Hati yang memandang Allah Azza wa Jalla
Apakah anda mempunyai masalah “tidak khusyu” dalam melaksanakan ibadah Sholat padahal anda mengetahui dalil naqli yang paling shohih, paling kuat (tarjih) dan sudah mengetahui arti terjemahan segala bacaan sholat , juga mungkin sudah membaca buku sifat sholat Nabi yang ditulis ulama Muhammad Nashiruddin Al Albani yang berisikan sabda Rasulullah SAW ”Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”
Bagaimana ulama kemudian “melihat” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan sholat ?
Imam Mazhab yang empat masih sempat “bergaul” langsung dengan kalangan Salafush Sholeh pada masa akhir.
Lalu bagaimana dengan ulama-ulama yang lebih kemudian ?
Sebagian ulama “melihat” melalui sanad ilmu (sanad guru) yang sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Yang bermasalah adalah ulama yang “melihat” melalui kitab-kitab yang mereka pahami dengan akal pikiran sendiri atau belajar ilmuNya secara otodidak semata.
Imam Syafi’i ~rahimullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Permasalahan ketidak khusyuan dalam sholat dikarenakan sebagian ulama pada zaman modern ini hanya menyampaikan tentang fiqih atau syariat saja, Mereka mulai melupakan tentang tasawuf dalam Islam bahkan sebagian yang lain mengharamkan.
Nasehat Imam Syafi’i ~rahimullah, “Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan/ni’mat takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (sholeh) atau muhsin (muhsinin) ?”
Nasihat Imam Malik ra, “dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fiqih rusak keimanannya, sementara dia yang belajar fiqih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar”.
Tasawuf dalam Islam adalah tentang Ihsan atau tentang akhlak
Kunci sholat yang khusyu adalah dengan mendalami tentang Ihsan atau tentang akhlak.
Rasulullah bersabda “…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Ulama zaman modern ini sebagian memahami ilmuNya dengan pemahaman secara ilmiah atau logika saja menggunakan akal pikiran (akal dalam bentuk jasmani) dan memori (ingatan akan dalil-dalil naqli) tanpa melanjutkan ketahap berikutnya. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/24/jarh-wa-tadil/ danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/16/walau-satu-ayat
Mereka bisa jadi melaksanakan sholat bagaikan robot.
Memorinya adalah ingatan dalil-dalil naqli.
Processornya adalah akal pkiran yang menterjemahkan dalil-dalil naqli yang menghasilkan gerakan dan bacaan sholat secara jasmani (lahiriah).
Mereka berpuas diri pada maqam (keadaan) ilmu.
Ilmu adalah hijab yang paling besar dari memandang Allah Azza wa Jalla
Para ahli makrifat menyebutkan, bahwa “ilmu adalah hijab yang paling besar” sehingga seseorang tidak boleh berlama-lama dalam kedudukan (maqam) ini.
Hijab ini adalah hijab yang khas bagi manusia yang mampu ia ketahui secara rasional, sehingga segala sesuatu yang telah ia ketahui dengan akal pkirannya, harus segera ia luluhkan, ia torehkan pada instrumen jiwa yang lain.
Instrumen jiwa yang memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mencapai jenis pengetahuan lain yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman akal pikiran. Dengan begitu seseorang akan dapat melepaskan dirinya dari semua ikatan atau hijab ilmu yang diperolehnya.
Kalau pendengaran dan penglihatan adalah sarana bagi akal pikiran untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, maka instrumen jiwa lainnya yang memiliki kapasitas untuk memperoleh ilmu atau hikmah adalah “hati”. Al-Qur’an menggunakan tiga istilah yang berbeda yang menunjukkan tentang hati, yaitu al fuâd, al qalb, dan al shudr.
Ketiganya merupakan istilah yang berbeda tetapi mengacu pada satu hakikat, yaitu hakikat dasar manusia, hati. Masing-masing menunjukkan perbedaan “karakter” sesuai dengan perbedaan keadaan hati. Dalam tulisan ini cukuplah untuk sementara kita menggunakan istilah hati.
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kalian bersyukur“. (Surat An-Nahl [16] : 78)
Ayat ini menunjukkan kepada kita, bahwa sarana bagi jiwa untuk memperoleh pengetahuan sebagai bekal kesempurnaannya adalah melalui pendengaran, penglihatan, dan hati. Dan orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang menggunakan sarana tersebut untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mencapai pemahaman mengenai hakikat penciptaannya. Dengan demikian akal pikiran bukanlah satu-satunya cara atau sarana untuk mengetahui sesuatu.
Dalam tasawuf atau di kalangan ahli makrifat, sebagaimana kita maklum, seseorang bisa mengetahui sesuatu dengan tidak melalui akal pikiran, tidak pula lewat penginderaan, tetapi lewat cara yang disebut “riyadhah”, pendekatan diri kepada Allah, dimana jiwa mengerahkan seluruh kemampuan dan “potensi positif” hati dengan kedisiplinan dan ke”ajeg”an (istiqomah) untuk memperoleh limpahan karunia sesuai kehendak-Nya.
Menurut ahli makrifat, hati adalah tempat perubahan dan pasang surut yang konstan. Di dalam hati terjadi pertempuran antara dorongan hawa nafsu (hawâ) yang menjerembabkan jiwa (nafs) ke dalam kehinaan dengan tarikan ruh yang membawa jiwa kepada kesucian.
Hubungan saling mempengaruhi antara jiwa dengan hawa nafsu adalah melalui hati, sebagaimana hubungan antara jiwa dengan limpahan manifestasi Ilahiah (rûh) juga melalui hati. Ini berarti limpahan ruh Ilahi ke dalam hati akan mempengaruhi aktivitas jiwa dan perwujudan sifat-sifat terpuji dan kesuciannya, dan sebaliknya kesucian jiwa, tidak akan membiarkan sedikitpun “ruang” di dalam hati disusupi oleh hawa nafsu. Jiwa akan selalu memperkuat hati dengan selalu membukanya untuk menerima limpahan ruh dan pengajaran dari-Nya.
“Dan segala yang Kami sampaikan kepadamu dari cerita Rasul-Rasul yang dengannya Kami kuatkan hatimu, dan dalam cerita itu telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman“. (Surat Huud [11] : 120)
Demikian pula dengan jiwa yang menampakkan aktivitas dan perwujudan sifat-sifat yang rendah adalah cermin dari pengaruh hati yang diisi dan ditundukkan oleh hawa nafsu, dan sebaliknya hati yang dikuasai hawa nafsu akan menutup dirinya dari cahaya petunjuk, karena jiwa yang selalu mengajaknya kepada kegelapan.
“Dan mereka berkata, “Hati kami tertutup dari apa yang kamu seru kami kepada-Nya …” (Surat Fushshilat [41] : 5)
Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa hati adalah instrumen jiwa yang sanggup mencapai pengetahuan dan limpahan ruh Ilahi, sepanjang ia -hanya selalu- membuka dirinya untuk menerima pancaran cahaya-Nya. Ketika cahaya ini masuk ke dalam hati, maka ia akan menghilangkan tabir yang menutupi mata batin, sehingga pengetahuan tentang Allah (makrifat) -Sang Sumber Ilmu- dapat singgah di dalam hati. Para ahli makrifat menyebut keadaan hati seperti ini dengan istilah kasyf (penyingkapan). Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah melimpahkan kepada hamba-Nya pengungkapan diri-Nya (tajalli) ke dalam hati hamba-Nya.
Ada sebuah hadis qudsi yang menyatakan, “Meskipun langit dan bumi tidak sanggup memuat-Nya, tapi hati manusia -hamba-Nya- justru sanggup memuat-Nya“. Hati semacam ini adalah hati seorang hamba yang dipenuhi oleh berbagai hakikat Ilahiah, manifestasi Ilahiah dalam bentuk penyingkapan Nama-Nama-Nya dan Sifat-Sifat-Nya. Pengungkapan diri-Nya ke dalam hati hamba-Nya, merupakan anugerah, yang Allah limpahkankepada manusia agar Ia dapat disaksikan.
Ahli makrifat mengatakan bahwa terjadi berbagai penyingkapan yang merasuk ke dalam hati. Atas kehendak-Nya, Allah mengungkapkan diri-Nya lewat satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan, atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan.
Singkatnya, karena Dia adalah Yang Maha Takterbatas, maka penyingkapan ini tidak pernah berulang secara sama dan tidak pula pernah berakhir. Setiap orang adalah unik, oleh karena itu masing-masing penyingkapan juga unik. Jadi tidak ada dua orang yang merasakan pengalaman tajalli yang sama. Hanyalah yang “merasakan” yang mengetahuinya, dan mereka yang “tidak merasakan” tidak bakal mengetahui. Tajalli melampaui ungkapan kata-kata.
Namun demikian -bagaimana pun- penyaksian hati ini tetaplah menunjukkan bahwa “yang melihat”, “Yang Dilihat”, dan “cahaya yang menghubungkan” keduanya, merupakan tiga hal yang berbeda dan melahirkan keberagaman. Padahal “Penyaksian di dalam ke -Esa- an-Nya” tidak mengizinkan keragaman seperti itu. Jadi mesti ada “langkah pelampauan” sampai pada satu titik yang dengannya tauhid (penyatuan) bisa dicapai. Karena itu, titik TAUHID(sejati) ini hanya bisa dicapai melalui penghancuran (fana’i) “diri yang mengetahui” di dalam “Dzat yang diketahui”
Jadi sholat yang khusyu adalah yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan.
Menurut Iman Al-Ghazali, shalat khusyu’ itu terdiri dari 6 pilar, yaitu :
1. Hudlurul Qalbi (Menghadirkan Hati)
Adalah pemusatan fikiran dan fokus bermunajat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak sedang berpikir yang lain. terkadang seseorang berpikir tentang sesuatu dalam shalat, pada hal sebelumnya dia tidak memikirkan apa pun, itu lah setan yang mencoba menyelami pikiran manusia agar berpaling dari kekhusyu’an.
2. Tafahhum (Penghayatan)
Mengerti dan memahami apa yang dibaca dalam shalat. dengan bekal pemahaman atas apa yang dibaca dalam shalat, seseorang dapat memusatkan fikirannya pada bacaannya. dan setelah memahami arti dan maksud dari bacaan, hendaknya di hayati.
3. Ta’dzim (Membesarkan Allah Subhanahu wa ta’ala)
Mengakui kebesaran Allah adalah pujian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas Maha hebatNya atas segala nikmat yang diberikanNya. kebesaran atas kekuasaanNya yang tak tertandingi, yang menciptakan bumi dan langit berserta isinya, serta kagum atas kehebatan Allah yang maha besar atas segalanya.
4. Haibah (Takut dan Kagum atas kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala)
“Dari Abi Rihanah sesungguhnya ia bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada suatu peperangan, kemudian dia mendengar pada suatu malam Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berdoa, api neraka haram menyentuh orang yang bergadang untuk ibadah di jalan Allah dan api neraka haram menyentuh orang yang air matanya mengalir karena takut kepada Allah. (H.R. ad Darimi)
5. Raja’ (Mengharap ampunan Allah)
QS : 2:218. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
6. Haya’ (Rasa Malu)
QS : 16:19. “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakan”
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang maha mengetahui segala sesuatu yang ada di bumi, perbuatan baik pastilah akan mendapat pahala dan perbuatan buruk menjadi dosa dan kehinaan bagi diri manusia itu. Diri kita yang tak luput dari dosa dan hawa nafsu, tampak begituhinanya kita atas dosa kita di hadapan maha sucinya Allah, dan rasa malunya kita dihadapan Allah, membuat diri merasa takut akan dosa kita dan siksa Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga memacu kita untuk bertaubat dg sungguh sungguh dan selalu berbuat amal kebaikan untuk medapat ridho Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
4 Tanggapan
pada 30 Mei 2011 pada 11:45 pm | Balassalafy totok
mantap, ustadz. Gmn tanggapan wahabiyyun?
pada 31 Mei 2011 pada 1:36 am | Balasmutiarazuhud
Mas, bukan akhlak yang baik kalau kita menghujamkan kepada siapanya atau kepada kaum mananya.
Biarkanlah tulisan kami ini untuk menjadi bahan renungan bagi diri kita masing-masing karena seluruh jiwa manusia telah diilhami mana yang benar dan mana yang salah
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10).
Janganlah meniru-niru mereka yang gemar memberi julukan yang tidak baik maknanya kepada orang-orang yang sudah jelas telah bersyahadat seperti kuburiyun bagi para peziarah kubur wali dan orang-orang sholeh, hizbiyah bagi kaum yang berjama’ah minal muslimin dan asy’ariyun bagi yang menurut mereka sebagai para pengaku pengikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari.
Hal yang paling parah adalah yang menghujat satu kaum sekaligus yakni kaum NU sebagai ahlul bid’ah karena mereka melihat kaum NU melakukan amal kebaikan seperti maulid, tawasul, tahlilan, yasinan, istighotsah, ziarah kubur dll. Padahal mereka tidak dapat membedakan antara amal ketaatan (menjalankan segala kewajibanNya dan menjauhi segala laranganNya) dengan amal kebaikan (amal sholeh).
Kalau menurut ustadz Muhammad Idrus Ramli, bahwa tauladan mereka yakni ulama Ibnu Taimiyah, membuat kesalahpahaman, yaitu mendefinisikan ibadah dalam konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia kategorikan juga sebagai ibadah secara syar’i atau amal ketaatan (perhal yang berhubungan dengan menjalankan kewajibanNya dan menjauhi segala laranganNya).
Sungguh menghujat orang yang telah bersyahadat dengan hujatan ahlul bid’ah pada hakikatnya adalah termasuk pentakfiran juga karena segala kesesatan tempatnya di neraka
Wassalam
pada 31 Mei 2011 pada 9:05 am | Balasmamo cemani gombong
mengenal Alloh ta’alla dgn sebenar benarnya kenal ………..bagaimana dgn yang Alim ilmu namun nggak mau tau tasawuf ??? sholatnya pasti memikirkan Tuhan kira kira ……..
Assalamualaikum
maz..gimana tentang hukum fiqih..apakah tentang hukum sahnya sholat atau tentang adab kelakuan manusia dari hukum fiqih??
Mh0n jwbn’y yah mas..wassalamualaikum
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar