Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Lailadari Shuhaib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dengan sanad ini, dan dia menambahkan, ‘Kemudian beliau membaca Firman Allah: ‘(Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya) ‘ (Qs.Yunus: 26) (HR Muslim) Sumber:
Dalam tulisan sebelumnya pada
telah diuraikan bahwa melihat Rabb baik di dunia maupun oleh penduduk surga bukan dengan penglihatan mata kepala namun dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh).
Proses melihat dengan penglihatan mata kepala terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.
Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata (mata kepala) yang terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura [42]:11)
Firman Allah ta’ala menegaskan bahwa, yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Pada akhir-akhir ini kesalahpahaman keyakinan (i’tiqod) bahwa penduduk surga melihat Rabb dengan mata kepala semakin meluas berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits pada awal tulisan ini.
Mereka berpendapat bahwa dalil penduduk surga melihat Rabb membenarkan keyakinan mereka bahwa Allah ta’ala bertempat di langit atau di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir
Sebenarnya, keyakinan ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim. Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep keyakinan pagan yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam – termasuk keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin keyakinan kuno ini meresap dalam pemahaman segelintir umat Islam dalam konsep keimanannya. Termasuk keimanan kepada Allah ta’ala
Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini adalah konsep keyakinan pagan, karena di dalam Al Qur’an, Allah digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang, sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan Mi’raj, beliau bukan bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha, karena Allah ta’ala memang bukan ‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah adalah Dzat yang digambarkan Al Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Allah ta’ala sendiri yang menyampaikan tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Di dalam berbagai ayat, justru Allah ta’ala digambarkan memenuhi seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi DzatNya yang Maha Besar.
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Salah satu kepahaman keyakinan pagan yang sangat melekat pada kepahaman segelintir umat Islam adalah tentang keberadaan surga. Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai suatu istana yang indah yang berada di atas langit dan jauh dari bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi dalam keyakinan pagan itu. Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa Allah ta’ala itu berada di surga. Yang ini adalah konsep keyakinan kaum Nasrani – berpendapat Tuhannya berada di Surga.
Pemahaman seperti kaum Nasrani tersebut pada hakikatnya dipengaruhi oleh kaum Yahudi yang mengaku sebagai “murid” Nabi Isa alaihi salam Kaum Yahudi yang hendak membunuh para Nabi termasuk Nabi Isa alaihi salam.
Kaum Yahudi yang pada saat ini dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi adalah mereka yang mengikuti kembali keyakinan pada masa kerajaan Sulaiman , peninggalan mesir kuno yakni kitab thalmud sebuah kitab yang berasal dari para penyihir di zaman Mesir Kuno yang menganut ajaran Kaballah (menyembah Lucifer). Mereka berpaling dari kitab suci Taurat
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:102 )
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutuhkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Penjelasan ulama-ulama lainnya tentang kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam i’tiqod telah dimuat dalam tulisan pada
Islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan pemahaman seperti pemahaman kaum Nasrani. Akan tetapi, banyak di antara kita yang berpendapat bahwa untuk bisa bertemu Allah kita harus berada di surga. Selama masih di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Al Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah kita tidak perlu harus ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita sudah bisa bertemu Allah dan melihatNya. Kemana pun kita menghadap kita akan bertemu dengan Allah kecuali memang manusia yang ingin berpaling dari Allah ta’ala
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita.
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ
لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ
Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Dari uraian syaikh Ibnu Athoillah di atas dapat kita simpulkan bahwa Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Manusia melihat Rabb dengan penglihatan mata hati (ain bashiroh), melihat dengan hati nurani, cahaya hati atau lubuk hati yang paling dalam.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Hadits qudsi inilah yang menerangkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’ ,Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah
Firman Allah Taala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)“. (QS Al Isra [17]: 72 )
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )
Wasalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
4 Tanggapan
Nazri
Assalamualaikum sdra Zon dan sekalian yg ada,
Saya mohon izin utk menggunakan petikan dari artikel ini utk menangkis dakyah saudara se-agama.
mutiarazuhud
Walaikumsalam
Alhamdulillah, silahkan disharing seluas-luasnya.
Assalamualaikum Dulur
Sangat sekali mencerahkan ,Minta ijin Coppas dan mempelajarinya
Semoga allah sllu memberi ilmu yang bermanfaat untuk Kang Zon
Wasalam.
mutiarazuhud
Walaikumsalam
Silahkan copas dan menyebarluaskannya.
Semoga bermanfaat
15 September 2011 oleh mutiarazuhud
rp� / : 2 p-C �A dent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; font-size: medium; margin-top: 0in; margin-right: 0in; margin-bottom: 0in; margin-left: 0in; text-align: justify; ">
Ingatlah bahwa barang siapa mengada-ada yang tidak diwajibkan menjadi diwajibkan atau sebaliknya , yang halal menjadi haram atau sebaliknya, yang tidak dilarang menjadi dilarang atau sebaliknya maka itu adalah bid’ah dlolalah atau kesesatan dan bertempat di neraka karena itu adalah penyembahan diantara yang menetapkan dan yang mengikuti perkara baru tersebut. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Rasulullah pun takut jika dianggap sholat malam yang diikuti menjadi suatu kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) sebagaimana yang disampaikan, “Pada pagi harinya orang-orang mempertanyakannya, lalu beliau bersabda: “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687) Matan hadits selengkapnya silahkan baca pada
Oleh karenanya selama kita berkeyakinan bahwa sholat tarawih selama bulan Ramadhan adalah amal kebaikan maka hal itu adalah bid’ah hasanah / mahmudah namun jika berkeyakinan bahwa sholat tarawih adalah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka ini termasuk ke dalam bid’ah dlolalah karena kewajiban hanyalah apa yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor
15 Oktober 2011 oleh mutiarazuhud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar