Jika ada kanan bagiNya

Jika ada kanan bagiNya artinya ada yang membatasiNya
Tulisan kami sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/24/asma-wa-sifat/ membahas tentang bagaimana batasan-batasan yang sebaiknya tidak dilanggar ketika kita memahami dan meyakini sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, karena salah pikir (fikr) atau salah paham dalam memahami dan meyakini sifat-sifat Allah Azz wa Jalla dapat terjerumus pada kekufuran dalam i’tiqod.
Batasan-batasan antara lain,
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
“Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)
Mereka masih bersikeras membantah batasan-batasan yang telah kami sampaikan di atas. Pendapat mereka bahwa dalam memahami sifat-sifat Allah , kita harus mengikuti pemahaman para Sahabat.
Tentulah dalam memahami sifat-sifat Allah kita harus mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, apa yang dipahami oleh para Sahabat maupun sebagaimana yang dipahamai oleh ulama salaf yang sholeh atau para Salafush Sholeh.
Pada zaman kini yang tertinggal adalah nash atau lafazh atau tulisan dari sunnah Rasulullah (hadits), pendapat/perkataan para Sahabat atau pendapat/perkataan salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) . Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara, jalan dan metodologi dalam memahami nash/lafazh/tulisan tersebut ?
Jika kita berkompetensi sebagai mujtahid maka dapatlah kita memahaminya namun apakah benar syarat-syarat sebagai mujtahid telah terpenuhi ? Apakah telah menguasai bahasa arab denga fasih berikut alat bahasanya seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh ? Apakah telah hafal Al-Qur’an ? Berapa banyakah hadits yang telah dihafal ? Syarat-syarat sebagai imam mujtahid (ijtihad untuk beristinbath yang diperuntukkan bagi kahalayak ramai) telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/26/2010/03/31/imam-mujtahid/
Jika kita tidak berkompetensi sebagai imam mujtahid , pemahaman ulama siapa yang baik kita ikuti?
Apakah dengan mengikuti pendapat segelintir ulama yang menisbatkan diri mereka kepada manhaj/mazhab salaf maka otomatis apa yang mereka sampaikan adalah pasti pemahaman salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) atau pemahaman Sahabat ?
Jawabannya adalah tidak pasti. Pemahaman segilintir ulama tersebut bisa benar dan bisa pula salah. Yang pasti hanyalah nash atau lafazh Al Qur’an dan Hadits. Segala macam bentuk pemahaman maupun penafsiran manusia selain para Nabi termasuk Nabi yang utama, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah bisa benar dan bisa pula salah.
Bagi kami lebih baik mengikuti ulama yang bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena mereka menyampaikan apa yang mereka pahami melalui pendengaran dari lisan guru/ustadz dan membaca lafazh/nash Al Qur’an dan Hadits maupun lafazh perkataan/pendapat ulama Salaf yang sholeh. IlmuNya mengalir dari lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh.
Imam Syafi’i ~rahimullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Banyak dari kita salah memahami perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami sendiri namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “mendengar” firman Allah Azza wa Jalla melalui malaikat Jibril. Selanjutnya ilmuNya mengalir dari lisan ke lisan orang-orang sholeh yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya. Itulah yang hakikat makna “Kami dengar dan kami taat”.
Berdasarkan batas-batasan yang telah kami sampaikan maka seluruh nash/lafazh/tulisan perkataan/pendapat ulama Salaf atau seluruh lafazh-lafazh atau dalil naqli yang diterjemahkan sebagai Allah ta’ala “di langit” atau Allah ta’ala “di atas ArsyNya” atau “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 ) sebaiknyalah tidak dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla atau keberadaan bagi dzatNya.
Hakikat “di langit”, “di atas” bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai peruntukan atau pengagungan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Allah Azza wa Jalla menegaskan dalam firmanNya yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57] : 1 )
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi” adalah ciptaanNya bukan Allah Azza wa Jalla.

Allah ta’ala adalah dekat, Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebelum diciptakan langit, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berpindah hanyalah makhlukNya. Apapun yang berpindah pastilah mempunyai dimensi atau ukuran.
Coba perhatikan pendapat dua ulama yang memahami hadits Rasulullah yang artinya, “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”
Ulama pertama berpendapat, “Benar (Allah punya bayangan), sebagaimana itu disebutkan dalam hadits. tetapi kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifat Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah (yaitu itsbat/menetapkan saja)”. Sumber: http://ww.binbaz.org.sa/mat/4234
Kesimpulan ulama ini adalah “Allah memiliki bayangan yang sesuai bagi-Nya”
Ulama kedua berpendapat, “Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. “Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (sesat), karena dengan begitu maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
Ulama kedua telah membedakan antara terjemahan dengan makna yang lebih sesuai bagi Allah Azza wa Jalla, daripada ulama pertama yang berpendapat bahwa Allah memliki bayangan yang sesuai bagi-Nya.
Metodologi pemahaman yang dipergunakan oleh ulama pertama yang kami sebut dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah/dzahir nya nash/lafazh/tulisan.
Metodologi “terjemahkan saja” akan menemukan kesulitan pula dalam memahami contohnya perkataan Rasulullah yang artinya “Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah bayangan pedang” (HR Muslim 3521)

Apa yang dialami oleh ulama yang pertama terjadi juga dengan ulama yang lainnya ketika mereka memahami
Allah berfirman yang artinya : “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Sesungguhnya abu Hurairoh ra telah berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Allah Azza wa Jalla menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat (menggulung) langit (dalam riwayat lain: langit-langit) dengan tangan kanan-Nya”, kemudian Allah Azza wa Jalla berkata: “Akulah raja! Manakah raja-raja bumi (dunia)?”. (Hadits shahih riwayat. Bukhari no. 4812,6519,7382 & 7413 dan muslim no. 2787 )
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Kesimpulan mereka adalah “Allah ta’ala mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah ta’ala adalah kanan“
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ta’ala ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya?”, “Di mana Dia? ” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat“.

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut“.
Jika ada sisi kanan dari Allah Azza wa Jalla artinya ada yang membatasi Allah Azza wa Jalla sehingga terbentuk kanan. Jika ada hal yang dapat membatasi Allah Azza wa Jalla maka keberadaan Allah Azza wa Jalla itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah Azza wa Jalla itu mustahil. Wallahu a’lam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

3 Tanggapan
pada 26 Juli 2011 pada 7:33 am | BalasNazri Zainal
Subhanallah…. tiada yg ada melainkan Allah…. diibaratkan air laut dan ombak, apabila air laut membuat dirinya tinggi, ianya dipanggil ombak tetapi ombak itu tidak lain dari diri air laut itu sendiri….



pada 26 Juli 2011 pada 8:18 am | Balasahmadsyahid
” tiada yang ada melainkan Allah ” kata-kata ini mirip wihdatul wujud Ulama banyak yang melarang kata-kata seperti ini.



pada 26 Juli 2011 pada 12:45 pm | BalasNazri Zainal
Bagi orang yg tahu sudah pastilah tidak menjadi kesalahan… Dlm surah Al-Ikhlas terang2 Allah menyatakan diriNya. Apakah saudara masih meraguinya lagi?
Apakah tujuan Allah jadikan kita?. Saja-sajakah?. Atau untuk apa? Sedangkan kita tahu Allah itu maha kaya dan maha kuasa, jikalau Allah tidak mencipta makluk pun tidak jadi apa-apa kepada DIA. Tetapi apa sebabnya diciptanya makhluk? Sebenarnya Allah ciptakan makhluk ialah untuk menyatakan akan diriNYA yang tidak nyata, jikalau DIA tidak mencipta makhluk, DIA hendak nyata dimana?
Firman Allah di dlm surah At-Tin ayat 4 dan 5; Maksudnya:”Sesungguhnya Aku telah menciptakan insan dengan bentuk semulia-mulia kejadian. Kemudian kami kembalikan ketempat yang serendah-rendahnya”
Apakah sebabnya setelah dipujinya insan dan selepas itu dikembalikan kepada kehinaan?. Sebabnya, Allah jadikan insan untuk menyatakan diriNYA yang tidak nyata, tetapi apabila insan yang tidak dapat menyatakanNYA maka sia-sia sahajalah dijadikan insan itu. Sebab itu jikalau insan yang tidak boleh menyatakan Allah, tidak dipanggil insan, tetapi dipanggil manusia?. Yakni yang sia-sia didunia dan diakhirat. Allah hanya puji insan dan bukan manusia (Nas/Manusia), Allah puji insan yang boleh menyatakanNYA. Insan pun masih belum selamat.
Firman Allah di dalam Surah Al-Asri ayat 1, 2 dan 3; Maksudnya : “Demi masa, sesungguhnya insan (manusia) itu didalam kerugian, kecuali insan yang beramal soleh dan berpesan-pesan kearah kebaikan dan berpesan dengan kesabaran “.
Allah tak nyata, tak ada ‘ain. Di mana kita hendak pandang dan lihat Allah? Di 6 sisi/sempadan/jihat inilah nyatanya zat Allah. Di makhluk, baharu, alam dan mumkin inilah nyataNya…
Nafi saya mengandungi isbat dan Isbat saya mengandungi nafi
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW; “La Yufarrik khu bainal naffi wal isbat wa man baina huma fa huwa kaffir.”
maksudnya; “Tidak bercerai antara nafi dan isbat dan sesiapa yang menceraikan antara kedua-duanya, maka orang itu kafir”

=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar