Mereka yang melesat

Apakah mereka termasuk yang melesat dari umat muslim kebanyakan
Dalam sebuah diskusi kami menyampaikan kekaguman dan rasa syukur bahwa di zaman sebagian manusia hubud dunya (cinta dunia) dapat kita temukan banyak muslim berbuat amal kebaikan dalam bentuk berkumpul , bersilaturahmi dalam peringatan maulid Nabi besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Salah satu contoh adalah apa yang telah diupayakan oleh habib Munzir sehingga terkumpul banyak orang di suatu tempat. Atas izin Allah Azza wa Jalla, tentulah Rasulullah menyambut sholawat-sholawat yang telah dihaturkan oleh segenap peserta peringatan maulid.
Salah seorang peserta diskusi yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan metodologi “terjemahkan saja” membantah atas kekaguman dan rasa syukur kami.
Mereka berkata “banyaknya orang. bukan menjadi ukuran sebuah kebenaran” kemudian mereka menyampaikan pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah bahwa,
“sebagian menusia jika dilarang dari perbuatannya yang menyimpang dari ajaran syariat Islam atau menyimpang dari adab Islam berargumen umumnya manusia mengerjakannya. Jika demikian, bagaimana kita menjawabnya? Mayoritas bukanlah dasar kebenaran, karena Allah azza wa jalla berfirman;

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS.al-An’am [6]: 116)

Syaikh Abdurrohman as-Sa’di rahimahullah berkata:
“Ayat ini menjelaskan bahwa kebenaran itu bukan karena banyak pendukungnya, dan kebathilan itu bukan karena orang yang mengerjakannya sedikit. Kenyataannya yang mengikuti kebenaran hanya sedikit, sedangkan yang mengikuti kemungkaran banyak sekali. Kewajiban bagi umat Islam adalah mengetahui yang benar dan bathil, lihatlah jalan yang ditempuh.” [Tafsir al-Karimur Rohman: 1/270]

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
“Orang yang berakal sehat jangan tertipu dengan kebanyakan manusia, karena kebenaran tidak ditentukan karena banyak orang yang berbuat, akan tetapi kebenaran adalah syariat Allah azza wa jalla yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Majmu' Fatawa wa Maqolat Ibnu Baz: 1/231]

Inilah sebuah kesalahpahaman lagi dari mereka yang memahami Al-Qur’an dan hadits dengan metode “terjemahkan saja” atau memahami secara apa yang tertulis atau tersurat.
Kita dalam memahami sebuah ayat dalam Al-Qur’an tidak boleh memahami secara lepas karena sebuah ayat dalam Al-Qur’an mempunyai kaitan dengan ayat-ayat lain dalam satu surat, dengan ayat pada surat yang lain maupun kaitan dengan hadits-hadits yang menguraikan Al-Qur’an. Selain memperhatikan kaitan/hubungan dengan yang lain, kitapun harus memperhatikan asbabun nuzul nya.
Jadi dengan memperhatikan kaitan/hubungan dan asbabun nuzul maka kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini” dalam QS Al An’aam [6]:116 ). Dari ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut dapat dengan mudah kita ketahui bahwa mereka atau “kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah mereka yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam atau orang-orang kafir. Sedangkan “orang banyak” yang menyelenggarakan peringatan Maulid adalah mereka yang telah bersyahadat, mereka yang beriman kepada Rasulullah. Hal yang sangat keliru “menggunakan” ayat tentang orang-orang kafir terhadap saudara muslim sendiri.
Rosulullah saw bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
“sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Alloh bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Jumhur ulama atau banyak ulama berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad tidak bertentangan dengan Al-Quran maupun hadits.
Amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah adalah amal kebaikan (sholeh) walaupun amal perbuatan tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjadi bid’ah dlolalah jika yang melakukannya berkeyakinan sebagai perkara yang wajib (jika di tinggalkan berdosa).
Begitu juga menjadi bid’ah dlolalah bagi yang melarang peringatan Maulid Nabi Shallallahu alaihi wasallam karena menetapkannya sebagai perkara haram (dikerjakan berdosa)

Kita tidak boleh menambah kewajiban (perkara hukumnya wajib) maupun larangan ataupun pengharaman (perkara hukumnya haram) karena dengan begitu telah menyangka bahwa Allah ta’ala lupa.
Allah ta’ala lah yang menetapkan kewajiban, batas/larangan dan
pengharaman dan Allah ta’ala tidak lupa. Jika ulama berfatwa untuk hal baru dalam kewajiban, larangan atau pengharaman maka pada dasarnya merupakan “turunan” dari apa yang telah Allah ta’ala tetapkan.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah pun takut jika dianggap sholat malam yang diikuti menjadi suatu kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) sebagaimana yang disampaikan, “Pada pagi harinya orang-orang mempertanyakannya, lalu beliau bersabda: “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687) Matan hadits selengkapnya silahkan baca padahttp://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
“Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan, kemudian menjadi diharamkan karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Imam Syafi’i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha’i –salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari Kufah– dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!“
Yup, persoalan yang besar dalam menetapkan suatu kewajiban, larangan maupun pengharaman, karena persoalan itu hanya ditetapkan oleh Allah ta’ala. Jika ada hal yang baru ingin ditetapkan (difatwakan) hukum perkaranya haruslah merupakan “turunan” atau berlandaskan dari apa yang telah Allah ta’ala tetapkan. Allah ta’ala tidak lupa.
Kelirulah bagi mereka yang mendefiniskan bid’ah dlolalah adalah segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Salafush Sholeh.
Dari sini dapat kita ketahui adanya bid’ah tidak dlolalah atau bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Bid’ah dlolalah adalah segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Salafush Sholeh yang bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah
Bid’ah hasanah atau Bid’ah mahmudah adalah segala sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para Salafush Sholeh yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Kita menggunakan Al-Quran dan Hadits sebagai petunjuk atas segala sikap maupun perbuatan kita. dalam kehidupan masa kini sampai akhir zaman, bisa saja terjadi sikap atau perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun Salafush Sholeh. Sehingga untuk hal yang baru maka kita berpegang pada prinsip berikut,
Baik adalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah
Buruk adalah bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Sunnah.

Segala sikap atau perbuatan manusia sampai akhir zamanpun Allah ta’ala tidak lupa menetapkan batas/larangan maupun pengharaman.
Mereka yang menggunakan metodologi “terjemahkan saja” menyampaikan bahwa mereka bangga dengan jumlah yang sedikit dan terpisah dari umat muslim kebanyakan. Mereka sampaikan perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah , “Kamu jangan merasa rendah diri karena menempuh jalan yang benar walaupun sedikit orang yang menempuhnya, dan kamu jangan tertipu dengan yang bathil walaupun banyak orang yang mengamalkannya.” [Minhajul Taksis wat Taqdis fi Kasfi Syubuhat, Dawud bin Jarjis: 1/84]
Luar biasa mereka terpengaruh oleh syaikh/ulama/ustaz yang merasa senang terpisah dari umat muslim kebanyakan.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui kesalahan atau ketidaktelitian mereka berhujjah dengan firman Allah ta’ala dalam (QS.al-An’am [6]: 116). Hal ini mengingatkan kami dengan perkataan Imam Sayyidina Ali kw terhadap semboyan kaum khawarij, ““kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî h 588, meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”.
Di antara tanda-tanda kaum “seperti Khawarij” yang dilaknat oleh Rasulullah, -sebagaimana telah beliau sabdakan dalam haditsnya-, ialah bahwa mereka “Anak-anak muda yang belum memahami agama dengan baik”, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka. Rasulullah mengatakan jika kalian bertemu dengan orang-orang semacam ini maka perangilah mereka. (HR. al-Bukhari). Maksud dengan “perangilah mereka” bukan membunuh mereka namun perangi mereka dengan menyampaikan kebenaran.
Semoga mereka tidak termasuk apa yang disampaikan oleh Rasulullah, “mereka membaca Al Qur`an, namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam, sebagaimana melesat anak panah dari busurnya” (HR Muslim)
Mereka yang membaca Al-Quran namun tidak sampai melewati kerongkongan atau tidak masuk ke dalam hati , hanya dalam tataran pikiran / logika / ilmiah..
Kalau Al-Qur’an masuk ke hati maka hati menggerakan jasmani sehingga bagaikan “Al Qur’an berjalan” atau akhlakul karimah. Sehingga bisa memandang, mendengar dan berjalan dengan hati dan sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla.

Tentang mereka dengan metodologi “terjemahkan saja” , silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

20 Tanggapan
zon,
kalau kita mengatakan Rasulullah bertasawuf, brarti kita termasuk orang yang membaca Al-Quran namun tidak sampai melewati kerongkongan.
zon, tahu istilah aba ana?



pada 14 April 2011 pada 8:00 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Andi, semua tergantung bagaimana kita memaknai tasawuf. Bagi kami tasawuf adalah tentang Ihsan atau tentang akhlak. Makna ini sudah berlaku sejak dahulu kala, di seluruh perguruan tinggi Islam.
“Awaluddin makrifatullah”, awal beragama adalah mengenal Allah ta’ala (ma’rifatullah) sedangkan akhir/tujuan beragama adalah berakhlakul karimah atau menjadi muslim yang sholeh (sholihin) atau muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin).
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Semoga antum paham yang dimaksud Rasulullah bertasawuf atau Rasulullah berakhlakul karimah.




apakah zon mengerti dan memahami tulisan/ucapan zon sendiri?
ingat zon, tasawuf ini bukan sekedar istilah, ada ajaran2 di dalamnya.
dengan apa Rasul mengenal Allah? Tasawuf???
dengan apa Rasulullah menyempurnakan Akhlak? Tasawuf???

kalaulah zon dan semua orang yang mengaku islam dan beriman dengan Al Qur’an ber-Syahadat dengan benar tasawuf cs ini gakkan ada.
tasawuf cs bagian dari kemunduran islam.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak mengabdi / menghambakan diri kecuali kepada Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah….
sering2 kita bercermin dengan Al Qur’an zon, biar kita tahu posisi kita ini sudah beriman atau belum….atau jangan2 kita ini memandang baik suatu yang buruk tanpa kita sadari, tanpa sadar kita sudah terseret jauh dan mendekati jurang kehancuran.
jangan bercermin dengan pecahan/serpihan kaca zon, bercerminlah dengan cermin yang utuh dan jernih, karena cermin yang utuh dan jernih selalu berkata jujur.



pada 15 April 2011 pada 10:42 pm | Balasmutiarazuhud
Sudah kami utarakan, semua terpulang kepada cara memaknai Tasawuf. Tasawuf sejak dahulu kala di perguruan tinggi Islam adalah tentang Ihsan atau akhlak. Inilah bagian akhir atau tujuan kita beragama yakni berakhlakul karimah sebagaimana Rasulullah telah sampaikan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).



kalau tujuannya ihsan, apa yg menjadi dasar dan cara mencapai ihsan versi tasawuf?



zon, anda tahu sdh brp lama tasawuf menemani ummat islam selama masa kemundurannya? Apakah anda tidak dapat mengambil pelajaran?



pada 15 April 2011 pada 4:23 pm | Balasmamo cemani gombong
artikel yang bagus bang ……..menambah wawasan dan berhati hati dgn mewaspadai agar tidak menjadi umat yang melesat ……..amiin…



“tasawuf cs bagian dari kemunduran islam”
Apakah penemu2 di zaman kekhalifan Abbasiyah bukan ahl tasawuf? Seperti ibnu sina, al jabar, ibnu khaldun , al ghazali dst, belajar sejarah lagi dong:)
Kemunduran islam timbul setelah umat islam memilih pemikiran lain seperti “nasionalisme”, “materialisme”, “liberailisme” yang cendrung menjadikan kita cinta dunia ini dihembuskan oleh orientalis yang mendukung penjajahan di negri2 islam sampai saat ini:(
Semoga kita tak lagi meneruskan fitnah ini ke generasi akan datang , jika mau bangkitnya peradaban islam:)
Maaf, kalo nyinggung, saya manusia biasa, kebenaran adalah milk Allah:)




pada 16 April 2011 pada 3:02 pm | Balasmutiarazuhud
@mas Andi disatu sisi antum bertanya tentang ihsan di sisi lain antum menyampaikan pola pikir atau pemahaman yang dipengaruhi oleh mereka yg tidak paham tasawuf bahkan mereka yg benci tasawuf. Kalau antum benar-bemar ingin mengetahui tentang ihsan atau tasawuf maka marilah meneladani Rasulullah dimana beliau ummi terlebih dahulu sebelum menerima wahyu atau ilmuNya. Dahulukan hak Allah ta’ala daripada akal manusia apalagi hawa nafsu.



di satu sisi zon berbicara hak Allah, di sisi lain zon malah mendahului hak Allah dan juga Rasulullah. Aoakah zon tidak mengerti dan menyadari apa yang zon tulis?
tidak ada manfaatnya bagi saya membenci tasawuf, saya hanya mencoba mengajak zon bercermin pada Al Qur’an.
sudah brp lama tasawuf berada bersama ummat islam sejak mulainya kemunduran ummat ini??
kalaulah ihsan ini memang benar2 sudah eksis/terwujud dalam setiap diri mereka yang bertasawuf dalam kurun waktu itu, sudah pasti terwujud janji Allah yang ada dalam Al Qur’an. tapi kenyataanya?? bisakah diambil pelajaran disitu?



pada 18 April 2011 pada 4:10 pmmutiarazuhud
Sudahlah mas Andi, tasawuf adalah tentang Ihsan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah dihadapan para sahabat. kemunduran umat muslim justru karena tidak memperdalam dan menjalankan Ihsan atau tasawuf. Kalau seluruh umat muslim menjalankan Ihsan atau Tasawuf, minimal dengan selalu meyakini bahwa Allah ta’ala melihat segala sikap dan perbuatan (ihsan tingkat dasar) maka tentu tidak akan melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh Allah ta’ala seperti korupsi, mafia hukum, pornografi dan pornoaksi dll.



pada 16 April 2011 pada 7:00 pm | Balasmamo cemani gombong
ANAK PELAJAR SD MANA MUNGKIN MENGHITUNG MILYARAN MEDIANYA AJA BATANG LIDI ……….



Bang Zon yang saya kagumi
mungkin oot, tapi suatu yang mengganjal dihati saya telah beredar hadist mengenai mentaati penguasa yang zalim terutama di situs2 manhaj salafy, kalau difikirkan sangat bertentangan dengan ayat2 Al Quran yang menentang kezaliman,
“Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati syaithan dalam jasad manusia.” Maka aku berkata : “Ya Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Berkata beliau : “Hendaklah engkau mendengar dan taat pada amirmu walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)”
Mohon saudara zon mengulasnya dalam suatu artikel, kesahihan hadits, latar belakang dst, sebab memiliki kesamaan yang mencurigkan, dan tentunya ada kesesuaian masalah yang disebutkannya
maaf kalo ada yang salah, makhlumlah saya manusia biasa yang belajar, perlu keteguhan dan memiliki keterbatasan kebenaran adalah milik Allah SWT




pada 17 April 2011 pada 4:22 pm | Balasmutiarazuhud
Akh @peace99, ~ semoga Allah ta’ala merahmati akhi.
Alhamdulillah , antum selalu berupaya mengikuti petunjukNya dan Sunnah Rasulullah.
Pada zaman seperti sekarang ini ada permasalahan sebenarnya bukan pada ke-shahih-an sebuah hadits namun pada kebenaran peruntukan hadits itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Sayyidina Ali kw, “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah). Jadi ada haditsnya shahih namun peruntukan hadits itu yang berbeda, sehingga hal ini adalah yang termasuk fitnah terhadap perkataan Rasulullah. Bahkan sebagian ulama “menggunakan” hadits tentang ketaatan kepada pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan penguasa negara atau ulama bersikap pragmatis demi kepentingan penguasa.
Umumnya hadits tentang taat kepada pemimpin (amir / umaro) pada situasi kesatuan dalam aqidah (aqidah state) atau hanya satu bai’at pemimpin muslim bagi seluruh dunia atau dikenal dengan Jama’atul Muslimin. Keadaan sekarang ini kita sudah “terlepas” dalam kesatuan dalam aqidah (aqidah state) atau dalam kesatuan Jama’atul Muslimin atau dalam satu sistem pemerintah Islam bagi seluruh dunia. Hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad).
Jadi pada zaman sekarang ini yang ada adalah kesatuan dalam negara (nation state) atau yang dipropagandakan sebagai nasionalisme. Banyak sekali pemimpin muslim (yang masih sholat) dengan berbagai wilayah kekuasaan. Hal yang harus kita ingat walaupun kita umat muslim bercerai berai dalam beberapa negara, namun kita harus menegakkan ukhuwah Islamiyah, persaudaraan muslim dunia. Kita harus dapat membedakan antara bela negara dengan bela agama. Sekarang yang ada adalah Jama’ah minal muslimin (jama’ah minal muslimin) atau jama’ah dalam satu negara / wilayah. Bagaimana ketaatan kita kepada jama’ah minal muslimin. Silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/28/jamaatul-muslimin/
Sedangkan uraian kami bagaimana terhadap sistem kepimpinan saat ini , silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/17/pemimpin-dalam-islam/



mutiarazuhud
Sudahlah mas Andi, tasawuf adalah tentang Ihsan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah dihadapan para sahabat. kemunduran umat muslim justru karena tidak memperdalam dan menjalankan Ihsan atau tasawuf. Kalau seluruh umat muslim menjalankan Ihsan atau Tasawuf, minimal dengan selalu meyakini bahwa Allah ta’ala melihat segala sikap dan perbuatan (ihsan tingkat dasar) maka tentu tidak akan melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh Allah ta’ala seperti korupsi, mafia hukum, pornografi dan pornoaksi dll.
—————————————-
kalau zon sendiri ihsan nya sudah tingkat berapa?
zon, bagaimana kita mau jadi muslim kalau terhadap ajaran dan petunjuk Nya saja sikap kita masih tidak mau tunduk dan patuh.



pada 19 April 2011 pada 8:08 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Andi, siapakah yang menurut antum yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap petunjukNya. ?
Tahukah antum konskwensi jika menuduh saudara muslim lainnya dan ternyata tuduhannya tidak benar ?
Kami kembalikan kepada Yang Maha Menetapkan.

Cukuplah mas Andi, kami hanya sekedar menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman. Silahkan beri masukkan kalau antum berpemahaman yang lain dengan yang kami telah uraikan atau tuliskan. Janganlah sibuk menilai diri kami ini.



pada 20 April 2011 pada 6:40 ammamo cemani gombong
sekecil apapun yang kita perbuat tiada lepas dari yang Maha Melihat ………bang Zon kayaknya mas Andi lama lama tambah ngawur komennya ………maaf …….salam



coba zon kita bercermin dengan apa yang zon tulis :
Rasulullah, “mereka membaca Al Qur`an, namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam, sebagaimana melesat anak panah dari busurnya” (HR Muslim)
coba kita bercermin dengan Al Qur’an.
dan lihat kenyataan di lapangan.



pada 25 April 2011 pada 1:11 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Andi, mereka terkadang tidak menyadari diri mereka sendiri. Wallahu a’lam.
Tentang kesadaran diri itu dapat ditemukan pada tasawuf dalam Islam pada bagian mengenal diri sendiri.



Pengertian tasawwuf
Saudaraku yg kumuliakan,
Tasawwuf berawal dari kalimat shafa, tasyawwafa, tashawwuf, yaitu suci, kesucian, tuntunan kesucian.

Tasawwuf adalah tuntunan mencapai keridhoan Allah swt dg kesucian hati, Rasul saw adalah Imam semua ahli tasawwuf, dan setiap muslim harus mempunyai pengetahuan tasawwuf, jika tidak maka dipastikan ia tak akan sampai pada keridhoan Allah.
fiqih adalah ilmu yg mengajarkan cara cara ibadah, hukum hukumnya dan pembahasannya, namun ibadah akan percuma jika tidak didasari niat yg baik, dan niat baik adalah bagian dari tasawwuf.
misalnya seseorang shalat melakukan dg rukun yg benar, syarat yg benar, namun ia shalat bukan karena Allah, hatinya ragu bahwa Allah itu ada, maka apa gunanya shalatnya dan ibadahnya?
tasawwuf adalah ilmu yg menuntun kesucian hati dan iman,
setinggi apapun ilmu seseorang dalam syariah ia akan menjadi fasiq jika tak memiliki kesucian hati dan iman.
Iman adalah tasawwuf, sebagaimanba rukun Iman, percaya pada Allah, percaya pada kitab kitab Allah, percaya pada Rasul Rasul Allah, percaya pada malaikat malaikat Allah, percaya pada Qadha dan Qadar adalah dari Allah, percaya pada hari kiamat.
semua rukun iman itu tidak terlihat, hanya kitab Alqur’an yg jelas diketahui, sisanya kitab kitab Allah lainnya kita tak pernah melihatnya, kita tidak melihat Allah, kita tidak melihat malaikat, kita tak bertemu semua para nabi, kita tak melihat sorga dan neraka, kita tak melihat hari kiamat,
itu semua hanya bisa dipercaya dengan tasawwuf, kesucian hati dan keimanan kita.
seseorang yg mengamalkan syariah tetap bisa terjebak dalam kemurkaan Allah, misalnya seorang pria yg menikah tanpa restu ayah ibunya, tentunya secara syariah akad nikahnya sah, namun tentunya ia terkena durhaka pada ayah bundanya, jika ia tak memiliki dasar tasawwuf (iman) maka ia tak akan perduli pada restu dan ridho ayah bundanya,
contoh lain jika seorang yg mengumpuli istrinya di siang hari ramadhan maka ia mesti puasa dua bulan berturut turut, maka jika ia ahli fiqih, ia bisa saja mencari cara supaya bisa jimak dg istrinya dengan hanya membayar qadha puasa satu hari,
bagaimana ?
ia batalkan dulu puasanya, dengan makan atau minum, lalu baru berjimak bersama istrinya, maka ia hanya wajib membayar puasa satu hari saja, hal ini benar secara syariah, namun ia akan terkena kemurkaan Allah karena berusaha menipu Allah swt tanpa ia sadari, padahal Allah Maha Tahu niatnya.
atau misalnya pemalsuan tanah milik, sang pemilik asli misalnya tak punya bukti/saksi bahwa tanahnya itu miliknya, lalu datang orang lain membawa dua saksi yg bersumpah bahwa tanah itu milik orang lain itu, maka hakim mesti menjatuhkan hukum bahwa tanah itu milik si pendusta, dan si pemilik tanah yg asli akan dikalahkan dalam hukum, walaupun misalnya hakim tahu betul bahwa orang ini menipu, namun hukum tetap hukum,
demikianlah syariah jika tak memakai kesucian iman (tasawwuf).
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar