang lahir, tetapi keduanya sama-sama menta’wilkan. Hanya perbedaannya, aliran Salaf tidak menerangkan secara terang-terangan Ta’wilnya, tetapi aliran halaf menerangkan ta’wilnya seterang-terangnya.
Hal ini diterangkan dalam kitap tauhid ”Tuhfatul Murid Syarah Jauharatut-tauhid” karangan Syeikh Ibrahim al Bajuri begini:
Artinya : maka jelaslah dari uraian kami diatas , bahwa”aliran salaf “ dan” aliran khalaf sepakat untuk menta‘wilkan secara ”ijmali”, yaitu menglihkan arti nash – nash yg seolah –olah sebangai menunjukkan sesuatuhal yg mustahil bagi Allah SWT, tetapi mereka (salaf dan khalaf ) berbeda pendapat antara diterangkan ta’wilnya atau tidak diterangkan (Tuhfatul Murid hal.54).
Selanjutnya kitab “Tuhfatul Murid” mengatakan:
Artinya: kesimpulan
Kalau terdapat dalam ayat Quran atau hadist-hadist  Nabi sesuatu yang seolah-olah menyatakan bahwa Tuhan ada di suatu tempat ,atau Tuhan bertubuh ,atau Tuhan berupa ,atau Tuhan beranggota ,telah sepakat Ahlul Haqqi (maksudnya Kaum Ahlus Sunah waljama’ah) dan lain untuk menta‘wilkan yang demikian, karena Tuhan maha suci dan bersih dari akan bersifat dengan dengan sifat yang disebutkan dalam arti yang lahir dari ayat-ayat dan hadits-hadits itu (Tuhfatul Murid hal.54)
Dari uraian Syeikh Ibrahim al Bajuri, seorang ulama tauhid yang terbesar dalam abad terakhir, dapat diiambil kesimpulan, bahwa:
a. aliran Salaf dan Khalaf sepakat untuk menta’wilkan ayat-ayat yang mutasyabih.
b. aliran Salaf menta’wilkan secara ”ijmali”, yaitu ta’wil secara umum, yakni tanpa menerangkan ta’wilnya tetapi alrian khalaf menta’wilkan secara ”tafsili”, yaitu ta’wil secara terperinci sebagai dikatakan diatas.
Umpamanya perkataan dalam surat al Fatah:10 yang kalau diartikan secara harfiyah adalah ”Tangan Tuhan”, tapi aliran Salaf mengartikan: itu tidak tahu artinya. Apa artinya diserahkan saja kepada Tuhan, Maha Suci Tuhan akan serupa dengan makhluk.
Aliran khalaf bahwa makna disini adalah ”kekuasaan”. Maka maknanya yang benar dari ayat ini adalah: ”kekuasaan Tuhan diatas mereka.”
Untuk lebih jelas permasalahannya dibawah ini dibuat Tanya jawab yang bertalian dengan ta’wil ayat-ayat qur’an suci.
Tanya
Apakah boleh ayat-ayat quran dita’wilkan, yakni dialihkan maknanya  ke makna lain. Kalau boleh siapakah yang berhak menta’wilkan itu?
Jawaban
Boleh saja, kalau dibutuhkan.
Yang berhak mentawilkan itu adalah :
Quran juga,karena Quran itu tafsir-mentafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Nabi Muhammad Saw, karena beliau diutus oleh Tuhan, selain menyampaikan risalah kerasulan, juga diberi tugas untuk menafsirkan, menta’wilkan dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Quran itu yang sesuai dengan tujuan Tuhan yang sebenarnya.
Para sahabat nabi,yaitu orng-orang yang dekat kepada nabi, yang tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, tahu maksud ayat sebenarnya yang ditermanya dari nabi, tahu kapan ayat-ayat itu diturunkan, malam atau siang, dimana ayat-ayat diturunkan di Mekah atau di Madinah, tahu bahasa Arab yang murni yang mana Quran diturunkan dalam bahasa itu.
Para sahabat yang terkemukan dalam menafsirkan quran adalah : Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘abas (ibnu ‘abbas), Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud (ibnu mas’ud), Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Abdullah bin ‘Amr, Siti ‘Aisyah Ummul mu’minin, dan lain-lain, Radhiyallahu’anhum ajma’in.
d.  Para tabi’in yaitu orang-orang yang berjumpa dan mengambil ilmu agama dari sahabat nabi. Para tabi’in itu adalah orang-orang yang masih sangat dekat kepada nabi, karena jamannya belum begitu jauh. Jalan pikirannya dan ilmunya masih sangat murni, tidak ada beda dengan jalan pikiran Nabi dan sahabat nabi.
Orang-orang ini yang terkemuka dalam menafsirkan Quran adalah: Hasan Basri, Mujahid, Sa’id bin Jubeir, Alqamah, ‘Ikrimah, Dhahak, ‘Atha bin Abi Rabah, Qutadah, Mutaqil, Muhammad bin Zaid, Ali bin Abi Thalhah, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslanm, Suddi al Kabir, Abu Abdirrahman as Sulami dan lain-lain.
Demikianlah yang dapat menta’wilkan atau mentafsirkan ayat-ayat Quran.
Tafsir atau ta’wil dari yang lain, yang menyimpang (dari tafsir Quran sama Quran, tafsir Nabi, tafsir Sahabat, tafsir Tabi’in) tidak diterima, karena dianggap “Tafsirbir Ra’yi’”, yakni tafsir dengan “pendapat” saja.
Perhatikanlah dalil-dalil yang dibawah ini:
Kesatu:
Ada firman Tuhan dalam Al Qur’an  begini bunyinya:
Artinya: Tuhan yang menurunkan Quran atasmu. Diantara isinya ada yang Muhkamaat(terang maksudnya) dan ada pula yang Mutasyabihaat (samar-samar, tidak langsung maksudnya). Adapun orang yang cenderung  hatinya kepada kesalahan diturutnya saja arti yang samar-samar itu, tersebab mereka hendak mencari fitnah  dan mencari kesalahan pengertian (mengartikan menurut pendapatnya sendiri).
Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya  itu kecuali Allah dan orang yang dalam ilmunya. Mereka berkata: kami iman kepada itu, semuanya datang dari Allah, Tuhan kami, dan yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang mengerti,  yang mempunyai ilmu (Al Imran: 7)
Jelas dalam ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan  dan orang yang dalam ilmunya mengerti makna ayat-ayat Mutasyabih itu.
Jelas dalam ayat ini disebutkan bahwa mengetahui ta’wil ayat-ayat Mutasyabih hanyalah Tuhan dan orang-orang yang dalam ilmunya dalam menafsirkan Quran adalah Nabi, Sahabat-Sahabat beliau dan para  Tabi’in.
Kedua
Tersebut dalam Hadits Bukhari begini bunyinya:
Artinya: dari Abdillah (bin Mas’ud) Rda.  Beliau berkata : tatkala turun ayat yang berarti : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan dengan zhulm (aniaya) (mereka memperoleh keimanan dan itulah orang-orang yang diberi hidayah (Al an’am:82)”, setelah turun ayat ini ada diantara Sahabat – Sahabat Nabi yang merasa kesusahan, sehingga mereka bertanya-tanya sesama mereka: Siapakah diantara kita yang tidak menganiaya diri dengan  membuat dosa?  lalu Nabi menjawab: bukan begitu, bukanlah sebagai yang kamu sangka. Ayat itu hanya sebagai yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya : Hai anakku! Janganlah kamu “syirik” kepada Tuhan, karena “syirik”  itu adalah “zhulm” yang besar (riwayat Bukhari – lihat Fathul Bari Juz 15 hal 334-335 ).
Jadi, kata: “zhulm” yang artinya pada mulanya “perbuatan aniaya” dita’wilkan oleh Nabi dengan “syirik” yakni mempersekutukan Tuhan.
Maka jadilah arti ayat ini  sesudah dita’wilkan : “Orang yang beriman dan tidak  mencampurkan keimanannya itu dengan syirik akan memperoleh keamanan dan itulah  orang yang dapat hidayah”.
Ketiga
Dalam sebuah hadits yang panjang yang tersebut dalam kitab Hadits Bukhari, bahwa Saidina Umar Rda, memanggil Ibnu Abbas berkumpul bersama Sahabat-Sahabat tertua, yaitu sahabat-sahabat yang menghadiri peperangan Badara.
Saidina Umar bertanya kepada mereka:
Artinya :
Bagaimana pendapatmu tentang ayat “apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan” ?
Jawab sebagian mereka: Kita diperintah apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan supaya memperbanyak Tahmid dan Tasbih.
Sebagian sahabat yang lain tidak  menjawab.
Dan engkau hai Ibnu Abbas, Bagaimana pendapatmu?
Jawabku: Tidak, bukan begitu, itu adalah ajal Rosulullah diberi tahukan sudah dekat. Apabila datang pertolongan  Tuhan dan kemenangan itu suatu tanda bahwa ajal engkau sudah dekat. Pada ketika itu tasbihlah, tahmidlah dan istighfarlah karena Tuhan itu penerima taaubat.
Lalu Saidina ‘Umar berkata : Saya baru sekarang mengetahui arti serupa itu (HSR Bukhari – Shahih Bukhari III hal 158 ).
Berkata Iman Ibnu Hajar Asqalani pada ketika mensyarahkan hadits ini, bahwa ini adalah suatu pertanda boleh menta’wilkan Quran, dengan apa yang difahamkan dari isyarat-isyarat. Yang mengerjakan yang demikian addalah orang-orang yang dalam ilmunya (Fathul Bari Syarah  Bukhari juz 10 halaman 367)
Sumber: Buku  “40 Masalah Agama”, K.H Siradjuddin Abbas,  Masalah Salaf dan Khalaf  (Hal 156-165)
Tentang bagaimana Ibnu Taimiyah melakukan penafsiran Al-Qur’an dan Hadits yang sebagian pihak memberikan istilah “Pemurnian Pemahaman” dalam arti bahwa penafsiran dilakukan secara harfiah, yakni menurut lahir lafazhnya saja.  Silahkan baca Jurnal Penelitian Agama, “Pemikiran Ibn Taimiyah  Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur’an”, H. Masyhud.
Mungkin dengan adanya “pemurnian pemahaman” atau penafsiran secara harfiah, penafsiran menurut lahir lafazhnya saja mengakibatkan umat muslim yang mengikuti cara,metode,jalan,manhaj,aliran atau mazhab salaf ala Ibnu Taimiyah terasa “kering” dalam beribadah atau mendalami agama dikarenakan “mungkin” tidak adanya “kedalaman”, “ta’wil” atau “rasa” dalam teknik pemahaman/penafsiran.
Wallahu a’alam
Wassalam
Zon at Jonggol

5 Tanggapan

salam
jazakaumu-llahu khairan
tulisan mantap untuk dirnunkan akhir pekan ini.
wa-ssalamu ‘alaikum


Javad Al-Kadzim
Jika ingin tahu lebih banyak tentang Ibnu Taymiah, lihat dihttp://ibnutaymiah.wordpress.com


abdurrahman
cuma di mana kitab yg menerangkan secara sorih bahwa ibn Taimiyah berkata Alloh duduk diatas arsy dlsb


assalaam `alaikum…………. izin share ustadz


mutiarazuhud
Walaikumsalam
Alhamdulillah, semua tulisan dalam blog ini boleh untuk disebarluaskan (di share),
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar