Akhlak Rasulullah

Akhlak Rasulullah mengatasi perbedaan pemahaman
Kita perlu mengkaji ulang konsep tentang menisbatkan dan menyandarkan diri kepada Salafush Sholeh, salah satunya oleh Syaikh Ibnu Taimiyah. Sebagaimana yang beliau sampaikan: “Tidak tercela orang yang menunjukkan madzhab salaf, menisbatkan dan menyandarkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima hal itu darinya, karena madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran” [Al-Fatawa 4/149].
Konsep yang ditawarkan ini pada hakikatnya merupakan upaya untuk membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dan membentuk madzhab baru diluar dari madzhab yang sudah kita kenal sejak dahulu  dan dihasilkan oleh imam madzhab yang empat. Akibatnya adalah apa yang telah dikumpulkan dan disimpulkan dengan susah payah oleh para imam madzhab yang empat atau imam mujtahid dari nash-nash Al-Qur’an dan Hadits menjadi terurai kembali dalam bentuk pemahaman satuan yang memerlukan upaya lebih lanjut bukan dalam bentuk pemahaman yang terintegral / menyatu dan saling mengkait.
Penisbatan dan penyandaran diri kepada Salafush Sholeh menjadi rancu karena keberagamannya pemahaman Salafush Sholeh.
Pada waktu itu keberagamanpemahaman ini dapat teratasi dan terkendali karena ada sosok pemimpin yakni Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan dilanjutkan oleh para Khulafa’ur Rasyidin atau Khalifah Ar-Rasyidin, khalifah yang meneladani Nabi.
Sebagai contoh yang diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah r.a katanya:
Seorang lelaki telah datang menemui Rasulullah s.a.w di Ja’ranah setelah kembali dari Peperangan Hunain.
Pada pakaian Bilal terdapat perak dan Rasulullah s.a.w mengambil darinya untuk dibahagikan kepada orang ramai.
Lelaki yang datang itu berkata: “Wahai Muhammad! Kamu hendaklah berlaku adil.”
Rasulullah s.a.w bersabda: “Celakalah kamu! Siapa lagi yang lebih berlaku adil? Jika aku tidak adil. Pasti kamu yang rugi, jika aku tidak berlaku adil.”
Umar bin al-Khattab r.a berkata: “Biarkan aku membunuh si munafik ini, wahai Rasulullah!”
Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku berlindung dengan Allah dari kata-kata manusia bahwa aku membunuh sahabatku sendiri”.
“Sesungguhnya orang ini dan teman-temannya membaca al-Quran tetapi tidak melampaui kerongkong mereka yaitu tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca bahkan mereka hanya sekadar membacanya sahaja. Mereka menyudahi bacaan al-Quran sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan.” [HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad].
Riwayat tersebut menjelaskan adanya keberagaman pemahaman pada masa generasi terbaik (Salafush sholeh) dan dijelaskan oleh Rasulullah bahwa ada sebagian orang pada ketika itu yang sekedar membaca dan memaknai Al-Quran dengan metode apa adanya (metode pemahaman lahiriah, dzahir, sebagaimana yang tertulis yang tersurat) tanpa mengambil faedah atau pelajaran atau tersirat atau hikmah
Dari riwayat tersebut terurai jelas adanya pemahaman seperti yang dipahami oleh seorang lelaki yang berkata “Kamu hendaklah berlaku adil” dan pemahaman seperti yang dipahami oleh Umar bin al-Khattab r.a yang berkata “Biarkan aku membunuh si munafik ini”.
Kemudian “pembunuhan” karena perbedaan pemahaman itu tidak sampai terjadi karena perkataan Rasulullah “Aku berlindung dengan Allah dari kata-kata manusia bahwa aku membunuh sahabatku sendiri”
Apa yang terjadi pada masa kini adalah perdebatan, pertengkaran, saling “berlepas diri” bahkan “pembunuhan” dikarenakan perbedaan pemahaman.
Memang jika dibongkar ada beberapa kejadian yang tidak pernah sampai kepada umat Islam sekarang.  Seperti pembunuhan terhadap keluarga dan keturunan Rasulullah saw yang dilakukan para penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Bahkan, pada abad 19 M. terjadi penghancuran dan perusakan kuburan Rasulullah saw serta sebagian aksesoris Ka’bah (Baitullah) oleh kaum Muslim puritan yang dipimpin oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabi/Salafy)
Mereka meneriakkan bid’ah dan menganggap sesat terhadap yang berbeda paham dalam menjalankan ibadah-ibadah Islam. Gerakan dan ajaran mereka itu sampai sekarang dipelihara dan menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi serta meluaskan pahamnya ke berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia.
Apa yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa, “Aku berlindung dengan Allah dari kata-kata manusia bahwa aku membunuh sahabatku sendiri” adalah bagian yang dimaksud dengan akhlakul karimah atau tasawuf dalam Islam atau tentang Ihsan.
Rasulullah mencegah pembunuhan yang akan dilakukan Umar r.a. dengan mengajak untuk mengingat Allah atau “memandang” Allah atau seolah-olah melihatNya (ihsan).
Sekarang kita dapat temui perbedaan pemahaman diantara kaum muslim yang merupakan produk-produk yang dihasilkan oleh para ulama yang tidak mengajarkan tasawuf dalam Islam bahkan membenci tasawuf dalam Islam. Silahkan baca tulisan pada
Pada situs/tulisan itu, coba kita ambil pelajaran untuk “mengurai” pemahaman mereka.
Berikut salah satu komentar/perkataan mereka yang katanya menisbatkan diri pada Salafush Sholeh.
“Dulu ana waktu SMP gandrung banget sama majalah Sabili.. Tapi sejak konfrontasinya terang-terangan dengan Manhaj Salaf, mengobok-obok tanpa dalil dan ilmu, negative thinking saja deh sama Sabili.. Semoga Allah menghukum dengan adzab yang pedih kepada orang/kelompok yang membuat makar jahat.. Menghancurkan Islam dari dalam”
Perhatikanlah “doa” mereka yang diperuntukan pada saudara-saudara muslim sendiri.
Apakah mereka mengingat Allah atau “memandang” Allah atau seolah-olah melihatNya (ihsan) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam memperlakukan sahabat di atas ?
Apa yang terjadi jika sang komentator tersebut mempunyai kekuasaan tidak sekedar doa saja namun kekuasaan untuk membunuh terhadap yang berbeda pemahaman ?
Mereka telah “buta” dengan manhaj salaf mereka. Mereka terhalang seolah-olah melihat Allah. Wallahu a’lam
Jangankan terhadap para sahabat atau sesama muslim, Rasulullah pun tidak pernah mendo’akan kehancuran kaum Quraisy yang telah menyakiti dirinya. Hal ini karena beliau musyahadah (memandang) Allah.
Dan Allah berfirman kepada nabi Muhammad saw di (Qs Yunus [10]:65 ) ;  “Dan janganlah engkau sedih oleh perkataan meraka. Sungguh, kekuasaan (akan perkataan mereka) itu seluruhnya milik Allah. Dia maha mendengar, maha mengetahui.”
Kita terhadap sesama muslim harus mentaati Allah, mentaati Rasulullah dan mentaati para ulama tanpa mengelompokkan.
Kita wajib meneladani Rasulullah termasuk akhlak beliau,  kemampuan beliau yang “memandang” Allah atau seolah-olah melihatNya.
Kadang kita melihat orang lain berdasarkan apa yang kita ketahui atau kita pahami atau kita alami atau dengan peribahasa “mengukur orang lain dengan baju sendiri”.
Kita sampaikan kepada orang lain bahwa begitu pentingnya menuntut ilmu syar’i namum kenyataannya orang lain itu sudah mewujudkan ilmunya kedalam bentuk amal / perbuatan, dan sebagian lainnya dengan banyak amal / perbuatan yang sering dilakukan sehingga membentuk tabiat/perilakunya sehingga menghasilkan akhlakul karimah.
Jadi berapapun sedikitnya ilmu syar’i yang didapat/dipahami upayakanlah “melampaui kerongkongan”
“Melampaui kerongkongan” ini merupakan kata kiasan yang maknaya “sampai ke hati”, sehingga ketika sampai ke hati menggerakkan kita untuk mewujudkan dalam bentuk amal/perbuatan. Amal/perbuatan yang sering dilakukan akan membentuk tabiat/karakter/perilaku/adab yang dikatakan akhlakul karimah.
Akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah ta’ala.
Dahulu kita kenal, bahwa semakin tinggi ilmu manusia maka dia semakin merunduk (sadar akan Allah yang Maha Mengetahui).
Ibarat Padi, semakin berisi semakin merunduk artinya semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya (tawadhu).
Kita menyembah Allah swt sebaiknya dapat seolah-olah memandang (melihat) Allah swt atau kalau belum mampu, kita wajib yakin bahwa Allah swt melihat kita, agar amal (perbuatan) kita sampai (wushul) ke hadhirat Allah swt bukan kepada selainNya. Yang dimaksud dengan memandang (melihat) Allah swt disini adalah dengan mata hati (bashirah). Sebagaimana riwayat berikut ini,
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Ali bin Abi Thalib ra dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah dan futuwwah). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh). Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Kesempurnaan seorang muslim adalah dengan mengamalkan Tasawuf dalam Islam atau tentang Ihsan atau tentang akhlak yang merupakan misi utama Rasulullah,
“Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21)
Allah ta’ala menegaskan bahwa, “dia banyak menyebut Allah”. Itulah amalan rutin yang diamalkan oleh kaum sufi.
Orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan yang besar terhadap orang mukmin yakni orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan (ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf), sehingga mereka berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sayang sekali sebagian ulama termakan propaganda tersebut.
Perhatikanlah bagaimana Orang-orang yahudi atau orang-orang musyrik berupaya meruntuhkan akhlak kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras, narkoba. Juga dengan pemahaman mereka Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme dll.
Untuk mengatasi kemerosotan akhlak atau kemerosotan kemampuan untuk seolah-olah melihatNya maka sangat diperlukan untuk memahami dan mengamalkan Tasawuf dalam Islam ditopang dengan upaya penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah) pemahaman dari luar Islam.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

Satu Tanggapan
Sepakat Mas, Ini artikel sangat bagus dan jelas. Oke banget.
Oh ya, saya komentator aktif di blog
=====
November 2010 oleh mutiarazuhu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar