Tentu kita sudah dapat memahami apa yang dimaksud salaf dan salaf(i).
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi).
Salaf(i) sesungguhnya adalah pengikut salaf, umat muslim yang menyandarkan pada salaf.
Seharusnya pengikut salaf adalah berlaku umum dan wajib bagi setiap muslim.
Namun kini “dipersempit” seolah-olah untuk suatu kelompok atau penamaan suatu kelompok.
Kita harus waspada dengan upaya-upaya penyempitan arti, tentu itu datang dari kaum yang kerap memusuhi umat Islam. Kaum tersebut telah Allah uraikan dalam firmanNya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Kaum itulah yag kerap melabeli sebagian umat Islam dengan predikat “teroris” bahkan menambahkan dengan isme sehingga menjadi terorisme. Seolah-olah sekelompok orang berpahaman teroris. Nauzubillah min zalik.
Jadi kita harus yakin bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan dalam satu kesatuan aqidah. Jikalau terjadi perselisihan sesungguhnya hanyalah miskomunikasi atau misinformasi.
Solusi mengenai perselisihan umat Islam saat ini telah Allah sampaikan bahwa,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rosul dan taatilah ulil amri diantara kalian, apabila kalian berselisih pendapat tentang segala sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rosul (As Sunnah) (Al Qur’an Surat An Nisa ayat 59)
Sedangkan sebagian besar umat Islam yang menyandarkan pada metode(manhaj) imam Mahzab sesungguhnya tentu para imam Mahzab tsb dalam penilitian, pemikiran, memberikan pedoman berpegang kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rosul (As Sunnah).
Imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali). Mereka berilmu tetapi tetap tawadhu.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hadits2 yang diketahuinya hanya sebagian kecil, banyak ulama2 lain yang menghapal hadits yang mungkin beliau tidak tahu.
Imam Maliki mengatakan bahwa dirinya hanya manusia biasa yang bisa berbuat salah, apabila ada perkataan beliau yang menyelisihi sunnah maka hendaklah ditinggalkan.
Imam Syafii mengatakan apabila ada perkataannya (fatwanya) yang menyelisihi hadits shahih, maka ikutuilah hadits shahih dengan meninggalkan perkataannya.
Begitupula Imam Ahmad mengatakan, janganlah kalian mengikuti Hanafi, Maliki, Syafii, tetapi ikutilah darimana mereka mengambil (Al-Quran dan Sunnah)
Bagi mereka yang “meneruskan” menyandarkan pada metode/manhaj imam mahzab juga silahkan.
Bagi mereka yang mempunyai “kesempatan” untuk mempelajari atau menyandarkan pada salaf silahkan namun perlu diingat bahwa “kesempatan” itu adalah semata-mata karunia Allah dan juga sebaiknya tidak menjadikan sombong terhadap umat islam lainnya.
Firman Allah, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira1 terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”
(Al Hadid(57):23).
“Kesempatan” untuk mempelajari langsung tanpa menggunakan metode/manhaj 4 mahzab adalah cukup berat dan memerlukan ketekunan tapi tentu tidak ada yang mustahil.
Juga perlu diingat untuk tidak mengkafirkan muslim lain berdasarkan hawa nafsu dan pemikiran semata. Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain.
Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ungkapan, “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”, maka kaidah ini harus diperjelas maksudnya.
Jika maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir. Atau juga mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan meyakini mereka termasuk sebagai kaum muslimin, maka kaidah tersebut dianggap benar. Karena konsekwensinya, orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [Al-Maidah : 51]
Wallahu a’alam
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar