‘Arsy (Bahasa Arab عَرْش, ‘Arasy) adalah makhluk tertinggi, berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para Malaikat.
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 )
Dari keterangan itu, apakah dapat disimpulkan bahwa Allah Azza wa Jalla bersemayam (bertempat/berada) di atas singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para malaikat ?
Hakikat Arsy (Singgasana) diciptakan bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla karena Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333)
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“ (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Pada hakikatnya Arsy diciptakan adalah agar manusia tidak menjadikan selain Allah Azza wa Jalla sebagai “Raja Manusia”
“Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia“,
“Raja Manusia”,
“Sembahan manusia”. (QS An Naas [114]: 1-3 )
Begitupula hakikat “di langit” “di atas” bukanlah dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai peruntukan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Marilah kita pahami petunjukNya (Al-Qur’an dan Hadits) dengan hakikat keimanan karena jika tidak dengan hakikat keimanan maka sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai “Orang yang membaca Al Qur’an tidak melampaui kerongkongannya” artinya memahami dengan “pikiran dan memori” bukan dengan “akal dan hati” (hakikat keimanan).
Selengkapnya mengenai perbedaan antara memahami dengan “pikiran dan memori” dan memahami dengan “akal dan hati” dapat dibaca tulisan kami sebelumnya pada
atau dalam tulisan pada
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Pikiran adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami dengan menterjemahkan / logika)
Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran / hikmah)
Berpikir, berhubungan dengan kemampuan jasmani, dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal, berhubungan dengan ruhani, dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat.
Hati dalam bentuk jasmani adalah “segumpal darah”
Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”
Mereka yang menggunakan “akal dan hati” di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau yang mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai Ulil Albab sebagaimana contohnya firman Allah ta’ala.
wamaa yadzdzakkaru illaa uluu al-albaab …
“dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Barangsiapa mengulas Al Qur’an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka.” (HR. Abu Dawud)
Jika kita belum dapat merujuk atau memahami secara langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits maka kita disarankan untuk bertanya dengan mereka yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43).
Begitupula pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat keimanan.
Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Tulisan ini kami akhiri dengan kutipan sebuah lagu “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya“
Pada hakikatnya kita beribadah bukan karena pahala, surgaNya atau karena lainnya namun beribadahlah karena Allah ta’ala (Lillahi ta’ala). Beribadahlah agar kita sampai kepada Allah Azza wa Jalla.
Teguhkan tujuan hidup kita adalah untuk sampai kepada Allah Azza wa Jalla sedangkan surgaNya adalah keniscayaan/kepastian bagi mereka yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar