“Sertifikat” sebagai pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah sekedar celana cingkrang, jenggot lebat ataupun jidat hitam.
“Sertifikat” paling dasar sebagai pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah ke-sholeh-an atau berakhlakul karimah.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
“Awaluddin makrifatullah”, awal beragama adalah mengenal Allah ta’ala (ma’rifatullah)
sedangkan
akhir/tujuan beragama adalah berakhlakul karimah atau menjadi muslim yang sholeh (sholihin) atau muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin).
Muhsin adalah Muslim yang dapat melihat Allah ta’ala dengan hati (hakikat keimanan) atau minimal muslim yang selalu yakin bahwa Allah ta’ala melihat sikap dan perbuatan kita.
Kalau seperti pemimpin yang tidak adil, koruptor, suka melihat gambar porno, mafia hukum/pengadilan/pajak adalah mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka.
Termasuk mereka yang menghujat, memperolok-olok, meremehkan saudara muslimnya sendiri adalah mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka.
dan
Oleh karenanya, agar kita mendapatkat “sertifikat” pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam marilah hentikan menghujat, memperolok-olok, meremehkan mereka yang belum paham tentang bid’ah, sholawat nariyah, sholawat badar dll. Walau bagaimanapun mereka telah bersyahadat. Biarkanlah mereka menjuluki kita ahlul bid’ah yang artinya menempatkan kita di neraka atau mereka mengatakan kita sesat, atau mentakfirkan kita yang penting semua itu hanyalah prasangka manusia belaka bukanlah ketetapan Allah Azza wa Jalla.
Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125, yang artinya:
“Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.
Mereka salah memahami Al-Qur’an dan Hadits karena pemahaman mereka secara ilmiah/logika yakni memahami dengan pikiran dan memori. Mereka mengumpulkan dalil-dalil naqli (memori) dan kemudian menterjemahkan saja (pikiran) secara dzahir atau apa yang tersurat tanpa melanjutkannya dengan memahami apa yang tersirat atau mengambil hikmah atau mengambil pelajaran dari dalil-dalil naqli tersebut. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Contoh kecil adalah bagaimana mereka salah memahami ungkapan kata “Dengan Rasulullah” sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/10/dengan-rasulullah-2/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
pada 10 Mei 2011 pada 12:49 pm | Balas
menjadi muslim pun kita ini masih tanda tanya, apalagi menjadi ihsan.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar