Salahpaham Pemahaman

Kesalahpahaman tentang pemahaman
( manhaj salaf(i) atau wahabi ).
Berikut ini tulisan merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, kesalahpahaman tentang generasi terbaik,http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/
Suatu kesalahpahaman lainnya yang telah berlarut-larut dan masih terjadi sampai zaman modern ini adalah kesalahpahaman tentang pemahaman (manhaj).  Kesalahpahaman yang telah membuat umat muslim kebingungan, dalam keraguan dan bahkan menimbulkan konflik antara umat muslim sendiri.
Sebagian muslim atau kaum muslim mengikuti pemahaman  ulama Muhammad  bin Abdul Wahab, ulama yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah. Mereka disebut kaum Wahabi atau Salaf(i).
Kesalahpahaman terjadi karena mereka menyatakan bahwa pemahaman mereka adalah sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Mereka mengatasnamakan pemahaman mereka sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Lihat tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/01/atasnama-salaf/
Begitu juga , saya agak risih jika menemukan tulisan dimulai dengan

“Pemahaman dalam Islam ……….”, secara tidak disadari merupakan tulisan yang mengatasnamakan Islam, yang bisa mengakibatkan bahwa klo berbeda pemahamannya maka pemahaman yang berbeda bisa diartikan pemahaman di luar Islam ?

Kita sebaiknya tidak mengatasnamakan pemahaman kita atau kaum kita pada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya. Kita harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai pemahaman kita atau sebagai pemahaman kaum kita.  Begitu juga harus tegas mengatakan atau mengakui sebagai penafsiran kita, yang umumnya mengikuti nama yang menafsirkan atau yang memahaminya. Contoh Mazhab Syafi’i, Manhaj Asy’ariah, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir , Tafsir Buya Hamka dll.
Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) akan pemahaman mereka sesungguhnya.
Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, riwayat, lafadz, nash Al-Qur’an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan juga pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.
Pendapat/Pemahaman/Pemikiran seorang muslim bisa  benar dan bisa salah namun perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits adalah yang pasti benar.
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim)
Upaya pemahaman yang telah dilakukan dan disampaikan kepada muslim lainnya atau kaum muslim lainnya harus diakui oleh orang yang melakukan pemahaman  yang kelak harus mempertanggungjawabkan di akhirat nanti.  Kita tahu apapun lisan maupun tulisan kita harus mempertanggung jawabkan di akhirat nanti. Apalagi pemahaman kita menjadi dasar amal atau perbuatan muslim lainnya.
Oleh karenanya pemahaman dengan sistem guru-murid secara temu muka atau lisan, turun temurun (memperhatikan sanad/keterhubungan), sistem peng-ijazah-an pada suatu thariqah lebih baik dibandingkan pemahaman yang digali berdasarkan tulisan atau tekstual semata.
Bayangkan kemungkinan distorsi yang terjadi antara ulama Muhammad bin Abdul Wahab dengan ulama Ibnu Taimiyah yang terpaut ratusan tahun zamannya. Oleh karananya saya katakan bahwa ulama Muhammad bin Abdul Wahab, “mengangkat kembali” metode pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan dicampur dengan pemahaman pribadi beliau sendiri.
Jadi harus kita katakan dengan tegas dan mengakui bahwa  apa yang telah dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab ataupun ulama Ibnu Taimiyah adalah pemahaman mereka masing-masing
Sehingga jika kita menemukan perbedaan pemahaman, kita masing-masing harus memutuskan dengan merujuk kepada  Al-Qur’an dan Hadits.
Kenapa saya katakan masing-masing pribadi yang memutuskan, karena kita bertanggung jawab pada pemahaman kita masing-masing, tidak bisa kita membebankan tanggung jawab kepada orang lain yang telah mengutarakan pemahamannya.  Pemahaman adalah dasar dari sebuah amal / perbuatan. Di akhirat nanti kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan kita didunia dikarenakan buah dari pemahaman si fulan
Firman Allah,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Oleh karenanya, jika kita mengeluarkan sebuah pemahaman, kita wajib mengingatkan orang yang menerima pemahaman itu  untuk selalu merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
Kesalahpahaman lain yang berhubungan dengan kesalahpahaman diatas adalah kesalahpahaman memahami hadits berikut,
Nabi bersabda yang artinya, “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah,  yang satu masuk surga  dan yang lain masuk neraka”.

Berkata para Sahabat : ” Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah ?”
Nabi menjawab : (nama firqah) .

Kita dapat menemukan matan nama firqah yang berbeda  pada hadits atau riwayat lainnya.
Sebagian umat muslim “menggunakan” hadits di atas sebagai “keputusan” bahwa jama’ah  mereka adalah firqah “yang satu masuk surga”. Bahkan lebih keji dengan menyatakan bahwa diluar jamaah mereka adalah sesat, ahlu bid’ah dan kafir. Naudzubillah min zalik.
Sangat berbahaya jika mengukur, menilai saudara muslim atau jamaah lainnya dengan batasan ukuran ilmu atau pemahaman kita sendiri, karena sesungguhnya tingkat pemahaman muslim terhadap agama adalah sangat berbeda-beda tergantung anugerah / karunia yang telah Allah berikan.
Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Al-Baqarah – 269).
Kita harus menghormati perbedaan pemahaman saudara-saudara muslim lainnya.
Hadits-hadits, riwayat-riwayat yang senada dengan di atas , kita pergunakan untuk selalu sadar dan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Sebaiknya kita harus meyakini bahwa “keputusan” atau hasil bahwa “firqah yang masuk surga” adalah hak Allah sedangkan hak manusia hanyalah pada proses, upaya atau ikhtiar pemahaman semata.
Sedangkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an  tentang kaum yang dicintaiNya ada dalam firmaNya  yang artinya,
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai merekadan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Pada zaman modern ini, malah kita dapatkan menemukan suatu kaum yang bersikap keras kepada orang muslim dan berlemah-lembut kepada orang-orang kafir. Kitapun dapat menemukan para penguasa negeri yang muslim namun seolah-olah  keras/tegas terhadap rakyatnya yang muslim dan tetap melanjutkan perjanjian dengan orang-orang kafir untuk mengolah anugerah Allah yakni hasil bumi, pertambangan dll.
Padahal Allah telah memperingatkan  kita lewat firmanNya yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Kita harus berupaya untuk termasuk kedalam kaum yang Allah cintai itu
Bagaimana agar kita  atau kaum kita dicintai Allah ?
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Selengkapnya tentang zuhud, silahkan baca tulisan pada,
Inti dari zuhud itu adalah menjadi muslim yang memahami dan menjalankan seluruh pokok-pokok dalam ajaran agama Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  Tasawuf).
Upaya untuk menjadi muslim yang terbaik, muslim sholeh, muslim berakhlakul karimah, muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa segala perbuatan di lihat Allah.
Muslim yang sholeh, sebagaimana Tauladan  kita, Junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika mi’raj dan bertemu dengan para Nabi terdahulu disambut dengan sambutan “Saudaraku yang sholeh”, “Nabi yang sholeh” atau “Anakku yang sholeh”.
Begitu juga ketika mi’raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta‘ala, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin” yang artinya  “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.  Do’a yang selalu kita baca pula setiap sholat.
Muslim yang sholeh yakni muslim yang selalu sadar dan mengingat Allah. Setiap perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita penuh berinteraksi dengan Allah.
Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya yakni Al-Qur’an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits
“Dengan kitab (al Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus” (QS-al Maaidah [5]: 16).
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2] : 2).
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”(QS  al Baqarah [2] : 147)
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quraan itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” (QS al An’aam [6]: 114)
Wassalam
Zon di Jonggol

34 Tanggapan
betul akh….semoga kita terhindar dari ANA KHAIRUM MINHU =saya lebih baik dari dia, yang terkadang itu ada pada kelompok2, harakah…




assalamu’alaykum akhi Zon…
sekedar mengingatkan… apakah akhi tidak terlalu berlebihan dengan tulisan “Kesalahpahaman tentang pemahaman

(manhaj salaf)” padahal kalau melihat ulama dan para tabi’in tidak ada yang berani atau mengatakan ulama dan tabi’in yang lain salah.
bagaimana sejarah2 4 imam mahzab saling menghormati.. dan tidak menyalahkan pendapat yang salah.

Alloh maha kuasa mengatur alam semesta ini dengan teratur, bumi, bulan danbintang, dan mengatur rejeki manusia, burung dan binatang dari laut terdalam hingga langit ke 7

tidak sama sekali kesulitan..

hingga nanti, apa yang kita lakukan dan kita kemukakan akan tidak sulit, mudah sekali menghisapnya.
maka akhi Zon, hati-hati dengan berbicara dan menyalahkan sesama muslim. karena omongan kita akan di pertanggungjawabkan… dihadapan Alloh tidak lah sulit minghisabnya seperti mudahnya Alloh mengatur alam semesta ini..
Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Ada tiga yang bisa merusak manusia : para pemimpin yang menyesatkan, debatnya seorang munafik menggunakan Alqur’an (sedangkan Alqur’an adalah haq) dan kesalahan seorang alim”




pada 31 Juli 2010 pada 6:27 pm | Balasmutiarazuhud
Yang diulas dalam tulisan adalah pengakuan bahwa manhaj salaf(i) atau wahabi = manhaj salaf. Kita harus bisa membedakannya.
Lagipula bagi saya, tidak ada nama manhaj Salaf, karena salaf itu artinya terdahulu, sedangkan orang terdahulu ada yang baik ada pula yang tidak baik.
Sedangkan salafush sholeh, adalah orang-orang terdahulu yang sholeh yakni, para Sahabat, para Tabi’in dan para Tabi’ut Tabi’in. Baca juga tulisan saya http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/




salafi itu artinya pengikut salaf mas, pendahulu, pendahulu yang mana?pendahulu kita yg shalih, safunash shalih… Kita mengikuti pemahaman mereka dlm memahami al qur’an dan as sunnah, krn merekalah yg telah mendapat pujian sebagai generasi terbaik, mereka pula yg Allah telah puji dengan keridla’an, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah. Itulah mereka pendahulu, salaf kita yg shalih yg hendaknya kita beraga sebagaimana mereka beragama. Dan demikianlah yg dimaukan dgn istilah salafy, pengikut salaf, salaf yg shalih. Jadi, berlebihan jika anda mempermasalahkan manhaj salaf, salaf siapa yg diikuti?salaf ada yg baik dan ada yg buruk. Masa anda tidak mendapati penjelasan yg seperti ini dari para ustadz yg menisbahkan dirinya kpd manhaj salafy, jika anda memang jujur? Jika anda belum mengetahuinya, semoga penjelasan yg masih ringkas d atas dpt membuat anda paham apa yg dimaukan dengan salafy, amin…

Tentu ini lebih baik dr pada anda memaksakan diri kepada sebuah pendapat yg sebenarnya jauh dari keadaan yg sebenarnya tentang pendapat yg anda yakini… Lain hanya jika ada niatan cuma ingin menjelek-jelekkan, meskipun dgn cara yg tidak ilmiah…





mengapa hanya dibatasi dgn muhammad bin abdul wahhab dan ibnu taimiyah saja, di mana para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabiuttabi’in yang mereka menjadi rujukan salafiyyin dalam memahami al qur’an dan assunnah jika anda bersikap adil dan jujur? Atau lagi2 anda belum mengetahui tetapi memaksakan diri mengambil kesimpan tentang salafy? Coba anda baca kembali komentar singkat saya, kemudian ikhlaskan diri ngaji kepada ustadz salafy, insya Allah anda akan dapati penjelasan mengikuti pemahaman para ulama salafush shalih.




pada 2 Agustus 2010 pada 6:47 pm | Balasmutiarazuhud
Rujukan salaf(i) ?

Apakah antum menganggap muslim yang lain tidak merujuk kepada Salafush Sholeh ?
Mengaji kepada salaf(i)?
Sebagian muslim telah berkonsultasi dengan saya dan juga menceritakan kepada saya, apa yang terjadi kepada mereka setelah mengikuti pengajian kaum salaf(i). Mungin juga mereka mengaji dengan ulama para pengaku salaf(i), wallahu a’alam

Silahkan baca tulisan yang lain

atau





Lha memang demikian yang dimaukan dengan istilah salafy, pengikut salafush shalih… Maka siapapun dari kalangan kaum muslimin, di tempat dan di waktu manapun, yang ia memahami dalil2 syariat dengan pemahaman salafush shalih, maka itulah yg dimaukan dengan istilah salafy. Jadi bukanlah yg dimaksud salafy itu kelompok tertentu atau pemikiran tertentu dari kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh umat Islam, bukan sama sekali…




pada 3 Agustus 2010 pada 1:48 ammutiarazuhud
Sebagian muslim lainnya yang mengikuti Salafush sholeh namun mereka tidak menamakan diri atau kaum mereka salaf(i), karena mereka mengetahui perbedaan pemahaman dengan salaf(i) yakni pembagian tauhid menjadi tiga. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan antara Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Mereka juga tidak sependapat dengan salaf(i) yang memaknai dzahir sifatNya yang diuraikan dalam ayat-ayat mutasyabihat. Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah atau sebagian lain memaknainya dengan yang lain untuk menjelaskan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) atau mencegah kekufuran karena menyerupai kaum musyabbihah atau mujasimah.

Silahkan baca juga tulisan pada

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran“.
Jadi kita harus dapat membedakan , yang mana yang mengikuti Salafush sholeh dan yang mana yang mengikuti orang yang berupaya mengikuti Salafush Sholeh atau dikenal dengan Salaf(i) atau Wahabi. Orang yang berupaya mengikuti Salafush sholeh antara lain Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibnu Abdul Wahab. Bagaimana hasil upaya mereka silahkan pahami sendiri.




pada 2 Agustus 2010 pada 8:04 pm | Balascahyosetiadi
Tentu saja orang yang Anda kategorikan sebagai Wahabi meradang, lah Anda yang katanya juga tidak sepakat dengan Islam Liberal hanya mengetengahkan bantahan dan ajakan keluar dari wahabi tapi tidak ada rubrik khusus bantahan terhadap IslamLib dan ajakan untuk meninggalkan Islam Lib.

Kalau Anda mau terlihat imparsial, sila menghadirkan bantahan terhadap dua-duanya, IslamLib dan wahabi. Juga sekalian dengan muslim yang sering menyernag-nyerang itu, itu juga perlu dinasehati….
Saya harap Anda bisa menjadi imparsial….
Wallohu a’alm.





pada 2 Agustus 2010 pada 8:27 pm | Balasmutiarazuhud
Islam Liberal, sudah jelas dengan adanya Fatwa MUI.

Klo mau lihat pendapat saya tentang Liberalisme, silahkan baca tulisan pada





bismillah…

Pembagian tauhid menjadi tiga adalah hasil dari penelitian thd nash al qur’an dan as sunnah. Sebagaimana dalam hal fiqih, shalat misalnya, dahulunya tidak dikenal istilah syarat shalat, wajib shalat, rukun shalat, dsb. Kemudian, para ulama melakukan penelitian thd dalil2 tentang shalat dan agar umat lebih mudah mempelajari dan mengamalkannya, maka muncullah konsep tentang rukun shalat, syarat syah shalat, dll. Maka demikian pula dengan pembagian tauhid menjadi tiga. Tauhid asalnya satu, mengesakan Allah. Akan tetapi, agar umat lebih mudah memahami dan merealisasikan tauhid tsb maka para ulama yg melakukan penelitian thd nash2 membagi tauhid mjd 3. Bahwasanya ayat2 tentang tauhid datang dalam berbagai bentuk, ada yg menerangkan perbuatan-perbuatan Allah seperti mencipta alam semesta, mengaturnya, memberi rizki, menurunkan hujan, dan sebagainya, yang kemudian diistilahkan dengan tauhid rububiyah. Datang juga ayat dalam bentuk keterangan tentang nama-nama dan sifat-Nya yang mulia lagi agung yg kemudian dikenal dgn tauhid asma dan sifat. Juga ayat ayat yang datang menerangkan kewajiban hamba agar beribadah hanya kepada Allah semata, menyembah kepada-Nya dan meninggalkan peribadahan kepada yang selain Dia, yang kemudian dikenal dengan tauhid uluhiyyah. Jadi pembagian ini bukan sesuatu yg mengada-ada akan tetapi dia adalah hasil dari penelitian terhadap al qur’an dan as sunnah tentang tauhid.
Terkait ayat-ayat sifat, maka kita menerimanya sebagaimana datangnya, kita maknai ayat tersebut sebagaimana adanya, adapun bagaimananya atau kaifiyahnya, kita serahkan hal itu kepada Allah. Akan tetapi untuk maknanya, maka kita tetapkan sebagaimana ia datang, Allah menetapkan bahwa Ia mempunyai tangan, maka kita tetapkan bahwa Ia punya tangan. Seperti apa tangan Allah, itu yg kita tidak tahu dan tidak mengatakan bagaimananya, karena Allah tidak mengabarkan bagaimana tangannya, sehingga kita tidak boleh berangan-angan bagaimana tangan Allah. Tapi kita tetapkan Allah mempunyai tangan yang sesuai dengan keagungan dan ketinggian-Nya, kenapa? Karena Allah sendirilah yang menerangkan bahwa Ia mempunyai tangan. Maka apa alasannya kita menolak sifat tangan sementara Allah sendiri menetapkan.
Sebagian kita barangkali mengatakan kalau kita tetapkan Allah punya tangan berati kita menyamakan Allah dengan mahluk, dong.. Jawabannya tidak demikian. Allah berfirman: ‘Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’. Kita sering mendapati potongan ayat ‘tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya’ dibawakan penulis ketika berbicara tentang ayat sifat, tetapi sayang tidak dibawakan potongan selanjut-Nya ‘dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’. Padahal dari ayat ini ada kaidah penting yg diambil para ulama dalam membahas asma dan sifat. Yang pertama dalam potongan ayat ‘tidak ada sesuatu yg serupa dengan-Nya’ kita mensucikan sifat Allah dari sama dengan mahluk-Nya. Allah tidak sama dengan mahluk-Nya, akan sifatnya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Meskipun demikian, kita





meskiun demikian, kita mensucikan Ia dari sama dengan mahluk-Nya bukan berati kita menolak sifat yang telah Ia tetapkan sendiri dalam firman-Nya, karena kelanjutan dari ayat ini adalah ‘dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’. Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Jika Allah telah menetapkan, maka untuk alasan apa kita menolaknya, atau memalingkan kepada makna yang lain dalam keadaan al qur’an turun dalam bahasa yang jelas, yang bisa dipahami maknanya? Maka kita tetapkan sebagaimana Allah tetapkan, termasuk sifat tangan bagi-Nya, adapun hakikat bagaimana tangan Allah, kita tidak mengetahuinya, hal itulah yang kita serahkan kepada Allah. Pasti tidak sama dengan mahluk-Nya, akan tetapi sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

Wallahu a’lam..





pada 3 Agustus 2010 pada 2:01 pm | Balasmutiarazuhud
Benar, Dia telah menetapkan, namun ulil albab mengambil pelajaran akan firman Allah atas kehendakNya, dalam bentuk karunia pemahaman yang dalam (al-hikmah) bukan pemahaman secara dzahir.




Adalah para sahabat, mereka juga ulil albab, bahkan lebih utama dari orang-orang yang datang setelah mereka. Dan Al Qur’an, turun dalam bahasa mereka, bahasa arab yang tentu mereka sangat paham makna-maknanya. Dalam keadaan demikian, ternyata kita tidak dapati riwayat bahwa mereka mamaknai ayat-ayat tentang sifat Allah, mereka palingkan maknanya kepada makna yang lain yang tidak sesuai dengan lafadz ayat yang datang. Tidak kita dapati, ketika Allah menerangkan bahwa ia punya tangan, mereka memalingkan makna tangan kepada kekuasaan misalnya. Ketika Allah terangkan bahwa Ia mempunyai sifat wajah, tidak kita dapati bahwa mereka memalingkan makna wajah kepada makna yang lain.
Apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa yang demikian itu berati menyamakan Allah dengan mahluk, jawabannya tidak. Kita tetapkan apa yang Allah tetapkan bagi-Nya, dan kita nafikan apa yang Allah nafikan bagi-Nya. Maka jika Allah telah tetapkan bahwa ia mempunyai tangan, maka kita harus mengimaninya, kita tetapkan bahwa Allah mempunyai tangan. Ketika Allah tetapkan bahwa Ia mempunyai wajah, maka kitapun harus mengimaninya, dan menetapkan bahwa Allah mempunyai wajah. Jika demikian, apakah berati kita menyamakan Allah dengan mahluk-Nya. Tentu tidak? Kita tetapkan sifat yang demikian karena Allah telah tetapkan sifat tersebut bagi-Nya, tetapi kita juga katakan bahwa tangan Allah tidak seperti tangan mahluk-Nya, wajah Allah tidak seperti wajah mahluk-Nya, akan tetapi sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
Allah berfirman :”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat”.
Dan sungguh beruntung, seseorang yang diberi kemudahan oleh Allah untuk mampu mengambil pelajaran dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, misalnya ketika Allah terangkan bahwa Ia Maha Melihat, maka iapun meyakininya dan mengambil pelajaran darinya sehingga bertambahlah rasa takutnya kepada Allah, ketika ia hendak berbuat maksiat, ia teringat bahwa Allah Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya. Maka iapun mengurungkan niatan maksiatnya karena merasa perbuatan-Nya dilihat oleh yang Maha Melihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentu, yang demikian bukan dengan memalingkan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. Akan tetapi, ia tetapkan sifat tersebut bagi Allah, dan ia sucikan sifat Allah tersebut dari sama dengan mahluk-Nya.
Wallahu a’lam…




pada 4 Agustus 2010 pada 9:19 pmmutiarazuhud
Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai makna samar (tidak jelas), lebih dari satu. Lawan dari ayat muhkamat.
Contoh firman Allah, yang artinya

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa” (QS adz Dzaariyat [51]: 47)

lafadz dzahirnya bi aidiw , makna dzahirnya “dengan tangan”, di ta’wilkan menjadi “dengan kekuasaan”
Firman Allah, artinya: “Tidak ada yang mengetahui takwilnya (ayat-ayat mutasyabihat) kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” (Q.S. Ali Imran: 7)
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi berdoa untuk Ibn Abbas: “Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al Qur’an” (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan al Hafizh Ibn al Jawzi)
Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud bi aidiw dalam adz dzaariyat : 47 adalah “dengan kekuasaan”, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.
Ada dua manhaj dalam memaknai ayat-ayat mutasyabihat

1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil (membaca dan mengimani) dzahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya

Selengkapnya tentang ta’wil , silahkan baca tulisan


Intinya ta’wil untuk menghindari kekufuran dan untuk penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka)
Silahkan antum jika mempertahankan bahwa,
Allah mempunyai wajah, walaupun wajahNya tidak serupa dengan makhluk

Allah mempunyai tangan, walaupun tanganNya tidak serupa dengan makhluk





Salah paham?wajar, yg penting ada keinginan utk introspeksi diri dengan belajar dan belajar lagi. Yg tdk salah paham sesama ulama sufi/tasawuf,terkecuali disalah pahami oleh pentafsir kitab. Dan yg demikian juga wajar,karena orang lain yg mengarang orang lain yg mentafsir.




blog yang bagus dan santun, mohon ijin kang saya mo copy / download artikelnya




pada 13 Oktober 2010 pada 9:42 am | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, silahkan disebarluaskan agar kita dapat turut meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada.




Mohon izin untuk saya bagikan di facebook yang saya miliki




pada 25 Oktober 2010 pada 1:48 am | Balasmutiarazuhud
Silahkan. Semoga Allah ta’ala memudahkan dan meridhoi terhadap keinginan antum menyebarluaskannya.

Tulisan terkait





pada 7 Januari 2011 pada 2:00 pm | Balasproses metamorfosa
Tanpa disadari oleh sdr2 anda sendirilah yang telah memecah umat ini melalui artikel yang menyudutkan, berserah dirilah kepada Allah Doakan yang terbaik buat umat ini agar kelak kita sama sama menghadap kepadaNya dalam keadaan Islam dan Iman, Silahkan anda mempercayai ajaran Islam menurut ilmu yang sdr dapat dari ulama anda tapi tidak usah mengkritik pendapat yang lain




pada 7 Januari 2011 pada 4:05 pm | Balasmutiarazuhud
Kami hanya menyampaikan apa yang telah kami pahami.
Berikut cuplikan tanggapan Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki terhadap kaum Wahabi/Salafi masa sekarang.
Banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).
Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan.
Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits).
Pengakuan ini pun sangat mulia.
Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن
“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).
Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji.
Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.
Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.
Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”
Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.
Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas.
Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata,
”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini”.
“Wahai pembaharu agama, Amr bin Luhai!”
Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi.
Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau.
Selengkapnya silahkan baca pada






pada 10 Januari 2011 pada 3:29 pm | Balasmamo cemani gombong
he….he….abu salman apa ngga bid’ah itu pembagian Tauhid jad 3 …..semua bid’ah dholalah kata nt di blog lain …????




assalamu’alaikum….

kang blog ummati di blokir kah…? kangen baru mau buka kok hilang….
maaf diluar konten…makasih kang





pada 10 Agustus 2011 pada 10:40 pm | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam..

iya blog ummati sedang di suspend oleh wordpress.com tapi belum ada kabar penyebabnya.





Ummati Press, on 10 Agustus, 2011 at 2:24 pm said:
Alhamdulillah, kami sangat berterimakasih atas partisipasinya yg penuh antusias dari teman-teman semuanya. Semoga dicatat Allah swt sebagai amal Shalih, barokallohu fikum ajma’iin, amin….
Besok kami akan cek sekaligus membayar sewa hostingnya. Insyaallah hari senin depan sudah bisa online kembali dg alamat nanti akan diumumkan di blog ini.
Adapun mengenai kelebihan dana tsb akan digunakan untuk memperpanjang sewa hosting dan domain tahun berikutnya.
Bersama ini sekaligus kami umumkan sekali lagi sebagaimana telah diumumkan oleh Ustadz Artikel Islami, bahwa no. Rek Bank tsb sudah tidak menerima sumbangan lagi.
Demikian, kami sangat berterimakasih kepada Ustadz Artikel Islami atas partisipasinya menjadi fasilitator suksesnya silaturrahmi yg sangat unik ini.
Mohon sabar menunggu PENAMPAKAN kembali Ummati Press di dunia maya. Terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada all Aswaja pecinta Ummati Press, lebih-lebih khususnya kepada para donatur yg telah ihlas menyumbangkan dananya………




kabarnya di artikel islami bang …..




pada 12 Agustus 2011 pada 4:17 am | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, terima kasih mas Mamo atas infonya






Assalamu’alaikum..
Maaf, saya mua’alaf.. yg saya pelajari dlm perpustakaan teologi dahulu, istilah wahhabi memang disengaja dihembus2kan yahudi & bangsa2 kolonial (dahulu & sampai sekarang) untuk mencegah kembalinya umat islam kepada syari’at islam yg murni, yg kala itu ada seorang ustadz/syaikh bernama Muhammad bin Abdul Wahhab menggelorakan semangat kembali ke syari’at islam yg dibawa ulama2 terdahulu (yg berujung pd syari’at yg msh murni dibawa Rasulullah).
Itulah Yahudi & para kolonial, tidak menghendaki (utamanya, tdk menghendaki umat islam kuat didunia dgn mempelajari & mengamalkan syari’at yg benar), maka dibuatlah makar..tuduhan aneh2 thd ustadz/syaikh wahhab & jg kpd ustadz/syaikh masa kini (sampai sekarang). Kasusnya tdk beda dg Imam as-Syafi’i dahulu kala yg jg sering dituduh syi’ah (pdhl syi’ah adlh bikinan abdullah bin saba’ yg seorang yahudi). Gak jauh dari masa kita skrg, para ulama2 kita jaman perjuangan dahulu selalu dikejar2 & difitnah macan2 oleh penjajah belanda.
Kesimpulannya, jangan takut belajar syari’at islam yg murni deh.. pelajari al-qur’an & sunnah2 yg shahih jaman sekarang tidaklah sulit spt jmn dahulu saya waktu blm ada internet koq.. Jalani sunnah Rasulullah yg shahih jgn geli dg sebutan aneh2 (krn sudah risikonya jalani sunnah yg shahih diakhir zaman pasti dicoba oleh Allah dg ujian2) disebut wahhabi lah.. salaf lah.. terlalu tunduk nurut ikuti perintah Allah & Rasulullah lah.. Krn, pngalaman saya klo diluar negeri tdk saya jumpai tuduhan aneh2 spt didlm negeri sendiri. Namun Alhamdulilah, kajian2 ilmu agama islam dg metode salaf semakin pesat di indonesia jg lbh bisa diterima oleh akal & hati..terutama oleh kita2 yg mu’alaf yg selalu mencari inti kebenaran (bkn mencari kebanyakan).
Ada sedikit saran buat yg punya blog, lebih jujurlah dalam menyampaikan sesuatu.. bahasa2 mas memang nampak indah, manis, sejuk.. namun dibalik itu msh banyak menyimpan-menebar kebencian, kebohongan, amarah, tuduhan2, fitnah2..dsb. Ber-islamlah dengan kaffah.. Allah yg menurunkan & Allah pula yg menjaganya (ke otentikan/keaslian-nya sampai kiamat). Islam itu indah.. Sukses semuanya..




pada 18 Agustus 2011 pada 8:27 pm | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam

Mas Adeniel, jadi menurut pendapat antum hanya Muhammad bin Abdul Wahhab yang membawa syari’at yg msh murni sebagaimana yang dibawa Rasulullah ?
Dari mana Muhammad bin Abdul Wahhab mengaetahui syariat yang masih murni sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah ?
Sebagian besar beliau mengetahui syariat yang dibawa oleh Rasulullah melalui tulisan atau lafadz ulama salaf yang sholeh. Apakah pemahaman beliau pasti benar ? Belum tentu dan beliau tidak dikenal sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Oleh karenanya lebih baik kita mengikuti pemahaman Imam Mujtahid Mutlak atau Imam Mazhab yang empat. Mereka masih bertemu langsung dengan minimal Tabi’ut Tabi’in. Merekalah yang melihat implementasi pemahaman Salaf yang sholeh terhadap syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Para Imam Mazhab melihat dan menuliskan dalam kitab fikih agar kita yang tidak melihat langsung Salafush Sholeh dapat seolah melihat melalui kitab fikih mereka.





Assalamualaikum Wr. WB.

Teruslah berjuang mas dengan blog yang sangat baik ini. Biarkan mereka yang tak sependapat dengan kita membiri komentar miring atas isi blog ini karena memang mereka tidak mengerti apa yang mereka pahami. Mereka hanya mengambil hujjah hanya dari satu sisi saja sedangkan hujjah yang lain mereka tinggalkan. Sehingga mereka merasa paling benar sendiri. Saya selalu mendukung akan kelanjutan artikel-artikel yang mas tulis di blog ini.
wassalamu’alaikum wr. wb.





pada 19 Agustus 2011 pada 11:06 am | BalasBima AsSyafi'i
@Adeniel

Mhn maaf saya salut sama Anda sebagai seorang mualaf sudah bersikap seolah-olah paling mengetahui masalah aqidah dan hukum Islam. Untuk meyakinkan saya, sudikah Anda bersumpah demi Allah bahwa Anda seorang mualaf? Terima kasih saudara muslimku.





AssWrWb. Saya minta izin untuk mengcopy artikel2 Kang Dzon untuk bahan bacaan kami semoga menjadi ilmu yang manfaat barokah.amien.

Buat blog ini terus aja berjuang jangan hiraukan ocehan orang yang mau menerima pemikiran2 .
WssWrWb
Wong NU Malang





pada 16 Oktober 2011 pada 7:39 am | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, kang Lutfie silahkan di copy dan disebarluaskan.

Oh ya nama kami Zon bukan Dzon nanti kami harus selamatan kalau sampai mengubah nama.

Wassalam
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar