Sebagian ulama sekarang membuat pendapat, memutuskan, menilai atau bahkan membuat fatwa berdasarkan kemampuan pemahaman mereka semata. Bahkan sebagian ulama dengan kemampuan pemahaman yang ada pada mereka, gemar tajrih, tahdzir, boikot, hajr, tabdi, takfir. Seolah mereka “mewakili” Allah namun ada kemungkinan sesungguhnya belum merasakan “keberadaan” Allah.
Saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah / Hadits bukanlah disebabkan semata-mata karena aku atau saya atau ilmu atau akal/pendapat/asumsi atau apalagi dengan hawa nafsu. Allah telah sampaikan bahwa pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah dilakukan hanya oleh orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Semua manusia diciptakan mempunyai akal. Namun yang dimaksud orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firman Allah yang artinya,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
Jadi kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah hanya melalui cara/jalan “mengingat” Allah. “Berkomunikasi” dengan Allah yang mengeluarkan firman. Syarat untuk “berkomunikasi” dengan Allah adalah dengan “mengenal” Allah terlebih dahulu atau yang dikenal dengan ma’rifatullah. Ujung-ujungnya kita perlu memahami ilmu Tasawuf.
Sayangnya sebagian ulama sekarang, tanpa menyadarinya, menolak Ilmu Tasawuf, mereka bersandar pada akal, keakuannya, kemampuannya, keilmuannya. Sehingga mereka tersibukkan dengan “perdebatan” tanpa mendapatkan pembeda (al-furqan).
Sedangkan ulama-ulama sufi, kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sebagaimana yang saya sampaikan, dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah, dalamhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/kaum-sufi/
Sebagaimana yang saya sampaikan, dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah, dalamhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/kaum-sufi/
Sungguh benar apa yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya yang artinya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al-Fatihah : 5)
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al-Fatihah : 5)
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar