Akibat Tidak Bermazhab

Akibat pemahaman ulama yang tidak mengikuti pemahaman pemimpin itjihad (akibat tidak bermazhab)
Dalam tulisan sebelumnya pada
kami telah menguraikan tentang bertawassul (adab berdoa) dengan bertabarruk dan ziarah kubur.
Bertawassul adalah merupakan bagian dari adab berdoa kepada Allah Azza wa Jalla
Bertawassul adalah jalan kita mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Bertawassul adalah jalan (washilah) mendekatkan diri kepada-Nya sehingga doa yang kita panjatkan kepada Allah ta’ala lebih besar kemungkinan terkabulnya
Bertawasul yang paling mudah adalah dengan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“
Rasulullah bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Bertawassul dikenal dalam bentuk antara lain keutamaan (barokah/berkat) tempat, waktu maupun derajat (maqom) kedekatan seseorang dengan Allah ta’ala

Keutamaan (barokah/berkat) tempat contohnya Raudoh, Multazam, Maqam (tempat) Ibrahim as, Hijr Ismail a.s dll
Keutamaan (barokah/berkat) waktu contohnya 1/3 malam terakhir, wukuf di Arafah, ketika waktu sujud dll
Keutamaan (barokah/berkat) derajat (maqom) kedekatan seseorang dengan Allah ta’ala  pada hakikatnya adalah penghormatan, pengakuan keutamaan derajat mereka (yang ditawasulkan) di sisi Allah Azza wa Jalla dan rasa syukur kita akan peran mereka menyiarkan agama Islam sehingga kita dapat mendapatkan ni’mat Iman dan ni’mat Islam.
Sebaiknyalah kita ingat bahwa mereka berziarah dan bertabarruk bukan meminta pertolongan kepada arwah, namun mereka meminta pertolongan kepada Allah ta’ala dengan perantaraan (washilah)  barokah (berkat) keutamaan mereka disisiNya. Silahkan baca uraian kami selengkapnya pada
Dan
Salah satu contoh ulama yang tidak lagi mengikuti pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) alias Imam Mazhab adalah ulama Ibnu Taimiyah.
Dalam kitab Minhaju As-sunnah Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa yang bunyinya demikian: “Semua hadist yang berasal dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam tentang ziarah kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah dhoif [lemah] dan ja’li [bikinan]”. Lihat Minhaju As-sunnah, Juz 2, Halaman 441.
Sementara Asqalani yang menukil dari Ibnu Taimiyah menceritakan bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk berziarah ke makam para wali dan ulama meskipun ziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam sekalipun. Dan Ibnu Taimiyah secara mutlaq telah mengharamkan perbuatan itu. Apakah itu dilakukan untuk tujuan ziarah ataupun ziarah itu dilaksanakan bersamaan dengan ibadah haji. Lihat kitab Irsyadu As-sari, Juz 2, Halaman 329.
Lebih jelas lagi, coba kita lihat kitab karangan Ibnu Taimiyah yang berjudul Attawassul wal Wasilah, Halaman 72. Ia berfatwa bahwa: “Semua Hadist-hadist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah dhoif dan tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh karena itu para perawi hadist-hadist dan sunan sahih sama sekali tidak ada yang menukil hadist tentang halalnya ziarah kubur nabi Shallallahu alaihi wasallam. Kalaupun ada yang menukil maka yang dia nukil adalah hadist dhoif”. Lihat kitab Attawassul wal Wasilah, Halaman 72.
Sementara di lain tempat dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah juga berkata:“Semua hadist yang berkenaan dengan ziarah kubur nabi  Shallallahu alaihi wasallam adalah lemah bahkan bohong semata”. Lihat kitab Attawassul wal Wasilah, Halaman 156.
Kemudian salah satu pengikut Ibnu Taimiyah yakni Abdul Aziz Bin Baz berusaha “memperbaiki” fatwa Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa ziarah kubur nabi shallallahu alaihi wasallam dan para ulama itu mustahab hukumnya akan tetapi jangan diniatkan untuk berziarah sebab kalau bepergian itu diniatkan untuk ziarah maka hukumnya adalah bid’ah.
Disini Bin Baz itu berkilah dengan menukil sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Ziarahlah kalian ke tempat-tempat kubur sehingga engkau teringat akan hari akhir”. “Akan tetapi (lanjutan ini adalah perkataan bin Baz), bila diniatkan untuk semata-mata ziarah kubur maka hukumnya tidak boleh”. Lihat kitab Majmu’u Fatawa bin Baz, Juz 2, Halaman 754 dan 755.
Begitu pula dari kumpulan fatwa-fatwa mereka yang dikenal dengan nama Allajnah Addaimah Lilbuhust Alalamiyah wal Ifta, Nomor Fatwa 423, juga mengeluarkan fatwa yang sama.
Bin Baz telah menyadari memang ada hadits yang menganjurkan ziarah kubur sehingga beliau terpaksa “mengkoreksi” ulama teladannya walaupun pada akhirnya fatwa beliau bersifat ambigu.
Pada mulanya dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam melarang ziarah kubur, kemudian beliau membolehkannya dengan sabdanya yang artinya: “Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka (kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhnya itu mengingatkan kematian.” (HR Muslim 977, At-Tirmidzi 1054, At-Thayalisi 807, Ibnu Hibban 3168, Al-Hakim 12/375, Abu Daud 3235, dan Ahmad 5/359).
Dan dalam riwayat yang lain yangartinya: ”…maka (kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu menzuhudkan (menjauhkan diri dari kecintaan) terhadap dunia dan mengingatkan akhirat.” (HR Ibnu Majah dalam sunannya, nomor 1571).
Hadits-hadits tentang ziarah kubur itu diriwayatkan dalam kitab Shahihain —Al-Bukhari dan Muslim—, Sunan At-Tirmidzi dan lainnya. Keseluruhan hadits-hadits tersebut ada di kitab Misykatul Mashabih 1/154.

Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi Manasik al Hajj Wa al ‘Umrah li an-Nawawi, hlm. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang mengingkari kesunnahan safar (perjalanan) untuk ziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang disesatkan oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang lebar juga telah membantahnya dalam sebuah tulisan tersendiri. Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad ini tidaklah aneh karena dia bahkan telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah menisbatkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah, ia menyatakan Allah memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan hal-hal buruk yang lain. Karenanya, Demi Allah ia telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah memperlakukannya dengan kedilan-Nya dan tidak menolong pengikutnya yang mendukung dusta-dusta yang dilakukan Ibnu Taimiyah terhadap Syari’at Allah yang mulia ini”.
Pengingkaran sunnah Rasulullah akan ziarah kubur adalah dikarenakan ulama mereka lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab). Penelaahan kitab diperparah dengan pemahaman bersandarkan pada akal pikiran mereka sendiri, mempergunakan metodologi “terjemahkan saja”  hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan  nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll. Mereka memahami secara dzahir, harfiah, apa yang tertulis atau apa yang tampak saja.
Para ulama menyampaikan ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’ah” (menelaah kitab) semata dengan mengesampingkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahuan khushush dan dapat dipercaya) dikarenakan terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupan” dan “pendustaan” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaimana mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah pernah terjerumus ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab berdasarkan akal pikiran dia sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan kesalahpahamannya.
Penjelasan keterjerumusan beliau ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” dijelaskan dalam
Selain berakibat “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) adalah pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin.
Akibat pemahaman ulama-ulama yang bersandar  kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab) dan metodologi terjemahkan saja mengakibatkan umat muslim kehilangan ruh ibadah atau aspek bathin dari ziarah kubur.
Mereka yang melakukan ziarah kubur tidak lagi meyakini bahwa ahli kubur dapat melihat siapa yang menziarahi mereka. Sehingga berakibat mereka tidak lagi beradab ketika melakukan ziarah kubur. Contohnya apa yang berlangsung pada ziarah kubur Rasulullah, umumnya adab mereka tidak menampakkan bahwa mereka sedang dilihat oleh Rasulullah shallallahu alihi wasallam. Mereka berdesak-desakkan, tidak mengalah atau mereka tidak menampakkan bahwa mereka bersaudara sesama muslim.  Mereka melakukan semua itu adalah atas ketidak-pahaman bahwa Rasulullah melihat mereka yang menziarahi kuburnya.
Mereka yang disisiNya walaupun telah wafat mereka hidup sebagaimana para Syuhada
Firman Allah t’ala yang artinya,
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Rasulullah bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur)”. Dalam riwayat lain, Rasulullah ditanya, “apakah penduduk surga itu tidur?, Nabi menjawab tidak, karena tidur temannya mati dan tidak ada kematian dalam surga”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar. Ruh orang tidur dan ruh orang mati semuanya ada dalam genggaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha berkehendak siapa yang ditahan jiwanya dan siapa yang akan dilepaskannya.
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain.”
Salah satu cara Allah Azza wa Jalla mempertemukan antara yang masih hidup dengan mereka disisiNya adalah ketika tidur (melalui mimpi)
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.”
Rasulullah bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)

Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas Btu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal. 7 ).
‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Nabi  shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Begitupula, dapat kita saksikan segelintir umat Islam ketika di Baitullah, Makkah al Mukaromah masih saja mereka memperlihatkan adab bahwa mereka tidak merasa sedang diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla.  Mereka berdesak-desakkan, tidak mengalah dan tidak menampakkan bahwa mereka bersaudara sesama muslim.  Hal ini diakibatkan ulama tidak lagi menyampaikan tentang  tasawuf atau tentang ihsan atau tentang akhlak. Sejak dahulu kala di perguruan-perguran tinggi Islam, pelajaran tentang tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang ihsan. Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan
Muslim yang Ihsan atau muslim yang sholeh hanya ada dua kondisi. Kondisi minimum adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla dan kondisi terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah ta’ala dengan hati.
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: 

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Mereka yang telah dapat melihat Allah ta’ala dengan hati adalah mereka yang telah berma’rifat atau mereka yang telah memperjalankan dirinya (suluk) hingga sampai (wushul) kepada Allah ta’ala. Mereka adalah yang menjalankan tasawuf yakni mereka yang setelah menjalankan syariat kemudian meneruskan kepada tharikat, hakikat hingga berma’rifat.
Nasihat Imam Syafi’i ~ rahimahullah,
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf (thariqat,  hakikat dan ma’rifat) , dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ?   [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ~rahimahullah
و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق
“Dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mereka tidak berdesak-desakan, mereka mau mengalah atau mereka menunjukkan adab atau sikap bahwa mereka bersaudara sesama muslim. Tidak saja ketika di Baitullah namun dimanapun mereka berada di muka bumi ini.
Keyakinan dilihat oleh Allah Azza wa Jalla maupun keyakinan dilihat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak lagi timbul pada segelintir umat muslim dikarenakan pengajaran para ulama yang mengakibat   ibadah fasidah  (ibadah yang rusak) atau ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin.
Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Akibat pemahaman ulama-ulama yang bersandar  kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab) dan metodologi terjemahkan saja mengakibatkan mereka melakukan upaya pembenaran terhadap apa yang mereka pahami sehingga mereka pada hakikatnya tidak lagi menyampaikan kebenaran melainkan memperturutkan keinginan atau hawa nafsu mereka sendiri. Mereka dapat mengingkari sunnah Rasulullah karena bagi mereka tidak masuk akal.
Contohnya ulama mereka mengingkari sunnah Rasulullah bahwa, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46). Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan pada 
Mereka juga mengingkari kebenaran yang tidak masuk akal mereka sehingga mereka mengakatakan sebagai tahayul atau khurafat.
Dalam upaya mereka melakukan pembenaran terhadap apa yang mereka pahami mereka mendustakan perkataan ulama yang lain
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari ahli bid’ah; juga dari orang yang tidak engkau ketahui catatan pendidikannya (sanad ilmu); serta dari orang yang mendustakan perkataan manusia, meskipun dia tidak mendustakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“ .
Mereka yang tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah telah diuraikan dalam tulisan pada

Sedangkan contoh mereka yang mendustakan perkataan ulama lainnya untuk membenarkan apa yang mereka pahami dapat ditemukan pada
Mereka adalah termasuk pengikut Ibnu Taimiyyah dan mereka melakukan upaya “pembelaan” terhadap ulama mereka. Mereka menyampaikan dalam tulisan mereka  bahwa Imam Malik dan para Imam lainnya sangat tidak suka apabila ada yang berkata : “Saya berziarah kemakam Nabi”
Hal tersebut serupa dengan pendapat Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ra untuk melarang menziarahi Rasulullah.

Ibnu Taimiyah berkata yang artinya,
“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam’  sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku .“
Imam Malik ra dengan perkataannya “aku membenci kata-kata, “Aku menziarahi kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam’ “ tidak bermaksud mengingkari Sunnah Rasulullah tentang ziarah kubur.
Imam Malik ra termasuk yang dapat meyakini bahwa Rasulullah walaupun secara dzahir telah wafat namun beliau hidup sehingga beliau tidak menyukai perkataan “menziarahi kubur Rasulullah”.  Beliau lebih baik mengatakannya dengan “menziarahi Rasulullah” atau “mendatangi Rasulullah“
Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan kaki hewan (kendaraan)”  (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  ? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari  juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi shallallahu alaihi wasallam.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupzkan ijma’ para ulama.
Oleh karenanyalah sebaiknya jangan mengikuti pemahaman ulama yang banyak kesalahannya yang dibuktikan dengan banyak ulama lain yang menyanggah atau membantah pendapat ulama tersebut. Jangan beralasan dengan “ambil yang baik dan buang yang buruk” karena pada hakikatnya mereka tidak dalam pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala  terhadap orang-orang sholeh.  Bagaimana yang dimaksud pemilharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang sholeh telah kami uraikan dalam tulisan pada
Sekali lagi kami mengingatkan marilah kita ikuti pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid / Imam Mazhab) dan penjelasan para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

5 Tanggapan

zon,
masih belum sembuh juga rupanya kebutaan anda. Anda ini sibuk membangga-banggakan sesuatu, namun tidak bisa mengambil pelajaran dari situ. Wajarlah kalau Allah lewat Al Qur’an menyinggung orang yang bergama secara aba ana.
bisakah anda membuktikan bahwa imam yang empat itu mencetuskan mazhab dalam islam?
dengan Al Qur’an yang Allah turunkan Rasulullah bisa mempersatukan bangsa arab jahiliyah waktu itu.
skrg Al Qur’an masih ada diantara kita. Apa Al Qur’an skrg ini sudah beda dengan yg waktu itu shg tidak lagi bisa mempersatukan ummat? ataukah orang2 islam nya yg memang sudah tidak mau dengan Al Qur’an?
anda ini orang buta yang memegang lampu senter.


mutiarazuhud
Mas, Andi bukan mereka yang mencetuskan mazhab, namuan pemahaman / pendapat mereka telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sebagai pemahaman yang terbaik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah termasuk terbaik dalam memahami perkataan Salafush Sholeh bahkan mereka bergaul langsung dengan Salafush Sholeh , minimal Tabi’ut Tabi’in. Mereka berempat memang berkompetensi sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid mutlak) alias Imam Mazhab


'Ajam
pertanyaan ana terdahulu masih belum terjawab. kalau ada suatu pendapat dimana ia keluar dari pendapat 4 imam Madzhab, apakah langsung dinilai bahwa pendapat itu pasti salah/sesat?


mutiarazuhud
Mas Ajam, pertanyaannya kenapa pendapat mereka harus keluar dari pendapat / pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) yang telah diakui oleh jumhur ulama mmempunyai kompetensi terbaik dalam memahami Al Qur’an dan Hadits serta terbaik dalam memahami perkataan Salafush Sholeh, bahkan mereka bergaul langsung dengan para Salafush Sholeh , minimal Tabi’ut Tabi’in


'Ajam
seharusnya antum cukup menjawab IYA atau TIDAK.
ana bawakan 1 contoh kasus, yaitu Apa kewajiban yang harus dilakukan bagi wanita hamil dan/atau menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan ?
1) Jika wanita hamil dan/atau menyusui berbuka karena khawatir terhadap anaknya saja, maka wajib baginya menqadla dan membayar fidyah.
Ini pendapat madzhab Syafi’iyyah yang rajih dan mu’tamad dari madzhab mereka, madzhab Hanabilah, dan Mujaahid.
2) Wanita hamil yang berbuka hanya wajib menqadla dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan bagi wanita menyusui wajib baginya menqadla’ dan membayar fidyah.
Ini adalah madzhab Malikiyyah, dan dengannya Al-Laits berpendapat.
3) Wanita hamil dan menyusui yang berbuka hanya berkewajiban membayar fidyah, tidak wajib mengqadla’.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum, serta sekelompok tabi’in.
4) Wanita hamil dan menyusui yang berbuka tidak wajib mengqadla dan tidak pula membayar fidyah.
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm Adh-Dhahiriy.
5) Memberi pilihan. Jika wanita yang hamil dan menyusui itu memilih memberi makan (membayar fidyah), maka ia tidak perlu mengqadla’. Sebaliknya, jika mereka memilih mengqadla’, maka ia tidak perlu membayar fidyah.
Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
6) Wanita yang hamil wajib mengqadla’, tidak wajib membayar fidyah.
Ini adalah pendapat Hanafiyyah, Asy-Syafi’iy dan Al-Muzanniy dari madzhab Syafi’iyyah, Hasan Al-Bashri, An-Nakha’iy, Al-Auza’iy, ‘Atha’, Az-Zuhriy, Sa’id bin Jubair, Adl-Dlahhak, Rabi’ah, Ats-Tsauriy, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, Ashhaabur-Ra’yi (Hanafiyyah), Ibnul-Mundzir, diriwayatkan dari Al-Laits, dan ia merupakan pendapat Ath-Thabariy.
========
perhatikan pendapat nomor 3, 4, dan 5. ketiga pendapat itu bukan pendapat dari 4 Imam Mdzhab. lantas apakah pendapat ini langsung antum anggap salah/sesat, padahal yang memegang ketiga pendapat ini ada Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Qosim bin Muhammad, Said bin Jubair, Ibnu Hazm, dan Ishaq bin Rahawaih?
=====
7 November 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar