Cara mengetahui dan mengikuti pemaham
Mereka bertanya mana yang lebih baik kita ikuti pemahaman para Sahabat atau pemahaman Imam Mazhab ?
Tentulah kita tidak bisa bertemu dengan para Sahabat untuk mengetahui pemahaman mereka. Yang tertinggal pada saat ini adalah lafaz / tulisan perkataan para Sahabat
Tentulah permasalahan bukan pada perkataan para Sahabat namun letak permasalahan adalah siapakah yang berupaya memahami lafaz / tulisan perkataan para Sahabat
Apakah mengikuti pemahaman dengan akal pikiran sendiri ?
Apakah mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab ?
Apakah mereka berkompetensi untuk berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid ?
Kesepakatan jumhur ulama dari dahulu sampai saat ini bahwa ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak adalah para Imam Mazhab yang empat.
Para Imam Mazhab mengetahui hadits lebih banyak daripada yang telah dibukukan. Hadits yang telah dibukukan hanya sebagian saja, sebagian lagi dalam hafalan. Boleh dikatakan sudah semakin sukar untuk menjadi Imam Mujtahid Mutlak
Lebih baik kita mengikuti pemahaman pemimpin ijtihad (imam mujtahid mutlak) dalam memahami perkataan Sahabat. Para Imam Mazhab mengetahui pemahaman para Sahabat melalui (minimal) Tabi’ut tabi’in
Berikut rantai sanad guru Imam Syafi’i ~rahimahullah
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’,Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafi’i’ Muhammad bin Idris ra
Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam menyampaikan pemahaman beliau kepada baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra selanjutnya pemahaman disampaikan kepada Al-Imam Nafi’,Tabi’ Abdullah bin Umar ra selanjutnya pemahaman disampaikan kepada Al-Imam Malik bin Anas ra selanjutnya pemahaman disampaikan kepada Al-Imam Syafi’i Muhammad bin Idris ra selanjutnya pemahaman disampaikan kepada murid-murid beliau terus berlanjut melalui lisan ke lisan para pengikut Imam Syafi’i ~rahimahullah
Lebih baik mengikuti pemahaman Imam Mazhab, pemahaman yang dihantarkan melalui lisan ke lisan atau sanad ilmu atau sanad guru. Bukan pemahaman melalui memahami lafaz/tulisan yang kemungkinan besar bercampur dengan akal pikiran sendiri serta kemungkinan terkena ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/26/bukti-korban/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/24/korban-perang-pemahaman/
Coba kita perhatikan mereka yang memahami tidak melalui pemahaman Imam Mazhab
Berikut dua ulama yang memahami hadits Rasulullah yang artinya, “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”
Ulama pertama berpendapat, “Benar (Allah punya bayangan), sebagaimana itu disebutkan dalam hadits. tetapi kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifat Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah (yaitu itsbat/menetapkan saja)”. Sumber: http://ww.binbaz.org.sa/mat/4234
Kesimpulan ulama ini adalah “Allah memiliki bayangan yang sesuai bagi-Nya”
Ulama kedua berpendapat, “Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. “Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (sesat), karena dengan begitu maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
Ulama kedua telah membedakan antara terjemahan dengan makna yang lebih sesuai bagi Allah Azza wa Jalla, daripada ulama pertama yang berpendapat bahwa Allah memliki bayangan yang sesuai bagi-Nya.
Metodologi pemahaman yang dipergunakan oleh ulama pertama yang kami sebut dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah/dzahir nya nash/lafazh/tulisan.
Metodologi “terjemahkan saja” akan menemukan kesulitan pula dalam memahami contohnya perkataan Rasulullah yang artinya “Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah bayangan pedang” (HR Muslim 3521) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=34&ayatno=133&action=display&option=com_muslim
Apa yang dialami oleh ulama yang pertama terjadi juga dengan ulama yang lainnya ketika mereka memahami
Allah berfirman yang artinya : “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Sesungguhnya abu Hurairoh ra telah berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Allah Azza wa Jalla menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat (menggulung) langit (dalam riwayat lain: langit-langit) dengan tangan kanan-Nya”, kemudian Allah Azza wa Jalla berkata: “Akulah raja! Manakah raja-raja bumi (dunia)?”. (Hadits shahih riwayat. Bukhari no. 4812,6519,7382 & 7413 dan muslim no. 2787 )
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Kesimpulan mereka adalah “Allah ta’ala mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah ta’ala adalah kanan“ Hal ini disampaikan contohnya pada
http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Silahkan saksikan video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15
I’tiqod mereka bahwa Allah ta’ala punya tangan namun mereka tambahkan bahwa tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk.
Berikut transkriptnya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama bentuknya dan rupanya.”
Begitupula seorang ustadz mengatasnamakan pemahamannya terhadap lafaz/tulisan ulama salaf sebagai ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit
Beliau adalah pengikut ulama Ibnu Taimiyyah dimana tesis S2 beliau berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-syubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dzatiyah yang dilontarkan oleh para penolak sifat”
Bandingkan pendapat mereka dengan pendapat Imam Syafi’i ~rahimahullah
Imam asy-Syafi’i berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
Begitu pula pendapat para pengikut Imam Mazhab
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Perhatikan pula peringatan yang disampaikan Imam Sayyidina Ali ra
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi)
Oleh karenanya agar tidak terjerumus pada kekufuran dalam i’tiqod, kesesatan atau menjadi kafir tanpa disadari sebagaimana yang diperingatkan oleh Imam Sayyidina Ali ra, marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti sunnah Rasulullah yakni mengikuti pendapat jumhur ulama (as-sawad al a’zham) dengan mengikuti dan mentaati pemahaman pemimpin ijtihad (imam mujtahid mutlak) atau para Imam Mazhab dan penejelasan dari pengikutnya terdahulu sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan (perbedaan pemahaman / berlainan pendapat) maka ikutilah as-sawad al a’zham (pendapat jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Wassalam
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar