Jangan sampaikan terjemahannya saja
Berhati-hatilah dalam menyampaikan terjemahannya saja dalam hal-hal ayat-ayat mutsyabihat khususnya Sifat Allah karena jika tidak berkompetensi akan menyesatkan yang membacanya. Setiap penterjemahan atau pentafsiran adalah termasuk upaya pemahaman (ijtihad) yang kemungkinannya bisa benar dan bisa pula salah.
Ada dua langkah yang dapat kita pilih dalam menghadapi ayat mutasyabihat khususnya sifat Allah.
1. Sebagaimana Salafush Sholeh, membiarkan sebagaimana lafaz nya dan menyerahkan maknanya kepada Allah Azza wa Jalla
2. Mengambil pelajaran sebagaimana Ulil Albab ketika harus menjelaskannya karena setelah generasi Salafush Sholeh, umat Islam semakin banyak sehingga semakin banyak “kepala” yang berupaya memahami Al Qur’an dan As Sunnah dimana diperlukan upaya penjelasan terhadap ayat mutasyabihat khususnya sifat Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Contoh Ulil Albab yakni pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) atau Imam Mazhab yakni Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan tentang firman Allah QS. Thaha : 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada ayat-ayat mutasyabihat khususnya Sifat Allah, para Salafush Sholeh, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih lebih dari itu; yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya (itsbatul ma’na) bahwa Allah bertempat di langit atau Allah berada di atas arasy.
Kita harus bisa membedakan ketika para Salafush Sholeh mengucapkannya sebagaimana dalil naqli atau mereka menjelaskan makna dalil naqli.
Para Salafush Sholeh tidak memaknai atau mentafsirkan ayat-ayat sifat Allah sebagaimana makna yang diketahui orang awam atau sebagaimana yang telah diketahui atau makna dzahir.
Ulama salaf membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhahir) maupun makna majazi (takwil).
Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama Salaf tidak mentafsirkan ayat-ayat sifat dengan tafsiran apapun, tidak memperdalam maknanya, tidak mentakwilkan dan menyerahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa.
Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih).
Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat & mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhahir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana. Begitu pula mereka tidak mau melakukan takwil sebab wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah, “tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah” .
Contoh perkataan Imam Malik ra yang sering disalahpahami oleh mereka,
“Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Wahhab dari Imam Malik bin Anas bahwasanya datang kepada beliau seorang dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman (Yang Maha Rahman bersemayam di atas arasy) maka bagaimana bersemayamnya?” Kemudian Imam Malik tertunduk kepalanya dan baru mengangkatnya kembali setelah peluh panas kemarahannya menyadarkan dirinya, lalu berkata: al-Istiwa Ghair Majhul, dan bagaimananya tidak tercerna akal, mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan ahlu bid’ah. Maka Imam Malik menyuruhnya keluar”
Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa istiwa telah jelas penyebutannya (dalam Al Qur’an). Hal ini sama dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata/lafaz Istawa tersebut di dalam al-Qur’an bukan sebagaimana makna zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Kita harus memperhatikan batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam memahami sifat-sifat Allah.
Batasan-batasan tersebut adalah hasil istiqro (telaah) para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang telah disepakati oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang yakni “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah dimana didalamnya ada 20 sifat wajib bagi Allah diantaranya,
Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin atau mustahil Allah itu ‘Adam (tidak ada).
Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).
Allah itu Baqo’ (Kekal). Mustahil Allah itu Fana’ (Binasa)
Allah itu sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya
Allah itu berbeda dengan makhlukNya (Mukhollafatuhu lil hawaadits). Mustahil Allah itu sama dengan makhlukNya (Mumaatsalaatuhu lil Hawaadits)
Allah itu ada (wujud) sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit. Allah itu tidak berubah, tidak berpindah. Wajib kita ingat selalu bahwa yang berubah, berpindah adalah ciptaanNya. Segala sesuatu yang berpindah mempunyai batas atau ukuran. Mustahil batas atau ukuran bagi Allah Azza wa Jalla.
Allah itu Qiyamuhi Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya). Mustahil Allah itu Iftiqoorullah (Berhajat/butuh) pada ciptaanNya.
Allah itu ada (wujud) tidak membutuhkan tempat
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H) berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Marilah kita simak hadits berikut ini,
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dia berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur, maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa; ALLOOHUMMA ROBBAS SAMAAWAATI WA ROBBAL ARDH, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII, ROBBANAA WAROBBA KULLI SYAI’IN, FAALIQOL HABBI WAN NAWAA, WAMUNZILAT TAUROOTI WAL INJIIL, WAL FURQOON, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI KULLI SYAI’IN ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHI, ALLOOHUMMA ANTAL AWWALU FALAISA QOBLAKA SYAI’UN, WA ANTAL AAKHIRU FALAISA BA’DAKA SYAIUN, WA ANTAZH ZHOOHIRU FALAISA FAUQOKA SYAI’UN, WA ANTAL BAATHINU FALAISA DUUNAKA SYAI’UN, IQDHI’ANNAA ADDAINA, WA AGHNINAA MINAL FAQRI ‘Ya Allah, Tuhan langit dan bumi, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, Tuhan yang membelah dan menumbuhkan biji-bijian, Tuhan yang menurunkan kitab Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu, karena segala sesuatu itu berada dalam genggaman-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu. Ya Allah, lunaskanlah hutang-hutang kami dan bebaskanlah kami dari kefakiran.’ (HR Muslim 4888) Link:
Dalam hadits tersebut pada kalimat yang artinya “Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu” maka kita dapat simpulkan terjemahannya “tidak ada yang mentupi-Mu” maknanya adalah tidak ada apapun di atas Allah ta’ala sedangkan terjemahannya “tidak ada yang samar dari-Mu” maknanya adalah tidak ada apapun di bawah, di kiri, di kanan, di depan, di belakang Allah ta’ala,
Kita harus mengingat apa yang disampaikan oleh Rasulullah yang artinya, “Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah.“
Berpeganglah kepada apa yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
Allah ta’ala dekat tidak bersentuh, jauh tidak berjarak.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 )
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Proses penglihatan mata terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna. Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Allah ta’ala dapat dilihat dengan ruhani (ruhNya) yakni dengan hati
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Penduduk surga baik mereka yang melalui hisab maupun tanpa dihisab akan dapat melihat Rabb karena mereka telah disucikan (telah dibukakan hijab pembatas) sehingga tidak lagi terhalang akan dosa. Mereka melihat bagaikan “melihat bulan di kala purnama yang tidak ada awan” (HR Muslim 267) yang maknanya melihat jelas tidak terhalang atau melihat tanpa kesulitan. Uraian selengkapnya tentang melihat Rabb dalam tulisan pada
Akhir tulisan kali ini kami mengingatkan baik bagi diri pribadi kami maupun saudara-saudara kami , para paembaca pada umumnya bahwa ketika kita mendapatkan perselisihan karena perbedaan pemahaman atau perbedaan pendapat maka kita kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59 )
Permasalahannya adalah mengembalikan berdasarkan pemahaman siapa ?
Berdasarkan pemahaman dengan akal pikiran sendiri ?
Berdasarkan pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan pemahaman ulama Al Albani ?
Mereka tidak dikenal atau tidak berkompetensi sebagai pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid Mutlak) sehingga pemahaman mereka tidak patut untuk diikuti.
Oleh karenya kita ikuti Sunnah Rasulullah bahwa jika kita mendapatkan perselisihan karena perbedaan pemahaman / pendapat maka agar selamat dari kesesatan kita disuruh untuk mengikuti as-sawad al a’zham atau mengikuti kesepakatan jumhur ulama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Jangan sekali-kali mengikuti pemahaman sebuah sekte atau kelompok yang menyempal dari kaum muslimin walaupun mereka mengaku-aku sebagai yang dimaksud al ghuroba karena boleh jadi mereka adalah yang dimaksud oleh Rasulullah sebagai “orang muda” bagaikan meluncurnya anak panah dari busurnya. Selengkapnya dalam tulisan pada
Dari dahulu sampai sekarang , jumhur ulama telah sepakat bahwa ulama yang berkompetensi sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) adalah para Imam Mazhab yang empat. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensive atau tidak menyeluruh sehingga ditinggalkan orang.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
2 Tanggapan
1. pada 12 November 2011 pada 12:50 am | Balas Kabayan
mohon ijin nya, untuk di share di blog saya ustadz..trima kasih
o pada 12 November 2011 pada 4:10 am | Balas mutiarazuhud
Alhamdulillah, silahkan di share
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar