Kesalahpahaman i’tiqod

Penjelasan beberapa kesalahpahaman seputar i’tiqod
Dalam beberapa tulisan kami telah menjelaskan bahwa,  Allah ta’ala adalah dekat, Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy maupun sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.
Beberapa tulisan kami tentang i’tiqod pada

Berikut beberapa pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah untuk meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam i’tiqod.
Al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H) dalam kitab “Talbis Iblis”, artinya Membongkar Tipu Daya Iblis menuliskan, (yang artinya)
“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi/harfiah) ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [--dengan pemahaman yang salah--] dari hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”.
Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi / harfiah). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.
Imam Ibn al Jawzi al Hanbali menegaskan bahwa “keyakinan Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy adalah keyakinan musyabbihah”
Imam Ibn al Jawzi adalah ulama besar dalam madzhab Hanbali, hidup jauh sebelum datangnya ulama Ibnu Taimiyah maupun ratusan tahun sebelum datang ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dengan kesalahpahaman mereka dalam i’tiqod.
Imam Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali.
Awas jangan salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan ulama Ibnu Taimiyah.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Hasyiyah Al-’allaamah Ibn Hajar Al-Haitami ‘Alaa Syarh Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”,  (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi)  menuliskan (yang artinya)
Bab VI: Menjelaskan tentang ziarah ke makam tuan kita dan baginda kita Rasulullah (Shallallaahu Alaihi Wa Sallam) dan segala permasalahan yang terkait dengannya
(artinya): “… Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga sebagaimana telah panjang lebar dijelaskan tentang kesesatannya oleh Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya tersendiri untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam).
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan, –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.”
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .

Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk atau bertempat di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.

Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil.

Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun.
Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya.
Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat.
Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

108 Tanggapan
@mas Ajam dgn artikel di atas masih beranikah nt menganggap ada kedustaan ????? sanggahlah artikel tsb dgn kitab yang nt yakini sehingga nt sangat mengagungkan ulama2 nt …..



terlalu banyak tulisannya, sedangkan waktu ana akhir-akhir ini sangat terbatas.
ana sementara mengomentari secuplik dari artikel di atas. di atas tertulis: “Allah ta’ala adalah dekat, Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy maupun sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.”
apakah mengatakan “Alloh di langit” berkonsekuensi bahwasanya Alloh itu jauh?
apakah mengatakan “Alloh di atas ‘Arsy” berkonsekuensi bahwasanya Alloh berpindah atau berubah?

ana katakan, logika di atas sangat aneh, kalo tidak mau dibilang konyol. lha wong Alloh sendiri yang berfirman bahwa Dia di atas langit, dan Dia pula yang berfirman bahwa Dia itu dekat. maka bagaimana mungkin kedua firman ini saling bertentangan?
Dia sendiri yang berfirman bahwa setelah Dia menciptakan bumi dan langit kemudian Dia beristiwa’ di atas ‘Arsy. lalu bagaimana mungkin firman ini kita pertentangkan dengan logika kita yang cetek?
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama itu (berdasarkan) logika, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah saw mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni)



Mas Ajam, terjemahan berbeda dengan pemahaman
Terjemahannya “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 namun jangan dipahami bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy
Allah ta’ala adalah dekat, Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy maupun sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Dia tidak berpindah ke atas ‘Arsy. Dia tidak turun dari atas ‘Arsy ke langit dunia
sebagaimana terjemahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepadaKu, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya!”

Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.
Beberapa pendapat ulama yang baik sebagai pegangan dalam memahami sifat-sifat Allah yang diuraikan dalam ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang mempunyai makna lebih dari satu)
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”



antum berkata:
Terjemahannya “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 namun jangan dipahami bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy

ana jawab:
coba antum buka-buka kembali semua komentar2 ana, niscaya antum tidak akan mendapati bahwa ana memahami Alloh itu bertempat di atas ‘Arsy. hal ini karena memang tidak ada dalil yang menyebutkannya dan makna dari istiwa’ itu pun bukan bertempat.

antum berkata:
Allah ta’ala adalah dekat

ana jawab:
jika ana berkata bahwa Alloh di atas langit, apakah hal itu berkonsekuensi bahwa Alloh jauh?

antum berkata:
Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy maupun sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah.

ana jawab:
apakah ada komentar ana yang menyebutkan bahwa Alloh berubah dan berpindah sebagai konsekuensi dari istiwa’?

antum berkata:
Dia tidak turun dari atas ‘Arsy ke langit dunia

ana jawab:
antum sendiri sudah tahu bahwa yang mengatakan itu adalah Rasulullah sendiri dan Rasulullah tidak berkata seperti itu dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan wahyu yang diwahyukan. lalu bagaimana bisa antum mengingkari sabda Rasulullah?

antum berkata:
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

ana jawab:
Ahmad Rifa’i dan As Suyuthi adalah orang2 kholaf. sedangkan orang2 salaf malah memahami ayat2 sebagaimana dhohirnya.

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40]



pada 7 September 2011 pada 9:16 am | Balasmutiarazuhud
Mas Ajam perhatikanlah pendapat Ibnu Taimiyah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepadaKu, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya!”[1]

Pendapat Ibnu Taimiyah::
Hadits yang disepakati keshahihannya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang, yang menyatakan turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir.

Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki.
Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah.

Demikian pula turunnya Allah pada Hari Kiamat, sebagaimana disebutkan dalam al-Kitab-dan as-Sunnah. TurunNya tidak sama dengan turunnya tubuh manusia dari atap rumah ke tanah, yang mana atap tetap berada di atasnya, tetapi Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu.[2]
SUMBER:
Kitab: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Penulis: Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy.
Edisi Indonesia: Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah.
Penerjemah: Hawin Murtadho.
Penerbit: At-Tibyan.

FOOTNOTE:
[1] Diriwayatkan al-Bukhari, Fathul Bari XI/377 dan Muslim I/201.
[2] Syarh Hadits an-Nuzul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, halaman 33 dan ar-Raudhah an-Nadiyah, halaman 175. Lafazh hadits ini milik Muslim.




pada 7 September 2011 pada 9:24 am | Balasmutiarazuhud
Mas Ajam bandingkan dengan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Habib Munzir yang kami kutipkan darihttp://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=181&Itemid=1.
Habib Munzir mendapatkan pemahaman i’tiqod dari lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Jadi bukan pemahaman i’tiqod yang didapati dengan upaya membolak balik kitab yang kecenderungannya akan bercampur dengan ra’yu (akal pikiran) sendiri

Sampailah kita kepada Hadits Qudsi, dimana Sang Nabi Saw bersabda menceritakan firman Allah riwayat Shahih Bukhari “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir).
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dg bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy. Karena apa? kalau Allah itu sepertiga malam turun ke langit yang paling dekat dengan bumi, kita mengetahui bahwa sepertiga malam terakhir itu tidak pergi dari bumi tapi terus kearah Barat. Disini sebentar lagi masuk waktu sepertiga malam terakhir misalnya, Lalu sepertiga malam terakhir itu akan terus bergulir ke Barat, berarti Allah terus berada di langit yang paling dekat dengan bumi. Tentunya rancu pemahaman mereka.

Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11) (Allah tidak sama dengan segala sesuatu).
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.

Hadirin hadirat, maka Allah Swt berfirman (lanjutan dari hadits qudsi tadi) “Man yad u’niy fa astajibalahu” (siapa yang menyeru kepada Ku maka aku akan menjawab seruannya). Apa maksudnya kalimat ini? maksudnya ketika kau berdoa disaat itu Allah sangat….,. sangat… ingin mengabulkannya untukmu. “Man yasaluniy fa u’thiyahu” (barangsiapa diantara kalian adakah yang meminta pada Ku maka Aku beri permintaannya). Seseorang yang bersungguh sungguh berdoa di sepertiga malam terakhir sudah dijanjikan oleh Allah ijabah (terkabul). Kalau seandainya tidak dikabulkan oleh Allah berarti pasti akan diberi dengan yang lebih indah dari itu. “Wa man yastaghfiruniy fa aghfira lahu” (dan siapa yang beristighfar mohon pengampunan pada Ku disaat itu, akan Kuampuni untuknya). Betapa dekatnya Allah di sepertiga malam terakhir. Hadirin hadirat, disaat saat itu orang orang yang mencintai dan merindukan Allah pasti dalam keadaan bangun dan pasti dalam keadaan berdoa.



antum berkata:
Habib Munzir mendapatkan pemahaman i’tiqod dari lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

ana jawab:
Rasulullah bersabda “Alloh turun ke langit dunia”. adakah beliau memahami sabdanya ini dengan pemahaman yang berbeda dari dhohir yang disabdakannya? dengan kata lain, adakah hadits shohih lain yang mentakwil hadits ini?

ataukah itu hanya bualan Habib Mundzir dan salafnya (salaf dalam hal bid’ah) yang berkata bahwa pemahaman Rasulullah adalah begini, padahal tidak ada satu pun hadits shohih yang menyebutkan hal seperti itu?
ketika mendengar sabda Nabi ini, para sahabat tidak bertanya “Bagaimana mungkin Alloh berada di langit dunia sedangkan dunia itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?”. WALLOHI TIDAK. mereka sama sekali tidak mempertanyakan hal itu. mereka hanya menerimanya dan meyakininya sesuai dengan apa yang keluar dari lisan Nabinya, sekalipun hal ini mungkin menggelitik nalar atau logika mereka.



Mas Ajam, “Allah turun ke langit dunia” adalah terjemahan dari perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bukan pemahaman Rasulullah !
Kepada siapakah pemahaman atau penjelasan terhadap perkataan Rasulullah tersebut disampaikan ?
Disampaikan berjenjang kepada Sahabat , kepada Tabi’in, kepada Tabi’ut Tabi’in kemudian dituliskan dalam kitab-kitab oleh para Imam Mujtahid atau para Imam Mazhab yang empat kemudian dilanjutkan kepada para pengikut Imam Mazhab dan kemudian sampai kepada Habib Munzir dan sampai kepada kami, kaum muslim pada umumnya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Habib Munzir di atas.

Silahkan mas Ajam beri’tiqod mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyah (secara dzahir atau sebatas terjemahkan saja) seperti terurai dalam kitab “Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah” bahwa “telah jelas turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir“.
Sedangkan kami sesuai dengan apa yang disampaikan Habib Munzir tentang makna “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir) adalah “Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11). “Allah tidak sama dengan segala sesuatu”. Allah subhanahu wa ta’ala turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir“.
Habib Munzir mendapatkan pemahaman i’tiqod tidak didapati dengan upaya membolak balik kitab yang kecenderungannya akan bercampur dengan ra’yu (akal pikiran) sendiri namun Beliau mendapatkan dari lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Inilah yang dinamakan sanad ilmu atau sanad guru.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
Pengertian “tidak melewati kerongkongan” adalah pemahaman dengan akal pikiran sendiri, ra’yu / logika tanpa sanad ilmu atau sanad guru

“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sebuah keironian pada zaman kini bahwa dua tanah suci dikelilingi oleh pemahaman yang tidak mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat atau pemahaman mereka yang tidak lagi bermazhab. kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut tersebarluaskan ke seluruh negeri kaum muslim dari pemuda-pemudi yang mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi, atau dari pemuda-pemudi kita yang berguru dengan ustadz/ulama yang baru mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi.
Perlukah upaya pembebasan Mekkah dari pemahaman-pemahaman mereka yang tidak lagi bermazhab ?.
Upaya tersebut pernah dilakukan oleh Al Imam As Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan yang bernama Hasan Al-Mutsana. Beliau berdialog dengan Syeikh Abdul Azis bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi) . Hasil dialog tersebut dituangkan dalam tulisan dengan bahasa yang sudah diperhalus, serta dengan tidak menyebutkannya sebagai hasil debat, dalam kitab beliau: Mafahim Yajibu An Tushahhah.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani, dicekal dari kedudukan sebagai pengajar di Masjid Alharam akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan). Terjemahan cuplikan tulisan Abuya tersebut dapat dibaca pada




seperti atsar Ali bin Abi Thalib yang pernah ana sampaikan ketika beliau melihat Rasulullah mengusap sepatu/sandal bagian atasnya ketika berwudhu.
mungkin bagi kita, termasuk ana sendiri dan antum, bagian dari sepatu/sandal yang kotor dan terkena najis pastilah bagian bawahnya atau telapaknya. akan tetapi kenapa yang diusap malah bagian atasnya yang tidak pernah atau sedikit tersentuh oleh kotoran?
bisakah antum menjawab teka-teki ini dengan logika antum?



lalu bagaimana Rasulullah sendiri dan para sahabatnya memahami sabda Rasulullah “Alloh turun ke langit dunia”? benarkah dengan pemahaman seperti yg diutarakan Habib Mundzir? jika iya, tentunya apa yg diutarakan oleh Habib Mundzir itu ada dalilnya.
adakah hadits Nabi atau atsar sahabat yg kurang lebih mengatakan: “Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11) (Allah tidak sama dengan segala sesuatu).”?



jadi menurut Ajam Alloh itu sakit, tetapi tidak seperti sakitnya makhluq, dan Alloh itu lupa tetapi tidak seperti lupanya makhluq?



ayat yang menyebutkan Alloh sakit itu sudah ditafsirkan oleh potongan ayat setelahnya.



maksud nt takwil ??? ntar dikata mutzilah main takwil akhi ???



Mu’tazilah/Asy’ariyah main takwil dengan akal/logika mereka sendiri. kalo yang ana sebutkan menafsirkan ayat Quran dengan ayat yang lain.



la iya jadi kan menurut Aqal logika mas Ajam adalah Alloh itu sakit, tetapi tidak seperti sakitnya makhluq, dan Alloh itu lupa tetapi tidak seperti lupanya makhluq? begitu ya ….???



Alloh tidak sakit dan tidak pula lupa. coba baca ayatnya sampai akhir



ya jelas nggak lah …….begitu juga Alloh nggak turun dari atas, juga nggak duduk setelah berdiri ………katanya Alloh punya tangan tapi nggak seperti tangan mahluk …punya kaki tapi nggak seperti kakinya mahluk itu kan itiqod nya salafi wahabi ……



mas Ajam, apa sih maksud makna zhahir yang ente gembor-gemborkan?
Yang namanya makna zhahir itu mestiah menerima konsekuensi dan makna yang sama dengannya.
kalau istiwa secara zhahir itu ya bersemayam secara hakiki.
bersemayam itu ya berarti bertempat
kalau turun secara hakiki atau zhahir ya berarti berpindah tempat dari atas ke bawah
kenapa ente menerima maknanya secara zhahir tapi menolak menerima konsekuensi dan makna yang sama dengannya.
Akidah ente adalah akidah yang absurd… tobatlah kang.
ini saya kasih gambaran… semoga sadar.
komentar Sulaiman Al-khitabi atas hadist abu dawud yang sanadnya dari Jabir bin Muhammad bin Jubair bin Math’am dari ayahnya dari kakeknya bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah kemudian berkata : “wahai Rasulullah, jika telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan keluarga-keluarga telah tiada”. Rasulullah bersabda : “celakalah kamu, apakah kamu tahu siapa Allah itu?”.
Orang itu berkata dengan jarinya seperti mununjuk ke langit “arsyNya di atas langit-langitNya”.
Ibnu Bisyar menambahkan “Allah di atas arsyNya di atas langit-langitNya”. Hadist itu disebutkan oleh Bukhari dalam ath Tarikh.

Al-Khitabi berkata dalam sebuah komentarnya tentang kalimat “sesungguhnya Allah di atas arsyNya”. :
“Perkataan ini jika sesuai dengan zhahir nya, maka merupakan bentuk kaifiyah, kaiyifiyah kepada Allah dan sifat-sifatNya yang muntafiyah, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah pembenaran sifat ini dan tidak menetapkan/mendefinisikan seperti keadaan ini. Akan tetapi, hanya merupakan kalam-kalam pendekatan kata-kata yang dimaksudkan sebagai bentuk penetapan akan keagungan Allah. Dan yang dimaksudkan hanya sebagai upaya pemahaman kepada penanya dari sudut yang ia pahami. Jika orang Arab tersebut tidak punya pengetahuan dengan makna dari kalam itu, ada kata yang dihilangkan dari kata dhamir, maka makna ucapannya ‘apakah kamu tahu siapakah Allah itu?’ berarti ‘tahukah kamu apa keagungan Allah?”
Saya kutip dari buku DR Said Ramadhan Al-Buthi ‘Salafi sebuah fase sejarah, bukan Mazhab’.



logika tentang konsekuensi-konsekuensi itu perlu diperbaiki. misalnya, karena Alloh itu dekat, maka jika meyakini Alloh itu di langit, berarti Alloh itu jauh. jika Alloh begini, konsekuensinya adalah begini. jika Alloh begitu, konsekuensinya begitu.
Rasulullah dan para sahabatnya tidak memikirkan konsekuensi-konsekuensi ini. jikalau memikirkannya, niscaya akan banyak ayat2 Al Quran dan As Sunnah yang harus mereka tolak.
misalnya, disebutkan bahwa pada hari kiamat nanti penduduk surga akan melihat pada wajah Alloh. konsekuensinya, melihat itu pasti mempunyai arah. jika kita melihat pada wajah seseorang yang berada di sebelah utara, pasti pandangan kita akan mengarah ke utara, dan wajah orang yang kita lihat itu mengarah ke selatan. kalau begitu, ketika penduduk surga melihat wajah Alloh, pandangan mereka mengarah ke suatu arah dan wajah Alloh mengarah ke arah yang berhadapan dengan arah pandangan penduduk surga. lalu apa yang ada di balik dari arah wajah Alloh?



pada 7 September 2011 pada 7:26 am | BalasAhmad Syahid
wah asyik juga nih ada `ajam , sayang ana lagi males biarin dulu ah `ajam ngoceh sana sini biar nanti di skak matt lagi , monggo mas MZ dilanjut……..



Wah, sampai sejauh ini ‘Ajam belum mendapatkan hidayah-NYA untuk kembali ke pemahaman Aqidah yang benar. Padahal mas Mutiara Zuhud sudah mencurahkan segala daya dan upayanya untuk menjadi washilah turunnya hidayah tsb. Semoga Allah Swt memberi pahala kepada Mas Emzed atas usahanya ini, amin….
Ummati Press,




afwan akh ummati, al akh mutiara zuhud pernah berkata bahwa hadits “Dimana Alloh?” adalah mudhthorib. akan tetapi ketika ana minta ditunjukkan siapa ulama yang berkata mudhthorib, kok belum terjawab permintaan ana itu. mungkin antum bisa membantunya. jika ana yang tersesat dan antum+Al Akh mutiarazuhud yang mendapat petunjuk, permintaan ini sangat simpel dan mudah bukan?



Mas Ajam, sudah berkali-kali kami sampaikan bahwa sumber yang mencantumkan hadits “Di Mana Allah?” sebagai mudhthorib sudah kami sampaikan yaknihttp://alnof.multiply.com/journal/item/145 Silahkan antum bertanya langsung pada sumbernya
Sedangkan pendapat kami tentang hadits “Di mana Allah ? sebagai berikut
Pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat keimanan.
Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Ketika itu orang-orang tidak beriman karena menyembah berhala sehingga dengan jawaban “di langit” maka dapat dipastikan bahwa budak Jariyah tidak menyembah tuhan berhala walaupun di langit itu ada matahari, bintang dan bulan. Jawaban budak jariyah dipertegas dengan jawaban atas pertanyaan Rasulullah shallallahu berikutnya yang artinya, “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).

Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333)
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“ (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Pada hakikatnya Arsy diciptakan adalah agar manusia tidak menjadikan selain Allah Azza wa Jalla sebagai “Raja Manusia”
“Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia“,
“Raja Manusia”,
“Sembahan manusia”. (QS An Naas [114]: 1-3 )

Seluruh perkataan/pendapat ulama Salaf atau seluruh lafadz-lafadz atau dalil naqli yang diterjemahkan sebagai Allah ta’ala “di langit” atau Allah ta’ala “di atas ArsyNya” atau “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 ) sebaiknyalah tidak dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla atau keberadaan bagi dzatNya.
Hakikat “di langit”, “di atas” bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai peruntukan atau pengagungan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Tulisan terkait silahkan baca pada




apa susahnya bagi antum untuk langsung menyebutkan siapa nama ulama tersebut dan dalam kitab apa beliau menyebutkannya jika memang antum yakini hal itu benar?
apakah antum tidak ingin bermain fair setelah ana menyebutkan siapa2 ulama yg menghukumi hadits itu shohih?



di situs antum sendiri, di topik Khulafa’ur Rosyidin menyerukan peringatan maulid nabi (ana agak lupa judul topiknya, namun kurang lebih demikian), disebutkan beberapa atsar sahabat tentang anjuran memperingati maulid Nabi dan keutamaan, serta pahalanya. ana bertanya tentang sanad atsar2 tersebut, sampai sekarang pun juga belum dijawab permintaan ana itu. atau setidak-tidaknya, atsar2 itu diriwayatkan oleh siapa dan dalam kitab apa?
mengingat media, literatur, fasilitas, dan pengetahuan antum yang lebih baik dari ana, ditambah lagi menurut antum, ana orang yang belum mendapat hidayah sedangkan antum sudah mendapat hidayah, tentunya mudah bagi antum untuk membawakan sanad yang ana minta.



Alhamdulillah bang Haji Zon telah mengurai panjang lebar yang jelas dan terang benderang buat yang membaca semoga hidayah segera didapat nya …….



pada 8 September 2011 pada 10:36 am | Balassami'na ahl tawhiid
jam Tuntutlah ilmu dg ikhlash karena Allah, dan kenalilah diri Anda, agar Anda tak terjebak dlm hawa nafsu Anda.



@ajam
“Rasulullah dan para sahabatnya tidak memikirkan konsekuensi-konsekuensi ini. jikalau memikirkannya, niscaya akan banyak ayat2 Al Quran dan As Sunnah yang harus mereka tolak”.
Justru Rasulullah dan para sahabatnya memikirkan konsekuensi-konsekuensi ini. makanya mereka berbicara sesuai pemahaman orang yang diajak bicara.
Konsekuensi-konsekuensi iniliah yang menunjukkan bahwa ada ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung takwil, oleh karena itulah Allah berfirman :
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitâb (al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihât. Adapun orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
mengapa disebut ayat mutasyabihat karena adanya konsekuensi-konsekuensi yang tidak pantas disandarkan kepada Allah bila dimaknai zhahir, karena memang mempunyai takwil dan Allah mengatakan bahwa ayat tersebut ada takwilnya.
Masalah melihat Allah di surga itu, saya ingin beri anda gambaran….
maka Allah telah berfirman “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.” [Al-An'aam: 103], karena Allah bukan jisim. Adapun di akherat, maka asy ariyah menetapkannya karena Allah Maha Melihat, Dia dapat melihat segala penglihatan, sehingga Dia bisa melihat diriNya sendiri, dengan begitu Dia bisa memperlihatkan diriNya pada mata manusia sebagaimana yang dikehendakiNya.
Allah telah mengatakan bahwa dimanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Melihat pasti kearah tertentu, tapi apakah ada dalil bahwa semua orang menghadap ke arah yang sama?
maka berdasarkan firman Allah, dimanapun orang itu menghadap, maka dia akan melihat Allah, itu artinya Allah tidak berada di arah tertentu, oleh karena itu asy ariyah menetapkan bahwa Allah tidak berarah, adapun bila konsekuensinya dikatakan Allah ada di depan atau arah tertentu dari orang yang melihat, maka itu adalah arah yang subjektif, karena keterbatasan manusia dan sebatas apa yang diperlihatkan Allah kepada manusia. Sebagaimana akal kita tidak akan memahami Allah secara hakiki tetapi hanya sebatas apa yang telah Allah pahamkan kepada akal kita untuk mengenalnya dan memahaminya, begitu juga penglihatan kita kepadaNya di akherat adalah sebatas apa yang telah tuhan perlihatkan kepada kita.

Tobatlah kang…..



benarkah Rasulullah dan para sahabatnya memikirkan konsekuensi2 dari ayat2 Alloh?
kalau benar begitu, bisakah antum menyebutkan 1 dalil shohih dari Rasulullah atau para sahabat yang menyebutkan bahwa bahwa bagaimana mungkin Alloh turun ke langit dunia sedangkan dunia/bumi itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?
agar adil, ana akan menyebutkan 1 dalil shohih yang menyebutkan bahwa mereka tidak memikirkan konsekuensi2 dari ayat2 Alloh. mereka hanya menerimanya begitu saja tanpa banyak membantah dan bertanya.
Mu’adzah berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, Mengapa orang haidh meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat? ‘Aisyah berkata, Apakah engkau wanita Haruri? Aku menjawab, Aku bukan Haruri, tetapi hanya (sekedar) bertanya. ‘Aisyah berkata, Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa, tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.[Bukhari (4/429) dan Muslim (335)]
pelajaran yg dapat diambil dari pertanyaan Mu’adzah adalah bahwasanya sholat dan puasa itu sama2 kewajiban yang mengakibatkan dosa berdosa bagi yg meninggalkannya. kalo puasa itu ada qodho’-nya, maka sebagai konsekuensi dari kesamaan hukum antara puasa dan sholat, maka seharusnya sholat pun ada qodho-nya juga. namun kenapa tidak demikian syariat kita?
Aisyah sama sekali tidak memikirkan hal itu. dia sekedar mengikuti syariat tanpa banyak bertanya dan membantah.



mas Ajam@ itu sama waktu dulu ana jadi anak jalanan( preman ) di daerah ana ana datangin semua kiyai /ustad ana tanyain masalah Isra miraj ………begini ” pak kiyai / ustadz kalau nt percaya peristiwa isra miraj coba ana ingin nt ceritain rincian peristiwa itu …..bagaimana Nabi cara naik buraqnya , pakai sabuk pengaman nggak mengingat kecepatan x juta KM/jam , kalau pakai jaket merknya apa ….? yang terakhir dalilnya yang shohih diikut sertakan ustadz …..” nggak ada yang bisa jawab para kiai /ustadz se kabupaten ……he he he apa hal ini ajam bisa jawab ????? walaupun ana sekarang nggak butuh jawaban lagi soalnya ana dah ketemu Guru yang ana anggap sbg bapak ana sekarang beliau udah almarhum ……semoga Alloh meyayangi beliau Aamiin …..dan dari beliau ana dapat jawaban ……



apa yang ente sebutkan tidak nyambung bung…
yang anda sebutkan itu membuat perbandingan…
makna konsekuensi disini adalah makna lain dari makna zhahir tersebut, secara bahasa dan logika atau sesuatu yang lazim harus terjadi secara akal bila dimaknai dengan kata tersebut, misalnya bila ente menyebut 7 itu adalah angka secara zhahir bukan kiasan, maka konsekuensinya atau artinya sama saja lebih banyak dari 6 atau lebih kecil dari 8.
saya cukup katakan saja kepada ente, kalau ente menolak kami memikirkan konsekuensi-konsekuensi makna zhahir ayat-ayat mutasyabihat, maka seharusnya ente juga menolak ulama wahabi yang juga memikirkan konsekuensi-konsekensi zhahir ayat dari ulama ente.
Bukankah ulama ente mengatakan kalau Allah meliputi sesuatu itu artinya ada dimana-mana berarti Allah ada di wc , di tempat kotor dsbnya. Mengapa ente menerimanya dan tidak mengatakan tidak usah dipikirkan konsekuensinya…..
mengapa pula ulama ente mengatakan bahwa lebih dekat dari urat leher itu adalah malaikat bukan Allah, karena Allah tidak menyatu dengan manusia….. mengapa ente tidak katakan, jangan dipikirkan konsekuensinya….
———————————————————————————————-
“kalau benar begitu, bisakah antum menyebutkan 1 dalil shohih dari Rasulullah atau para sahabat yang menyebutkan bahwa bahwa bagaimana mungkin Alloh turun ke langit dunia sedangkan dunia/bumi itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?”
———————————————————————————————-

apa yang anda minta tentang dalil, bahwa sahabat memikirkan konsekuensinya, telah terjawab dengan sendiri bila ente memahami baik-baik pemahaman mereka tentang ayat-ayat mutasyabihat. Dan mereka bersikap tafwidh, membiarkan sebagaimana datangnya ayat dan tidak menjelaskan lebih jauh. Hal ini dikarenakan tidak ada yang memahaminya secara zhahir seperti kaum wahabi, dengan demikian tidak ada konsekuensi-konsekuensi dan makna yang bertentangan dengan akal mereka yang mesti mereka jelaskan lebih jauh.
Dengan memaknai zhahir ayat-ayat mutasyabihat, maka akan menyebabkan jatuh kedalam tasybih dan tajsim, menjisimkan Allah yang jelas berlawanan dengan pemahaman para sahabat dan ulama salaf.



ana sudah katakan bahwa logika tentang konsekuensi2 itu perlu diperbaiki. atau kalau perlu dihilangkan sekalian.
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama didasarkan pada pemikiran, maka niscaya mengusap bagian bawah khuf lebih diutamakan daripada mengusap bagian atasnya. Namun aku melihat Rasulullah hanya mengusap bagian atas khufnya saja.” (HR. Abu Daud no. 162)
bagian bawah sepatu/sandal pastilah lebih kotor dan lebih besar kemungkinannya terkena najis daripada bagian atas sepatu/sandal. apakah antum akan mengingkari kepastian ini?



sama atau tidak arah yang dituju oleh pandangan masing2 penduduk surga bukan itu yang ana persoalkan. ana bertanya, ketika seorang penduduk surga melihat wajah Alloh, pasti dia menghadapkan wajahnya pada suatu arah tertentu dan wajah Alloh menghadap pada arah yang berhadapan dengan pandangan si penduduk surga tadi. lalu apa yang ada pada arah di balik dari wajah Alloh? kalau kita, apa yang ada pada arah di balik wajah kita adalah tempurung kepala yang tertutup rambut. disitu mungkin kita juga ada konde, ada kuciran rambut, ada jepit rambut, ada pusaran rambut, ada ketombe dll.



Allah memperlihatkan diriNya kepada manusia ‘ SEBAGAIMANA YANG DIKEHENDAKINYA’, bukan dengan cara manusia.
Hal-hal yang anda jelaskan memang konsekuensinya dari melihat, karena itulah ulama asyariyah mengatakan bahwa melihat Allah itu tanpa berhadap-hadapan, tanpa berhubungan dengan arah depan/belakang/atas/bawah.
Maka konsekuensi ini ada bila melihat dengan cara yang lazim pada manusia, tetapi Allah melihat segala penglihatan, maka Allah juga melihat apa yang kita lihat. Allah bisa menjadikan melihat itu itu tanpa berhadap-hadapan, tanpa berhubungan dengan arah depan/belakang/atas/bawah.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.” [Al-An'aam: 103],
Dia dapat melihat DiriNya sendiri dan dapat melihat apa yang dilihat manusia……



sederhananya begini saja…..
kalau orang buta yang dilihat adalah kegelapan….
maka melihat kegelapan itu tidak dengan berhadap-hadapan, berhubungan dengan arah dsbnya sebagaimana lazimnya manusia melihat.
Kalau Allah berkuasa membuat manusia melihat kegelapan tanpa terhadap-hadapan, berhubungan dengan arah dsbnya sebagaimana lazimnya manusia melihat. Maka tentu Allah dapat memperlihatkan diriNya kepada manusia tanpa konsekuensi yang ente maksudkan.
Dengan demikian melihat Allah di akherat tidak bisa jadi dalil ente untuk memberi arah bagi Allah dan menempatkan Allah pada suatu tempat.
Ini hanya gambaran saja, kalau anda dapat memahaminya… semoga.



antum katakan bahwa Alloh bisa menjadikan “melihat tanpa berhadapan”. dengan demikian, menurut antum, cara penduduk surga melihat wajah Alloh adalah tanpa menghadap langsung kepada wajah Alloh. tanpa face to face. benarkah demikian? sepertinya begitu.
perhatikan hadits berikut:
إنكم سترون ربكم عَيَانا
‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan mata (telanjang)”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, 7435, dan 7436 dari hadits Jariir radliyallaahu ‘anhu)

adapun ayat yang antum sebutkan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (Al An’am 103) adalah keadaan ketika di dunia. hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan di akhirat dimana Alloh membuka hijab sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan penduduk surga dari melihat Alloh.
Dari Jarir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Suatu hari kami pernah bersama Nabi. Kemudian pada suatu malam beliau melihat bulan purnama dan bersabda : “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. TIDAK ADA SESUATU PUN YANG MENGHALANGI PENGLIHATAN KALIAN. Karena itu, jangan sampai kalian lewatkan shalat sebelum matahari terbit (shalat Shubuh) dan shalat sebelum matahari terbenam (shalat ‘Ashar)”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘…dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya)’ (QS. Qaaf : 39)”. (Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 211.)
Rasulullah juga bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
artinya, Alloh tidak bisa dilihat itu hanya ketika di dunia saja atau ketika manusia masih hidup saja. adapun setelah manusia mati atau di akhirat, maka Alloh berkehendak untuk membuka hijab yang menghalangi pandangan tersebut.
============================================================
sebetulnya apa yang ana persoalkan di awal bukan tentang bagaimana cara penduduk surga melihat Alloh. namun setelah ana koreksi kekeliruan antum mengenai cara penduduk surga melihat wajah Alloh, maka ana tanyakan tentang konsekuensinya.
apa yang ada pada arah yang membelakangi wajah Alloh? ataukah wajah Alloh itu bulat seperti bulan sehingga jika dilihat dari sisi mana pun akan terlihat wajah Alloh saja?



oiya…apa dalilnya bahwa penduduk surga nanti akan melihat Alloh tanpa berhadap-hadapan?



Mas ajam mohon renungkan dan dipahami penjelasan mas Zon….
renungkan dari hati nurani anda yang paling dalam……
insyaallah anda dapat memahaminya.



mudah2an ajam nggak keblinger…moga2 ia tercerahkan,…amiin



al akh mamo:
kenapa antum lemparkan pertanyaan preman kepada kyai itu kepada ana? tentu saja ana jawab tidak tahu, karena Al Quran dan As Sunnah tidak mengabarkannya.
coba pertanyaan dari preman itu antum lemparkan kepada al akh dianth atau mutiarazuhud atau ummati atau ahmad syahid atau habib mundzir, dimana beliau2 ini suka mempertanyakan tentang ayat2 Alloh. misalnya mempertanyakan “bagaimana mungkin Alloh turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir, sedangkan bumi itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?”, atau mempertanyakan “bagaimana mungkin Alloh mempunyai tangan sedangkan tangan itu adlaah sifat makhluq?” dan sebagainya.
terus terang, ana bukan tipe orang yang suka mempertanyakan ayat2 Alloh. ana menerimanya begitu saja dan mengimaninya. ini sebagaimana jalan yang ditempuh oleh ‘Aisyah.



makanya nt juga nanyain sesuatu yang tidak bisa dijawab lawan diskusi la ana jadi ingat waktu jadi preman mas Ajam …….knapa harus tanya teman2 dan guru habib mundzir ??? wong jawabnya udah ketemu ……ana cuma mempersamakan pertanyaan nt contoh : oiya…apa dalilnya bahwa penduduk surga nanti akan melihat Alloh tanpa berhadap-hadapan? ini kan konyol ????



ana bertanya dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab adalah dalam rangka membalikkan cara berpikir/berlogika al akh diant dan ikhwah asy’ariyun lain yang suka mempertanyakan ayat2 Alloh.
coba lebih teliti lagi dalam menyimak diskusi. dan jadilah orang yang ‘adhil



dan Alhamdulillah ana dapat hidayah melalui beliau yang bisa jawab petanyaan ana ……



he he he …..intermezo mas Ajam ….ana hapir lupa 1 lagi pertanyaan konyol dari mantan preman yang ini khususon buat nt ” MANUSIA MUSLIM SHALATNYA MENGHADAP KA’BAH ( MENGELILINGI) ……MENGHADAP KEMANA KALAU DIDALAM KABAH ……. PERTANYAAN KONYOL KAN ??? syukron kalau mas Ajam bisa jawab ……..intermezo



@Ajam,
sudah saya jelaskan gambaran tanpa berhadapan dengan gambaran orang buta yang melihat kegelapan.

Begini aja deh, mata kita melihat sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, maka kita dapat melihat benda apa saja yang dikehendaki oleh Allah terlihat oleh mata kita dan Allah jua yang berkehendak menyembunyikan apa-apa yang tidak terlihat oleh mata kita.
Jadi, kalau Allah menghendaki yang terlihat oleh mata kita hanya Dia, maka itu mudah bagiNya.
Adapun pertanyaan ente tentang “apa yang ada pada arah yang membelakangi wajah Alloh? ataukah wajah Alloh itu bulat seperti bulan sehingga jika dilihat dari sisi mana pun akan terlihat wajah Alloh saja?”
jawabannya adalah Allah tidak didepan sesuatu, jadi Allah tidak ada yang dibelakang Allah, karena Allah tidak berarah didepan maupun dibelakang sesuatu. Dan Allah tidak mempunyai bentuk, seperti bulat petak dsbnya.
Oleh karena itulah Allah tidak bisa ente pahami secara zhahir, karena seluruh sifat Allah yang secara zhahir serupa mahluk tidak bisa diberikan kepada Allah kecuali ditakwil, dan pemahaman zhahir itu artinya memahami sesuatu dengan segala konsekuensi zhahirnya pula.
Kalau ada yang mengatakan misalnya bersemayam sesuai dengan keagunganNya, maka itu seharusnya berarti adalah bukan makna zhahir, tapi takwil karena bersemayam sesuai keagunganNya itu harus meniadakan konsekuensinya.
Kalau ada yang mengatakan Bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya mahluk maka seharusnya berarti tidak dipahami secara zhahir, karena bersemayamnya mahluk itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi zhahir, bila Allah tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi tersebut, maka itu bukan pemahaman zhahir tetapi adalah takwil, karena sesuatu yang kita tidak tahu hakikatnya tanpa konsekuensi zhahirnya itu adalah tidak dapat diketahui kecuali ditakwil.
Yang jadi masalah adalah kalian, ngotot mengatakan makna zhahir, tapi menolak arti dari makna zhahir, kalian mengatakan harus dipahami secara zhahir tetapi kalian menolak definisi dari makna zhahir.
Itu artinya kaidah kalian absurd dari segi bahasa dan rancu dalam logika berpikir…. kalian cari saja tata bahasa yang baru atau logika baru yang sesuai akal tidak sesuai dengan kaidah berpikir maupun kaidah bahasa yang tidak mempunyai hujjah sama sekali baik secara aqli maupun naqli.
———————————————————————————————

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama didasarkan pada pemikiran, maka niscaya mengusap bagian bawah khuf lebih diutamakan daripada mengusap bagian atasnya. Namun aku melihat Rasulullah hanya mengusap bagian atas khufnya saja.” (HR. Abu Daud no. 162)
bagian bawah sepatu/sandal pastilah lebih kotor dan lebih besar kemungkinannya terkena najis daripada bagian atas sepatu/sandal. apakah antum akan mengingkari kepastian ini?
siapa yang mengingkarinya …ini adalah masalah hukum, dan masalah perintah Allah, sedangkan yang kita bicarakan adalah masalah konsekueni logis atau makna lain dari sesuatu.
pemikiran yang dimaksud oleh Imam Ali itu adalah lebih mengutamakan pemikiran dan akal terhadap keputusan Allah dan sunnah rasulnya yang merupakan pedoman dalam beragama. Dalam masalah menjalankan perintah dan hukum, kita memang harus mengikuti tanpa perlu meragukan, tetapi masalah pemahaman dan pengertian kita harus menggunakan pemikiran.
Sedangkan pemikiran yang kita bahas ini adalah masalah pemahaman dan pengertian. Ente harus bisa membedakannya. Bukankah ente memahami sesuatu melalui pemikiran…. ??



al akh diant
ana sudah menjelaskan bahwa cara melihat penduduk surga pada wajah Alloh adalah dengan mata. antinya dengan menghadapkan wajahnya kepada wajah Alloh bukan? dalil2nya sudah ana sebutkan. silakan dicek kembali agar ana tidak perlu mengulang-ulang lagi.
===========================================================
padahal Ali bin Abi Thalib sudah menjelaskan bahwa agama ini bukan berdasarkan logika. yang dnamakan “AGAMA” pasti terkandung di dalamnya semua masalah, baik itu aqidah, syari’ah, dan mu’amalah. adapun yang disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu masalah mengusap khuf, maka itu hanya contoh saja.
karena itulah, bertanya tentang kaifiyah sifat Alloh pun adalah dilarang. silakan antum buka dalam kitab hadits manapun, insyaAlloh tidak akan antum jumpai seorang pun sahabat yang bertanya pada Rasulullah: “Bagaimana Alloh turun ke langit dunia sedangkan dunia itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?”
memahami sesuatu memang harus dengan pemikiran/logika. akan tetapi jika kita menemui sesuatu dalam wahyu yang di luar jangkauan logika, maka logika tersebut harus tunduk pada wahyu. seperti kenapa sepatu yang diusap malah bagian bawah? kenapa bagi wanita haidh tidak ada qodho’ sholat? kenapa sholat maghrib 3 rakaat?
Nabi pernah bercerita tentang seorang penggembala sapi yang menaiki sapinya dan memukulinya, kemudian sapi itu bicara kepada penggembalanya. kemudian para sahabat menjadi heran, karena anehnya perkara tersebut. lalu Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya aku beriman padanya, begitu pula Abu Bakar dan Umar.” (Riwayat Al Bukhori)
Umar pernah berkata: “Wahai sekalian manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath Thobroni)
Imam az-Zuhri mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalah pasrah dan tunduk”. (Fathul Bari 13/512)
Ibnul Mubarok pernah ditanya: “Bagaimana Alloh turun? Bukankah nanti ‘Arsy-Nya kosong?”. Maka ibnu Mubarok menjadi marah dan berkata: “Jika datang kepadamu hadits dari Rasulullah, maka tunduklah!”(Riwayat Ash Shobuni)



Mas Ajam,
Mereka bersikukuh dengan kesalahpahamannya karena salah satunya mereka salah paham dengan keadan di akhirat kelak bahwa kita dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan mata (telanjang)
Mereka salah memahami hadits qudsi seperti
Abu Saleh meriwayatkan bahwa para Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah kami dapat melihat Allah pada hari kiamat?’
Beliau bersabda
“Apakah kalian merasa kesulitan dalam melihat matahari pada siang bolong yang tidak berawan?”
Mereka menjawab,”Tidak”
Beliau berkata, “Apakah kalian merasa kesulitan melihat bulan pada malam purnama yang tidak berawan?
Mereka menjawab, “Tidak”
Beliau berkata, “Demi Zat yang jiwa ini berada dalam kuasa-Nya, kalian tidak akan kesulitan melihat Tuhan kalian, seperti ketika kalian melihat matahari dan bulan”……. (HR Muslim; hadits shahih)

Melihat disini tetap bukan melihat dengan mata kepala yang terproyeksikan sebuah wujud dalam benak(otak) kita namun tetap “melihat” dengan ruhani (ruhNya) yakni hati
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“.
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Kita dapat melihat Allah dengan hati atau hakikat keimanan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Terhalang melihat Allah Azza wa Jalla ketika didunia dengan hati karena setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati.
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Nah ketika di akhirat kelak, kita sama sekali tidak terhalang (terhijab) dari melihat Allah Azza wa Jalla seperti tidak terhalang kita melihat matahari dan bulan




siapa yang bilang dengan mata itu mesti menghadapkan wajahnya kepada Allah. Mana dalilnya orang yang melihat Allah itu harus menghadap ke arah tertentu?
Anda tidak bisa memahami jawaban orang lain.
Sekarang saya mau tanya lebih jelas… segala sesuatu yang terlihat dimata ente itu karena kehendak Allah atau bukan?
Kalau kehendak Allah, bukankah Allah bisa membuat orang walaupun mempunyai mata yang sehat, tidak melihat apapun alias hanya melihat kegelapan. Allah juga bisa membuat sesorang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.
Allah juga bisa membuat orang yang menghadap ke barat tapi yang terlihat dimatanya adalah sesuatu di timur, walaupun ini adalah sesuatu yang tidak lazim, sebagaimana mukjizat juga bukan sesuatu yang lazim.
orang dengan mata yang tidak menerima cahaya, menghadap kemanapun, tanpa berjarak dan bertempat bisa melihat yaitu melihat kegelapan dan kegelapan adalah mahluk Allah jua. Dan itu atas kehendak Allah jua.
Lalu apa susahnya bagi Allah, kalau dia menghendaki tiada yang terlihat olehnya selain Allah.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.” [Al-An'aam: 103]
Penglihatan mata di dunia yang bisa melihat dengan bantuan cahaya itulah yang telah ditentukan oleh Allah. Dan mata didunia yang tidak bisa menerima cahaya, maka yang dilihatnya adalah kegelapan.
Lalu Bila di akherat ketentuan Allah dirubah, dan manusia melihat cahayaNya…. (bukan cahaya/sinar seperti dialam dunia), mengapa pula anda jadi memberi hujjah melihat Allah mesti menghadap dan bertempat.
Selama yang dilihatnya itu mempunyai arah, jarak dan tempat maka tentulah melihatnya dengan berarah dan bertempat, Bila yang dilihatnya tidak berarah dan bertempat maka melihatnyapun tidak perlu berarah dan bertempat.
bila manusia bisa melihat kegelapan tanpa berhadap-hadapan, tanpa berjarak dan bertempat, padahal kegelapan adalah mahluk Allah, bagaimanapula bisa jadi melihat Allah mesti berhadap-hadapan dan berjarak serta bertempat?
Anda pahami dulu kata-kata ana.
———————————————————————————————
“karena itulah, bertanya tentang kaifiyah sifat Alloh pun adalah dilarang. silakan antum buka dalam kitab hadits manapun, insyaAlloh tidak akan antum jumpai seorang pun sahabat yang bertanya pada Rasulullah: “Bagaimana Alloh turun ke langit dunia sedangkan dunia itu bulat dan mengalami pergantian siang dan malam?”
Benar, bertanya tentang kaifiyah Allah itu terlarang karena Allah memang tidak bisa ditetapkan kaifiyahNya.
Sahabat tidak ada yang bertanya karena mereka paham bahwa Allah itu tidak berkaifiyah sebagaimana mahluk yang berkaifiyah.
Danb mereka tidak memahaminya dengan makna zhahir, tapi makna yang hanya Allah yang lebih tahu. Itulah tafwidh
Sedangkan wahabi menetapkan kaifiyah bagi Allah.
“memahami sesuatu memang harus dengan pemikiran/logika. akan tetapi jika kita menemui sesuatu dalam wahyu yang di luar jangkauan logika, maka logika tersebut harus tunduk pada wahyu. seperti kenapa sepatu yang diusap malah bagian bawah? kenapa bagi wanita haidh tidak ada qodho’ sholat? kenapa sholat maghrib 3 rakaat?”
Betul, jika kita menemui sesuatu dalam wahyu yang di luar jangkauan logika, maka logika tersebut harus tunduk pada wahyu, maka kita semua tunduk pada wahyu dan beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Dan kita menetapkan bahwa Allah istiwa diatas arsy dan Allah diatas langit.
Namun kita tidak memaknainya secara zhahir
Karena sesuatu yang bermakna zhahir atau bersifat indrawi, itu artinya masuk kedalam jangkauan logika dan akal dalam bahasa yang berarti mempunyaikaidah makna bahasa.
Kalau mengatakan bermakna zhahir tapi tidak masuk jangkauan logika dan akal dalam kaidah makna bahasa maka itu namanya absurd.
dalam makna bahasa, ‘turun’ secara zhahir itu artinya pindah dari atas ke bawah.
Kalau ada ‘turun’ secara zhahir yang bukan pindah dari atas ke bawah itu telah menyalahi makna bahasa.
itu artinya telah menyalahi kaidah bahasa.
Inilah maksud dari kosekuensi-konsekuensi yang harus diterima dari makna zhahir yaitu logika dan akal yang masuk dalam kaidah bahasa.
“Nabi pernah bercerita tentang seorang penggembala sapi yang menaiki sapinya dan memukulinya, kemudian sapi itu bicara kepada penggembalanya. kemudian para sahabat menjadi heran, karena anehnya perkara tersebut. lalu Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya aku beriman padanya, begitu pula Abu Bakar dan Umar.” (Riwayat Al Bukhori)”
cerita diatas bukan tentang pemahaman sapi yang bisa berbicara, tetapi adalah kesaksian. Hal itu secara logika memang belum dimengerti tetapi masih masuk dalam jangkauan akal dalam kaidah makna bahasa.
diatas langit secara zhahir artinya bertempat atau berposisi diatas langit.
makna lain secara bahasa dari bertempat dan berposisi adalah mempunyai batas, karena tempat dan suatu posisi adalah sesuatu yang memiliki batas.
Kalau ada tempat yang tidak terbatas itu berrarti menyalahi kaidah bahasa, artinya sama saja mengatakan hitam itu adalah putih, atau tinggi itu adalah rendah.
Kalau anda mengingkarinya maka Bahasa anda tidak bisa dipahami….
sesuatu yang bertempat adalah terbatas, itu adalah aksioma dalam makna bahasa. itu artinya Allah terbatas. Bukan sekedar logika tapi logika dalam makna dan kaidah bahasa.
Allah menurunkan Al Qur an itu dengan bahasa, maka haruslah dipahami secara logika dan akal dalam makna bahasa.
“Umar pernah berkata: “Wahai sekalian manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath Thobroni)
Imam az-Zuhri mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalah pasrah dan tunduk”. (Fathul Bari 13/512)
Ibnul Mubarok pernah ditanya: “Bagaimana Alloh turun? Bukankah nanti ‘Arsy-Nya kosong?”. Maka ibnu Mubarok menjadi marah dan berkata: “Jika datang kepadamu hadits dari Rasulullah, maka tunduklah!”(Riwayat Ash Shobuni)”
Perkataan benar tapi ente salah menerapkannya.
Akal itu tidak ikut campur dalam keimanan dan ketundukan, tapi aka itu mesti ikut dalam pemahaman karena agama bisa dipahami melalui bahasa dan kaidah logikanya.



al akh diant
antum berkata:
siapa yang bilang dengan mata itu mesti menghadapkan wajahnya kepada Allah. Mana dalilnya orang yang melihat Allah itu harus menghadap ke arah tertentu?

ana jawab:
jadi sekarang antum sudah meralat perkataan antum mengenai cara melihat penduduk surga, yakni dengan mata, bukan dengan hati? alhamdulillah antum telah kembali ke jalur ahlus sunnah dalam pemahaman ru’yatullah ini.

lalu mengenai berhadap-hadapan, ana tidak menegaskannya seperti itu. ana hanya memainkan logika sebagaimana antum juga memainkannya dalam hal sifat nuzul Alloh. jika Alloh berkehendak untuk membuat penduduk surga itu melihat Alloh tanpa menghadapkan wajahnya kepada wajah Alloh, tentu saja logika ini berlaku juga pada sifat nuzul. siapa yang dapat menghalangi kehendak Alloh untuk turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir?
hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rohawiyah: “Siapa yang berkuasa untuk datang pada hari kiamat, maka siapakah yang dapat menghalangi (kehendak) Nya untuk datang ke langit dunia setiap malam?” (Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni)
adapun mengenai cara melihat penduduk surga pada wajah Alloh, apakah berhadap-hadapan wajah atau tidak, ana tidak tahu. yang jelas, cara melihatnya adalah dengan mata, bukan dengan hati atau perasaan. kalau melihat dengan hati, maka itu bukan keistimewaan penduduk surga saja, melainkan bisa juga dilakukan penduduk dunia.
antum berkata:
Akal itu tidak ikut campur dalam keimanan dan ketundukan, tapi akal itu mesti ikut dalam pemahaman karena agama bisa dipahami melalui bahasa dan kaidah logikanya.

ana jawab:
seandainya Ibnul Mubarok saat ini masih hidup, beranikah antum bertanya pada beliau tentang sifat Nuzul Alloh seperti itu?

antum benar bahwa kita butuh akal untuk memahami. akan tetapi dalam agama ini banyak sekali hal yang tidak mungkin bisa kita pahami dengan akal. maka pada saat inilah, kita dituntut untuk mengimani dan menerimanya begitu saja, dan berkata “sami’na wa atho’na”. memaksakan diri untuk memahami sesuatu di luar jangkauan akal adalah bentuk kedzoliman terhadap akal itu sendiri.



@Azam: apabila ada Firman Allah seperti: “Barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)” juga kamu takwilkan secara dzohir juga?



al akh mutiarazuhud
ana akan mengulang jawaban ana atas komentar al akh diant untuk menjawab komentar antum ini
==============================================================
perhatikan hadits berikut:
إنكم سترون ربكم عَيَانا
‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan mata (telanjang)”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, 7435, dan 7436 dari hadits Jariir radliyallaahu ‘anhu)

adapun ayat yang antum sebutkan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (Al An’am 103) adalah keadaan ketika di dunia. hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan di akhirat dimana Alloh membuka hijab sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan penduduk surga dari melihat Alloh.
Dari Jarir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Suatu hari kami pernah bersama Nabi. Kemudian pada suatu malam beliau melihat bulan purnama dan bersabda : “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. TIDAK ADA SESUATU PUN YANG MENGHALANGI PENGLIHATAN KALIAN. Karena itu, jangan sampai kalian lewatkan shalat sebelum matahari terbit (shalat Shubuh) dan shalat sebelum matahari terbenam (shalat ‘Ashar)”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘…dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya)’ (QS. Qaaf : 39)”. (Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 211.)
Rasulullah juga bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
artinya, Alloh tidak bisa dilihat itu hanya ketika di dunia saja atau ketika manusia masih hidup saja. adapun setelah manusia mati atau di akhirat, maka Alloh berkehendak untuk membuka hijab yang menghalangi pandangan tersebut.



Mas Ajam, “TIDAK ADA SESUATU PUN YANG MENGHALANGI PENGLIHATAN KALIAN” bukannya pelinghatan kasat mata namun penglihatan dengan ruhani (ruhNya) yakni hati
Kita dapat melihat Allah dengan hati atau hakikat keimanan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Terhalang melihat Allah Azza wa Jalla ketika didunia dengan hati karena setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati.
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Nah ketika di akhirat kelak, kita sama sekali tidak terhalang (terhijab) dari melihat Allah Azza wa Jalla seperti tidak terhalang kita melihat matahari dan bulan



إنكم سترون ربكم عَيَانا
‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan mata”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, 7435, dan 7436 dari hadits Jariir radliyallaahu ‘anhu)

disitu disebutkan kata ‘ayaanaa yang artinya mata.



Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ismail bin Abu Khalid dari ‘Amir dari Masruq dia berkata; Aku bertanya kepada ‘Aisyah radliallahu ‘anha wahai Ibu, Apakah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat Rabbnya? Aisyah menjawab; Sungguh rambutku berdiri (karena kaget) atas apa yang kamu katakan. Tiga perkara yang barang siapa mengatakannya kepadamu, maka sungguh ia telah berdusta. Barang siapa mengatakan kepadamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat Rabbnya, maka ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS Al An’am [6]:103 ). Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir. (QS As Syura [42] : 51). Dan barang siapa yang mengatakan kepadamu bahwa beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada hari esok maka ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. (Luqman: 34). Dan barang siapa yang mengatakan kepadamu bahwa beliau menyembunyikan sesuatu, maka ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Al Maidah; 67). Hanya saja beliau pernah melihat bentuk Jibril dua kali. (HR Bukhari)




Rasulullah juga bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
artinya, setelah mati atau di akhirat, maka ada kemungkinan Alloh bisa dilihat. dan memang yang bisa melihat Alloh adalah penduduk surga. adapun di dunia, maka itu perkara lain daripada di akhirat.
coba antum perhatikan firman Alloh:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Rabb berfirman:”Kamu sekali-kali TIDAK SANGGUP untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) NISCAYA KAMU DAPAT MELIHAT-KU”. Tatkala Rabbnya MENAMPAKKAN DIRI kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”. [Al A’raf :143]
kita insyaAlloh sepakat bahwa gunung adalah makhluq Alloh yang taat dan tidak bermaksiat. oleh karena itu, jika yang antum maksud adalah melihat dengan hati, sedangkan untuk melihat Alloh dengan hati butuh hati yang bersih, maka pastinya gunung itu mampu melihat Alloh dengan hati. SEKALI LAGI, ini jika antum benar bahwa yang dimaksud melihat pada ayat tersebut adalah melihat dengan hati.
ana bertanya, lantas kenapa gunung itu hancur lebur?



Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.
Mas Ajam, perhatikan definisi melihat pada bagian “Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Mas Ajam, sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata yang terproyeksikan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang terproyeksikan dalam benak manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura [42]:11) (Allah tidak sama dengan segala sesuatu).
Menurut ulama yang atas izin Allah Azza wa Jalla telah kasyaf, sebenarnya perjalanan ruhani ulama Ibnu Taimiyah sudah sampai ke telaga arasy namun beliau “tergelincir”, ketika beliau melihat malaikat Muqorobin sedang di telaga, disangka beliau itulah Allah ta’ala.
Namun ada kabar juga sebelum ulama Ibnu Taimiyah wafat, beliau telah bertaubat namun tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas.



karena antum tidak menjawab pertanyaan kenapa gunung itu hancur, maka ana akan menjelaskannya sendiri kepada antum
Alloh berfirman: “Tatkala Rabbnya MENAMPAKKAN DIRI kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan…”.
gunung itu pada mulanya tidak bisa melihat Alloh. kemudian ketika Alloh menampakkan diri, dan gunung itu pun akhirnya mampu melihat Alloh, namun ia tidak sanggup melihat Alloh, maka hancurlah gunung itu.
kalo yang dimaksud melihat Alloh adalah melihat dengan hati, seharusnya sejak dulu gunung itu mampu melihat Alloh dan sejak dulu pula mereka akan hancur karena melihat Alloh.
jika penduduk surga melihat Alloh dengan mata hati, lalu apa istimewanya mereka daripada penduduk dunia yang sholih? bertebaran banyak dalil, baik Al Quran, As Sunnah, atsar sahabat, maupun ijma’ ulama tentang penduduk surga akan melihat Alloh di surga. namun tak satu pun dalil menyebutkan penduduk dunia yang sholih akan melihat Alloh, padahal cara melihatnya adalah sama. itu jika melihatnya dengan hati.
betapa pun banyak hadits shohih yang menjelaskan bahwa di akhirat penduduk surga akan melihat Alloh dengan mata, akan tetapi antum mengingkarinya. inilah salah satu ciri Jahmiyah yang disebutkan oleh Imam Abdul Qodir Al Jailaniy dalam kitab beliau Al Ghunyah.
bahkan Imam Asy’ari berkata:
أجمعوا على أن المؤمنين يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan MATA mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237]

Imam Asy’ari menggunakan kata “bi a’yun” (dengan mata).



Mas Ajam, dari mana asalnya pernyataan antum sebagai berikut
“gunung itu pada mulanya tidak bisa melihat Alloh. kemudian ketika Alloh menampakkan diri, dan gunung itu pun akhirnya mampu melihat Alloh, namun ia tidak sanggup melihat Alloh, maka hancurlah gunung itu”

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan” (QS Al A’raaf [7]:43)
Gunung terlihat oleh mata manusia dalam hal ini oleh Nabi Musa a.s karena adanya cahaya maka ketika dikiaskan Allah Sang Pemilik Cahaya “menampakkan diri” maka gunung itu dikiaskan “hancur luluh”
Firman Allah Azza wa Jalla dalam (QS Al A’raaf [7]:43) menegaskan dan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa Dia tidak dapat dilihat dengan mata kepala

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Yazid bin Ibrahim dari Qatadah dari Abdullah bin Syaqiq dari Abu Dzar dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Apakah kamu melihat Rabbmu? ‘ Beliau menjawab, ‘Hanya cahaya, bagaimana mungkin aku bisa melihatNya. (HR Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepada kami bapakku. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin asy-Sya’ir telah menceritakan kepada kami Affan bin Muslim telah menceritakan kepada kami Hammam keduanya dari Qatadah dari Abdullah bin Syaqiq dia berkata, “Aku berkata kepada Abu Dzar, ‘Kalau seandainya aku melihat Rasulullah, niscaya aku menanyakan itu kepadanya.’ Abu Dzar berkata, ‘Tentang apa yang akan kamu tanyakan? ‘ Aku menjawab, ‘Aku akan bertanya, ‘Apakah tuan melihat Rabbmu? ‘ Abu Dzar berkata, ‘Aku telah menanyakan itu, beliau menjawab: ‘Aku hanya melihat cahaya’.” (HR Muslim)
Namun semua manusia memungkinkan melihat Rabb dengan ruhNya (ruhani) yakni hati baik di dunia maupun di akhirat kelak
Sebagaimana yang mas Ajam sampaikan
Rasulullah juga bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Setiap manusia dapat melihat Rabb di dunia dan akhirat setelah mencapai kematian.
Apa makna manusia masih di dunia namun mencapai kematian ?
Hal ini terkait dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lain yakni, “Muutu qabla an tamuutu”, matilah sebelum mati
Mencapai kematian ketika di dunia adalah keadaan dimana ruhani (ruhNya) dapat sepenuhnya mengatasi jasmani. Ruhani yang terbebas dari jasmani , terbebas dari kukungan hawa nafsu.
Hakikat mati adalah terbebasnya ruhani (ruhNya) dari jasmani atau jasad.

Mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka yang berpaling dari Allah Azza wa Jalla atau mereka yang tidak melihat Rabb
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )

“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya” (QS An Nisaa’ [4]:27)
Satu-satunya cara agar kita dapat sampai di hadapan Allah Azza wa Jalla dan melihatNya adalah dengan dzikrullah (mengingat Allah)
Sholat adalah dzikrullah (mengingat Allah) yang utama
Dengan sholat atau dzikrullah kita mi’raj ke hadapan Allah Azza wa Jalla

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah. “Naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu” yang dimakasud “mati”
Sholat , Puasa, Zakat dan dzikrullah lainnya yang menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb
Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu , latihan ruhani “melepaskan” dari jasmani . Dengan puasa menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb atau bertemu Tuhan
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sekali lagi kami sampaikan bahwa terhalang manusia dari melihat Rabb adalah karena dosa
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah swt yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

Agar kita tida buta hati maka tempuh langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwai, “tiada Tuhan selain Allah”.
Oleh karenanya ketika Isra Mi’raj ketika Rasulullah akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla dan akan ditampakkan kehidupan para Nabi, dan pengetahuan ghaib lainnya maka Rasulullah dikiaskan diawali dengan membelah dada (membersihkan hati)
Telah bercerita kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhriy. Dan diriwayatkan pula, telah bercerita kepada kami Ahmad bin Shalih telah bercerita kepada kami ‘Anbasah telah bercerita kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab berkata, Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Dzar bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Pada saat aku di Makkah) atap rumahku terbuka, tiba-tiba datang Malaikat Jibril ‘alaihissalam. Lalu dia membelah dadaku kemudian mencucinya dengan menggunakan air zamzam. Dibawanya pula bejana terbuat dari emas berisi hikmah dan iman lalu dituangnya di dadaku kemudian ditutupnya kembali …. (HR Bukhari)



Rupanya ada dua pendapat 1. pendapat `ajam yang lebih cendrung dengan Tasybih dan Tajsim sehingga melihat Allah itu harus berhadap-hadapan , dan pendapat ke 2. dari MZ yang lebih cenderung menolak melihat dengan kasat mata , pendapat MZ ini mungkin karena tidak mau terjatuh dalam Tasybih dan Tajsim sebagaimana `ajam yang telah terjatuh padanya , padahal Ru`yatullah adalah Haq , melihat Allah itu pasti terjadi dengan kasat mata .



Yup , mas Ahmad Syahid makna ru’yatullah , mar’rifatullah adalah dengan ruhani (ruhNya) yakni hati
Pada hakikatnya melihat dengan mata kepala pastilah mempunyai bentuk, dimensi, ukuran, arah
Hati tidak mempunyai ukuran, dimensi,arah. Pernakah kita mengetahui dimensi atau ukuran “hati yang lapang” dan “hati yang sempit” ?

Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran.
Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda
Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah keturunan Rasulullah).
Cara atau jalan agar dapat melihat Allah (ma’rifatullah) adalah dengan menjalankan tentang Ihsan / tentang akhlak yang semua itu ada dalam tasawuf dalam Islam
Setelah perkara Syariat dijalankan maka “dekatkanlah” diri atau “perjalankan” diri kita dengan tharikat, hakikat hingga mencapai ma’rifat.
Inilah yang dinamakan syariat, tharikat, hakikat dan ma’rifat
Atas kehendak Allah Azza wa Jalla, apa yang harusnya diketahui umat muslim pada umumnya tentang apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali ra yakni tentang Ihsan atau tentang akhlak , “terganggu” oleh fitnah yang dilakukan oleh orang Yahudi.
Imam Sayyidina ‘Ali رضي الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Semoga saudara-saudara kita kaum Syiah dapat “membersihkan” keyakinan mereka dari ghazwul fikri atau fitnah yang dilakukan orang Yahudi



jika karena itu ana disebut tajsim atau tasybih, maka salaf dalam tajsim dan tasybih adalah Rasulullah
Rasulullah bersabda:
إنكم سترون ربكم عَيَانا
‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan MATA”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 554, 573, 4851, 7434, 7435, dan 7436 dari hadits Jariir radliyallaahu ‘anhu)

Imam Asy’ari berkata:
أجمعوا على أن المؤمنين يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan MATA mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237]

Imam Ibnu Abi Al Izz berkata:
“Dihubungkannya kata-kata nazhar ( memandang) dengan waujuh (wajah) yang merupakan letak pandangan. Ditambah dengan idiom “ilaa” yang secara tegas menunjukkan pandangan mata, disamping TIDAK ADA QORINAH yang menunjukkan makna lain, maka jelas dengan ayat itu, Allah memaksudkannya sebagai pandangan MATA YANG ADA PADA WAJAH MANUSIA, memandang Allah Azza wa Jalla“ (Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm. 189)

==============================================================
jika salaf kami dalam meyakini ru’yatullah adalah Rasulullah, lalu siapa salaf kalian dalam mengingkari ru’yatullah? siapa lagi kalau bukan Jahmiyyah dan Mu’tazillah



masya Allah ana jadi kasihan sama akh `ajam , ya akhi kenapa antum langsung membenturkan pendapat saya dengan Rosulallah SAW….? padahal kita semua saya mas dianth , `ajam dan MZ sama2 meyakini adanya Ru`yatullah diakherat kelak , hanya ada perbedaan dalam memahami ” bagaimananya ” yang berbeda.
saya dan mas dianth memahaminya sebatas apa yang diberitakan oleh Rosulallah SAW tanpa membagaimanakan , sementara `ajam mencoba membagaimanakan atau mensifatkan cara melihatnya dengan menukil perkataan pen syarah kitab Aqidah Thohawiyah , sehingga melihat itu harus behadap-hadapan yang tentunya ada arah dan jarak , pemahaman seperti inilah yang disebut dengan Tasybih dan Tajsim ,
tolong akh `ajam bisa membedakan antara Hadist Rosulallah SAW dengan pemahaman `ajam yang mengikuti ibnu abi al-izz , sangatlah berbeda antara Hadist dan pemahaman akan Hadist tersebut.
tuduhan jahmiyah dan mu`tazilah kepada Asy`ariyah hanya keluar dari orang orang yang gak faham Firoq al-Islamiyah.



bagaimana bisa antum katakan pendapat antum sama dengan Rasulullah?
Rasulullah bersabda melihat Alloh dengan mata. antum berkata melihat Alloh dengan ruh/hati. mata, ruh, dan hati sama tidak?
perkaranya sudah jelas bahwa kalian mengingkari firman Alloh, sabda Rasulullah, atsar sahabat, dan ijma’ ulama, ko masih mungkir.



@Ajam
“ana jawab:
jadi sekarang antum sudah meralat perkataan antum mengenai cara melihat penduduk surga, yakni dengan mata, bukan dengan hati? alhamdulillah antum telah kembali ke jalur ahlus sunnah dalam pemahaman ru’yatullah ini”.

Saya tidak perlu meralat, karena yang kita bahas ini memang ru’yatullah di Akherat dengan mata. Apa yang mesti saya ralat?
“lalu mengenai berhadap-hadapan, ana tidak menegaskannya seperti itu. ana hanya memainkan logika sebagaimana antum juga memainkannya dalam hal sifat nuzul Alloh. jika Alloh berkehendak untuk membuat penduduk surga itu melihat Alloh tanpa menghadapkan wajahnya kepada wajah Alloh, tentu saja logika ini berlaku juga pada sifat nuzul. siapa yang dapat menghalangi kehendak Alloh untuk turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir?”
Melihat Allah tanpa menghadapkan wajah kepada Allah itu merupakan kekuasaan Allah dan mampu berbuat seperti itu sesuai dengan sifat Allah Maha Kuasa dan layak bagi Allah, juga dapat dipahami dengan logika dan dalam kaidah bahasa.
Adapun turun ke langit dunia secara zhahir itu tidak sesuai dan bertentangan dengan sifat Allah.
Dalam kaidah bahasa arti turun itu adalah perpindahan dari arah atas ke arah bawah.
“siapa yang dapat menghalangi kehendak Alloh untuk turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir?”
Kehendak Allah itu tidaklah bertentangan dengan sifat-sifatNya, karena turun secara zhahir itu bertentangan dengan sifatNya yang Qidam, Awal tanpa arah.
Sifat Allah itu Qidam dan azali tidak pernah berubah.
Oleh karena itu turun secara zhahir itu bertentangan dengan sifat Allah, maka jelas tertolak.
Bila dikatakan turunnya Allah secara zhahir tidak memiliki konsekuensi perpindahan dari arah atas ke bawah (makna bahasa)… maka itu artinya makna turun disini absurd.

Itu sama saja seperti mengatakan Allah Maha pencipta dan maha kuasa maka siapa yang bisa menghalangi kehendak Allah menciptakan sebuah benda yang tidak bisa diangkatNya. Ini adalah logika absurd karena perkataan ini rusak dan tidak bermakna dengan sendirinya.
“hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rohawiyah: “Siapa yang berkuasa untuk datang pada hari kiamat, maka siapakah yang dapat menghalangi (kehendak) Nya untuk datang ke langit dunia setiap malam?” (Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni)”
makna datang ini mempunyai takwil dan tak bisa dimaknai zhahir sebagaimana yang telah dijelaskan
“ana jawab:
seandainya Ibnul Mubarok saat ini masih hidup, beranikah antum bertanya pada beliau tentang sifat Nuzul Alloh seperti itu?”

Saya meragukan riwayat ini shahih, bisa diterangkan tentang riwayat ini?
“antum benar bahwa kita butuh akal untuk memahami. akan tetapi dalam agama ini banyak sekali hal yang tidak mungkin bisa kita pahami dengan akal. maka pada saat inilah, kita dituntut untuk mengimani dan menerimanya begitu saja, dan berkata “sami’na wa atho’na”. memaksakan diri untuk memahami sesuatu di luar jangkauan akal adalah bentuk kedzoliman terhadap akal itu sendiri.”
Betul…anda betul… memaksakan diri untuk memahami sesuatu di luar jangkauan akal adalah bentuk kedzoliman terhadap akal itu sendiri.
Apa yang dijelaskan oleh para Imam dalam artikel diatas masih masuk dalam jangkauan akal
dan memahami sesuatu tanpa mengikuti logika dan akal yang masih bisa terjangkau alias tidak mau mengikuti makna dalam kaidah bahasanya adalah juga kezaliman. ini yang harus anda pahami.




@Ajam
“ana jawab:
jadi sekarang antum sudah meralat perkataan antum mengenai cara melihat penduduk surga, yakni dengan mata, bukan dengan hati? alhamdulillah antum telah kembali ke jalur ahlus sunnah dalam pemahaman ru’yatullah ini”.

Saya tidak perlu meralat, karena yang kita bahas ini memang ru’yatullah di Akherat dengan mata. Apa yang mesti saya ralat?
“lalu mengenai berhadap-hadapan, ana tidak menegaskannya seperti itu. ana hanya memainkan logika sebagaimana antum juga memainkannya dalam hal sifat nuzul Alloh. jika Alloh berkehendak untuk membuat penduduk surga itu melihat Alloh tanpa menghadapkan wajahnya kepada wajah Alloh, tentu saja logika ini berlaku juga pada sifat nuzul. siapa yang dapat menghalangi kehendak Alloh untuk turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir?”
Melihat Allah tanpa menghadapkan wajah kepada Allah itu merupakan kekuasaan Allah dan mampu berbuat seperti itu sesuai dengan sifat Allah Maha Kuasa dan layak bagi Allah, juga dapat dipahami dengan logika dan dalam kaidah bahasa.
Adapun turun ke langit dunia secara zhahir itu tidak sesuai dan bertentangan dengan sifat Allah.
Dalam kaidah bahasa arti turun itu adalah perpindahan dari arah atas ke arah bawah.
“siapa yang dapat menghalangi kehendak Alloh untuk turun ke langit dunia setiap 1/3 malam terakhir?”
Kehendak Allah itu tidaklah bertentangan dengan sifat-sifatNya, karena turun secara zhahir itu bertentangan dengan sifatNya yang Qidam, Awal tanpa arah.
Sifat Allah itu Qidam dan azali tidak pernah berubah.
Oleh karena itu turun secara zhahir itu bertentangan dengan sifat Allah, maka jelas tertolak.
Bila dikatakan turunnya Allah secara zhahir tidak memiliki konsekuensi perpindahan dari arah atas ke bawah (makna bahasa)… maka itu artinya makna turun disini absurd.

Itu sama saja seperti mengatakan Allah Maha pencipta dan maha kuasa maka siapa yang bisa menghalangi kehendak Allah menciptakan sebuah benda yang tidak bisa diangkatNya. Ini adalah logika absurd karena perkataan ini rusak dan tidak bermakna dengan sendirinya.
“hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rohawiyah: “Siapa yang berkuasa untuk datang pada hari kiamat, maka siapakah yang dapat menghalangi (kehendak) Nya untuk datang ke langit dunia setiap malam?” (Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni)”
makna datang ini mempunyai takwil dan tak bisa dimaknai zhahir sebagaimana yang telah dijelaskan
“ana jawab:
seandainya Ibnul Mubarok saat ini masih hidup, beranikah antum bertanya pada beliau tentang sifat Nuzul Alloh seperti itu?”

Saya meragukan riwayat ini shahih, bisa diterangkan tentang riwayat ini?
“antum benar bahwa kita butuh akal untuk memahami. akan tetapi dalam agama ini banyak sekali hal yang tidak mungkin bisa kita pahami dengan akal. maka pada saat inilah, kita dituntut untuk mengimani dan menerimanya begitu saja, dan berkata “sami’na wa atho’na”. memaksakan diri untuk memahami sesuatu di luar jangkauan akal adalah bentuk kedzoliman terhadap akal itu sendiri.”
Betul…anda betul… memaksakan diri untuk memahami sesuatu di luar jangkauan akal adalah bentuk kedzoliman terhadap akal itu sendiri.
Apa yang dijelaskan oleh para Imam dalam artikel diatas masih masuk dalam jangkauan akal
dan memahami sesuatu tanpa mengikuti logika dan akal yang masih bisa terjangkau alias tidak mau mengikuti makna dalam kaidah bahasanya adalah juga kezaliman. ini yang harus anda pahami.




antum berkata:
makna datang ini mempunyai takwil dan tak bisa dimaknai zhahir sebagaimana yang telah dijelaskan.

ana jawab:
bagaimana takwilnya? apakah Rasulullah atau para sahabat mentakwil kata datang dengan makna lain? jika tidak, maka ini takwil yang bathil.

antum berkata:
Saya meragukan riwayat ini shahih, bisa diterangkan tentang riwayat ini?

ana jawab:
عن محمد بن سلام قال : سألت عبد الله بن مبارك في نزول الرب ليلة نصف من شعبان. فقال عبد الله : يا ضعيف ليلة النصف، ينزل في كل ليلة. فقال الرجل : يا أبا عبد الرحمن، كيف ينزل ؟ أليس يخلو ذلك المكان منه ؟. فقال : ينزل كيف يشاء
Dari Muhammad bin Sallam ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak (seorang ulama tabi’i yang mulia) tentang turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban. Beliau menjawab : “Riwayat Nishfu Sya’ban itu lemah. Justru Allah turun setiap malam”. Seorang laki-laki menyela : “Bagaimana Dia turun? Berarti tempat bersemayam-Nya kosong ?”. Beliau menjawab : “Dia turun dengan cara yang Dia kehendaki” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 42, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].

antum berkata:
Apa yang dijelaskan oleh para Imam dalam artikel diatas masih masuk dalam jangkauan akal

ana jawab:
Rasulullah dan para sahabat sebagai sebaik-baik salaf tidak berkata seperti yang dikatakan oleh imam-imam antum. tidak masuk akal jika perkataan Imam yang bid’ah itu digunakan untuk membantah firman Alloh dan sabda Rasulullah.




Mengapa saya katakan masih dalam jangkauan akal…. karena yang mereka bahas adalah logika dalam makna bahasa.



Kalau “melihat” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dengan hati, niscaya gunung itu telah melihat Alloh dengan hati semenjak penciptaannya. Sebagaimana yang antum katakan, hanya hati yang bersih yang mampu melihat Alloh dengan hati, sedangkan dosa adalah penghalangnya. Kalau hancurnya gunung itu karena ia melihat Alloh yang menampakkan diri padanya, niscaya gunung itu sudah hancur sejak penciptaannya. Dari sini antum harusnya tahu bahwa teori antum tentang melihat Alloh dengan hati itu telah runtuh.
Dan kalau yang diminta Musa adalah melihat dengan hati, ana rasa tidak mungkin, karena beliau adalah seorang Nabi dan Rasul, bahkan termasuk Ulul ‘Azmi. Tanpa meminta pada Alloh dengan permintaan khusus pun pasti Musa dapat melihat Alloh dengan hati. Dan kalau yang diminta Musa adalah melihat dengan hati, tidak mungkin Alloh menolaknya.
Kalau hanya kiasan saja, lalu kenapa Musa sampai pingsan segala? Bukankah apa yang diminta oleh Musa adalah melihat dengan mata. Harusnya cara gunung yang hancur itu melihat adalah sama dengan cara melihat yang diminta Musa.
Kenapa Rasulullah hanya melihat cahaya? Kenapa beliau tidak mampu untuk melihat Alloh? Maka jawabnya adalah sabda beliau: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.”. Pada saat itu Rasulullah belum mati dan beliau belum menjadi penduduk surga. Pada saat itu pandangan Rasulullah masih terhijab oleh cahaya.
Rasulullah bersabda: “Hijab-Nya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakarlah di antara makhluk-Nya oleh cahaya wajah-Nya sejauh pandangan. [HR Muslim]
Adapun setelah mati dan menjadi penduduk surga, maka keadaannya akan lain.
Rasulullah bersabda: “Maka DIBUKALAH HIJAB untuk mereka, lalu mereka melihat kepada wajah-Nya. Maka demi Allah, tidak ada sesuatupun yang Allah berikan kepada mereka yang lebih dicintai oleh mereka dan lebih menyenangkan mereka daripada melihat kepada wajah-Nya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir 11/104, Hanaad dalam Az-Zuhd no. 170, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 471, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 630 & 632, Ibnu Mandah dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 84, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no. 192 & 201, dan yang lainnya)
Rasulullah bersabda: “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan kalian…”. (Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 211)
Coba antum simak dengan baik dan teliti analisis ana ini. Pada saat Mi’roj, Rasulullah tidak dapat melihat Alloh, yaitu melihat dengan mata. Hal itu karena penglihatan beliau terhijab oleh cahaya. Wajar saja, karena Rasulullah belum mati dan belum menjadi penduduk surge. Akan tetapi nanti setelah mati dan menjadi penduduk surge, Alloh akan mengangkat hijab-Nya yang berupa cahaya itu, sehingga penduduk surge bias melihat pada Wajah Alloh, yaitu melihat dengan mata.
Kalau diartikan melihat dengan hati, tidak mungkin penglihatan Rasulullah dengan hati terhijab oleh cahaya pada saat Mi’roj. Dan kalau melihat dengan hati, kenapa Alloh baru mengangkat hijab-Nya di surge? Bukankah di dunia saja manusia sudah bias melihatnya dengan hati?
Dari sini juga, harusnya antum mengetahui bahwa teori antum tentang melihat Alloh dengan hati itu telah runtuh. Antum menyamakan keadaan di surge dengan keadaan di akhirat, padahal hal itu berbeda. Di dunia, manusia tidak bias melihat ALloh, sedangkan di akhirat Alloh mengangkat hijab-Nya dan manusia bias melihat pada wajah-Nya.



Mas Ajam, manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Ruhani adalah yang berasal dari ruhNya yakni terdiri dari akal, hati dan hawa nafsu. Akal disini tidak sama dengan otak.
Berikut ada uraian cukup menarik yang kami sependapat berasal dari linkhttp://www.ikpmkairo.org/artikel/dunia-kita-dunia-persepsi-dan-ilusi/
**** awal kutipan*****
Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.

Sistem pendengaran pun terjadi dengan cara yang sama, telinga menangkap bunyi di sekeliling kita dan mengirimnya ke telinga bagian tengah, telingah bagian tengah memperbesar getaran suara ini dan mengirimkannya ke telingah bagian dalam, telinga bagian dalam menerjemahkan getaran-getaran suara tadi menjadi sinyal-sinya listrik dan selanjutnya diteruskan ke otak, kemudian diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Dan begitu pun dengan proses panca indra lainnya, semuanya hanyalah kumpulan sinyal-sinyal listrik yang diterjemahkan di dan oleh otak.
.Selama ini, kita berkeyakinan bahwa dunia ini benar-benar wujud di luar diri kita, akan tetapi dunia ini hanya ada di dalam diri kita sendiri. Ketika anda melihat layar komputer, anda tidak melihatnya di luar diri anda melainkan anda hanya melihat salinannya di dalam otak anda. Anda tidak akan pernah mampu untuk membuktikan apakah komputer tersebut benar-benar wujud di luar otak anda. Begitu pun dengan suara yang anda dengar, anda tidak akan penah mendengar suara sejati yang ada di luar otak anda. Di luar otak anda hanya terdapat gelombang-gelombang elektromagnetik dan gelombang inilah yang diterjemahkan oleh otak sebagai bunyi.
Segala hal yang kita saksikan di sepanjang hidup kita, semuanya hanya terjadi di dalam otak kita. Apa yang kita sebut sebagai “Dunia Kita” hanyalah koleksi dari semua persepsi yang digabungkan dengan satu cara yang penuh arti dan di lihat dari sebuah layar di dalam otak kita. Seumur hidup, kita tidak akan pernah mampu membuktikan wujud material yang sesungguhnya. Karena kita hidup hanya dalam dunia persepsi. Walaupun semuanya hanyalah persepsi-persepsi, akan tetapi persepsi ini tampak seperti nyata dan kita tidak pernah menyadari jika semuanya hanyalah kumpulan persepsi.
Untuk membuktikan bahwa dunia yang kita jalani hanyalah dunia persepsi. Mari kita telaah tentang mimpi. Di dalam mimpi kita juga merasakan apa yang kita rasakan di dunia yang kita anggap nyata, seperti menyentuh benda-benda, memakan makanan, ngobrol bersama teman, chatingan, menonton film dan lain sebagainya. Bahkan mimpi bisa mempengaruhi psikologis jiwa kita.
Apa yang membedahkan kehidupan nyata dengan mimpi? tidak ada perbedaan, semuanya terjadi di dalam otak kita. Kita baru sadar bahwa itu adalah mimpi hanya ketika kita terjaga.
Tetapi bagaimanakah semuanya terjadi, otak kita hanyalah segumpal daging yang terdiri dari air, lipid, protein dan zat-zat lainnya. Bagaimanakah seonggok daging lembek ini bisa mengetahuai sinyal mana yang diterjemahkan menjadi suara, pemandangan, citra rasa buah dan bau-bauan, padahal di dalam otak kita tidak ada cahaya, suara dan bau? Siapakah yang mendengar suara-suara dari luar jendela padahal otak kita kedap bunyi? Siapakah yang merasakan sensasi seperti panas, dingin, dan kejauhan? Siapakah yang merasakan manisnya kue, pekatnya kopi, dan asinnya garam? Jelaslah, bahwa bukanlah otak yang merasakan semuanya. Pastilah ada wujud lain selain otak yang merasakannya.
Satu-satunya sumber yang dapat menjawab hal ini adalah agama. Al-Qur’an menerangkan bahwa Allahlah yang telah menciptakan mansia yang terdiri dari fisik dan kemudian meniupkan ruh padanya. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (al-Hijr; 28-29)
Melalui ayat ini kita mengerti bahwa yang merasakan semua persepsi ini adalah ruh kita yang telah diberikan Allah kepada semua makhluk hidup. Setiap mansia mempunyai ruh yang dapat melihat dunia ini tanpa mata, mendengar tanpa telinga, mengecap tanpa lidah, merasa tanpa kulit dan mencium tanpa hidung.
***** akhir kutipan *****

Jadi yang mengolah hasil kerja otak adalah ruh yakni akal
Bermacam-macam nama atau istilah ruh yang diberi oleh ulama. Bahkan dalam Al Quran kalau kita lihat ada bermacam-macam nama. Antara yang terkenal ialah ruh. Adakalanya ia dipanggil dengan qalbun – hati, fuaadun – hati sanubari, latifatur-rabbaniah atau ruhul amri. Pada orang Melayu ia juga dipanggil hati, nyawa, hati nurani atau hati sanubari. Tetapi yang terkenalnya adalah ruh saja.
Ruh yang sedang kita perkatakan ini, kalau dia berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan ruh atau hati atau nyawa.
Tetapi waktu ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil ruh, hati atau nyawa lagi. Tetapi ia dipanggil nafsu. Kalau di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai,memerhati dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Kalau begitu uraiannya, maka nafsu, hati atau akal ini hakikatnya adalah satu.
Ia dipanggil akal di waktu ia berfikir, mengkaji, menilai, memerhati dan menyelidik.
Ketika berperasaan, ia tidak dipanggil akal lagi, sebaliknya ia dipanggil ruh atau hati atau nyawa.
Tetapi waktu ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia dipanggil nafsu.

Kalau begitu walaupun ia mempunyai tiga nama atau tiga istilah tetapi hakikatnya adalah satu. Benda yang sama juga. Cuma peranannya saja yang tidak sama. Peranan yang tidak sama itulah yang menjadikan namanya tidak sama atau namanya berlainan.
Untuk mudah dipahami begini kiasannya: manusia bila dia berbohong dinamakan pembohong. Bila dia menipu dinamakan penipu. Tetapi bila dia mencuri dinamakan pencuri. Bila dia memimpin dipanggil pemimpin. Dinamakan pembohong, penipu, pencuri dan pemimpin, hakikatnya adalah orang yang sama. Cuma namanya berbeda bila peranannya bertukar. Kenapa fisikal yang sama manun timbul istilah yang berlainan? Ini karena peranannya tidak sama. Apakah bila namanya berlainan, orangnya berlainan? Tidak! Orang yang sama juga.
Perlu diingat, bila kita membicarakan tentang ruh ini, bukannya pula kita hendak mengkaji hakikat ruh atau mengkaji hakikat zat roh itu. Kerana zat atau hakikat roh itu tidak akan dapat dilihat oleh mata kepala. Ruh adalah jismullatif , yakni benda halus yang bersifat maknawiah atau abstrak. Ia tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi terasa akan adanya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya yang artinya “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Langit ,di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlambangkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsaraan diperlambangkan dengan Naar (api)

Manusia sebagai makhluk yang mulia dengan dikaruniakan akal dan akan mendapatkan kemuliaan (An Nuur) atau “naik” jika manusia mempergunakan akal di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau mempergunakan akal untuk mengikuti petunjukNya dan sebaliknya akan mendapatkan kehinaan (An Naar) atau “jatuh” jika manusia tidak mempergunakan akalnya atau memperturutkan hawa nafsu.
Nabi Adam a.s diturunkan dari tempat yang mulia ke bumi karena melanggar perintah Allah ta’ala atau karena tidak mempergunakan akal untuk mengikuti petunjukNya atau karena memperturutkan hawa nafsu.
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )

Mengikuti atau memperturutkan hawa nafsu = tidak mengikuti petunjukNya atau tersesat dari jalan Allah.
Manusia dapat memilih memuliakan dirinya dengan menggunakan akal mengikuti petunjukNya atau menghinakan dirinya dengan memperturutkan hawa nafsu. Pilihan ini yang dimaksud dengan keimanan yang kadang naik (menuju kemuliaan) dan kadang turun (menuju kehinaan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
”Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha illallah.” (HR Ibn Hibban)

Oleh karenanya jalan Allah atau shirathal mustaqim, jalan yang lurus, diperlambangkan dengan Alif, lurus naik ke atas.
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Manusia yang mendapat kemuliaan atau yang kembali ke sisi Allah yang Maha Mulia adalah mereka yang mempergunakan akal di jalan Allah dan RasulNya atau dengan kata lain adalah manusia yang bertaqwa.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujuraat [49]: 13 )

Mereka yang mulia dan di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka yang istiqomah di jalan yang lurus, mereka yang telah diberi ni’mat , mereka hanyalah terdiri dari 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang utama adalah Rasulullah), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Sekali lagi kami sampaikan bahwa “Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
“Dibukalah hijab” maksudnya tidak terhalang hati kita dari segala noda (dosa) atau disucikanlah hati (ruhNya)
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)

Mereka ber akhlak yang tinggi, mereka yang disucikan , mereka yang kasyaf (mukasyafah), mereka yang berma’rifat.
Di dunia, mereka yang berma’rifat adalah terbatas yakni mereka yang dikehendaki Allah ta’ala semata sedangkan di akhirat kelak seluruh manusia yang mencapai kemuliaan atau surga akan melihat Rabb tanpa terhalang apapun dan diumpamakan bagaikan melihat bulan ketika purnama dan lain-lain perumpamaan. Hal ini mengingatkan kembali pada firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )



al akh mutiarazuhud
kita bahas saja masalah cara melihat Alloh di akhirat. jangan bahas persoalan yang tidak ada kaitannya sama sekali.
sudah jelas bahwa Rosululloh, orang yang seharusnya antum ikuti, orang yang seharusnya antum ambil perkataannya tanpa bertanya-tanya dan membantah, orang yang seharusnya antum jawab seruannya dengan sami’na wa atho’na, telah bersabda: ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan MATA”.
beliau juga bersabda: “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan kalian…”
jika antum tidak punya hujjah lagi untuk membela pemikiran Jahmiyyah dan Mu’tazillah, alangkah mendingannya (bukan alangkah baiknya) jika antum diam dan tidak menyebarkan pemikiran ini kepada kaum muslimin. cukuplah antum sendiri yang menanggung dosa ini di hadapan Alloh, jangan meracuni kaum muslimin yang lain melalui tulisan2 provokatif dan dusta.
masih segar di ingatan ana, antum katakan Al Baihaqi dan Ibnu Hajar Al Asqolani menghukumi hadits “Dimana Alloh” dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam adalah mudhthorib, padahal keduanya tidak pernah menyebut istilah mudhthorib sama sekali. justru malahan mereka mengatakan hadits shohih.



Mas Ajam, sebagaimana yang antum sampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Kalian kelak akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan kalian…”
“Melihat Rabb” sebagaimana melihat bulan, tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan
“sebagaimana melihat bulan, tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan” adalah kalimat majaz atau pengibaratan bahwa kita melihat Rabb dengan hati tanpa sedikitpun terhalangi.
Terhalang melihat Allah atau terhijab melihat Allah dipengaruhi oleh dosa.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah swt yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Mereka yang telah mencapai surga, seluruh dosa mereka sudah “diangkat” atau hijab untuk terhalang melihat Allah sudah “diangkat”
Mohon maaf, kalau kami belum dapat menjelaskan dengan baik kepada mas Ajam namun apa yang menjadi keyakinan kami adalah apa yang kami dengar dan pahami dari ulama yang bersanad ilmu insyaallah tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam



tobatlah yaa akhul kariim sekalian dari pemikiran Jahmiyyah dan Mu’tazillah



akhuna `ajam mengatakan : bagaimana bisa antum katakan pendapat antum sama dengan Rasulullah?
cobalah baca lagi komen saya : saya dan mas dianth memahaminya sebatas apa yang diberitakan oleh Rosulallah SAW tanpa membagaimanakan
akhuna `ajam mengatakan : Rasulullah bersabda melihat Alloh dengan mata. antum berkata melihat Alloh dengan ruh/hati. mata, ruh, dan hati sama tidak?
cobalah baca lagi komen saya , saya katakan: padahal Ru`yatullah adalah Haq , melihat Allah itu pasti terjadi dengan kasat mata .
akhuna `ajam mengatakan : perkaranya sudah jelas bahwa kalian mengingkari firman Alloh, sabda Rasulullah, atsar sahabat, dan ijma’ ulama, ko masih mungkir.
tidakkah akh `ajam tahu jika Ulama Ahlu Sunnah meskipun telas sepakat akan Ru`yatullah , namun mereka berbeda dalam hal Kaifiyahnya …?mas MZ yang mengatakan bahwa melihat Allah itu dengan Hati , tentu karena beliau mengikuti Sayidatina Aisyah , Mujahid , Abu Sholih as-samman , Sahabat ~ikrimah , dan Imam Bisyr bin sirri al-afwah mereka berpegang kepada ayat qur`an : “La tudrikuhul abshar ” dan ayat lainnya , atau menurut `ajam sayidatina `Aisyah dst bukan Ahlu Sunnah….?
adapun saya dan Mas dianth mengikuti pendapat Mayoritas Ulama Ahlu Sunnah.
lalu akh `ajam sendiri mengikuti pendapat siapa…..? sehingga mengatakan : melihat itu dengan pasti berhadapan dan tentunya ada jarak tertentu…..? penetapan arah bagi Allah hanya muncul dari sekte Karomiyah Mujassimah Musyabihah , jadi yang mesti taubat itu ya akh `ajam.



al akh ahmad
antum katakan:
saya dan mas dianth memahaminya sebatas apa yang diberitakan oleh Rosulallah SAW tanpa membagaimanakan

ana jawab:
jika memang memahaminya SEBATAS yang diberitakan Rosululloh, tidak mungkin antum akan ngelantur kemana2. Rosululloh bersabda “Alloh turun ke langit dunia”, ko antum pahami lain? jika memang SEBATAS yang diberitakan Rosululloh, mestinya apa yang beliau beritakan, maka itulah yang antum pahami.

antum katakan:
padahal Ru`yatullah adalah Haq , melihat Allah itu pasti terjadi dengan kasat mata.

ana jawab:
afwan, ana kira antum menyetujui teori amburadulnya al akh mutiarazuhud bahwa melihat Alloh di akhirat itu tidak dengan mata, melainkan dengan hati atau ruh. ana tidak tahu ternyata antum berpendapat bahwa melihat Alloh di surga itu adalah dengan mata.

antum katakan:
tidakkah akh `ajam tahu jika Ulama Ahlu Sunnah meskipun telas sepakat akan Ru`yatullah , namun mereka berbeda dalam hal Kaifiyahnya …?

ana jawab:
justru sudah ada ijma’ tentang kaifiyah melihat Alloh dengan mata. seperti yang dinukil oleh Imam Abul Hasan Asy’ari: “Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan MATA mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala” [Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237]

adapun pendapat ‘Aisyah bahwa Rosululloh tidak melihat Alloh, maka itu adalah keadaan di dunia atau sebelum mati. bukankah yang kita bicarakan adalah ru’yatulloh di akhirat/surga?
keadaan di dunia dikatakan: “Dia tidak dicapai oleh penglihatan”
keadaan di akhirat dikatakan: “Tidak ada yang menghalangi penglihatannya”

antum katakan:
adapun saya dan Mas dianth mengikuti pendapat Mayoritas Ulama Ahlu Sunnah.

ana jawab:
apakah antum sudah melakukan sensus sebelum berbicara seperti itu? bagaimana jika Alloh meminta pertanggungjawaban atas apa yang antum katakan? bisakah antum memberi bukti kemayoritasan apa yang dikatakan al akh diant?

antum katakan:
lalu akh `ajam sendiri mengikuti pendapat siapa…..? sehingga mengatakan : melihat itu dengan pasti berhadapan dan tentunya ada jarak tertentu…..? penetapan arah bagi Allah hanya muncul dari sekte Karomiyah Mujassimah Musyabihah , jadi yang mesti taubat itu ya akh `ajam.

ana jawab:
ini bukan pendapat ana. ana hanya berlogika, jika melihat Alloh dengan mata seharusnya berhadap-hadapan, karena Nabi sendiri telah memperumpamakan melihat Alloh seperti melihat bulan. bagaimana cara antum melihat bulan?

ana memainkan logika ini sebagaimana al akh diant memainkannya untuk mengingkari hadits nuzul dan ayat Al Quran serta As Sunnah yang lain.



@Ajam
Semakin lama ucapan antum semakin ngawur….
“ana jawab:
bagaimana takwilnya? apakah Rasulullah atau para sahabat mentakwil kata datang dengan makna lain? jika tidak, maka ini takwil yang bathil”.

Rasulullah dan sahabat itu tidak memaknai ‘datang’ ini dengan makna zhahir. Hanya saja tidak diperinci maknanya.
Kalau kita memaknai makna datang ini dengan makna zhahir maka akan bertentangan dengan sifat Allah. karena datang itu secara makna bahasa berpindah tempat dari asal tempatnya ke tempat lain. Sedangkan Allah adalah yang Awal tanpa ada arah dan tempat, dan sifat Allah itu tidak pernah berubah.
-ﻭﺭﻭﻱ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺁﺑﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﻙ ﻋﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺁﻥ ﺁﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺗﺂﻭﻝ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ:ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ (ﺍﻟﻔﺠﺮ٢٢)، ﺁﻧﻪ ﺟﺎﺀ ﺛﻮﺍﺑﻪ-ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ:ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻻ ﻏﺒﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ :
Meriwayatkan albaehaqi dari alhakim dari abi amr ibnu samak dari hambal: ssungguhnya imam ahmad bin hambal mentakwil firman allah (ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ QS ALFAJR 22): telah datang tuhanmu’ DI TAKWIL dengan ﺟﺎﺀ ﺛﻮﺍﺑﻪ : telah datang ‘balasan’ tuhanmu. berkata albaihaqi: sanad ini tdk ada debu sdkt pun (soheh)
(al bidayah wa nihayah kry ibnu katsir 10/354)

Kalau antum katakan jika Rasulullah atau para sahabat tidak mentakwil kata datang
maka takwil ini batil…. berarti anda telah mengatakan Imam Ahmad Bin Hanbal yang mempunyai Sanad keilmuan sampai kepada Rasulullah telah melakukan takwil batil.
Itu urusan antum… ana tidak ikut campur lagi.

“ana jawab:
عن محمد بن سلام قال : سألت عبد الله بن مبارك في نزول الرب ليلة نصف من شعبان. فقال عبد الله : يا ضعيف ليلة النصف، ينزل في كل ليلة. فقال الرجل : يا أبا عبد الرحمن، كيف ينزل ؟ أليس يخلو ذلك المكان منه ؟. فقال : ينزل كيف يشاء
Dari Muhammad bin Sallam ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak (seorang ulama tabi’i yang mulia) tentang turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban. Beliau menjawab : “Riwayat Nishfu Sya’ban itu lemah. Justru Allah turun setiap malam”. Seorang laki-laki menyela : “Bagaimana Dia turun? Berarti tempat bersemayam-Nya kosong ?”. Beliau menjawab : “Dia turun dengan cara yang Dia kehendaki” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il Ash-Shabuni hal. 48 no. 42, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415]”

kenapa riwayatnya berbeda? saya tanyakan kesahihannya.
Ibnul Mubarok pernah ditanya: “Bagaimana Alloh turun? Bukankah nanti ‘Arsy-Nya kosong?”. Maka ibnu Mubarok menjadi marah dan berkata: “Jika datang kepadamu hadits dari Rasulullah, maka tunduklah!”(Riwayat Ash Shobuni)”
saya katakan kepada antum saya tidak akan bertanya kepada Ibnul Mubarok “Bagaimana Alloh turun? Bukankah nanti ‘Arsy-Nya kosong?” karena saya tidak memaknainya secara zhahir.
“ana jawab:
Rasulullah dan para sahabat sebagai sebaik-baik salaf tidak berkata seperti yang dikatakan oleh imam-imam antum. tidak masuk akal jika perkataan Imam yang bid’ah itu digunakan untuk membantah firman Alloh dan sabda Rasulullah.”

Perkataan Imam yang bidah? sungguh luar biasa perkataan antum.
Para Imam dan saya tidak pernah membantah firman Allah dan Sabda Rasul.
Sepertinya sampai sejauh ini antum tidak bisa membedakan “beriman dan tidak memaknainya secara zhahir firman Allah” dengan “membantah firman Allah dan sabda Rasul”.
Percuma saja dialog ini diteruskan…. antum tidak memahami masalah menafsirkan nash… yang ada hanyalah ego antum untuk ngotot mengatakan orang yang menakwilnya sebagai membantah firman Allah dan rasul.
Antum tidak bisa membedakannya…. percuma saja.
Kalau hal seperti ini antum saja sudah tidak paham bagaimana selanjutnya?

Sesungguhnya Bukanlah Mata Itu Yang Buta, Tetapi Yang Buta Ialah Hati Yang Di Dalam Dada.



setiap Nabi dan Rosul itu dibekali dengan yang namanya Jawami’ul Kalam, yaitu ucapan yang singkat namun padat maknanya lagi jelas. nah, kalau ucapan Nabi tidak diartikan sebagaimana dhohirnya, sedangkan tidak ada qorinah yang mentakwilkannya dari dhohirnya, apa gunanya sabda Rosululloh itu?
bukankah keberadaan hadits itu sendiri adalah sebagai penjelas Al Quran. kalau hadits saja dianggap tidak jelas, lalu bagaimana lagi dengan Al Quran. tambah ga jelas lagi donk. lalu apa pedoman kita dalam beragama kalau Al Quran dan Al Hadits dianggap tidak jelas?
dan anehnya, antum malah membuat-buat penjelasan sendiri yang tidak pernah dibuat oleh Rosululloh ataupun para sahabat.
antum katakan:
Kalau kita memaknai makna datang ini dengan makna zhahir maka akan bertentangan dengan sifat Allah

ana jawab:
perkataan ini adalah perkataan Jahmiyyah dan Mu’tazillah yang beranggapan bahwa ada ayat2 Al Quran yang saling bertentangan, atau ayat Al Quran bertetangan dengan Hadits, atau Hadits2 yang saling bertentangan.

masih segar dalam ingatan ana, ana minta ditunjukkan bukti bahwa ayat2 tentang sifat Alloh itu adalah mutasyabihat. antum belum menunjukkannya sama sekali.
aneh bin ajaib, ketika disampaikan ayat Al Quran dan hadits2 shohih, maka dijawab “palingkan dari dhohirnya”. namun ketika disampaikan hadits2 lemah dan palsu langsung ditelan mentah2.



mas Ajam kalau takwil boleh nggak sih ???



Mas Ajam, tidak seluruh perkataan Rasulullah adalah ucapan singkat, padat yang dapat dipahami secara dhohir.
Terbukti ulama memperingatkan kita bahaya kekufuran jika memahami secara dhohir terhadap ayat-ayat mutasyabihat (lebih dari satu arti) seperti,
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Al Qur’an dan Hadits dipenuhi dengan hikmah , sesuatu yang harus dipahami secara mendalam atau diambil pelajaran terlebih dahulu sebelum memahaminya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Alif laam raa, Inilah ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hikmah” (QS Yunus [10]:1 )
“Demi Al Quraan yang penuh hikmah,” (QS Yaasiin [36]:2)
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” (Az Zukhruf [43]:4)

Kita harus bisa bedakan antara “mencari-cari takwil” dengan “mentakwilkan” ataupun tafwid.
Siapakah yang dapat mentakwilkan atau mengambil pelajararan dari firman Allah ?
Mereka yang dibimbing oleh Allah Azza wa Jalla,
Mereka yang dibimbing kepada cahayaNya.
Mereka yang dikaruniai hikmah (pemahaman yang dalam)

Firman Allah Azza wa Jalla
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282).
“ Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki ” ( QS An Nuur [24]:35 )
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh” (QS Asy Syu’ara [26]:83)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
Sedangkan pemahaman yang melewati kerongkongan adalah pemahaman secara hikmah atau pemahaman yang dalam atau pemahaman dengan hati atau mengambil pelajaran sebagaimana Ulil Albab.
Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Ulil Albab melakukan ta’wil atau tafwid dalam rangka mengambil pelajaran atau hikmah dari firman Allah Azza wa Jalla namun mereka tidak “mencari-cari” takwil. Hal ini dibenarkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya, “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Selengkapnya,
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“. (QS Ali Imron [3]:7 )




ini ana copasin dari mas Ibnu Mas’ud MAKNA ISTIWA’ MENURUT PARA ULAMA
Dalam tafsir jalalain disebutkan QS. Thoha: 5 sbb:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
هُوَ “الرَّحْمَن عَلَى الْعَرْش” وَهُوَ فِي اللُّغَة سَرِير الْمُلْك “اسْتَوَى” اسْتِوَاء يَلِيق بِهِ

QS. Al-A’raaf: 54 sbb:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْش” فِي اللُّغَة : سَرِير الْمُلْك اسْتِوَاء يَلِيق بِهِ
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan QS. Thoha: 5 sbb:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
{ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } : تقدم الكلام على ذلك في سورة الأعراف، بما أغنى عن إعادته أيضًا، وأن المسلك الأسلم في (8) ذلك طريقة السلف، إمرار ما جاء في ذلك من الكتاب والسنة من غير تكييف ولا تحريف، ولا تشبيه، ولا تعطيل، ولا تمثيل.
QS. Al-A’raaf: 54 sbb:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،
Dalam tafsir ath-thobarii disebutkan QS. Thoha: 5 sbb:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
وقوله( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) يقول تعالى ذكره: الرحمن على عرشه ارتفع وعلا.
وقد بيَّنا معنى الاستواء بشواهده فيما مضى وذكرنا اختلاف المختلفين فيه فأغنى ذلك عن إعادته في هذا الموضع. وللرفع في الرحمن وجهان: أحدهما بمعنى قوله: تنزيلا فيكون معنى الكلام: نزله من خلق الأرض والسموات، نزله

QS. Al-A’raaf: 54 sbb:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
قوله تعالى: {ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} هذه مسألة الاستواء؛ وللعلماء فيها كلام وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب”الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى” وذكرنا فيههناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم؛ لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته. قال مالك رحمه الله: الاستواء معلوم – يعني في اللغة – والكيف مجهول، والسؤال عن هذا بدعة
Dalam tafsir al-qurthubi disebutkan QS. Thoha: 5 sbb:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
قوله تعالى: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} ويجوز النصب على المدح قال أبو إسحاق الخفض على البدل وقال سعيد بن مسعدة: الرفع بمعنى هو الرحمن النحاس: يجوز الرفع بالابتداء والخبر {لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ} فلا يوقف على {اسْتَوَى} وعلى البدل من المضمر في “خَلَقَ” فجوز الوقف على {اسْتَوَى} وكذلك إذا خبر ابتداء محذوف ولا يوقف على {الْعُلَى} وقد تقدم القول في معنى الاستواء في “الأعراف” والذي ذهب إليه الشيخ أبو الحسن وغيره أنه مستو على عرشه بغير حد ولا كيف كما كون استواء المخلوقين وقال ابن عباس: يريد خلق ما كان وما هو كائن إلى يوم القيامة وبعد القيامة
QS. Al-A’raaf: 54 sbb:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
وقد ذكرنا معنى”الاستواء” واختلاف الناس فيه، فيما مضى قبل، بما أغنى عن إعادته
mas Ajam paham nggak ???




pada 12 September 2011 pada 11:30 am | Balasasimun mas'ud
Ke mana-mana selalu menyebarkan salam. Selalu memakai baju bercorak gamis dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya serba keren, valid, islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi. Sepintas dan secara lahiriah meyakinkan, mengagumkan.
Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah saw, di antara tipologi kaum Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada masa beliau, adalah ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang, sehingga beliau perlu memperingatkan para Sahabat dengan bersabda, “Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan ibadah mereka.”
Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren “kaum Salafi”. Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M), akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.



pada 12 September 2011 pada 11:31 am | Balasasimun mas'ud
AJARAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB BERORIENTASIKAN POLITIK SEMATA
SAUDARAKU WAHABIYUN YG GA TERIMA SILAHKAN BANTAH FAKTA SEJARAH BERIKUT INI, JANGAN BICARA (KOMEN SEBELUM MEMBACA, KLO GA BISA NYANTRI DULU 10 TAHUN)

وفى سنه 1143ه اظهر محمد بن عبد الوهاب الدعوة الى مذهبه الجديد، ولكن وقف بوجهه والده ومشايخه، فابطلوا أقواله، فلم تلق رواجا حتى توفى والده سنه 1153ه فجدد دعوته بين البسطاء والعوام فتابعه حثالة من الناس، فثار عليه أهل بلده وهموا بقتله، ففر إلى (العيينة) وهناك تقرب إلى أمير العيينة وتزوج أخت الأمير، ومكث عنده يدعو إلى نفسه والى بدعته، فضاق أهل العيينة منه ذرعا فطردوه من بلدتهم، فخرج إلى (الدرعية) شرقي نجد، وهذه البلاد كانت من قبل بلاد مسيلمة الكذاب التي انطلقت منها أحزاب الردة.
فراجت أفكار محمد بن عبد الوهاب في هذه البلاد و اتبعه عامه أهلها.

وكان في ذلك كله يتصرف وكأنه صاحب الاجتهاد المطلق، فهو لا يعبا بقول احد من ائمة الاجتهاد لا من السلف ولا من المعاصرين له، هذا ولم يكن هو على الحقيقة ممن يمت إلى الاجتهاد بصله!!
هكذا وصفه أخوه الشيخ سليمان بن عبد الوهاب، وهو اعرف الناس به، وقد آلف كتابا فى إبطال دعوه أخيه واثبات زيفها، ومما جاء فيه عبارة موجزة وجامعه في التعريف بالوهابية ومؤسسها، قال فيها: (اليوم ابتلى الناس بمن ينتسب إلى الكتاب والسنة ويستنبط من علومهما ولا يبالى من خالفه، ومن خالفه فهو عنده كافر، هذا وهو لم يكن فيه خصلة واحده من خصال أهل الاجتهاد، ولا واللّه ولا عشر واحده، ومع هذا راج كلامه على كثير من الجهال، فانا للّه وانا اليه راجعون).
مفتي الشافعية في مكة يذم محمد بن عبد الوهاب
قال الشيخ أحمد زيني دحلان مفتي مكة في أواخر السلطنة العثمانية في تاريخه تحت فصل فتنة الوهابية، (١): (كان -اي محمد بن عبد الوهاب – في ابتداء أمره من طلبة العلم في المدينة المنورة على ساكنها أفضل الصلاة والسلام، وكان أبوه رجلا صالحا من أهل العلم وكذا أخوه الشيخ سليمان، وكان أبوه وأخوه ومشايخه يتفرسون فيه أنه سيكون منه زيغ وضلال لما يشاهدونه من أقواله وأفعاله ونزغاته في كثير من المسائل، وكانوا يوبخونه ويحذّرون الناس منه، فحقق الله فراستهم فيه لما ابتدع ما ابتدعه من الزيغ والضلال الذي أغوى به الجاهلين وخالف فيه أئمة الدين، وتوصل بذلك إلى تكفير المؤمنين فزعم أن زيارة قبر النبي (صلّى الله عليه وسلّم) والتوسل به وبالأنبياء والأولياء والصالحين وزيارة قبورهم للتبّرك شرك، وأن نداء النبي (صلّى الله عليه وسلّم) عند التوسل به شرك، وكذا نداء غيره من الأنبياء والأولياء والصالحين عند التوسل بهم شرك، وأن من أسند شيئا لغير الله ولو على سبيل المجاز العقلي يكون مشركا نحو: نفعني هذا الدواء، وهذا الولي الفلاني عند التوسل به في شىء، وتمسك بأدلة لا تنتج له شيئًا من مرامه، وأتى بعبارات مزورة زخرفها ولبّس بها على العوام حتى تبعوه، وألف لهم في ذلك رسائل حتى اعتقدوا كفر كثر أهل التوحيد” ا.هـ.
إلى أن قال (٢): “وكان كثير من مشايخ ابن عبد الوهاب بالمدينة يقولون: سيضل هذا أو يضل الله به من أبعده وأشقاه، فكان الأمر كذلك. وزعم محمّد بن عبد الوهاب أن مراده بهذا المذهب الذي ابتدعه إخلاص التوحيد والتبري من الشرك، وأن الناس كانوا على الشرك منذ ستمائة سنة، وأنه جدّد للناس دينهم، وحمل الآيات القرءانية التي نزلت في المشركين على أهل التوحيد كقوله تعالى: ﴿وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ﴾، (سورة الأحقاف/٥). وكقوله تعالى ﴿ وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ﴾ (سورة يونس/١٠٦)، وكقوله تعالى ﴿وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لاَ يَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَيْءٍ﴾ (سورة الرعد/١٤). وأمثال هذه الآيات في القرءان كثيرة، فقال محمد بن عبد الوهاب: من استغاث بالنبي (صلّى الله عليه وسلّم) أو بغيره من الأنبياء والأولياء والصالحين أو ناداه أو سأله الشفاعة فإنه مثل هؤلاء المشركين ويدخل في عموم هذه الايات، وجعل زيارة قبر النبي (صلّى الله عليه وسلّم) وغيره من الأنبياء والأولياء والصالحين مثل ذلك- يعني للتبرّك- وقال في قوله تعالى حكاية عن المشركين في عبادة الأصنام: ﴿مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى﴾ (سورة الزمر/٣) إن المتوسلين مثل هؤلاء المشركين الذين يقولون: ﴿ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى ﴾ (سورة الزمر/٣)” اهـ.
ثم قال (٣): “روى البخاري عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما عن النبي (صلّى الله عليه وسلّم) في وصف الخوارج أنهم انطلقوا إلى ءايات نزلت في الكفار فحملوها على المؤمنين، وفي رواية عن ابن عمر أيضا أنه (صلّى الله عليه وسلّم) قال: “أخوف ما أخاف على أمتي رجل يتأول القرءان يضعه في غير موضعه” فهو وما قبله صادق على هذه الطائفة” ا.هـ.
ثم قال (٤): “وممن ألف في الرد على ابن عبد الوهاب أكبر مشايخه وهو الشيخ محمد بن سليمان الكردي مؤلف حواشي شرح ابن حجر على متن بافضل (٥)، فقال من جملة كلامه: “يا ابن عبد الوهاب إني أنصحك أن تكف لسانك عن المسلمين” اهـ.
ثم قال الشيخ أحمد زيني دحلان (٦): “ويمنعون من الصلاة على النبي (صلّى الله عليه وسلّم) على المنائر بعد الأذان حتى إن رجلاً صالحا كان أعمى وكان مؤذنا وصلى على النبي (صلّى الله عليه وسلّم) بعد الأذان بعد أن كان المنع منهم، فأتوا به إلى محمد بن عبد الوهاب فأمر به أن يقتل فقتل. ولو تتبعت لك ما كانوا يفعلونه من أمثال ذلك لملأت الدفاتر والأوراق وفي هذا القدر كفاية” ا. هـ.

أقول: ويشهد لما ذكره من تكفيرهم من يصلي على النبي أي جهرا على المئاذن عقب الأذان ما حصل في دمشق الشام من أن مؤذن جامع الدقاق قال عقب الأذان كعادة البلد: الصلاة والسلام عليك يا رسول الله جهرا، فكان وهابي في صحن المسجد فقال بصوت عال: هذا حرام هذا مثل الذي ينكح أمه، فحصل شجار بين الوهابية وبين أهل السنة وضرب، فرفع الأمر إلى مفتي دمشق ذلك الوقت وهو أبو اليسر عابدين فاستدعى المفتي زعيمهم ناصر الدين الألباني فألزمه أن لا يدرّس وتوعده إن خالف ما ألزمه بالنفي من البلاد.
وقال الشيخ أحمد زيني دحلان ما نصه (٧): “كان محمد بن عبد الوهاب الذي ابتدع هذه البدعة يخطب للجمعة في مسجد الدرعية ويقول في كل خطبه: ” ومن توسل بالنبي فقد كفر”، وكان أخوه الشيخ سليمان بن عبد الوهاب من أهل العلم، فكان ينكر عليه إنكارا شديدا في كل ما يفعله أو يأمر به ولم يتبعه في شىء مما ابتدعه، وقال له أخوه سليمان يوما: كم أركان الإسلام يا محمد بن عبد الوهاب؟ فقال خمسة، فقال: أنت جعلتها ستة، السادس: من لم يتبعك فليس بمسلم هذا عندك ركن سادس للإسلام. وقال رجل ءاخر يوما لمحمد بن عبد الوهاب: كم يعتق الله كل ليلة في رمضان؟ فقال له: يعتق في كل ليلة مائة ألف، وفي ءاخر ليلة يعتق مثل ما أعتق في الشهر كله، فقال له: لم يبلغ من اتبعك عشر عشر ما ذكرت فمن هؤلاء المسلمون الذين يعتقهم الله تعالى وقد حصرت المسلمين فيك وفيمن اتبعك، فبهت الذي كفر. ولما طال النزاع بينه وبين أخيه خاف أخوه أن يأمر بقتله فارتحل إلى المدينة المنورة وألف رسالة في الرد عليه وأرسلها له فلم ينته. وألف كثير من علماء الحنابلة وغيرهم رسائل في الرد عليه وأرسلوها له فلم ينته. وقال له رجل ءاخر مرة وكان رئيسا على قبيلة بحيث إنه لا يقدر أن يسطو عليه: ما تقول إذا أخبرك رجل صادق ذو دين وأمانة وأنت تعرف صدقه بأن قومًا كثيرين قصدوك وهم وراء الجبل الفلاني فأرسلت ألف خيال ينظرون القوم الذين وراء الجبل فلم يجدوا أثرًا ولا أحدا منهم، بل ما جاء تلك الأرض أحد منهم أتصدق الألف أم الواحد الصادق عندك؟ فقال: أصدق الألف، فقال له: إن جميع المسلمين من العلماء الأحياء والأموات في كتبهم يكذّبون ما أتيت به ويزيفونه فنصدقهم ونكذبك، فلم يعرف جوابا لذلك. وقال له رجل ءاخر مرة: هذا الدين الذي جئت به متصل أم منفصل؟ فقال له حتى مشايخي ومشايخهم إلى ستمائة سنة كلهم مشركون، فقال له الرجل: إذن دينك منفصل لا متصل، فعمّن أخذته؟ فقال: وحي إلهام كالخضر، فقال له: إذن ليس ذلك محصورًا فيك، كل أحد يمكنه أن يدعي وحي الإلهام الذي تدعيه، ثم قال له: إن التوسل مجمع عليه عند أهل السنة حتى ابن تيمية فإنه ذكر فيه وجهين ولم يذكر أن فاعله يكفر”. اهـ.

ويعني محمد بن عبد الوهاب بالستمائة سنة القرن الذي كان فيه ابن تيمية وهو السابع إلى الثامن الذي توفي فيه ابن تيمية إلى القرن الثاني عشر. وهي التي كان يقول فيها محمد بن عبد الوهاب إن الناس فيها كانوا مشركين وإنه هو الذي جاء بالتوحيد ويعتبر ابن تيمية جاء بقريب من دعوته في عصره، كأنه يعتبره قام في عصر انقرض فيه الإسلام والتوحيد فدعا إلى التوحيد وكان هو التالي له في عصره الذي كان فيه وهو القرن الثاني عشر الهجري. فهذه جرأة غريبة من هذا الرجل الذي كقر مئات الملايين من أهل السنّة وحصر الإسلام في أتباعه، وكانوا في عصره لا يتجاوز عددهم نحو المائة ألف. وأهل نجد الحجاز الذي هو وطنه لم يأخذ أكثرهم بعقيدته في حياته وإنما كان الناس يخافون منه لما علموا من سيرته لأنه كان يسفك دماء من لم يتبعه.



pada 12 September 2011 pada 11:32 am | Balasasimun mas'ud
APAKAH WAHHABI BENAR AJARAN SESAT ? 1
من هم الوهابية؟
قرن الشيطان

Siapakah Wahhabi “Tanduk Setan”.
الوهابية هي الفتنة التي حذّر منها الرسول – صلى الله عليه واله وسلم – , فقد أخرج البخاري, الحديث 6565, عن ابن عمر قال : ذكر النبي صلى الله عليه واله وسلم ” اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا ” قالوا يا رسول الله وفي نجدنا. قال : “اللهم بارك لنا في شأمنا اللهم بارك لنا في يمننا”. قالوا ” يا رسول الله وفي نجدنا فأظنه قال في الثالثة ” هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان ” .
Wahabbi adalah ujian (fitnah) yg dikhawatirkan oleh Rosul saw. Sebuah Hadits ditakhrij oleh Imam Bukhari (6565) dari Ibnu Umar ra. berkata, Nabi berdo’a, “Ya Alloh, berkahilah negeri Syam buat kami dan berkahilah negeri Yaman buat kami, mereka (sahabat) berkata, Ya Rosululloh, dan (do’akan) unt negeri Najd (Arab Saudi) buat kami, Rasul bersabda, “Ya Alloh, berkahilah negeri Syam buat kami dan berkahilah negeri Yaman buat kami, mereka (sahabat) berkata, Ya Rosululloh, dan (do’akan) unt negeri Najd (Arab Saudi) buat kami, Rasul bersabda unt ketiga kalinya, “Disana (Najd) akan terjadi kegoncangan dan munculnya fitnah-fitnah dan disana akan muncul TANDUK SETAN.
روى البخاري في كتاب الفتن ، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم (الفتنة من قبل المشرق) (7092)من طريق معمر عن سالم عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قام على المنبر فقال (الفتنة ههنا، الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان ، أو قال قرن الشمس)
Diriwayatkan al-Bukhari dlm kitab fitna-fitnah, bab sabda Rosul saw. “Fitnah-fitnah datangnya dr arah timur (Najd = Arab Saudi) (7092) Dari jalan Ma’mar dari Salim dari ayahnya dari Nabi saw. sesungguhnya Nabi berdiri di mimbar dan bersabda,”Fitnah datangnya dari sana, fitnah datangnya dari sana dimana akan muncul tanduk setan, atau beliau menengatakan tanduk matahari.
وروى البخاري في كتاب الفتن ، باب قول النبي صلى الله عليه وسلم (الفتنة من قبل المشرق)(7092)، ومسلم في كتاب الفتن، باب الفتنة من المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان (7292)بنحوه كلاهما من طريق الليث عن نافع عن ابن عمر رضى الله عنهما أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو مستقبل المشرق يقول ألا إن الفتنة هاهنا من حيث يطلع قرن الشيطان )
Diriwayatkan al-Bukhari dlm kitab fitna-fitnah, bab sabda Rosul saw. “Fitnah-fitnah datangnya dr arah timur (Najd = Arab Saudi) (7092) dan Muslim dlm kitab fitnah-fitnah, bab fitnah berasal dari arah timur dimana akan muncul tanduk setan (7292) dan sejenisnya semuanya dari jalan Al-Laits dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra. sesunggunya dia (Ibnu Umar) mendengar Rasululloh saw. beliau menghadap kearah timur (Najd) dan bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya fitnah-fitnah muncul dari sana dari arah dimana akan muncul tanduk setan
روى البخاري في كتاب الطلاق، باب الإشارة في الطلاق والأمور(5296)
من طريق عبدالله بن دينار عن ابن عمر رضى الله عنهما قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول وأشار إلى المشرق ألا إن من حيث يطلع قرن الشيطان )

Diriwayatkan al-Bukhari dlm kitab Tholaq (perceraian, bab isyarat di dlm talak dan perkara-perkaranya (5296) dari jalan ‘Abdulloh bin Dinar dari Ibnu Umar ra. berkata, aku mendengar Nabi saw. bersabda dan menunjuk ke arah timur (Najd), “Ketahuilah, sesungguhnya dari arah sana akan muncul tanduk setan.”
روى مسلم في كتاب الفتن، باب الفتنة من المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان(7293)من طريق يحيى بن سعيد القطان عن عبيد الله بن عمر عن نافع عن عبدالله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قام عند باب حفصة فقال بيده نحو المشرق(الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان)قالها مرتين أو ثلاثاً
Diriwayatkan Muslim dlm kitab fitnah-fitnah, bab fitnah berasal dari arah timur dimana akan muncul tanduk setan (7293) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qoth-thon dari ‘Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ dari ‘Abdulloh bin Umar ra. sesunggunya Rosululloh saw. berdiri di pintu rumah Hafshah, maka beliau bersabda dengan isyarat tangannya ke arah timur “Fitnah-fitnah muncul dari sana dari arah dimana akan muncul tanduk setan.” Beliau mengatakannya dua atau tiga kali.
قول الشيخ حكيم محمد أشرف سندهو في رسالته المعنونة: (أكمل البيان في شرح حديث نجد قرن الشيطان)، حيث قال: (مقصود الأحاديث أن البلاد الواقعة في جهة المشرق من المدينة المنورة، هي مبدأ الفتنة والفساد، ومركز الكفر والإلحاد، ومصدر الابتداع والضلال، فانظروا في خريطة العرب بنظر الإمعان
Syekh Hakim Muhammad Ashraf Sundahu dalam surat yang berjudul: (lengkap pernyataan tersebut dalam syarah hadits NAJD ADALAH TANDUK SETAN), ia berkata: (maksud beberapa hadits tentang tanduk setan sesungguhnya adalah negara ini terletak di sebelah timur kota Madinah Al-Munawwaroh, disanalah awal pertama fitnah dan kerusakan, dan tempat kekufuran dan ateisme, dan sumber bid’ah dan kesesatan, maka lihatlah di peta Arab dengan melihat reaksi yg timbul
و من حديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله (ص) قال : أيما رجل قال لأخيه يا كافر ، فقد باءَ به أحدهما )وراجع هذا الموضوع للرد على الوهابية في أن الشيخ سليمان بن عبد الوهاب لم يعترض على أخيه قرن الشيطان محمد ابن عبد الوهاب
من كتاب الصواعق الألهية في الرد على الوهابية للشيخ لسليمان ابن عبد الوهاب للرد على أخيه قرن الشيطان صفحة 141:

Dari hadits ‘Abdulloh bin Umar ra. sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapapun laki-laki yg memanggil saudaranya (sesama muslim) ‘hai kafir’, maka sungguh salah satu dari keduanya adalah kafir.” Ini sebagai bentuk penolakan atas wahabi (yg suka mengkafirkan). Sesungguhnya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab (saudara Muhammad bin Abdul Wahhab) tdk keberatan menyebut saudaranya Muhammad bin Abdul Wahhab dengan sebutan TANDUK SETAN. (Dari Kitab Al-Showa’iq Al-Ilahiyah fi Al-Roddi Al-Wahabiyah/Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, hal: 141).
فالعراق المعروف هو قطعاًُ ليس إلى الشرق من المدينة، ولكن نصفه الشمالي يقع في شمال المدينة النبوية الشريفة المنورة، ونصفه الجنوبي يقع في الشمال الشرقي. هذه هي الحقائق الحسية القاطعة، التي لا يجوز إغفالها وتجاوزها، ولا بحال من الأحوال.
وبهذا يظهر لك بطلان قول الإمام الخطابي: [نجد من جهة المشرق. ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها وهي مشرق أهل المدينة]،

Irak ini tentu tidak dikenal di sebelah timur kota Madinah, namun bagian utara kota ini terletak di utara Madinah An-Nabawiyah, dan setengah dari Selatan terletak di utara-timur. Ini adalah fakta tegas mutlak yang tidak dapat diabaikan dan dilewati meski dengan cara apapun.
Dan ini menunjukkan ketidakabsahan ucapan Imam Al-Khoththobi, yg mengatakan: [Najd berasal dari timur. Dan dari arah timur kota Madinah, Najd adalah di kota Irak dan sekitarnya adalah arah timur dari kota Madinan]. (Tarikh Bagdad juz: 1 hal: 24) Wallohu A’lam



Perlu mas Ajam ketahui bahwa pedoman kita Al Quran dan Hadist itu dipahami dan dimengerti dengan akal yang sehat dan kaidah bahasa Arab dengan segala perangkatnya.
Allah telah menjelaskan kepada kita bahwa Dia mengajarkan manusia dengan perantara Qalam.
Allah juga telah menganjurkan kepada kita agar menggunakan akal kita untuk memahami agama, adapun masalah keimanan itu adalah hidayah Allah semata.
Lihat penjelasan Allah untuk memberikan pemahaman bagi kita dengan perangkat ilmu yaitu logika yang juga merupakan anugrah Allah untuk kita memahami agamanya.
Allah berfirman, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al-Anbiyaa 21:22)
Allah berfirman. “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Al-Mu’minuun 23: 91)
Nabi juga sering bersabda dengan kata-kata yang mengandung takwil.
Adapun kita sebagai orang yang telah beriman kepada Allah, maka wajib menerima dan taat sebagaimana yang antum gambarkan.
Tetapi dalam pemahaman dan penjelasan kita butuh perangkat yang lain selain keimanan yaitu kemampuan berpikir, ilmu dan penguasaan bahasa Arab. Dengan demikian kita dapat memahami mana nash yang bermakna zhahir dan mana nash yang mesti ditakwil.
“dan anehnya, antum malah membuat-buat penjelasan sendiri yang tidak pernah dibuat oleh Rosululloh ataupun para sahabat.”
Kalau antum tidak menerima penjelasan saya itu syah-syah saja…. tetapi penjelasn ulama-ulama tentulah tidak bisa kita indahkan.
Mengapa Rasul dan para sahabat tidak mebuat penjelasn dan perincian seperti ulama ahli kalam?
Seharusnya antum mempelajari sejarah islam dengan baik.
Sewaktu Nabi masih hidup, belum ada faktor-faktor yang menyebabkan harus adanya penjelasan dan perincian dikarenakan pada zaman itu para sahabat dan penganut islam mempunyai ketaatan dan rasa takut yang sangat kuat kepada Allah dan tidak adanya keinginan dari mereka untuk menyelami maknanya lebih jauh karena pemahaman mereka bersih dari penyimpangan dan syubhat-syubhat keraguan.
Setelah masa itu berlalu, umat islam menghadapi kondisi dan situasi yang berbeda. Dengan luasnya wilayah islam dan banyaknya manusia yang masuk islam dengan berbagai adat dan pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh mereka, maka para ulama islam selanjutnya mau tak mau merubah metode pemikiran mereka untuk menyelesaikan segala permasalah yang ada.
Salah satunya adalah mendalami dan menyelami tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kesamaran lainnya dalam nash seperti masalah nama dan sifat Allah.
Para sahabat dan salaf yang dulunya tidak mau berdebat atau berdiskusi, mau tak mau mesti berhadapan dengan orang-orang yang terbawa oleh syubhat-syubhat pemikiran yang diwarisi oleh pemahaman agama sebelumnya, dan filsafat yang merambah kedunia islam.
Kalau tidak dihadapi dan membuat penjelasan dan perincian yang benar, maka rusaklah akidah sebagian besar umat agama ini. Tentulah antum dapat memahami penjelasan saya.
Perhatikanlah Imam Syafei, yang dalam banyak riwayat mencela perdebatan dalam ilmu kalam, tetapi Imam syafei sendiri mau tak mau mesti memberi penjelasan dengan ilmu kalam terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang masalah akidah umat islam.
Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”
Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:
“Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam, Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh. Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”
Perhatikan juga bagaimana Imam Hanafi yang mengarang kitab al Fikih al akbar dengan metode ilmu kalam.
Bahkan Ibnu Abbas berdebat dan memberi penjelasan dan memperincikan nash dengan kaum khawarij dan Ali bin Abi thalib juga berdebat dan memberi penjelasan dan perincian terhadap orang-orang yang mempermasalahkan dan mempertanyakan masalah takdir.
kang ajam, saya belum mendengar kalau jahmiyah dan mu’tazilah mengatakan ada pertentangan dalam ayat Al Qura.
Saya juga tidak pernah mengatakan demikian….. pemahaman kitalah yang membuatnya menjadi bertentangan, tetapi bila pemahaman kita benar, maka kita akan lebih paham bahwa Al Quran memiliki nilai bahasa yang sangat tinggi dan semuanya adalah kebenaran.
Dizaman ulama-ulama asy ariyah ada beberapa tipe pemikiran yang mesti dihadapi, diantaranya muktazilah dan mujasimmah.
Muktazilah/jahmiyah telah ghuluw dalam tanzih sehingga sampai-sampai menafikan sifat-sifat Allah seperti ‘datang’ dan lain sebagainya dan mereka telah tha’til kepada bahasanya yang paten., kebalikannya kaum mujasimmah pun ghuluw mengisbatkan sifat-sifat Allah sehingga mereka memaknai ayat sifat yang berindikasi tasybih dan tajsim apa adanya secara zhahir sehingga terjebak dalam akidah tasybih dan tajsim.
Ulama-ulama Ahlussunah wal jamaah telah memberikan jalan yang terbaik dengan nash maupun akal/ilmu kalam sehingga akidah umat islam terjaga dari kedua akidah ini.
Aswaja menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatnya, beriman kepadanya.
Namun Aswaja tetap berpegang pada akidah tanzih, membersihkan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak baginya seperti tasybih dan tajsim, oleh karena itulah Aswaja memaknai ayat-ayat sifat yang mutasyabihat dikarenakan makna zhahirnya berimplikasi tasybih dan tajsim secara bahasa dan logika dengan melakukan tafwidh/takwil ijmali yaitu tidak memperincinya dan menyerahkan kebenaran maknanya kepada Allah dan takwil tafsili yang memperinci maknanya dengan metode yang sesuai dengan kaidah bahasa dan ilmu tafsir Al Quran. Hal ini dikarenakan memang ayat-ayat mutasyabihat dikatakan oleh Allah mempunyai takwil.
Saya tidak perlu menjelaskan kepada antum tentang ayat mutasyabihat, sudah jelas dalam koment ana, bahwa ayat-ayat sifat yang mengandung kesamaran karena berimplikasi tasybih dan tajsim sekaligus adalah ayat-ayat mutasyabihat.
Mudah-mudahan anda dapat memahaminya
saya sampaikan pendapat Ibnu Taimiyah tentang ulama-ulama dalam artikel diatas yang menjelaskan permasalah ini yant antum anggap bidah.
“Ulama Asy’ariyah adalah pembela pokok-pokok agama”.



tinggalkan pemikiran Jahmiyyah dan Mutazillah yang sudah mengakar di akal antum. seandainya ada ayat Al Quran yang kurang jelas, metode yang paling tepat untuk menafsirkannya adalah dengan ayat lain atau dengan hadits nabi atau atsar salaf.
sejauh ini, benarkah ada ayat Al Quran atau hadits nabi atau atsar salaf yang mentakwil Alloh turun ke langit dunia, atau Alloh istiwa’ di atas ‘arsy?
dan bagaimana kita menempatkan akal kita? sebagaimana yang diucapkan oleh Al Faruq Umar Ibnul Khothob bahwa dalam masalah agama, akallah yang harus dituduh/dicurigai, sedangkan wahyu pasti benar.
bagaimana mungkin Asy’ariah disebut pembela pokok2 agama sedangkan pokok2 agama adalah Al Quran, As Sunnah dan Ijma’ sahabat yang kalian ingkari dengan logika?



mas Ajam bantah tuh komen mas Asimun ,,,,,,,,benar2 berilmu beliau …….mantab bro …..



beliau cuma orang jahil yang mengulang-ulang tuduhan dusta yang sebenarnya sudah terbantah.



al akh mutiarazuhud
Antum katakan:
“sebagaimana melihat bulan, tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan” adalah kalimat majaz atau pengibaratan bahwa kita melihat Rabb dengan hati tanpa sedikitpun terhalangi.

Ana jawab:
Melihat Alloh adalah dengan MATA, bukan HATI.
Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di akhirat) dengan MATA.” (Bukhori)

Antum katakan:
Terhalang melihat Allah atau terhijab melihat Allah dipengaruhi oleh dosa.

Ana jawab:
Hijab dari melihat Alloh adalah CAHAYA, bukan DOSA.
Nabi bersabda: “Hijab-Nya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakarlah di antara makhluk-Nya oleh cahaya wajah-Nya sejauh pandangan. (Muslim)

Antum katakan:
Mereka yang telah mencapai surga, seluruh dosa mereka sudah “diangkat” atau hijab untuk terhalang melihat Allah sudah “diangkat”

Ana jawab:
Apakah mengangkat dosa itu baru dilakukan oleh Alloh saat manusia memasuki surga? Tidakkah di dunia saja Alloh juga sudah mengangkat dosa? Namun kenapa tidak dikatakan bahwa Alloh mengangkat hijab-Nya? Kenapa ketika Jibril ‘alaihis salam membedah dada Nabi tidak dikatakan bahwa ketika itu Alloh membuka hijab-Nya?




Mas Ajam perhatikan firman Allah ta’ala yang artinya
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Al A’raaf [7]:8)
“Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami“. (QS Al A’raaf [7]:9)

“Orang-orang yang beruntung” atau yang dimasukkan kedalam surga adalah timbangan kebaikannya lebih berat daripada timbangan keburukan (dosa). Wajah mereka putih melihat kenyataan itu namun mereka belum dapat memandang Allah sebagaimana para mereka yang dikehendaki Allah ta’ala atau mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla, Allah membukakan hijab pembatas yakni dosa.
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dengan sanad ini, dan dia menambahkan, ‘Kemudian beliau membaca Firman Allah: ‘(Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya) ‘ (Qs.Yunus: 26) (HR Muslim )
Mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla, telah lama mendapatkan ni’mat. Mereka telah lama melihat Allah. Mereka masuk surga tanpa di hisab
Mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla adalah para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124



Mas Ajam, perhatikan uraian Syaikh Ibnu Athoillah berikut ini
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)

الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah SWT Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah SWT.

وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ
Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.

فَإِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.

Catatan
Ain Bashiroh = Hati Nurani = Cahaya hati = Lubuk hati yang paling dalam = “Pandangan mata hati” lawan dari “pandangan mata kepala”
Bashirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam Qalb, oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.




“ULAMA” itu siapa? ko tidak antum cantumkan?



Salah satu ulama yang menguraikan seperti itu adalah Syaikh Ibnu Athoillah



ATSAR SALAF
1) ikrimah:
ثنا محمد بن منصور الذي يقال له : الطوسي من أهل البغداد، ثنا علي بن شقيق، أبنا حسين بن واقد، عن يزيد النحوي، عن عكرمة : (وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ) قال : ينظرون إلى الله نظرا.
Ad-Daarimiy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Manshuur yang sering disebut Ath-Thuusiy, salah seorang penduduk Baghdaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Syaqiiq : Telah memberitakan kepada kami Husain bin Waaqid, dari Yaziid An-Nahwiy, dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya : ‘Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’ (QS. Al-Qiyaamah : 22-23); ia berkata : “Mereka melihat Allah dengan sebenar-benarnya”. (Ar Radd ‘alal Jahmiyyah hal. 1072-1073. Dishahihkan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, 13/424-425.)

Ikrimah berkata:”yandhuruuna ilaAlloohi nadhoroo”. pengulangan kata nadhoro (melihat) mengindikasikan bahwa yang beliau maksud adalah melihat dengan sebenar-benarnya, melihat dalam makna dhohir, bukan majaz.
2) Malik bin Anas:
عن عبد الله بن وهب قال : قال مالك بن أنس رحمه الله : الناس ينظرون إلى الله تعالى يوم القيامة بأعينهم
Dari ‘Abdullah bin Wahb ia berkata : Telah berkata Maalik bin Anas rahimahullah : “Manusia akan melihat Allah ta’ala pada hari kiamat dengan MATA mereka” (Ad-Daaruquthniy dalam Kitaabush-Shifaat, hal. 75 no. 67)

3) Abu Bakar Isma’ili
وذلك من غير اعتقاد التجسيم في الله عز وجل، ولا التحديد له، ولكن يرونَه جل وعز بأعيُنِهم على ما يشاءُ هو بلا كيفٍ.
“Hal itu (ru’yatullah) BUKAN TERMASUK TAJSIM terhadap Allah ‘azza wa jalla, tidak pula tahdiid (memberi batasan) kepada-Nya. Namun mereka (kaum mukminin) melihat-Nya jalla wa ‘azza dengan MATA mereka sesuai yang Allah kehendaki, tanpa (ditanyakan) bagaimana”. (Kitaabu I’tiqaad Ahlis-Sunnah hal. 43)

4) Abul Hasan Asy’ari
أجمعوا على أن المؤمنين يرون الله عز وجل يوم القيامة بأعين وجوههم على ما أخبر به تعالى
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah ‘azza wa jalla kelak di hari kiamat dengan MATA mereka berdasarkan apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala” (Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghr, hal. 237)

===========================================================
Alloh tidak bisa dilihat dengan mata itu hanya di dunia
1) Abdullah bin Mubarok
Ibnu Rahawaih berkata: Ibnul Mubarok berkata: Hal itu dikarenakan ayat ini (“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata”) TERJADI DI DUNIA, dan yang lain (QS. Al-Qiyaamah : 22-23) terjadi di akhirat” [Musnad Ishaaq bin Rahawaih, 3/674].

2) Isma’il Bin ‘Aliyyah
عن يحيى بن معين قال : سمعت إسماعيل بن علية يقول في قوله تعالى (لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ). قال : هذا في الدنيا.
Yahya bin Ma’iin ia berkata : Aku mendengar Isma’il bin ‘Aliyyah berkata tentang firman Allah : ‘Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata’ ; ia berkata : “IINI TERJADI DI DUNIA” [Tafsir Ibni Abi Haatim Ar-Raaziy, 4/1363 no. 7740,

===========================================================
para salaf memahami hadits2 Nabi, khususnya Ru’yatullah adalah sebagaimana dhohirnya.
Imam Ahmad berkata:
وأن النبي صلى الله عليه وسلم قد رأى ربَّه، فإنه مأثورٌ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صحيحٌ، رواه قتادةُ عنْ عكرمةَ عن ابن عباس، ورواهُ الحكمُ بن أبانٍ عنْ عكرمةَ عن ابن عباس، ورواهُ علي بن زيد عن يوسف بن مهرانَ عن ابن عباس، والحديث عندنا على ظاهره، كما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم والكلامُ فيه بدعةٌ، ولكنْ نؤمنُ به كما جاء على ظاهره، ولا نناظرُ فيه أحداً.

“Dan bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya. Telah ada atsar shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Qatadah dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan pula dari Al-Hakam bin Abaan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas; dan diriwayatkan pula dari ‘Aliy bin Zaid dari Yusuf bin Mihraan dari Ibnu ‘Abbas. Hadits tersebut menurut kami dipahami sebagaimana DHOHIRnya sebagaimana hal itu datang dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Memperdebatkan hadits itu adalah bid’ah. Akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan DHOHIRnya sebagaimana hal itu datang (kepada kami), dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun” (Ushuulus-Sunnah hal. 51-52)
akan tetapi jangan antum menganggap bahwa Imam Ahmad berpendapat Rosululloh telah melihat Alloh dengan mata (fisik) ketika mi’roj. namun pahamilah cara Imam Ahmad menerima hadits itu, yakni beliau memahaminya sebagaimana dhohirnya.



Mas Ajam, tidak ada satupun ulama yang sholeh menyatakan bahwa ru’yatullah dengan penglihatan mata kepala namun penglihatan mata hati atau ain bashiroh
Pada saat akhirat nanti manusia dapat menggunakan ain bashiroh atau penglihatan mata hati sebagaimana mudahnya melihat bulan dengan penglihatan mata pada saat purnama tanpa terhaling awan
Telah ada upaya ghazwul fikri bahwa melihat Allah dengan mata kepala untuk membenarkan i’tiqod bahwa Allah ta’ala bertempat diketinggian atau di atas ‘Arsy sebagaimana orang Yahudi menipu kaum nasrani bahwa tuhan mereka bertempat di surga padahala Allah ta’ala berfirman “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).




antum bisa bahasa arab bukan? ana saja yang bahasa arabnya pas2an insyaAlloh tahu arti kata ‘ain adalah mata, yaitu indera penglihatan yang letaknya pada wajah. semua ulama telah ijma’ bahwa melihat Alloh di akhirat adalah dengan mata.
justru tidak ada satu pun ulama ahlus sunnah yang berkata melihat Alloh di akhirat dengan mata hati atau ruh atau apalah namanya yang antum buat2 itu.
ana ko jadi bertanya-tanya, seberapa tebalkah muka antum sampai2 begitu sombongnya mengingkari kebenaran yang tidak bisa antum sangkal? harusnya antum malu, setelah terbukti keliru dengan pernyataan ada ulama yang menilai hadits “Dimana Alloh?” adalah mudhthorib, sekarang terbukti lagi bahwa teori melihat Alloh di akhirat dengan hati/ruh adalah bid’ah, masih saja antum menolak untuk rujuk pada jalan yang benar.
ana tidak akan memperpanjang lagi urusan ini, karena ana rasa telah cukup dalil2 Al Quran, As Sunnah, atsar sahabat, dan ijma’ ulama tentang melihat Alloh di akhirat dengan mata. adapun selanjutnya, silakan antum terus berkutat dengan pemikiran nenek moyangnya Asy’ariyah, yaitu pemikiran Jahmiyah dan Mu’tazilah.



Dalam sebuah hadits qudsi, Dia Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.

Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’

Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).

Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).

Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)

Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’



Bang Zon mas Ajam belum nyampe kesitu ngajinya …….



al akh mutiarazuhud
yah…mentok2nya ko bawa hadits palsu akh? inikah yang antum sombongkan sebagai pemahaman yang bersanad pada rosul tanpa tercampuri dengan ro’yu?
al akh mamo
kalo urusan ngeluarin jurus hadits palsu mah emang al akh mutiarazuhud dan asy’ariyun jagonya. ana kalah dah…




mas Ajam masa “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ). dikatakan palsu ??? berani nt menentang ayat2 Alloh mas ……..???



na na na na na…minum es jus jambu
segeeeeeeeeeeerrrrrrrrrr……….




mantaaaaaab …..he he he



Abdullah bin Mubarok
قال ابن راهويهفقال ابن المبارك: «جهل الشيخ معنى الآية التي قال الله {لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَار} ليست بمخالفة {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَة} لأن هذه في الدنيا وتلك في الآخرة.
Ibnu Rahawaih berkata: Ibnul Mubarok berkata: Hal itu dikarenakan ayat ini (“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata”) TERJADI DI DUNIA, dan yang lain (“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”) TERJADI DI AKHIRAT” [Musnad Ishaaq bin Rahawaih, 3/674].




emang manusia di akhirat masih punya mata dhohir ??? kan mata dhohir dah ancur dikuburan ??? nambah bingung ana mang ada dalil atau hadits shohihnya mas Ajam ???



al akh mamo
daripada menjawab pertanyaan antum yang menunjukkan ketololan antum itu, ana hanya ingin berpesan. jangan menjadi orang yang sombong yang menolak datangnya kebenaran padahal dalam hati antum meyakini kebenarannya.
al akh mutiarazuhud telah terjatuh ke dalamnya, begitu pula yang lainnya. silakan cermati atsar salaf di atas, semoga antum mendapatkan taufiq dan hidayah



Aamiin mas Ajam …..memang ana tolol mas dan ingin sekali kebenaran …….ana tanya begitu karena mas Ajam sangat mengagungkan aqal …..padahal dalam agama ada dalil aqal dan dalil non aqal mas ….la mas Ajam semuanya hanya mengandalkan aqal …..bisa jawab nggak ???



diakhirat itu jasad apa ruh ya nanti manusia ” melihat ” Alloh ??????? kalau mas Ajam nggak bisa jawab biar nanti ana cari wahabi yang lebih alim untuk menjawabnya ……ana ingin kebenaran jadi nggak malu nanya2 …….biar dibilang tolol yang penting dapat ilmu yang haq ………



silakan tanya pada wahabi lain yang lebih sabar dari ana dalam menghadapi orang bodoh



alhamdulillah kirain mas Ajam wahabi pinter ……..kok nggak bisa jawab …..



waaah agak susah juga nyarinya …..rata2 wahabi ilmunya kurang ( ana nggak maulah ikutan ngatain tolol / bodoh karena ana bukan wahabi ) kalau Al Albanipun masih hidup kayaknya nggak bisa njawab deh …….( maaf mas Ajam nggak maksud menghina syaikh nt ) ……….dimana ya ada wahabi pinter ??? ada yang tau teman2 ???????
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar