Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
Dalam hadits di atas Rasulullah menyebut mereka yang berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits namun pemahamannya salah sebagai “orang-orang muda” dan “iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka”.
“Orang-orang muda” disebut juga sebagai khawarij artinya pemahaman mereka telah keluar dari pemahaman sebenarnya. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Imam Sayyidina Ali ra menyatakan sebagai “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan / sumber / dalil yang benar namun pemahaman atau maknanya yang salah)”
Mereka disebut sebagai “orang-orang muda” karena mereka berilmu namun tidak mendapatkan hidayah sehingga mereka bertambah jauh dari Allah ta’ala. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“.
Mereka berilmu, mereka boleh jadi ada yang mendapatkan pendidikan tinggi, mereka boleh jadi ada yang bergelar LC , DR , Prof namun mereka ada yang tetap dipanggil oleh Rasulullah sebagai “orang-orang muda” karena mereka tidak mencapai kedewasaan atau arif.
Dewasa (baligh) adalah orang yang dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Dewasa (baligh) adalah mereka yang mendapat cahaya dari Allah Azza wa Jalla maknanya mereka yang memahami pertujukNya yang diilhamkan kedalam hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az Zumar [39]:22)
Dengan kata lain semakin dewasa seseorang maka mereka semakin dapat menggunakan akal qalbu (hati / lubb) atau ulil albab atau mereka yang dapat menggunakan hati untuk memahami Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar ? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Namun semua ibadahnya tinggal ritual semata, sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sehingga dia membunuh Imam Sayyidina Ali ra.
“Orang-orang muda”, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
“Orang-orang muda” adalah mereka yang tidak menggunakan hati dalam memahami Al Qur’an dan Hadits. Rasulullah menyebut mereka juga dengan “mereka membaca al Qur`an namun tidak melewati kerongkongan atau tenggorokan mereka” (HR Bukhari 6419). Mereka membaca Al Qur’an namun tidak meresap dalam hati (akal qalbu) , “tidak melampaui tenggorokan” hanya sebatas kepala atau sebatas akal pikiran/logika dan memori.
Pemahaman yang hanya sebatas akal pikiran/logika dan memori yang disebut pemahaman secara ilmiah, pemahaman berdasarkan bukti-bukti yang tampak oleh mata kepala atau pemahaman secara dzahir. Pemahaman secara ilmiah mengakibatkan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah pada hadits di awal sebagai “Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka” maknanya iman mereka tidak terhujam atau kokoh dalam hati. Boleh jadi mereka menemukan bukti-bukti atau dalil yang baru mereka ketahui maka iman mereka menjadi goyah.
Mereka yang menggunakan akal qalbu (hati/lubb) sebagaimana Ulil Albab adalah mereka mendapatkan karunia Allah ta’ala akan pemahaman secara hikmah. Mereka yang dapat mengambil pelajaran dari Al Qur’an
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Pendidikan tinggi Islam pada zaman modern ini lebih banyak untuk kebutuhan akal pikiran / logika dan memori.
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah menyatakan “pendidikan itu hanya masuk dalam logika-logika dangkal, yang tidak meresap ke dalam hati “
Semakin jarang pendidikan yang berupaya membiasakan akal qalbu (hati / lubb). Target mereka tidak lagi berupaya untuk mencapai muslim yang terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang baik (sholihin)
Muslim yang Ihsan atau muslim baik adalah minimal muslim selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, sedangkan terbaiknya adalah muslim yang melihat Allah dengan hati (ain bashiroh)
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Pendidikan itu malah ada yang membiasakan kesombongan, berkeyakinan bahwa berilmu otomatis derajatnya lebih tinggi daripada orang awam, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain nggak kelihatan, bagaimana dia bisa melihat Allah.
Tidak ada yang otomotis, mereka yang berilmu akan meraih derajat yang lebih tinggi / mulia jika ilmu terwujud dalam amal dan amal terwujud dalam akhlak yang baik. Muslim yang berakhlak baik adalah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin). Akhlah baik adalah tujuan dari berpendidikan dan tujuan dari beragama.
Ilmu –> Amal –> Akhlak
Orang tua kita dahulu menasehati bagi para penuntut ilmu agar seperti padi semakin berisi semakin merunduk. Semakin berilmu semakin berakhlak baik.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak korupsi, tidak zalim dalam kepemimpinan, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak mencela/menghujat/mengolok-olok saudara muslimnya sendiri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya
Kami telah menyampaikan dalam tulisan bagaimana Buya Hamka, ulama (orang yang berilmu) berkompetensi dalam perkara syariat pada akhirnya mencapai “perjalanan diri” ketika beliau mengikuti tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah sehingga beliau berujar bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “hampa”. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada
Begitu juga dengan Bung Karno dalam pencariannya cara mendapatkan ampunan dosa dan mati keadaan senyum sehingga beliau bertemu dengan ulama sufi dari Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yakni Prof. Dr.H.SS. Kadirun Yahya MA, Msc. Proses pencarian beliau terungkap dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/09/sukarno-dan-mati-senyum/ Sedangkan sedikit riwayat hidup ulama sufi Syekh Kadirun Yahya dalam tulisan pada
Bung Karno pernah memberikan pesan kepada Sujono Djono, sosok yang dikenal bersama dua orang temannya berkeliling dunia dengan Rp. 50. Pesan beliau kurang lebih, “Perjalankanlah dirimu kemanapun tujuannya di dunia namun tetap tujukanlah hatimu kepada Allah Azza wa Jalla”
Tujukanlah hatimu kepada Allah Azza wa Jalla atau perjalankanlah diri agar sampai kepada Allah Azza wa Jalla.
Buya hamka menyampaikan bahwa “antara makhluk dan Khaliq itu ada perjalanan yang harus kita tempuh . Inilah yang kita katakan Tharikat”
Dalam suatu riwayat. ”Qoola a’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Dzikrullah yang memperjalankan diri kita agar sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla atau jalan (tharikat) menedekatkan diri kita kepada Allah Azza wa Jalla. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada
Diri kita terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani. Mereka yang memperjalankan diri mereka kepada Tuhannya adalah mereka yang ruhani nya lebih “tua” daripada jasmaninya bahkan mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai “Muutu qabla an tamuutu” , “mati sebelum mati”. Kita dapat mencapai “kematian” ketika di dunia adalah keadaan dimana ruhani (ruhNya) dapat sepenuhnya mengatasi jasmani. Ruhani yang terbebas dari jasmani , terbebas dari kukungan hawa nafsu. Hakikat mati adalah terbebasnya ruhani (ruhNya) dari jasmani atau jasad.
Mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka yang berpaling dari Allah Azza wa Jalla atau mereka yang tidak melihat Rabb. Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya” (QS An Nisaa’ [4]:27)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Mereka yang memperjalankan diri mereka kepada Allah ta’ala adalah mereka yang mempergunakan “pakaian baru” pada ruhani mereka, mereka yang bertaubat dan membersihkan dirinya dan mengisinya dengan hal-hal terpuji, mereka berjalan mencapai terminal-terminal hakikat (maqom) sehingga mereka syahid (menyaksikan) Allah ta’ala. Lebih awal daripada penduduk surga yang kelak menyaksikan Allah ta’ala juga
Sebagaimana yang disampaikan oleh ulama sufi, imam Al Qusyairi bahwa, “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Begitupula nasehat ulama Sufi, Syaikh Ibnu Athailllah, “Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”
Tulisan kali ini kami akhiri dengan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar Ra’d [13]:27-28)
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Satu Tanggapan
Ilaahi anta maqshuudi wa ridhoka mathluubii a’thinii mahabbataka wa ma’rifataka ……
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar