Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih ?
Sumber tulisan : http://alnof.multiply.com/journal/item/145
Sebagian kawan kita yang menyatakan Allah berada di langit atau bersemayam di atas `arsy berdalil dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang kisah seorang budak wanita yang berdialog dengan Rasul Saw.. Dalam hadits tersebut Rasul Saw. melakukan dialog untuk mengetahui keimanan atau indikasi yang menunjukkan bahwa budak wanita yang dimaksud sudah beriman atau belum? Budak dimaksud apakah telah memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi kafarah, berupa pembebasan seorang budak beriman bagi muslim yang melanggar perbuatan tertentu di dalam syariat atau tidak?!
Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw. dengan budak seperti redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata: “datangkanlah ia kesini”. Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
Secara umum jumhur umat menolak hadits ini, disebabkan karena faktor:
1. Hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan `aqli[1].
1. Diantara dalil naqli:
a. QS: An Nahl: 17
Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?
b. QS: Al Syura: 11:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
c. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Rasul Saw. ketika menanyakan atau menguji keimanan seseorang selalu dengan menggunakan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan syahadat Muhammad adalah utusan Allah. Hadits seperti ini mencapai kapasitas mutawatir!
2. Dalil `aqly
a. Allah mahasuci dari tempat dan bertempat pada sesuatu apapun dari makhluqNya. Allah mahasuci dari waktu dan pengaruh ruang waktu. Karena keduanya adalah milik Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Razi di dalam menafsirkan firman Allah QS: Al An`am: 12: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tempat dan semua yang berada pada tempat adalah milik Allah.
Dan firman Allah QS: Al An`am: 13:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang hari.”
Ayat ini menjelaskan bahwa waktu yang bergulir dan semua yang masuk ke dalam ruang waktu adalah kepunyaan Allah, bukan sifatNya.
b. Akal manusia secara pasti dan tegas menyatakan bahwa Allah, al Khaliq pasti beda dengan makhluqNya. Bila makhluq bertempat/tidak terlepas dari tempat tertentu, maka Allah tidak bertempat tertentu. Karena Allah beda dengan makhluqNya. Bila makhluq berada atau dipengaruhi oleh dimensi waktu, sedangkan Allah tidak!
c. Allah bersifat qadim, oleh karena itu Allah tidak berada pada ruang tempat tertentu, baik sebelum diciptakan `arsy dan langit ataupun setelahnya. Apabila Allah berada di atas langit atau di atas `arsy setelah Allah menciptakan keduanya, berarti Allah memiliki sifat hadits, karena keberadaan Allah di atas langit dan `arsy telah didahului oleh ketiadaan langit dan `arsy dan Allah tidak berada di atas langit dan `arsy sebelum diciptakan keduanya. Setelah ada, baru kemudian bersemayam diatasnya. Ini artinya kita menyifati Allah dengan sifat hadits. Sedangkan secara kaidah dinyatakan: bahwa semua yang bisa dihinggapi oleh sifat hadits adalah hadits.
2. Hadits ini merupakan hadits yang menjadi perbincangan para ulama sejak dahulu dan sampai kini, yang tidak diterima oleh sebagian orang karena bid`ah yang mereka lakonkan[2]. Para hafiz di bidang hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!
Mari kita kaji lebih lanjut hadits yang menceritakan tentang kisah budak wanita ini secara komprehensif, komparatif dan kritis.
Perhatikanlah redaksi hadits di dalam Sahih Muslim secara lengkap:
روى عن معاوية بن الحكم السلمي قال: بينا أنا أصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ عطس رجل من القوم فقلت يرحمك الله فرماني القوم بأبصارهم فقلت واثكل أمياه ما شأنكم ؟ تنظرون إلي فجعلوا يضربون بأيديهم على أفخاذهم فلما رأيتهم يصمتونني لكني سكت فلما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فبأبي هو وأمي ما رأيت معلما قبله ولا بعده أحسن تعليما منه فوالله ما كهرني ولا ضربني ولا شتمني قال إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن أو كما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قلت يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنهم (قال ابن المصباح فلا يصدنكم ) قال قلت ومنا رجال يخطون قال كان نبي من الأنبياء يخط فمن وافق خطه فذاك قال وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [ الذئب ؟ ؟ ] قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بني آدم آسف كما يأسفون لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فعظم ذلك علي قلت يا رسول الله أفلا أعتقها ؟ قال ائتني بها فأتيته بها فقال لها أين الله ؟ قالت في السماء قال من أنا ؟ قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة
Diriwayatkan dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya shalat bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: “Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!” Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul saw.. Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.” Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw.. Aku kemudian menjawab: “Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun. Beliau berkata: “Jangan datangi mereka!” Aku kemudian menjelaskan bahwa diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan dan bersikap pesimistis). Beliau mengatakan: “Itu hanyalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling). Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami ada yang menulis dengan tangan mereka. Rasul Saw. berkata: dari kalangan Nabi juga ada yang menulis (khat) dengan tangan, barangsiapa yang sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. Dia kemudian berkata: saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor srigala telah memangsa seekor kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain. Kemudian aku menamparnya (budak wanita) dengan sekali tamparan. Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu hal yang besar bagiku. Akupun berkata: “Apakah aku mesti membebaskannya?” Rasul Saw. menjawab: “Datangkanlah ia kesini!”. Kemudian akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw. kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di langit”, Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu Rasul Saw. bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia adalah seorang yang beriman” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan beberapa hal penting kepada kita, diantaranya
1. Sekelumit pelajaran yang bisa dipetik dari hadits, diantaranya;
a. Rasul Saw. mencontohkan metode mengajar yang tauladan.
b. Hadits ini menceritakan tentang masalah membayar kafarah berupa pembebasan seorang budak yang disyaratkan mesti beriman. Rasul Saw. memastikan apakah budak yang akan dibebaskan sudah beriman?!
c. Di dalam hadits menceritakan tentang status periwayat hadits yang baru masuk islam.
d. Di dalam hadits menceritakan keadaan kaum si periwayat hadits.
e. Di dalam hadits diceritakan cara Rasul Saw. mengetahui bahwa si budak seorang beriman atau bukan? Berdasarkan indikasi yang nampak oleh Rasul Saw..[3]
2. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman”, bab “kafarah dengan pembebasan budak beriman”, dan juga bukan pada bab “pembebasan budak”. Artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah.
3. Imam Nawawi dalam menjelaskan penghujung hadits yang merupakan dialog antara Rasul Saw. dengan budak wanita, mengatakan bahwa ulama memiliki banyak persepsi dalam memahaminya, secara ringkas ulama memahaminya dengan 2 metode;
a. Mengimani hadits sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Saw. tanpa mengkaji lebih jauh makna yang dimaksud dan meyakini bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah sesuatupun serta mensucikan Allah dari segala sifat makhluq.
b. Takwil dengan makna sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah.[4]
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat[5]:
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits[6];
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi[7]. Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman”. Samahalnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain. Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA[8]
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas dengan menggunakan redaksi:
فقال لها: أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)
RIWAYAT KEDUA
أوردها الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة العنبرى عن عطاء بن يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: ( فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟) قالت: الله
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata: disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”
Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits secara komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam Malik.[9]
Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.![10]
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah seorang rijal Imam Muslim. Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar tentangnya: “Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang yang hafiz”. Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakannya sebagai seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang diriwayatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah). Abu Hatim berkomentar tentangnya: “Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis hadits-haditsnya”. Imam Nasa`i juga mengomentari: “tidak apa-apa dengannya, artinya sanad darinya adalah berderajat hasan”. Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu.[11]
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab (keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian adanya lafaz “dimana Allah?” Beghitu juga dengan pernyataan: “berada di langit”. Keduanya merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.
Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat serta jarang menyertai Rasul Saw. sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam. Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih Muslim di awal, “saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk islam”. Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain juga membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami syariat -yang di dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih matang.
Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits lain, yang diriwayatkan bukan melalui jalur beliau.[12]
Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi:
Ada riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di dalam Bab zhihar pada sub bab “membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman”.
Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari Abu Hurairah;
عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِهَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita): “dimana Allah?” kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi kepadanya “dan saya siapa?” Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “engkau adalah seorang utusan Allah”. Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: “Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman”.[13]
Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan riwayat yang sebelumnya, menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:
فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله
Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya[14]. Isyarat ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah seorang non arab sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat. Isyarat ke langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang awam dan mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan mereka. Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih Muslim, maka Rasul Saw. menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka[15]
Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw. dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?![16]
ANALISA RIWAYAT DARI JALUR SELAIN MU`AWIYAH BIN HAKAM YANG MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA DENGAN MENGGUNAKAN REDAKSI أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ “(APAKAH ENGKAU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH?)”
RIWAYAT PERTAMA:
Bersumber dari periwayat Atha` bin Yassar -juga terdapat di dalam kitab Mushannaf Abdul Razzaq-:
عن ابن جريج قال: أخبرنى عطاء أن رجلا كانت له جارية فى غنم ترعاها وكانت شاة صفى- يعنى غزيرة فى غنمه تلك- فأراد أن يعطيها نبى الله صلى الله عليه وسلم فجاء السبع فانتزع ضرعها فغضب الرجل فصك وجه جاريته فجاء نبى الله صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك له وذكر أنها كانت عليه رقبة مؤمنة وافية قد هم أن يجعلها إياها حين صكها، فقال له النبى صلى الله عليه وسلم: إئتنى بها! فسألها النبى صلى الله عليه وسلم: أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت: نعم. وأن محمدا عبد الله ورسوله؟ قالت: نعم. وأن الموت والبعث حق؟ قالت: نعم. وأن الجنة والنار حق؟ قالت: نعم. فلما فرغ، قال: اعتق أو أمسك!
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku dikhabarkan oleh `Atha`, bahwasanya seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan yang dipekerjakannya untuk mengembalakan kambingnya dan kambing-kambing ini merupakan kambing pilihan – yakni dari kambingnya yang banyak itu-. Kemudian ia bermaksud memberikannya (kambing tersebut) kepada Nabi Saw.. Lalu tibalah binatang buas dan menerkam kambingnya. Si laki-laki kemudian marah dan menampar wajah budak perempuan. Si lak-laki lantas mendatangi Nabi Saw. dan menyebutkan semua yang terjadi kepada Nabi Saw.. Ia juga menyebutkan bahwa ia mesti membebaskan seorang budak yang beriman sebagai kafarah dan ia bermaksud untuk menjadikan budak ini sebagai budak yang dibebaskannya ketika ia menamparnya itu. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya: “Datangkanlah ia kepadaku!”. Rasul Saw. kemudian menanyainya (budak wanita): “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “kematian serta kebangkitan adalah sesuatu yang haq?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “surga dan neraka dalah haq?” Ia menjawab: “Iya”. Ketika selesai dialog tersebut, Rasul Saw. mengatakan: “Bebaskanlah ia atau tetap bersamamu!”[17]
Ini adala riwayat dengan sanad shahih, `aliy (paling dekat) kepada `Atha` (periwayat hadits Mu`awiyah bin Hakam), sebagaimana telah diketahui!
Ini adalah riwayat ketiga tentang hadits yang menceritakan kisah budak wanita yang diriwayatkan dari jalur Atha`.
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa dari segi redaksi, hadits diriwayatkan dengan redaksi:
1. Riwayat pertama diriwayatkan dengan redaksi: ” أين الله (dimana Allah)?”.
2. Sedangkan riwayat kedua diriwayatkan dengan redaksi: فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله (Menggunakan isyarat kepada si budak untuk bertanya, “siapa yang berada di langit?”).
3. Dan riwayat ketiga dengan redaksi “أَتَشْهَدِينَ (Apakah engkau bersaksi)?”.
Beghinilah kita lihat, redaksi hadits menyatakan bahwa Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?”
Pembaca budiman cobalah perhatikan secara lebih seksama ada keraguan lagi yang ditemui pada riwayat lain tentang hadits budak perempuan ini, yang bersumber dari jalur selain periwayat Atha`. Bahkan riwayat berikut ini lebih meragukan lagi dibandingkan dengan riwayat `Atha` yang sedang kita bahas ini.
RIWAYAT KEDUA
- وَحَدَّثَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً فَإِنْ كُنْتَ تَرَاهَا مُؤْمِنَةً أُعْتِقُهَا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ « أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ « أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ ». قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَعْتِقْهَا ».
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasul Saw. ia memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai Rasul Saw. sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman, maka bebaskanlah ia. Maka Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita) “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw. kemudian mengatakan : “bebaskanlah ia”[18]
Dan diriwayatkan oleh Imam Abdur Razaq[19], ia berkata: saya dikhabarkan oleh Ma`mar dari Zhuhry dari Ubaidillah dari seorang laki-laki dari kaum Anshar dengan hadits ini. Dan dari jalurnya (Abdul Razaq) juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad[20], sebagaimana juga diriwayatkan oleh periwayat lain.
Adapun tentang `Ubaidillah Bin `Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud, maka beliau adalah salah seorang dari tujuh fuqaha di Madinah yang terkenal dan merupakan rijal ahli hadits yang enam juga. Selain itu, beliau termasuk seorang imam yang tsiqah. Berkata Al Hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab Al Taqrib tentang beliau: “Ia adalah seorang yang tsiqah, seorang faqih, diterima riwayatnya, kuat hafalannya, tidak diketahui bahwa beliau seorang yang mudallis dan riwayat beliau yang diriwayatkan dengan riwayat `an `anah bisa diterima sebagai riwayat yang bersumber dari pendengaran langsung (sama`). Dan ia benar-benar telah berkomentar tentang seorang laki-laki yang berasal dari kaum Anshar ini.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Sanadnya (hadits diatas) adalah sahih dan sifat jahalah (tidak dikenal) seorang sahabat yang melekat pada dirinya tidak mempengaruhi periwayatannya.”
Berkata Ibnu Abdil Barr, di dalam kitabnya Al Tamhid Lima Fie Al Muwatha` Min Al Ma`anie Wa Al Asanid: “Secara zhahir haditsnya adalah hadits mursal, akan tetapi dipercayai bahwa haditsnya adalah terjadi ketersambungan riwayat (ittishal), karena adanya pertemuan `Ubaidillah dengan sekelompok sahabat.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsami, di dalam kitab Majma` Al Zawaid: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para rijalnya adalah rijal yang sahih.”
Jelaslah bagi kita bahwa hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih Muslim dan pertanyaan Nabi kepadanya, minimal merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional. Jikalau kita ambil dengan cara mentarjih dengan berdasarkan syahid[21] dan indikasi yang mendukungnya, maka riwayat dengan redaksi: أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?” adalah riwayat yang rajih (terkuat). Karena riwayat ini sesuai dengan akidah islam secara yakin dan merupakan hadits yang paling sahih jika di pandang dari sisi sanad.
Jika dipandang dari seluruh sisi, kita tidak boleh mengambil riwayat yang mengatakan: “dimana Allah?” berdasarkan zahir (makna yang langsung dipahami) dari lafaznya. Oleh karena itu riwayat ini ditakwil oleh para ulama, seperti Imam Nawawi, Qadhi Ibnu Al `Arabi, al Bajiy dan masih banyak selain mereka.
Imam Nawawi berkata dalam menjelaskan tentang hadits mudltharib: Hadits mudltharib adalah: hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda namun berdekatan. Apabila ditarjih salah satu riwayat, maka tarjih dengan cara melihat hafalan periwayatnya atau melihat banyaknya sahabat yang meriwayatkan tentang hadits ini, atau dengan cara selain itu. Maka kemudian baru bisa dihukumi bahwa hadits tersebut adalah hadits yang rajih, sehingga tidak lagi menjadi hadits yang mudltharib. Dan idlthirab menyebabkan sebuah hadits menjadi dha`if (lemah) karena hadits menunjukkan ketidak patenan (dhabit) dalam meriwayatkan. (Idlthirab) ini kadang bisa terjadi pada sanad dan kadang bisa terjadi pada matan (redaksi) hadits. Pada kedua keadaan, (idlthirab) bisa jadi bersumber dari satu periwayat atau dari banyak periwayat.
Al Hafidz Ibnu Daqid Al `Id di dalam kitab Al Iqtirah, memaparkan: Hadits mudltharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan pelbagai redaksi yang berbeda-beda dan ini merupakan salah satu yang menyebabkan hadits memiliki illat menurut mereka (kalangan ahli hadits) dan menyebabkan hadits berkedudukan dha`if (lemah)
DIANTARA SYAHID YANG MEMPERKUAT HADITS DENGAN RIWAYAT أَتَشْهَدِينَ (APAKAH ENGKAU BERSAKSI)?”
Syahid adalah hadits lain yang diriwayatkan senada secara makna, namun berbeda secara redaksi. Sedangkan laki-laki yang disebutkan pada beberapa riwayat hadits yang disebutkan pada pembahasan ini semuanya dimaksudkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam[22]
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Darimiy[23];
أخبرنا أبو الوليد الطيالسي ثنا حماد بن سلمة عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن الشريد قال : أتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت إن على أمي رقبة وإن عندي جارية سوداء نويبية أفتجزىء عنها قال ادع بها فقال أتشهدين أن لا إله إلا الله؟ قالت: نعم. قال: اعتقها فإنها مؤمنة!
Pada bab “Apabila seseorang mesti membebaskan seorang budak beriman”
Dikhabarkan kepada kami oleh Al Walid Al Thayalisiy bersumber dari Hamad Bin Salamah dari Muhammad Bin `Amru dari Abu Salamah dari Syarid, ia berkata: Aku mendatangi Rasul Saw. dan aku berkata bahwa saya mesti membebaskan seorang budak perempuan dan saya memiliki seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nuwaibah, apakah cukup dengan membebaskannya sebagai kafarah bagiku? Rasul Saw. berkata: “Panggillah ia!” maka Rasul saw. kemudian bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Rasul memerintahkan: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman.”
Berkata Husain Salim Asad: sanadnya hasan karena adanya periwayat hadits yang bernama Muhammad Bin `Amru.
2. Hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabraniy[24];
روى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ: إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً وَعِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ أَعْجَمِيَّةٌ , فَقَالَ: ائْتِنِي بِهَا, فَقَالَ:أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ , قَالَ:أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ, قَالَ:فأَعْتِقْهَا!
Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas bahwasanya seorang laki-laki mendatangi Rasul Saw. dan ia berkata: sesungguhnya saya mesti membebaskan seorang budak beriman dan saya memiliki seorang budak berkulit hitam dari kalangan non arab. Rasul Saw. berkata: “Bawalah ia kesini!”. Rasul Saw. kemudian menanyainya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia berkata: “Iya”. Kemudian beliau berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah? Ia menjawab: “Iya”. Rasul Saw. kemudian memerintahkan: “bebaskanlah ia!”
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsamy di dalam kitabnya Majma` Al Zawaid, berkomentar:
Pada sanad hadits ada seorang periwayat yang bernama Muhammad Bin Abi Layla dan beliau adalah seorang yang jelek hafalannya, tetapi beliau sebelumnya adalah seorang yang tsiqah.
3. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dengan redaksi: “siapa tuhanmu?” yang juga merupakan hadits sahih secara sanad[25];
روى عن الشريد بن السويد الثقفى، قال: قلت: يا رسول الله إن أمى أوصت أن نعتق عنها رقبة وعندى جارية سوداء، قال: ادع بها! فجاءت فقال: من ربك؟ قالت: الله، قال: من أنا؟ قالت: رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة!
Diriwayatkan dari Syarid Bin Suwaid Al Tsaqafiy, ia berkata: aku berkata: Wahai Rasul saw., sesungguhnya ibuku telah mewasiatkan kepadaku untuk membebaskan seorang budak atas dirinya dan saya memiliki seorang budak berkulit hitam. Rasul Saw. berkata: “Panggilah ia!” Maka datanglah budak itu dan Rasul Saw. bertanya: “Siapa tuhanmu?” Ia menjawab: “Allah”. Rasul Saw. bertanya lagi: “siapa saya?” Ia menjawab: “Utusan Allah.” Rasul Saw. berkata: “Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman.”
Riwayat ini semakna dengan riwayat yang memiliki redaksi ” أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?”
HADITS-HADITS INI TIDAK TERDAPAT DI DALAM KUTUB AL SITTAH
Apabila ada yang mengklaim bahwa hadits-hadits yang dijadikan rujukan dalam pembahasan ini tidak terdapat di dalam kutub al sittah (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah) sehingga tidak bisa diterima, dijadikan pedoman dan pijakan kita, apalagi dalam masalah akidah, mari kita perhatikan komentar Al Hafiz Abu Al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary[26]:
Bila ada yang menolak hadits dengan statement bahwa “hadits ini tidak ditemui di dalam dua kitab sahih (bukhari-Muslim), atau tidak diriwayatkan oleh kutub al sittah”. Pernyataan seperti ini, akan disangka oleh orang-orang yang sedikit ilmu, bahwa setiap hadits yang tidak diriwayatkan di dalam dua kitab sahih (Bukhari-Muslim) dan juga tidak diriwayatkan di dalam kutub al sittah lainnya, adalah hadits dha`if atau maudhu`! Pernyataan ini sesungguhnya adalah statement bathil yang tidak berdasarkan kepada pijakan ilmu yang benar, akan tetapi sebagai bagian dari bid`ah yang mereka munculkan pada zaman sekarang ini. Tidak ada di dunia ini seorangpun `alim, fuqaha` mujtahid, dan para muhadits yang hafiz mensyaratkan bahwa standar kesahihan hadits harus diriwayatkan di dalam salah satu kutub sittah! Akan tetapi ulama sepakat bahwa “hadits apabila memenuhi persyaratan sahih, wajib beramal dengan hadits tersebut, baik diriwayatkan di dalam kutub sittah ataupun tidak.
STUDI KRITIS DAN ANALISA TERHADAP HADITS
Apakah pertanyaan “dimana Allah?” yang biasa digunakan untuk menanyakan tempat secara indrawi menunjukkan terhadap ketuhanan Zat yang ditanyakan?
Dengan kata lain: Apakah pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui bahwa si budak wanita seorang yang murni menyembah Allah atau menyekutukan Allah dengan sembahan lainnya? Si budak wanita -yang ditanya oleh Rasul Saw.,- adalah seorang yang telah hidup di arab dengan keyakinan penduduk yang menyektukan Allah dengan sembahan mereka berupa berhala.
Jikalau demikian, bukankah sebagian orang arab juga menyembah berhala sebagai Tuhan mereka yang berada di bumi dan mereka juga mengakui adanya Tuhan di langit?! Menilik kepada sejarah, bukankah sudah ada sebagian umat yang menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, dan ini telah disebutkan oleh Al Quran?! Ternyata Tuhan-tuhan mereka adalah di langit juga!
Maka pertanyaan yang disebutkan “dimana Allah?” tidak bisa diklaim untuk menunjukkan terhadap ketuhanan dan jawaban yang ada di dalam redaksi hadits “di langit” juga tidak tidak menunjukkan terhadap ketauhidan!
Maka atas dasar apa disebutkan riwayat yang syadz dan tertolak ini, bahwa Rasul Saw bersaksi terhadap keimanan budak wanita?!
Contoh-contoh dari hadits sebelumnya dan sesudahnya menguatkan bahwa yang diinginkan sebagai bukti terhadap keislaman seseorang adalah syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Bukan persaksian bahwa Allah -sebagaimana mereka katakan- memiliki tempat, yaitu di langit! Maka pertanyaannya sebenarnya ditujukan untuk menyatakan bahwa Allah tinggi secara maknawi bukan secara indrawi, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab syarah Sahih Muslim. Hal senada juga disebutkan oleh Imam Al Ghazali.[27]
AKIDAH DAN HADITS AHAD
Sesungguhnya akidah kaum muslim tidaklah dibangun, kecuali di atas keyakinan yang bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin) serta tidak mungkin dibangun ditas dalil-dalil yang bersifat zhanniy. Para ulama tauhid sepakat bahwa sumber dalil-dalil pada permasalahan akidah harus bersifat qath`iy (tegas) dan yaqiniy (yakin), baik diambil dari dalil naqli maupun dalil aqly.
Zhan sebagaiman diketahui adalah segala sesuatu yang secara umum adalah benar, akan tetapi ada potensi terdapatnya kesalahan. Jikalau hadits Ahad termasuk ke dalam kategori zhanniyyat (dalil-dalil yang bersifat zhanny), maka tidak bisa berdalil dengannya dalam masalah akidah, sebagaimana dijelaskan pada beberapa statement berikut:
1. Berkata Al Hafiz Al Khatib Al Baghdady, di dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih: Dan apabila seorang, yang bisa dipercaya, yang tsiqahmeriwayatkan sebuah khabar yang bersambung sanadnya, bisa ditolak periwayatannya dengan beberapa perkara; salah satunya, apabila riwayatnya bertentangan dengan dalil `aqli (hukum akal), maka bisa langsung diketahui bahwa riwayat tersebut adalah bathil!
2. Berkata Imam Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim:
Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits Ahad di dalam Shahih Bukhari dan Sahih Muslim bisa menghasilkan ilmu, bedahalnya dengan riwayat selainnya (Bukhari-Muslim) terhadap hadits-hadits ahad. Kami telah menyebutkan masalah ini sebelumnya dan kami juga membatalkan pendapat ini, pada beberapa sub bab. Kemudian (Imam Nawawi) berkomentar -setelah beberapa baris-: dan adapun yang berkata: khabar Ahad menghasilkan ilmu, maka ini adalah mengabaikan fungsi indra manusia, bagaimana mungkin menghasilkan ilmu, sedangkan kemungkinan salah, waham, bohong dan selainnya sangat mungkin disematkan kepadanya. Wallahu a`lam.
KETERANGAN SECARA JELAS PARA IMAM, HUFAZH DAN PAKAR HADITS TERHADAP STATUS HADITS YANG MENCERITAKAN KISAH BUDAK WANITA INI SEBAGAI HADITS MUDLTHARIB
1. Imam Baihaqi
Sebagaimana telah disebutkan di awal kajian, Imam Baihaqi menyatakan: Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits. Imam Baihaqi juga menyebutkan secara terang dan jelas bahwa hadits ini bukan merupakan bagian dari hadits Sahih Muslim.
Dari sisi lain yang sangat penting diperhatikan, Imam Baihaqi menyebutkan secara terang bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, maksudnya terjadi perbedaan para periwayat hadits dari segi redaksional hadits. Jikalaupun diterima riwayat Imam Muslim, maka hadits ini adalah hadits mudltharib, tanpa diragukan dibimbangkan lagi, sebagaimana telah kita tetapkan pada bagian-bagian sebelumnya ketika mengkaji jalur hadits.
Dari sisi ketiga, hadits tentang kisah budak wanita ini juga tidak disebutkan oleh Imam Muslim pada bab pembebasan budak, juga bukan pada bab sumpah dan nazar. Ini merupakan penguat pernyataan Imam Baihaqi dan selain beliau.
2. Imam Al Hafiz al Bazzar, di dalam kitab Kasyfu Al Astar:
Imam al Bazzar juga menyatakan dengan terang bahwa hadits ini adalah hadits yang mudltharib di dalam kitab musnad beliau. Beliau berkata setelah meriwayatkan hadits dari salah satu jalur dari pada jalur-jalur yang ada: “Dan hadits ini juga diriwayatkan semisal dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda”.
3. Al Hafiz Ibnu Hajar :
Ibnu Hajar di Dalam kitab Al Talkhis Al Habir, menyatakan secara jelas dan terang bahwa hadits ini adalah hadits yang mudltharib dan beliau berkomentar: “Dan pada lafaz hadits terjadi perbedaan yang sangat banyak”.
Ibnu Hajar di dalam kitab Fath Al Bari, juga menyebutkan secara jelas bahwa tidak boleh meyakini “dimana” kepada Zat Allah dan tidak diamalkan hadits ini, meskipun sanadnya sahih menurut beliau, akan tetapi ini disebabkan karena idlthirab pada hadits! Karena idlthirab pada hadits menyebabkan sebuah hadits berkedudukan dha`if, meskipun sanadnya sahih. Oleh karen itu Al Hafiz berkomentar: Sesungguhnya pengetahun akal terhadap rahasia-rahasia Ilahi sangatlah terbatas, tidak mungkin dihukumi Allah dengan pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana?” Sebagaimana juga tidak bisa diajukan pertanyaan “dimana” dan “dalam kondisi apa?”
Oleh karena itu pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy adalah konsekuensi dari pertanyaan “dimana?” dan “bagaimana?”, meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut! Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan “jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!
Ketika anda menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy atau di atas langit itu artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah terhadap Allah dengan menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada. Ketika ini disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang berfikir. Ketika anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena kontradiktif secara akal!
Maka dengan pernyataan-pernyataan para ulama hadits seperti disebutkan, kita bisa meyakini seyakin-yakinnya dan tidak diragukan lagi terhadap status dan kedudukan hadits tentang budak wanita yang mudltharib, yang dipandang berdasarkan kaidah ilmu hadits (ilmu Mushtalah Hadits) yang juga diperkuat oleh keterangan secara jelas para ahli hadits dari dulu sampai sekarang. Oleh karena itu tidak mungkin lafaz hadits dijadikan `Illat (pijakan). Sebagaimana juga dijelaskan bahwa hadist yang diriwayatkan dengan redaksi “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” adalah merupakan riwayat yang paling sahih.
Jikalau seandainya dilakukan tarjih, diantara riwayat-riwayat yang ada, maka riwayat yang paling rajih- tidak diragukan lagi- adalah riwayat dengan redaksi “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?”
Karena riwayat ini merupakan riwayat yang paling sahih dan yang bisa diyakini sesuai dengan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi Saw.. Jikalau kita telisik kembali lembaran sejarah Nabi Saw. akan kita temui bahwa beliau selalu menyuruh seseorang yang masuk islam atau menanyakan keimanan seseorang dengan syahadatain (dua syahadat). Kisah-kisah seperti ini telah diriwayatkan kepada kita secara mutawatir bahwa beliau menyuruh manusia, memerangi mereka dan menguji keimanan mereka dengan syahadatain (dua syahadat). Oleh karena itu maka riwayat “dimana Allah?” merupakan riwayat syadz yang diingkari.
HADITS-HADITS NABI SAW. YANG MENYATAKAN BUKTI KEISLAMAN SESEORANG, DENGAN “BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”, BUKAN MENANYAKAN “DIMANA ALLAH?”
1. Hadits riwayat Bukhari[28]
روى البخارى عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لابن الصياد: ( أتشهد أني رسول الله )؟
Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu `Umar, bahwasanya Nabi Saw., berkata kepada Ibnu Shayyad: Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?
2. Hadits Bukhari – Muslim[29]
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليع وسلم قال: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
Dari Ibnu `Umar bahwasanya Rasul Saw. bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Suyuthi berkomentar: hadits ini adalah hadits mutawatir[30]
3. Hadits Sahih Muslim[31]
عن ابن عباس أن معاذا قال بعثني رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Dari Ibnu `Abbas bahwasanya Mu`adz berkata: Aku diutus oleh Rasul Saw. , beliau berkata: sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum dari golongan ahlul kitab. Maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah.
4. Hadits Sahih Muslim[32]
روى أن رسول الله أبا هريرة نعليه، قال: يا أبا هريرة اذهب بنعلي هاتين فمن لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقنا بها قلبه فبشره بالجنة.
Diriwayatkan dari Rasul Saw. Wahai Abu Hurairah pergilah engkau dengan membawa kedua sandalku ini, siapapun yang engkau temui di balik kebun ini yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan meyakini (syahadat itu) di hati mereka, maka kabarkanlah mereka dengan surga!
5. Hadits Sahih Muslim[33]
حديث عتبان بن مالك قال إن جماعة من الصحابة أحبوا أن يدعو النبى صلى الله عليه وسلم على مالك ابن دخشم ليهلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ؟ قالوا إنه يقول ذلك وما هو في قلبه. قال لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه قال أنس فأعجبني هذا الحديث فقلت لابني اكتبه فكتبه
Hadits `Itban bin Malik, ia berkata: Sesungguhnya sekelompok sahabat Rasul Saw. berharap agar Rasul Saw. mendoakan Malik Bin Dukhsyum celaka. Rasul Saw. menjawab: Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah? Mereka menjawab: sesungguhnya ia mengatakan itu hanyalah di lisan saja dan ia tidak meyakini di hatinya. Rasul Saw. bersabda: Tidak ada seorangpun yang besaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah akan masuk neraka dan dimakan oleh neraka. Anas berkata: Hadits ini mengagumkanku, maka aku berkata kepada anakku: Tulislah hadits ini! Maka ia pun menulisnya.
Inilah sekelumit pemaparan hadits dan selain hadits-hadits ini sangat banyak sekali -bahkan sampai derajat mutawatir- semuanya menguatkan kita untuk merajihkan riwayat hadits dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)?. Disamping hadits ini merupakan hadist yang paling sahih sanadnya.
KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang hadits budak wanita yang dibebaskan Rasul Saw. ini kita ketahui bahwa:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan redaksi: اتشهدين أن لا إله إلا الله (apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)? Adalah hadits yang paling sahih secara sanad dan paling kuat pegangan untuk beramal dengannya, terutama dalam masalah akidah.
2. Hadits Sahih Muslim dengan redaksi pertanyaan Rasul Saw: أين الله؟ (dimana Allah)? dan jawaban budak wanita: فى السماء adalah hadits mudltharib -sebagaimana diakui oleh para imam dan pakar hadits- yang tidak sah dijadikan pijakan di dalam masalah akidah. Pertanyaan Rasul Saw. dan jawaban budak yang selalu dijadikan pegangan dalil, bisa diyakini bukanlah bersumber dari Rasul Saw. dan budak wanita, akan tetapi bersumber dari periwayat hadits.
3. Tidak dijadikannya Hadits Sahih Muslim sebagai landasan berdalil dikuatkan oleh; bahwa hadits ini bertentangan dengan dalil yang qath`iy (tegas) dan yaqini (yakin), baik itu secara naqli maupun secara `aqli serta bertentangan dengan ijma` kaum muslimin dari dulu sampai sekarang bahwa Allah berbeda dengan makhluqNya dan Allah tidak bertempat/butuh kepada tempat layaknya makhluq.
Oleh karena itu maka keyakinan bahwa Allah berada di langit tidak bersandarkan kepada dalil yang sahih dan kuat. Adapun orang awam dan anak-anak yang biasa mengatakan/mengisyaratkan bahwa Allah berada di langit tidaklah bisa dijadikan pijakan dalil, karena hanya itulah kemampuan mereka untuk menunjukkan wujud Allah. Orang awam atau anak-anak kecil ketika mengucapkan/mengisyaratkkan hal tersebut sangat ditoleransi oleh syariat, tidak dianggap bid`ah apalagi kafir, akan tetapi dipahami perkataan mereka dengan makna majaz, bahwa maksud mereka adalah ketinggian Allah Yang Maha Kamal tidak sama dengan semua makhluq! Apakah mungkin orang-orang yang berilmu akan berdalil dengan perbuatan orang awam dan anak-anak?! Beghitu juga halnya bahwa ketika kita berdo`a dengan menengadahkan tangan ke langit, bukan berarti Allah berada di langit, tapi karena langit adalah kiblatnya do`a, sebagaimana Ka`bah adalah kiblatnya shalat!
Kepada sahabat-sahabat yang berpegang teguh dengan hadits tentang budak wanita yang diriwayatkan di dalam sahih Muslim ini saya ajak untuk tidak fanatis dengan doktrinan sepihak. Bukalah fikiran sejernih-jernihnya dan lapangkanlah hati untuk menerima dan menganalisa ilmu yang diperoleh oleh orang lain. Saya yakin bahwa tidak ada yang ma`shum, selain Rasulullah Saw.. Kenapa tidak mencoba mengkritisi apa yang disampaikan oleh guru kita dan mencoba menanyakan akal, apakah masih netral dan objektif?
Kita selalu mendakwa bahwa al haq (kebenaran) lebih didahulukan daripada figuritas seseorang! Jikalau benar demikian, bukankah kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh guru-guru yang semanhaj dengan kita?! Jikalau kita mengaku bahwa kita adalah orang yang kuat berpegang dengan al Qur`an dan sunnah -jikalau benar demikian-, adalah tidak layak bila mengambil secara parsial atau tidak mengkaji secara detail kesahihan nash syariat yang kita terima? Generasi salaf itu sangat banyak, maka adalah sangat aib bila kita memilah dan memilih salaf yang kita pedomani dengan mengabaikan salaf yang lain! Sahabat tidak mesti menerima orang lain, tapi tidak bijak bila menolak analisa orang lain, hanya karena alasan berbeda dengan apa yang diyakini!
Jikalau sahabat selalu mendakwa bahwa pemahaman sahabat adalah pemahaman generasi salaf, sekali-kali bertanyalah kepada diri sahabat, apakah benar pemahaman generasi salaf seperti yang saya pahami dan seperti yang saya aplikasikan?! Jikalau generasi salaf merupakan orang yang tunduk kepada kebenaran dan sangat tawadhu`, kenapa kita tunduk kepada guru doktrinan guru saja dan terlalu sulit menerima orang lain yang beda manhaj?! Jikalau generasi salaf sangat mendahulukan husnuzhan kepada saudaranya, kenapa kita justru mendahulukan su`u zhan kepada saudara kita yang sama-sama muslim?!
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kita sama-sama bermaksud untuk menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala sifat yang menunjukkan kekurangan, aib dan kelemahan.
Wallahu a`lam
Ya Allah berikanlah kepada kami cahaya kebenaran dan mudahkanlah kami untuk istiqomah dengan kebenaran serta hilangkan sikap fanatisme buta dari diri kami sampai akhir hayat kami. Amiin
Referensi dan rujukan kajian :
1. Al Qur`an Al Karim
2. Kitab-kitab hadits dan sunan
3. DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009
4. Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran.
5. Abu Hamid Al Ghazaly, Iljam Al `Awwam `An Ilmi Al Kalam, Al Maktabah Al Azhariyyah li al Turats, Kairo.
6. Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
7. Taqiyyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
8. Taqiyyuddin Abi Bakar Al Hishniy Al Dimasqiy, Daf`u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
9. `Abdurrahman Abi Al Hasan Al Jauziy, Daf`u Syubhat al Tasybih, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary, 2010.
10. Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
11. Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin Al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
12. Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl Al A`mal, Maktabah al Qahirah, Kairo, 2006.
13. DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010.
14. DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010
15. DR. Manshur Muhammad Muhammad `Uwais, Ibnu Taimiyyah Laisa Salafiyyan, Dar Al Nahdah Al `Arabiyyah, Kairo, cet. ke I, 2010.
16. DR. Muhammad Abdil Fadhil Al Qushy, Hawamisy ` Ala Al `Aqidah Al Nizhamiyyah Li Al Imam Al Haramain, Maktabah Iman, Kairo, cet. ke II, 2006.
17. DR. Ahmad `Umar Hasyim, Qawaid Ushul Al Hadits, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo
Endnote:
[1] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. Editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[2] Taqiyuddin Al Subky Al Kabir, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary
[3] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[4] Imam Nawawi, Syarah Sahih Muslim, Dar Al Hadits, Kairo, cet. ke IV, 2001, Vol. III, Hal.:30 , Editing, takhrij dan indeks: `Isham Al Shababithy, dkk.
[5] Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 391. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[6] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:338
[7] Muhammad Zahid Al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Imam Baihaqi, Al Asma` Wa Al Shifat, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, 2010, hal.:392. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[8] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:338 dan setelahnya.
[9] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. Tahqiq: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[10] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:339.
[11] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:339
[12] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:340.
[13] Imam Baihaqi, Sunan Kubra, hadits no. : 15045
[14] Lihat juga: Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 245, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran.
[15] Lihat: DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali ` Ardl Wa Al Tahlil, Fak. Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010, hal.: 103. Dan lihat juga: DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010, Hal.: 79
[16] DR. Umar Abdullah Kamil, Qadhaya `Aqaid Al Mu`Ashirah -Al Inshaf Fie Maa Utsira Haula Al Khilaf, Al Wabill Al Shayyib, Kairo, cet. ke I, 2009, hal.:340.
[17] `Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815
[18] Imam Malik, Al Muwatha`, hadits no.: 1469
[19]`Abdul Razzaq, Mushannaf, hadits no.: 16815
[20] Imam Ahmad, Al Musnad, hadits no.: 15781
[21] Syahid adalah hadits lain yang diriwayatkan senada secara makna, namun berbeda secara redaksi
[22] Muhammad Zahid al Kautsary di dalam editing dan komentar terhadap kitab Taqiyuddin al Subky, Al Saif Al Shaqil Fie Al Radd ` Ala Ibni Al Zafiil, Al Maktabah Al Azhariyyah Li Al Turats, Kairo, hal.: 83. editing dan komentar: Muhammad Zahid Al Kautsary.
[23] Imam al Darimiy, Sunan Al Darimiy, hadits no.: 2348
[24] Imam Thabraniy, Al Kabir, hadits, no.: 12369
[25] Imam Ahmad, Musnad Ahmad, hadits no.: 17974, Imam Al Nasa`i pada kitabnya Al Kubra: hadits no.: 6480, Imam Al Darimiy pada kitab Sunan, hadits no.: 2348 dengan redaksi ” أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau bersaksi)?”, Imam Ibnu Hibban: hadits no.: 189, Imam Baihaqi pada sunan Kubra, hadits no.: 15049
[26] Al Hafiz Abu al Fadl `Abdillah Muhammad Shiddiq Al Ghumary, Nihayat Al Amal Fie Shihati Wa Syarh Hadits `Ardl Al A`mal, Maktabah al Qahirah, Kairo, 2006, hal.: 28
[27] Lihat: Imam Nawawi, Syarah Sahih Muslim, Dar Al Hadits, Kairo, cet. ke IV, 2001, Vol. III, Hal.: , Editing, takhrij dan indeks: `Isham Al Shababithy, dkk.. Abu Hamid Al Ghazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009, Hal.: 252, editing dan komentar: DR. Musthafa `Imran. DR. Thaha Al Dusuqiy Hibisyi, Al Janib Al Ilahy Fie Fikri Al Imam Al Ghazali ` Ardl Wa Al Tahlil , Fak Ushuluddin Al Azhar University, Kairo, 2010, hal.: 106
[28] Imam Bukhari, hadits no.: 2890 dan Imam Muslim, hadits no.: 2930
[29] Imam Bukhari, hadits no.: 25 dan Imam Muslim, hadits no.: 22
[30] Imam Suyuthi, Al Jami` Al Shagir, hadits no.: 1630
[31] Imam Muslim, hadits no.:19
[32] Imam Muslim, hadits no.: 31
[33] Imam Muslim, hadits no.: 33
49 Tanggapan
NICE…………………………………………………^_^b
haditsnya ga masuk akal?
yaaa memang ga masuk akal karena akal antum terlalu kecil jadi ga muat/masuk…..
wkwkwkwkwkwkwwww…
pada 11 Oktober 2010 pada 1:19 pm | Balasmutiarazuhud
Sebaiknya tidak mengomentari dengan berguyon. Allah Maha Melihat,. sekecil apapun perbuatan kita
bukan guyonan biasa…. pahamilah maknanya…
pada 12 Oktober 2010 pada 8:23 ammutiarazuhud
Sampaikanlah apa yang antum pahami, sebaiknya pengunjung blog tidak dipersulit untuk memahami “guyonan biasa”.
Kita sebaiknya saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip sebagaiman yang disampaikan Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani:
“Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.”
Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim.
Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim)
Sedangkan pendapat atau pemahaman atau pemikiran seorang muslim terhadap Al-Qur’an dan Hadits belum pasti benar. Bisa ditolak atau bisa diambil.
Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.
Kita sependapat bahwa kita mengimani “”Istawa ‘alal Arasy” karena merupakan firman Allah swt, namun kita berbeda pendapat/pemikiran/pemahaman dalam hal arti atau makna seperti Allah swt bertempat atau berposisi di atas Arasy.
Kami menghindari makna menunjukkan “posisi di atas” atau “posisi di atas Arasy” secara dzahir/tekstual/harfiah atau tersurat
Kami memohon karunia Allah swt untuk dapat memahami firmanNya dengan pemahaman yang dalam (hikmah) atau tersirat, karena kami memahami dari dalil/hujjah lainnya bahwa Allah swt tidak berposisi atau tidak bertempat salah satunya
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Kalau ada yang memahami bahwa “Allah swt di atas Arsy” maka artinya Arsy ada di bawah Allah swt sedangkan hadits tersebut menyatakan “tidak ada sesuatu di bawah-Mu”
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib, -semoga Allah meridlainya-:
Maknanya: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/16/2010/09/16/tidak-bertempat/
Marilah kita menghormati pemahaman masing-masing, sebaiknya tidak mengatakan atau menilai kesesatan bagi muslim lainnya hanya berbekal pemahaman sendiri atau kaum sendiri.
Biarlah dengan pemahaman kami, insyaallah kami dapat merasakan kedekatan dengan Allah swt dan dapat berinteraksi dengan Allah swt melalui firman-firmanNya.
Sungguh Allah itu dekat, sesuai dengan firman Allah yang artinya
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” ( Al Baqarah: 186).
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Insyaallah dengan kedekatan itu kami dapat menyembah Allah swt seolah-olah melihatNya atau sebagai muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang baik/sempurna atau muslim yang sholeh
…أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ …
“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Jika kita menjadi muslim sholeh maka kita akan selalu didoakan oleh seluruh umat muslim sepanjang masa.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Wassalam
Subhanallah…analisanya sempurna. Ustadz boleh minta alamat fbnya? Dan blog ini saya taruh di blog saya ya
pada 24 Maret 2011 pada 4:57 pm | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, silahkan bertukar link, dan alhamdulillah kami telah cantumkan pula link blog antum pada blog kami.
Rupanya antum sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar Kairo.
Semoga menjadi ulama yang sholeh dan ulama yang selalu mencintai Allah ta’ala dan RasulNya. Ulama yang selalu ber-zuhud, meninggalkan segala sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ta’ala.
Raihlah ilmuNya jangan sebatas kurikulum, nilai, ataupun ijazah namun sebatas Allah ta’ala kehendaki, untuk itu railah terlebih dahulu ridhoNya.
pada 24 Maret 2011 pada 5:07 pm | BalasReyon
syukron katsiiro catatan yg bagus ,…
pada 24 Maret 2011 pada 5:08 pm | BalasReyon
izin copas kang,…jazakumullah khoiron sebelumnya
pada 24 Maret 2011 pada 5:36 pm | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, jangan lupa mencantumkan sumber tulisan sebagaimana yang telah kami cantumkan
pada 14 Mei 2011 pada 12:44 am | Balas'ajam
Assalaamu’alaikum al akh MZ, bagaimana kabar antum? semoga sehat dan semangat dalam menegakkan agama Islam di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman salafush sholih.
menyambung diskusi kita di blog UMMATI, ana ingin memberikan sedikit komentar terhadap artikel yang antum tulis di atas. namun mohon maaf jika ana nantinya akan banyak maen copas dari situs/blog lain karena keterbatasan ilmu yang ana miliki.
yang pertama,
hadits ini telah memenuhi syarat sebagai hadits shohih, yaitu sanad yang muttashil, rowi yang tsiqoh, tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat.
dalam tulisan di atas, antum mengatakan bahwa ulama sepanjang sejarah sepakat menilai hadits jariyah dari shohabat Mu’awiyah bin Al Hakam ini mudhthorib. sebelumnya di blog UMMATI ana tanyakan siapa ulama yang menilai mudhthorib, lalu antum cuma bisa menunjukkan 2 nama, yakni Al Baihaqi dan Ibnu Hajar. dan telah ana jawab juga bahwasanya kedua ulama ini malah menilai hadits ini shohih. dengan demikian maka telah sempurna pembahasan pertama dari ana bahwa hadits ini adalah SHOHIH dan gugurlah halusinasi antum mengenai idhthirob-nya.
yang kedua,
hadits shohih selamanya tidak akan bertentangan dengan Alquran dan hadit shohih yang lain. begitu juga tidak akan bertentangan dengan fakta lapangan, fitroh, dan akal sehat.
Imam Syafi’I berkata: “Tidak pernah selama-lamanya ada dua hadits shahih yang saling kontradiksi, dimana yang satu menentang yang kedua tanpa ada yang lebih khusus kecuali yang satu menghapus lainnya”. (ar-Risalah hal. 546)
beliau juga berkata: “Tidak mungkin sunnah Nabi menyelisihi Kitabullah”. (Ar-Risalah : 546)
Imam Ibnu Khuzaimah berkata: “Tidak ada dua hadits yang bertentangan sama sekali, apabila ada maka bawalah kepadaku untuk aku kompromikan antara keduanya”. (Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah al-Khathib al-Baghdadi hal.473)
anggapan adanya pertentangan antara hadits jariyah ini dengan Alquran dan akal adalah berasal dari anggapan bahwa hadits ini mudhthorib, padahal tidak ada satupun ulama ahlul hadits yang menyebutkan idhthirob hadits ini. justru ulama yang antum jadikan senjata malah membunuh hujjah antum sendiri dengan menyatakan hadits ini shohih.
yang ketiga,
jika suatu hadits telah terbukti shohih, maka tiada alasan lagi untuk menunda dalam mengimaninya dan membenarkannya. tiada istilah “HADITS SHOHIH TAPI SYADZ”. semua hadits shohih adalah dalil yang qoth’i, kecuali ada hadits shohih lain yang me-nasakh.
Alloh berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An Najm : 3-4)
Rasulullah bersabda: “Tulislah! Demi Rob Yang jiwaku ada di tanganNya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran”. (Sunan Abu Daud : 3646 dan Mustadrok Al Hakim 1/104)
anehnya, antum begitu mudahnya dan tanpa kehati-hatian menggunakan hadits atau kisah dho’if, maudhu’ bahkan laa ashlalahu sebagai dalil dalam aqidah dan amal, akan tetapi malah menolak hadits shohih.
yang keempat,
memang ana akui bahwa ada sebagian ulama ahlu sunnah yang terjerumus dalam aqidah asy’ariyah (semoga Alloh mengampuni mereka dan membalas jasa besar mereka) yang menolak hadits ini sebagai dalil aqidah ‘ULLUW, sekalipun mereka menshohihkannya, di antaranya adalah An Nawawi dan Ibnu Hajar (rohimahumallohu ta’ala).
akan tetapi, bukankah mereka berdua adalah manusia biasa, sedangkan hadits jariyah ini diucapkan oleh Al Ma’shum Muhammad sholallohu ‘alaihi wasalam? dan bukankah masih banyak ulama ahlus sunnah yang lain yang berpegang pada hadits jariyah ini sebagai dalil aqidah ‘ULLUW?
sikap taqlid buta antum pada kedua ulama ini pun juga taqlid buta yang tidak adil, karena hanya mengikuti point penolakannya saja, akan tetapi tidak mengikuti point penshohihannya. antum mengiktui kesalahan mereka, dan malah meninggalkan kebenaran mereka.
yang kelima,
peletakan hadits ini oleh Imam Muslim dalam kitabnya Ash Shohih dalam bab Sholat, bukan berarti tidak bisa dijadikan dalil dalam persoalan aqidah. tidak ada kaidah ilmu hadits yang menyebutkan seperti itu. bahkan eandainya hadits ini tidak ada dalam kitab Shohih Muslim, jika memang shohih ya harus diimani dan diterima.
lalu bagaimana kiranya hadits tentang isro’ dan mi’roj, dimana hadits ini dimasukkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya pada bab tauhid dan dimasukkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya pada bab iman. apakah hadits ini hanya bisa dijadikan dalil tentang masalah tauhid dan iman saja, tidak bia dijadikan dalil tentang perintah wajibnya sholat?
dalam dunia ilmu hadits, telah menjadi hobi para ulama untuk mengumpulkan fawaid dari hadits2 yang mereka dengar. 1 buah hadits bisa hanya mengandung 1 faedah saja, namun ada juga yang mengandung 1000 faedah. tidak menutup kemungkinan jika 1000 faedah ini mencakup perkara iman/aqidah dan perkara fiqh secara bersamaan. dan tidak menutup kemungkinan juga mencakup faedah dalam segi agama dan segi duniawi secara bersamaan.
mengenai pembahasan hadits jariyah selengkapnya, silakan antum teluuri link berikut:
semoga bermanfaat
pada 14 Mei 2011 pada 5:18 am | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam,
Mas Ajam ~ kesejukan rahmatNya semoga menaungi hari-hari antum
Yup, sebagian ulama berpendapat hadits Jariyah adalah mudhthorib karena bertentangan dengan hadits-hadits yang lain.
Sedangkan menurut pendapat kami pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai tempat (dzahir) namun maknailah dengan hakikat keimanan. Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/25/langit-dan-bumi/
pada 20 Mei 2011 pada 1:03 amAjam
assalaamu’alaikum
bagaimana kabarnya akhi? semoga tetap sehat selalu.
ana mengharapkan sekali jawaban dari antum untuk meneruskan diskusi kita. diskusi ini bukan untuk ana cari kemenangan atau menekan antum. ini adalah diskusi untuk mencari kebenaran, mengharapkan taufiq dan hidayah dari Alloh tentunya.
semoga kita bisa menyambung kembali diskusi kita yang menarik ini.
pada 20 Mei 2011 pada 5:10 ammutiarazuhud
Walaikumsalam wr wb.
Kesejukan rahmatNya semoga menaungi hari-hari mas Ajam.
Jawaban pertanyaan yang mana mas Ajam ? Ulama yang berpendapat hadits Jariyah mudltarib ? Silahkan bertanya pada sumber tulisan yang sudah kami cantumkan http://alnof.multiply.com/journal/item/145.
Sedangkan pendapat kami terhadap hadits Jariyah, telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/25/langit-dan-bumi/
Intinya,
pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai tempat (dzahir) namun maknailah dengan hakikat keimanan. Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Wassalam
pada 14 Mei 2011 pada 6:22 am | BalasAjam
siapa ulama ahli hadits yang bilang hadits itu mudhthorib?
pada 21 Mei 2011 pada 12:32 am | BalasAjam
jadi antum tidak tahu siapa ulama yang berpendapat hadits itu mudhthorib? lalu kenapa antum berkata sesuatu yang antum tidak mempunyai pengetahuan tentangnya?
bukankah lebih baik menerima kebenaran yang ana sampaikan bahwa ulama ahli hadits, bahkan yang antum jadikan senjata, menghukumi hadits ini adalah shohih.
ana jadi ingin bertanya-tanya, seandainya Rasulullah saat ini masih hidup, beliau ada di hadapan antum kemudian berkata atau memerintahkan sesuatu kepada antum, masihkah antum berkata pada beliau, “Ya Rasulullah, perkataan anda harus ditakwil dari dhohirnya” atau akan berkata, “Ya Rasulullah, anda benar”
sebagai seorang mukmin, tentu saja kita harus menerima setiap perkataan beliau, karena beliau tidak akan berkata kecuali hanya kebenaran.
adapun membicarakan tentang Dzat Alloh, selama itu punya dalil tidak menjadi masalah, karena pada dasarnya Alloh sendiri yang membicarakan tentang Dzat-Nya. yang tidak boleh adalah bicara tentang Dzat Alloh tanpa dalil, seperti mengingkari keberadaan Alloh di atas langit.
pada 21 Mei 2011 pada 4:59 am | Balasmutiarazuhud
Mas Ajam, kami hanya menyampaikan apa yang dikritis oleh ulama lainnya dan kami juga telah menyampaikan apa yang kami pahami terhadap hadits Jariyah. Silahkan saja jika antum berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas langit. Ikhlaskanlah kami dengan apa yang kami pahami atas Al-Qur’an dan Hadits, yang penting kita sama-sama telah bersyahadat.
Wassalam
pada 21 Mei 2011 pada 11:14 pmAjam
ana bukan mau memaksakan apa yang ana yakini kepada antum. ana cuma heran, kenapa antum bisa berbicara tentang sesuatu yang antum sebetulnya tidak memiiki pengetahuan tentangnya.
ana lebih heran lagi ketika ana menyodorkan bukti yang lebih kuat daripada bukti yang antum atau sumber antum miliki, antum masih bersikeras menolaknya.
dan lebih lebih heran lagi, antum masih menyebarkan keragu-raguan antum ini ke saudara2 muslimin kita yang lain.
dan lebih lebih lebih heran lagi, antum masih mengklaim bahwa ini adalah aqidah yang shohih, aqidah yang haq, aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.
pada 21 Mei 2011 pada 4:04 am | Balasmamo cemani gombong
@Ajam maaf nt berfikir terlampau jauh , mengandai andai yang nggak nggak ……….kalau ana berfikir maksudnya bang Zon rosululloh nggak mungkin perkataanya saling bertentangan satu sama lain @Jam (maaf kalau ana salah tafsir bang Zon ) nah malahan nt membolehkan yang dilarang oleh Rosululloh dgn alasan harus pakai dalil ……..kan dah jelas Rosululloh ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”. nt malah membolehkan …..gmn @Ajam ?????
pada 21 Mei 2011 pada 11:33 pm | BalasAjam
afwan seribu kali afwan al akh mamo, dengan jelas al akh MZ berkata bahwa hadits jariyah ini bertentangan dengan dalil naqli dan aqli, padahal hadits ini shohih. beliau pun tidak bisa membantah keshohihan hadits ini. beliau berkata bahwa ulama sepanjang sejarah sepakat menghukumi hadits jariyah ini mudhthorib, namun ketika ana tanya siapa ulama yang berkata begitu, beliau pun terdiam. malah melempar tanggung jawab kepada penulis di blog lain.
mengenai bertanya tentang Dzat Alloh, bukankah Alloh sendiri yang berkata/berfirman tentang Dzat-Nya bahwa Dia berada di atas langit. bukankah Nabi-Nya sendiri yang berkata/bersabda tentang Dzat-Nya di atas langit. bukankah sahabat Nabi-Nya juga berkata tentang Dzat-Nya di atas langit.
1. Abu Bakr As Shiddiq radliyallohu ‘anhu
Ketika Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, Abu Bakr As Shiddiq rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Jika Muhammad adalah sesembahan kalian yang kalian sembah, sesungguhnya sesembahan kalian telah mati. Jika sesembahan kalian adalah Yang berada di atas langit, maka sesungguhnya sesembahan kalian tidak akan mati.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)
2. Abdulloh bin Mas’ud rodliyallohu ‘anhu
Ibnu Mas’ud rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Antara langit dunia dengan (langit) berikutnya sejauh perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun, antara langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun, dan ‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)
3. Zainab bintu Jahsy radliyallohu ‘anha
Dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu, bahwa Zainab binti Jahsy radliyAllohu ‘anha berbangga terhadap istri-istri Nabi yang lain, ia berkata: “Kalian dinikahkah oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Alloh dari atas tujuh langit”. Dalam lafadz lain beliau berkata: “Sesungguhnya Alloh telah menikahkan aku di atas langit.” (diriwayatkan oleh Al Bukhori)
4. Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu
Sahabat Nabi yang merupakan pakar tafsir AlQur’an ketika menafsirkan firman Alloh tentang ucapan Iblis yang akan mengepung manusia dari berbagai penjuru. Iblis menyatakan sebagaimana diabadikan oleh Alloh dalam Al Quran:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ
“Kemudian sungguh-sungguh aku akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan dari belakang mereka, dan dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan: ‘(mendatangi mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas mereka.” (diriwayatkan oleh Al Lalika’i)
5. Abdulloh bin Umar rodliyallohu ‘anhu
Dari Zaid bin Aslam rohimahulloh beliau berkata: “Ibnu Umar melewati seorang penggembala (kambing), kemudian beliau bertanya: ‘Apakah ada kambing yang bisa disembelih?’ Penggembala itu menyatakan: ‘Pemiliknya tidak ada di sini’. Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu menyatakan: ‘Katakan saja bahwa kambing tersebut telah dimangsa serigala’. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan pandangannya ke langit dan berkata: ‘Kalau demikian, di mana Alloh?’ Maka Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu berkata: ‘Demi Alloh, aku lebih berhak untuk bertanya: Di mana Alloh? (daripada kamu)’ Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala dan kambingnya, memerdekakan penggembala tersebut dan memberikan padanya satu kambing itu” (diriwayatkan oleh Ath Thobroni)
========================================
nah, kalo pertanyaan “Dimana Alloh?” yang jelas2 ada dalilnya dilarang oleh al akh MZ, kenapa beliau malah bertanya tentang Dzat Alloh tanpa dalil? beliau pernah bertanya pada ana di situ UMMATI, “Dimana Alloh sebelum menciptakan segala seuatu?”.
nah loh, kalo ini ana sama sekali tidak heran. lha wong hadit jariyah yang shohih saja ditolak dan malah hadits2 dho’if, maudhu’ dan laa ashlaalahu digunakan sebagai dalil dalam aqidah.
pada 29 Mei 2011 pada 9:24 pm | Balaspeace
Bang zon semoga sehat selalu:) ,
dari kutipan hadits
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata: disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”
Dapat dilihat kondisi budak itu adalah bisu dan menggunakan isyarat telunjuk,
Saya memahami
acungan telunjuk menunjukkan kepada Rasulullah adalah
” Engkau Rasul Allah”
acungan telunjuk keatas langit menunjukkan “Allah itu Esa dan Maha Tinggi”
Sehingga , riwayat ini lebih mendekati kebenaran, karena tidak bertentangan dengan nash yang lainnya. Tentu banyak yang salah paham, sebab budak itu menggunakan bahasa isyarat, bukan menunjuk:)
Seperti yang kita ketahui Rasulullah memiliki keistimewaan dari Allah , hingga mengerti isi hati budak itu dan menyuruh bebaskannya karena “beriman”
Semoga bermanfaat, tak lebih tak kurang saya manusia biasa, semoga Allah memberi hidayah kepada kita
pada 30 Mei 2011 pada 7:40 pm | Balasmutiarazuhud
Terima kasih atas komentarnya. Kami sependapat bahwa ancungan telunjuk ke atas langit menunjukan “Allah itu Esa Maha Tinggi dan Maha Mulia”.
Atas = Mulia Bawah = lawan dari Mulia.
Jadi acungan telunjuk ke atas langit, jangan dipahami bahwa Allah ta’ala bertempat di atas langit
Ini tambahan info dari Ustadz A Khudori Yusuf, Penjelasan Ringkas Allah Maha Suci Dari Tempat dan Arah menurut para Salafush Sholeh dihttp://www.4shared.com/file/woMv6NT1/SALAFUS_SOLEH_DAN_TANZIH.html
pada 30 Mei 2011 pada 10:04 pm | BalasAjam
al akh peace
dari hadits yang antum bawakan, dari awalnya saja sudah nampak beberapa kejanggalan.
pertama, yaitu lafadh “diriwayatkan oleh Adz Dzahabi”, karena Adz Dzahabi bukan seorang periwayat hadits. kata yang lebih pas adalah “dibawakan”.
kedua, yaitu lafadh “sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid…dst”, karena Al Mizzi tidak mungkin menjadi bagian dari sanad hadits karena jaraknya yang sangat sangat sangat jauh dari periwayat hadits seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Al Bukhori dll.
ketiga, setelah kita tahu bahwa Adz Dzahabi maupun Al Mizzi bukan periwayat hadits ini, lalu siapa yang meriwayatkannya dari Sa’id bin Za’id? tidak mungkin dari Sa’id bin Za’id langsung kepada Al Mizzi.
keempat, bagaimana status hadits ini? apakah shohih, dho’if, atau maudhu’? apakah hadits yang statusnya tidak jelas ini akan kita jadikan sebab penilaian idhthirob hadits jariyah?
dan sebagai jawaban dari kejanggalan2 di atas, Adz Dzahabi sendiri menilai hadits jariyah adalah shohih dan menggunakannya sebagai dalil aqidah ‘Uluw. bahkan menulis kitab khusus tentang aqidah ‘ulluw yang berjudul Al ‘Uluw lil ‘Aliyil Ghoffar.
pada 31 Mei 2011 pada 8:31 pm | Balaspeace
Maaf saya bukan menilai dari status hadits, tapi secara ilmu psikologi dari periwayat:)
Sebagai manusia kita sadar, manusia itu ngak semua pintar, sehingga jika kita mau jujur, kesalahan bisa terjadi dari periwayat adalah kekurangan dalam menyampaikan bahasa atau informasi kepada yang lain, dan sering terjadi pada pesan berantai:)
Perhatikan dari hadits pertama
“Saya memiliki seorang budak perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah.”
Berarti periwayat memiliki budak, yang ditamparnya karena komunikasi yang buruk antara budak dan periwayat dan hal itu berlanjut saat dihadapkan kepada Rasulullah, dengan meriwayatkan kata “Dimana” dan “dilangit”
perhatikan dari hadist kedua
“disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyaratkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan”
perhatikan “Nabi SAW menjulurkan tangannya” berarti Rasulullah berkomunikasi dengan bahasa isyarat, dan kata “dimana” dan “dilangit” adalah terjemahan dari periwayat
Kalaulah budak itu tidak bisu, tentu Rasulullah tidak menggunakan isyarat, seperti hadist lainnya berupa dialog, bukan
Jadi dapatlah kita simpulkan, peristiwa budak yang ditanya memang terjadi, tapi terjemahan bahasa isyarat dngan telunjuk menjadi menunjuk adalah kesalahan periwayat sendiri, karena adalah alamiah sebagai manusia biasa
Semoga paham, bahwa Rasulullah berkomunikasi dengan isyarat dan dapat mengetahui isi hati budak itu dengan baik karena merupakan Rasul Allah memiliki keistimewaan
Semoga bermanfaat, kalau ada kelemahan tentu saya manusia, maka ambilah hikmahnya , semoga petunjuk Allah selalu menaungi kita, peace
pada 1 Juni 2011 pada 12:19 am | BalasAjam
ana rasa antum seharusnya tidak berbicara dalam masalah yang antum tidak menguasai ilmunya. antum pasti tahu bahwa syarat untuk menjadi ahli hadits itu tidak sekedar bisa bahasa arab, hafal ribuan hadits, hafal ratusan perowi, dll. dan antara ahli hadits yang satu dengan yang lain saling memeriksa dan mengkoreksi. jadi apabila terjadi kesalahan, pasti akan dijelaskan oleh mereka, bukan oleh antum yang sama sekali tidak mengerti ilmu hadits.
sudah ana sampaikan sebelumnya bahwa hadits pertama yang diperbincangkan dalam artikel ini adalah shohih. ana anggap antum mengerti syarat2 hadits shohih itu apa saja. lalu bandingkan dengan hadits kedua yang antum bawakan. siapa yang meriwayatkan tidak jelas, bagaimana sanadnya tidak jelas, bagaimana statusnya juga tidak jelas. bagaimana mungkin hadits yang tidak jelas ini dijadikan alasan untuk membatalkan keshohihan hadits pertama?
sebaiknya antum tidak usah berbicara pada perkara yang antum tidak memiliki ilmunya. dan lebih-lebih, sebaiknya antum tidak berbicara yang bertentangan dengan ahlinya. tidak ada manfaat sama sekali dari analogi antum meskipun antum berkata “semoga”.
pada 1 Juni 2011 pada 6:48 am | Balaspeace
Maaf, sekali lagi
Silakan saudara berpendirian seperti itu
tapi saya hanya menyadari manusia bisa khilaf, bukan karena keinginan berbohong, tapi adalah kelemahan manusia itu sendiri:)
Sering kali kita sadari, kalo kita mendengar atau melihat sesuatu dan menceritakan kepada orang lain, hasilnya yang ditangkap orang lain tentulah dipengaruhi oleh kemampuan kita sendiri cara bercerita atau menyampaikan cerita sesuai dengan tangkapan pikiran kita, ini adalah kenyataan dan manusiawi sekali,
Karena itulah kita sering melihat hadist yang periwayatannya berbeda dengan sudut pandang berbeda tapi masalahnya sama, menghasilkan cara yang berbeda. tentu pengaruhnya adalah manusia yang menyampaikan
Lainhalnya dengan al-quran, dihafal dan dibaca setiap sholat, tentulah tak ada kesalahan sedikit pun, karena selama para sahabat Rasulullah hidup pastilah dibaca dan diperiksa dengan hafalan sahabat yang lain dan catatan tulisan dipelepah dan tulang dan dst
Hal ini tidaklah sepenuhnya terjadi pada hadist, mereka menghafal atau mencatat sesuai kemampuannya, dan tidak diperlakukan sama dengan ayat Alquran
Sebaiknya kita menghindari polemik ini pada hadist dengan melihat pada Alquran lebih otentik
Suatu hal yang perlu kita ketahui atas atau bawah adalah relatif, coba saudara berdiri bilang atas pasti dikepala dan bayang kan di belahan kulit bumi dibawah kaki anda, pastilah mereka disana bilang dibawah dan perlu diingat bumi ini berputar, tentulah atas ini berputar2 tak bisa kita tentukan arahnya, hingga dapat dibilang atas ini berubah2 terus yah
Karena itulah ulama terdahulu termasuk imam 4 mazhab tak mendefiniskan atas atau bawah , karena menyadari hal demikian
Lebih baik kita menyadari kemuliaan Allah, dan menyadari sesuatu hal yang sesuai kebenaran ilmu pengetahuan yang dibuktikan dan Alquran yang dijaga keasliannya
semoga bermanfaat, saya bisa khilaf juga, maaf ya, semoga hidayah Allah berlimpah pada kita yang tulus padaNya
pada 1 Juni 2011 pada 7:20 am | Balaspeace
Sebagai tambahan, lihatlah adanya para sahabat yang menafsirkan isyarat Rasulullah dengan redaksi berbeda
“Dikhabarkan kepada kami oleh Al Walid Al Thayalisiy bersumber dari Hamad Bin Salamah dari Muhammad Bin `Amru dari Abu Salamah dari Syarid, ia berkata: Aku mendatangi Rasul Saw. dan aku berkata bahwa saya mesti membebaskan seorang budak perempuan dan saya memiliki seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nuwaibah, apakah cukup dengan membebaskannya sebagai kafarah bagiku? Rasul Saw. berkata: “Panggillah ia!” maka Rasul saw. kemudian bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Rasul memerintahkan: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman.””
Perhatikan kata “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”
adalah sebuah terjemahan dari isyarat Rasulullah terhadap budak, hingga dijawab dengan isyarat telunjuk ke langit, tapi periwayat yang lain tidak mengerti bahasa isyarat mengartikan “dimana”, dapat dijadikan suatu kemungkinan, karena dipengaruhi kemampuan manusia waktu itu menyampaikan cerita:)
Oya, tambahan untuk kata “atas” tercipta karena kita berdasarkan posisi kita sebagai pembanding dan akan hilang kalo kita balikan tubuh tentu diatas akan berada dibawah
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu. (Ar-Ra’d: 2)”
Dapatlah kita pahami, diatas itu tak lagi ada, karena para imam terdahulu memahami posisi manusia tak lagi tetap walau kita katakan tetap, karena Allah telah memberitahukannya “beredar”
Semoga kita sadari polemik atas tidaklah lagi memecah umat islam, karena terpaku pada teks tapi melupakan tanda2 kebenaran yang ada di alam
Maaf, cuma niat baik tak lebih dari itu, semoga hidayahNya tetap untuk kita
pada 1 Juni 2011 pada 7:23 am | Balaspeace
Maaf lagi kopasan terjemahan ku masih salah maklum terjemahan (Ar-RAd:2) dari internet, semga kata “diata”s tidak diartikan diatas, melainkan kemuliaan atau menguasai, harap maklum sekarang ini masih banyak yang begituan , hmm
Semoga bermanfaat
pada 1 Juni 2011 pada 7:24 am | Balaspeace1
Maaf lagi kopasan terjemahan ku masih salah maklum terjemahan (Ar-Rad:2) dari internet, semga kata “diatas” tidak diartikan diatas, melainkan kemuliaan atau menguasai, harap maklum sekarang ini masih banyak yang begituan , hmm
Semoga bermanfaat
pada 2 Juni 2011 pada 11:08 pm | BalasAjam
ini yang selama ini jadi perbincangan. kata “di atas” adalah bathil jika dimaknai kemuliaan atau menguasai.
coba antum perhatikan atsar dari 2 sahabat berikut:
1. Ibnu Mas’ud rodliyallohu ‘anhu berkata: “Antara langit dunia dengan (langit) berikutnya sejauh perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun, antara langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun, dan ‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)
dapat dipahami bahwa kata “di atas” bagi Alloh adlaah makna yang haq sesuai dengan dhohirnya, karena jika dimaknai keluar dari dhohirnya, maka konsekuensinya harus mengeluarkan dari dhohirnya juga kata “di atas” bagi langit, kursy dan ‘arsy.
2. Ibnu Abbas ketika menafsirkan firman Alloh:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ
“Kemudian sungguh-sungguh aku akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan dari belakang mereka, dan dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan: ‘(mendatangi mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas mereka.” (diriwayatkan oleh Al Lalika’i)
dapat dipahami bahwa jika kata “di atas” bagi Alloh itu harus dikeluarkan dari dhohirnya, maka kata “dari depan, dari belakang, dari kanan dan dan kiri” bagi Iblis pun juga harus dikeluarkan dari dhohirnya.
pada 2 Juni 2011 pada 10:56 pm | BalasAjam
mungkin antum belum menangkap apa yang ana maksud. antum berkata bahwa hadits pertama dan kedua mempunyai perbedaan redaksi mungkin karena kekeliruan perowi dalam meriwayatkan. atau dalam kalimat lain, perowi A menangkap maksudnya adalah begini, sedangkan perowi B menangkap maksudnya adalah begitu. ana rasa apa yang antum maksud adalah sama dengan yang dimaksud oleh al akh mutiara zuhud atau penulis asli artikel di atas, yaitu hendak mencuatkan kesimpulan bahwa hadits jariyah itu mudhthorib.
ana analogikan hadits pertama yang sanadnya jelas dan shohih adalah seperti berita yang datang dari seseorang yang valid dan otentik. sedangkan hadits kedua yang antum bawakan adalah seperti berita dari orang yang tidak jelas dia itu siapa dan bagaimana sifatnya. berita pertama dan berita kedua saling berlainan.
apakah bisa kita menolak berita pertama dengan alasan berlainan dengan berita kedua? secara akal sehat pun selamanya tidak akan pernah menerima alasan seperti itu. ini adalah bantahan ana yang pertama.
yang kedua, ulama ahli hadits, menurut sepengetahuan ana, tidak ada satu pun yang berkata hadits jariyah ini mudhthorib. memang ada di antara mereka seperti Ibnu Hajar berkata bahwa hadits jariyah mempunyai beberapa redaksi yang berbeda. namun perbedaan redaksi itu bukan alasan untuk mengatakan perowi hadits keliru atau hadits itu mudhthorib.
kenapa demikian?
ada 2 alasan:
1. karena hadits2 lain yang redaksinya berlainan itu tidak bisa dilawankan dengan hadits jariyah riwayat Muslim yang shohih. seperti analogi ana di atas, bagaimana bisa berita yang valid dan otentik dilawankan dengan berita yang tidak jelas alias kabar burung?
2. karena hadits2 lain itu memang sama sekali berbeda dari segala sisi. bukan hanya dari sisi redaksi, namun juga dari sisi sanadnya. bagaimana bisa berita A yang menceritakan peristiwa A bisa dilawankan dengan berita B yang menceritakan peristiwa B? si A bercerita tentang pak Ahmad sedang mancing, si bercerita tentang pak Burhan sedang mencangkul. bagaimana bisa kita menolak berita bahwa pak Ahmad adalah seorang nelayan dengan alasan karena pak Burhan adalah seorang petani?
pada 3 Juni 2011 pada 12:05 am | Balaspeace1
Saudara tidak mengerti masalah psikologi manusia,
Yang saya jelaskan adalah periwayat yang menghasilkan riwayat hadits 1, tidaklah bermaksud berdusta, dan karena itulah riwayatnya ngak berubah dan menimbulkan polemik di zaman dahulu, hingga terjemahan maksud isyarat “dimana” dan “dilangit” tetap ada
Sedangkan hadits 2, terdapat keterangan cara komunikasi dengan bahasa isyarat , walau memiliki kemiripan dengan hadits 1
Dan hadist 3, terdapat redaksi berbeda, dibuktikan dengan terjemahan isyarat “Apakah engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah” , telah membuktikan adanya kesalahan terjadi akibat khilaf dalam menerjemahkan bahasa isyarat
Di masa dahulu hadits, tidaklah menjadi pertentangan, dan menjadi tanggung jawab pribadi masin2 sahabat, terbukti Abubakar, Umar bin Khatab membakar catatan haditsnya menghindari polemik dikemudian hari:) Semoga kita maklum, para sahabt tidaklah bermaksud berdusta, tapi ketidak sengajaan yang alamiah bisa terjadi dalam periwayatan hadits
Sangat ngak berpolemik terus masalah “diatas”, tapi perhatikanlah benda2 langit rata2 berbentuk bundar, mulai dari bulan, planet, matahari sampai bintang besar, dapatkah kita menentukan “diatas” dari suatu benda bundar? Tentu tidak bukan, sebab penamaan diatas timbul karena adanya dibawah, atau sebaliknya, karena itulah banyak diantara kita menganggap Allah bisa ditentukan posisinya, padahal tidak,
Daptkah kita perhatikan air, daptkah kita bentuknya tetap, bandingkan dengan udara yang lebih halus , lalu lebih halus lagi cahaya, dapatkah kita tentukan bentuknya hingga bisa menetapkan posisinya? tidak bukan, hanya kita lihak tanda2nya hingga kita yakin keberadaannya.
Karena itulah kita seharusnya sadar , Allah Maha Halus, ngak akan bisa kita tentukan bentuk atau posisinya di semesta ini, yang hanya kita bisa tentukan adalah tanda2 perbuatanNya, seperti apa yang ada disemesta ini, karena itulah Allah berkata, Katakanlah Esa, tak dapat diserupakan dengan ciptaannya dst, (Surah Al Iklash)
Masihkah kita berbantahan lagi, masalah “diatas”, padahal kita tak bisa menentukan mana yang “atas”, lebih baik menyerahkan artinya kepada Allah, dengan memahami “atas” menandakan fungsi kuasa atau mulia, dalam maksud tidak mengganti kata “atas”, tapi menyadari kemuliaanNya tidak sama dengan makluk ciptaanNya di manapun (ngak ada imaginasi manusia lagi)
Semoga bermanfaat , tak lebih, tak kurang, kepada Allah kita memohon hidayahNya
pada 3 Juni 2011 pada 12:55 am | BalasAjam
al akh peace yang ana muliakan, sebagaimana yang ana katakan bahwa hadits 1, 2, dan 3 itu adalah hadits2 yang saling berlainan yang tidak dapat diperbandingkan atau dikaitkan.
menceritakan tentang peristiwa yang sama sekali berbeda, pelakunya juga orang2 yang berbeda, dan diceritakan oleh orang2 yang berbeda pula. seperti yang ana katakan, antum tidak akan bisa menolak kabar tentang pekerjaan pak Ahmad adalah seorang nelayan dengan alasan karena pak Burhan adalah seorang petani. pak ahmad dan pak burhan adalah 2 orang yang sama sekali berbeda dan mempunyai pekerjaan masing2.
sebetulnya yang lebih mudah bagi antum adalah mengikuti ulama ahli hadits saja, karena dari namanya saja, merekalah yang paling menguasai ilmu di bidang perhaditsan. ilmu hadits sama sekali bukan ilmu psikologi. jika antum bukan seorang ahli kimia, maka jangan berkata tentang ilmu kimia tanpa merujuk pada pendapat ahli kimia, apalagi membuat teori tentang ilmu kimia dengan pendekatan ilmu psikologi. apalagi hasil dari teori yang antum buat bertentangan dengan teori ahli kimia. maka ahli kimia mana yang tidak marah mendengar teori yang antum buat-buat?
mengenai benda bundar, sebetulnya sangat mudah memahami makna “di atas”. ana tanya, jika antum berdiri tegak, dimanakah letak kepala antum? apakah di atas atau di bawah?
ana duga dengan kuat antum akan menjawab di atas dan akan menganggap bodoh orang yang berkata kepala letaknya di bawah. namun kalo mengikuti logika antum di atas, seharusnya boleh-boleh saja mengatakan kepala antum di bawah, karena begitulah dari sudut pandang orang di belahan bumi lain yang berlawanan 180 derajat.
antum pasti setuju bahwa kata “naik” itu berarti dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. nah, misalkan kita berandai-andai, kita jatuhkan benda dari suatu belahan bumi lalu menembus terus ke bawah sampai muncul lagi benda itu di belahan bumi lain. saat dia muncul kembali di belahan bumi lain, apakah antum akan mengatakan bahwa benda itu turun atau naik? jika akal antum masih sehat, seharusnya antum menjawab benda itu naik.
lalu dimana atas dan dimana bawah?
kita ini hidup di bumi. Alloh mengajak bicara kepada penduduk bumi. maka atas dan bawah harus dilihatd ari sudut pandang penduduk bumi. “bawah” adalah bagian bawah dari bumi yaitu pusat bumi, sedangkan “atas” adalah bagian atas dari bumi. matahari, bulan, bintang dan benda2 langit lainnya semua adalah “di atas”. hanya orang gila atau super bodoh yang berkata semua itu adalah di bawah.
pada 3 Juni 2011 pada 8:53 am | Balaspeace1
Sungguh sekarang ini telah banyak salah paham , karena mengkotak2an ilmu, padahal ilmu itu sumbernya satu , yakni Allah SWt.:)
Kaum sufi zaman dahulu tidaklah mengkotak2an ilmu, mereka berusaha menguasa apapun yang berupa ilmu, karena dengan ilmulah kita dapat mengenali tanda2 kekuasaan Allah:)
Karena itulah banyak yang salah paham, karena mengabaikan sifat manusia bisa khilaf , lalu menggangap salah satu riwayat benar, yang lain salah, padahal yang salah bukanlah kejadian, tapi yang salah adalah ketidak sempurnaan terjadi akibat kelemahan manusia itu sendiri, inilah yang sering terjadi pada ulama yang cuma memahami suatu bidang ilmu saja:) tidak mengkaji tolak ukur kebenaran, kenapa hadist 1 dinilai lebih tinggi dari Alquran? karena masuk akalkah? padahal akal manusia dibatasi oleh pengetahuan yang dimiliki manusia itu sendiri:) dan suatu saat harus menyerah kepada Sang Pencipta Akal itu sendiri;)
Kembali kemasalah analogi benda bundar, pahamilah yang saudara bilang “atas” adalah karena referensi “bawah”. Saudara bilang “atas” adalah dikepala, tentulah referensi saudara bumi sebagai pijakan, dan jika bumi ini hancur, dimanakah pijakan saudara lagi untuk “atas”, tidak ada bukan? jangan bilang sama saya mustahil, sebab jika kiamat datang, semua akan hancur, kecuali Allah SWT:)
Karena itulah kami selalu memuliakan Allah dengan tidak mengatakan “dimana” yang menunjukkan posisi, yang hanya cocok untuk ciptaanNya. Allah bisa memperdengarkan “suaraNya” di bukit pada nabi Musa, dan Allah bisa memperlihatkan “wajahNya” di sidratul Muntaha kepada Rasulullah SAW, dan Allah bisa “turun” 2/3 malam di setiap sisi bumi dimanapun bumi berputar 1700-an km /detik. Karena itulah Allah tidaklah mampu dibatasi tempat dan waktu, bukanlah seperti benda yang harus pergi kesana-kemari, Maha Suci Allah dari hal demikian:)
Tidakkah saudara pahami cahaya, dimanapun berada kita bilang cahaya ada, walau dimanapun kita berada dmuka bumi cahaya pastilah ada walau lemah sekali intensitasnya, karena sifat cahaya “halus”. dan Allah Maha Halus” tidaklah membutuhkan tempat untuk DzatNya yang Maha Agung, karena Dia akan menemukam saudara dimanapun bersembunyi:) tapi belum tentu memperhatikan saudara:)
Kami lebih suka memuliakan Allah daripada mengatakan “dimana” atau “atas” hanya cocok untuk makhluk ciptaanNya, karena dengan begitu kami , akal kami telah tunduk pada Allah, karena tak mampu lagi untuk menyombongkan diri menyebut “diatas” atau “dimana”,
hingga menyelamatkan kami dari “imaginasi” berhala di pikiran kami karena menunjukkan posisi, karena itulah kami yakin akan rahmatNya dan takut akan murkaNya:)
Semoga bermanfaat dan Allah slalu menaungi hidayahNya kepada kita:)
pada 3 Juni 2011 pada 9:33 am | Balaspeace1
Sesungguhnya kami hanya mematuhi perintah Allah, untuk tidak memberikan arti atau mencari arti atau menakwil simbol atau kata atau perumpamaan yang disebut Allah dalam ayat mutashabihat (QS 03:07) dan memahami hakikat atau tujuan atau maksud yang ingin disampaikan Allah di dalam ayat2 tersebut supaya kami termasuk dalam golongan orang2 berakal yang ditinggikan derajatnya oleh Allah:)
Karena itulah kami tidak akan berani bertanya “dimana” atau menunjukkan posisi “diatas” untuk Allah, sebab akal kami akan menyerah, karena itulah arti “tunduk” sesungguhnya kepada Allah SWT:)
Kami sendiripun untuk perkara kecil tak akan bisa menentukan posisi partikel air didalam wadahpun secara pasti, apalagi posisi molekul udara atau cahaya, nyerah deh:) Tapi kalo saudara merasa bisa, itulah pilihan saudara, maka akan kami hargai
Karena itulah saudarapun harus bisa menghargai kami yang mensucikan Allah dari sifat2 kelemahan makhluk , dengan tidak menuduh sesat, sebab pengadilan akhir hanyalah Allah yang menentukan siapa masuk neraka (tidak tunduk) dan siapa masuk surga (sudah tunduk):)
Semoga bermanfaat, dan hidayahNya selalu menaungi kita:)
pada 4 Juni 2011 pada 1:29 am | BalasAjam
kaum sufi bukanlah ahlul hadits. jadi mereka bukan orang yang berkompeten untuk berbicara masalah hadits. kita ambil contoh Imam Al Ghozali yang dijuluki oleh golongan antum sebagai Hujjatul Islam karena begitu banyak hafalannya tentang hadits. namun perlu dicamkan, ilmu ahdits itu bukan hanya seputar jumlah ahdits yang dihafalkan, bahkan ini adlaah kriteria nomer sekian. pada akhirnya, Imam Al Ghozali ternyata tidak bisa memilah mana hadits shohih dan mana hadits dho’if dan maudhu’. kenapa demikian? karena memang beliau tidak menguasai ilmu hadits.
analogi yang ana bawakan ana rasa cukup jelas. antum bukan orang yang berkompeten dalam ilmu hadits, jadi sebaiknya menahan diri untuk berbicara mengenai bidang hadits, kecuali merujuk kembali pada ahli hadits. jika tidak, maka apalah artinya para ulama ahli hadits masa lalu menempuh perjalanan ribuan kilo untuk belaajr ilmu hadits, bahkan Imam Ahmad pada usia 80 tahun masih belajar ilmu hadits. semua jadi sia-sia gara2 ada orang yang tidak tahu apa2 tentang hadits berbicara seenaknya sendiri mengenai bidang hadits.
antum berkata: dan jika bumi ini hancur, dimanakah pijakan saudara lagi untuk “atas”, tidak ada bukan? jangan bilang sama saya mustahil, sebab jika kiamat datang, semua akan hancur, kecuali Allah SWT
ana jawab: bumi dan langit semuanya akan hancur, namun Alloh akan menggantinya dengan bumi yang lain dan langit yang lain. jadi setelah kiamat nanti, masih tetap ada yang namanya bumi dan langit. Alloh berfirman: “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (QS. Ibrahim: 48)
so, “atas” dan “bawah” masih tetap eksis bukan?
pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan yang diucapkan oleh Rosululloh. dan sebagaimana yang dikatakan oleh ulama ahlu hadits (yang asli, bukan sok-sokan), hadits ini adalah shohih.
antum berkata: sebab akal kami akan menyerah, karena itulah arti “tunduk” sesungguhnya kepada Allah SWT
ana jawab: perkataan ini benar, namun penerapannya tidak sesuai dengan apa yang antum katakan. kalau antum “tunduk”, seharusnya antum tidak menolak pertanyaan “Dimana Alloh?” dan jawaban “Di atas langit”, karena semua itu berasal dari Rosululloh.
ana memang tidak tahu letak partikel air itu dimana dan seperti apa bentuknya. namun SEANDAINYA Alloh dan Rosul-Nya mengabarkan tentang hal itu, niscaya ana akan membenarkannya. nah, pada dasarnya ana tidak tahu dimana Alloh. akan tetapi karena Alloh dan Rosul-Nya telah mengabarkan “dimana Alloh?”, maka ana membenarkan apa yang dikabarkan itu.
antum berkata: Karena itulah saudarapun harus bisa menghargai kami yang mensucikan Allah dari sifat2 kelemahan makhluk
ana berkata: Alloh sudah suci dengan apa yang disifati-Nya sendiri dan disifati oleh Rosul-Nya. Alloh tidak butuh penyucian antum atau kalian. Alloh lebih mengetahui Dzat-nya, maka kami menetapkan sifat-Nya sebagaimana Dia sendiri menyifati Dzat-Nya. jika Alloh menyifati Dzat-Nya adalah hidup, maka kami menetapkan sifat hidup bagi-Nya. jika Alloh menyifati Dzat-Nya besar, maka kami menetapkan sifat besar bagi-Nya. dan jika Alloh menyifati Dzat-Nya di atas langit, maka kami menetapkan sifat di atas langit bagi-Nya.
pada 4 Juni 2011 pada 7:41 am | Balaspeace all
Kata “Dimana Allah” dan “Diatas Langit” tidaklah kita saksikan secara nyata dimasa lalu, tapi melalui periwayatan seorang manusia yang bisa khilaf dan memiliki isi agak berbeda dengan banyak periwayatan2 yang lainnya, seperti saya jabarkan
Apakah manusia yang satu ini benar, lalu yang lain disalahkan?
Jasa para muhadits sangatlah besar, mencari hadits yang tersebar walau kadang dinilai doif karena terputusnya sanad, kita hargai hal itu dengan tidak menilainya maudu/palsu seperti yang saudara lakukan, padahal di dalamnya ada informasi berguna, seperti saya jabarkan sebelumnya
Lihatlah kalau dibumi kita memegang benda bundar, tentu yang dibawah adalah yang kita pegang, karena gravitasi satu arah, sehingga dapat kita tentukan atasnya
Bagaimana kalo bumi ini, di”pegang” oleh malaikat, dimanakah “bawah”nya sehingga bisa kita tentukan atasnya, begitu juga matahari, dimanakah malaikat “memegang” nya dan hal ini dapat kita simpulkan untuk benda2 langit lainnya, sebagaimana kita ketahui, bumi , matahari dan benda2 langitlainnya dipengaruhi gravitasi kesegala arah,
Karena itulah kami tidak menetapkan “atas” sebab menunjukkan posisi relatif jika hanya ada “bawah”, hal ini untuk benda angkasa tak berlaku lagi:) Dari sanalah dapat dikatakan Maha Suci Allah dari kata “dimana” yang menunjukkan posisi, sebab cahaya aja kita tak bisa tentukan posisinya
“Alloh lebih mengetahui Dzat-nya, maka kami menetapkan sifat-Nya sebagaimana Dia sendiri menyifati Dzat-Nya.”
Begitu hebatnya saudara (kata kami) menetapkan (berarti kuasa) sifat-Nya, sungguh saya ngak ikutan2 dalam hal2 ini,
Maaf, silakan saudara bicara sepuas hati saudara itu tanggung jawab saudara
Saya yang mendalami hidup para sufi, tak akan bersikap setinggi itu karena takut akan murkaNya, karena saya mengAgungkanNya walau Dia tidak butuhkan, mensucikanNya walau Dia abaikan, memuliakan walau Dia tidak perhatikan
Karena kami yakin akan kasih-sayangNya, suatu saat Dia akan menjawab pengorbanan kami dengan cintaNya yang Maha Luhur
Maaf, tak lebih tak kurang saya manusia, semoga hidayahNya selalu menaungi kita:)
pada 4 Juni 2011 pada 11:56 pm | BalasAjam
antum berkata:
Kata “Dimana Allah” dan “Diatas Langit” tidaklah kita saksikan secara nyata dimasa lalu, tapi melalui periwayatan seorang manusia yang bisa khilaf..dst
lalu antum berkata:
mencari hadits yang tersebar walau kadang dinilai doif karena terputusnya sanad, kita hargai hal itu dengan tidak menilainya maudu/palsu seperti yang saudara lakukan, padahal di dalamnya ada informasi berguna
ana jawab:
inilah akibat antum tidak mendengar nasihat ana untuk menahan diri dari berbicara tentang sesuatu yang antum tidak berkompeten untuk membicarakannya. bagaimana bisa antum menolak hadits shohih dengan alasan “kemungkinan perowinya khilaf”, namun di saat yang sama menerima hadits dho’if dengan alasan “terdapat informasi berguna”.
dan sepanjang diskusi kita, ana belum sekalipun langsung menjudge hadits2 yang dikaitkan dengan hadits jariyah itu adalah maudhu’. di antaranya ada yang dho’if, ada pula yang hasan/shohih.
=========================================
seperti yang ana katakan sebelumnya, jika seperti itu logika antum dalam memahami “atas” dan “bawah”, maka boleh2 saja kita katakan bahwa kepala itu letaknya di bawah bukan? kalo begitu, kata “atas” dan “bawah” menjadi kata yang tak ada artinya, karena atas bisa menjadi bawah dan bawah bisa menjadi atas. atau bisa juga kita katakan, atas dan bawah itu sebenarnya tidak ada.
ada 2 hal yang perlu kita perhatikan dalam memahami ayat2 Alloh, baik Qouliyah maupun Kauniyah:
1) ayat qouliyah tidak akan pernah bertentangan dengan ayat kauniyah, sekalipun secara sekilas terlihat seperti bertentangan.
2) akal manusia itu terbatas, bahkan hakikatnya manusia itu bodoh: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi bodoh.” (Al Ahzab 72)
contohnya adalah Al Mizan (timbangan/neraca). kalo kita menimbang beras atau gula atau emas pasti bisa. namun bagimana cara menimbang amal, padahal amal bukanlah benda yang berwujud dan bermassa?
contohnya lagi adalah Al Maut yang didatangkan pada penduduk surga dan neraka dengan bentuk seekor kambing, kemudian disembelih. bagaimana mungkin maut yang bukan merupakan benda berwujud dan bermassa bisa didatangkan, bisa diperlihatkan, berbentuk kambing dan disembelih? jika hal ini adalah mudah bagi Alloh, maka siapa yang dapat membuat sulit bagi-Nya untuk menentukan bahwa Dzat-Nya di atas langit?
kembali pada maslaah benda bundar/bulat, dalam hal ini adalah bumi, bagaimana menentukan arah “atas” atau “bawah” jika bumi dipegang oleh malaikat?
untuk menjawab pertanyaan itu, ana lebih dahulu bertanya: siapakah yang diajak bicara oleh Alloh dalam ayat2-Nya? Alquran itu diperuntukan bagi siapa? malaikat/penduduk langit atau manusia/penduduk bumi?
jika antum menjawab “manusia”, maka seharusnya kita menilai “atas” dan “bawah” yang disebutkan dalam alquran dan alhadits itu dari sudut pandang penduduk bumi atau manusia. bukankah ini sudah ana jelaskan sebelumnya?
=========================================
ada 2 nasihat ana kepada antum sebagai akhi fillah:
1) jika antum bukan orang yang berkompeten dalam bidang hadits, maka tahanlah lisan dan pena (keyboard) antum dari berkata tentang ilmu hadits. lebih aman dan selamat bagi antum jika merujuk pada ahli hadits.
2) wahyu itu berasal dari Alloh yang maha benar (Al Haq), tugas Rosululloh hanya menyampaikan, dan kewajiban kita hanya membenarkan. wajar jika akal sulit menerima, karena memang akal manusia itu terbatas.
pada 5 Juni 2011 pada 12:48 am | Balaspeace all
Membenarkan hadits 1 dengan mengambaikan hadist yang lain , adalah secara tak langsung dapat dikatakan saudara tidak mengakui hadits lain sehingga bisa dikatakan hadits lain maudu, walau tidak saudara bilang maudu:)
Tidakkah saudara perhatikan periwayat hadits 1 , bukan dalam niat memburukkannya,
1. Ceroboh berbicara ketika sholat, kaena menjawab bersin
2. Belum lama menjadi muslim, masih terbiasa budaya jahiliyah percaya dukun
3. Melakukan kesalahan dengan menampar seorang budak, tanpa meminta alasannya, karena budak itu bisu
Itulah sekelumit karakter periwayat, bukanlah seorang makshum seperti Rasulullah SAW, tidak tercegah berbuat kesalahan:) Karena itulah redaksi peristiwa bisa berbeda dari pandangan para Sahabat yang menyaksikannya lalu ada diantaranya yang meriwayatkan hasilnya akan berbeda , tentu saja kita lihat Kejadian diawali ketika Sholat berjamaah. Tidakkah dipahami hal diatas
Masalah benda bundar, adalah menunjukkan kesalahan fakta dari kata “dimana” dan “di langit” tidak pernah terjadi, sebab bertentangan dengan nash2 yang lain, hingga disimpulkan bisa menjadi kesalahan periwayat:)
Tidakkah saudara perhatikan tampak saudara tak bisa menjelaskan masalah “diatas” benda bundar secara universal, jadi pijakan saudara hanya berdasarkan situasi, jelas saudara mencari takwil atau arti dari kata “diatas” yang dilarang Allah untuk mencarinya (QS 07/03)
Kalaulah saudara tidak percaya, itu pilihan saudara untuk mengikuti ahli hadist sahih menurut ulama saudara percaya di beberapa abad belakangan.
Dan saya memilih mengikuti para imam 4 dan ulama di zamannya yang tak jauh dari 3 generasi terbaik, yang telah dulu berbicara mengenai hal ini dan mempermasalahkan keakuratan hadits ini (Imam Muslim, Imam Nawawi, Imam Baihaqi, Imam Bukhari) yang dijabarkan artikel diatas, menjelaskan hadist1 shohih dalam periwayatan tapi lemah dari segi isi karena ada beberapa riwayat lainnya:)
Setiap orang diminta pertanggung jawabannya masing2, dan masing2 akan berlepas diri dari yang lain karena Allah telah mengkaruniakan akal pada kita, untuk menilai kebenaran apapun berdasarkan Alquran dan Hadits lainnya:)
Jelas saya tidak akan taqlid begitu saja, pada para ahli hadist belakangan dalam masalah aqidah ini:)
Lebih baik saja menyerahkan makna “diatas” kepada Allah, dan lebih tertarik pada maksud “kata diatas” adalah menguasai atau memuliakan, dan pasti ingat kata “menguasai” mengganti kata “diatas” seperti sangkaan kebanyakan ulama sekarang versi saudara, tapi hanya menjelaskan maksud dari “kata diatas” hingga kami dapat memahami perintah Allah, bahwa Allah mengatur semesta ini dalam keteraturan Semesta ini melalui Arsy yang Agung . Sehingga kita pun harus tunduk padaNya, sebagai bagian dari semesta ini, kecuali bagi mereka yang zalim pada diri mereka sendiri:)
Maaf, Bang zon , udah jadi bahan perdebatan nih blog, dan sebaik diakhiri aja, sebab saudara ajam terbukti taklid pada ulama salafiyun belakangan tanpa menggunakan akalnya (maaf bukan maksud menyinggung), dan percaya dosanya ditanggung ahli haditsnya (apa mau tuh ahli hadistnya, kalo 1 juta mengikuti maka 1 juta nanggung dosa, astaqfirulah al azhim)
Maaf, tak lebih tak kurang, semoga bermanfaat karena itulah kalo ada yang baca perdebatan ini, telah disampaikan bahwa janganlah mengikuti salah satu pendapat kalo saudara tak yakin dan ingat dosa saudara ditanggung sendiri, silakan lihat (QS 10:41) telah dinukil dalam Alquran menjadi pelajaran bagi kita, dan hidayahNya selalu menaungi kita:)
pada 5 Juni 2011 pada 1:43 am | BalasAjam
antum berkata:
Membenarkan hadits 1 dengan mengambaikan hadist yang lain , adalah secara tak langsung dapat dikatakan saudara tidak mengakui hadits lain sehingga bisa dikatakan hadits lain maudu, walau tidak saudara bilang maudu:)
ana jawab:
antum lancang sekali membuat-buat kaidah sendiri dalam ilmu hadits. ada beberapa hal yang perlu antum perhatikan:
- para ulama ahli hadits menghukumi hadits jariyah itu shohih bukan tanpa melihat pada hadits2 lain. katakanlah Al Hafidz Ibnu Hajar. di satu sisi beliau berkata ada hadits2 lain yang mempunyai kemiripan redaksi, namun di sisi lain beliau berkata hadits ini shohih. apa antum hendak katakan bahwa beliau mengabaikan hadits lain?
- hadits dho’if itu bersifat dzon (sangkaan/dugaan) yang lemah. sedangkan hadits hasan bersifat dzon yang kuat. tahukah antum bahwa dalam alquran disebutkan dzon (prasangka) itu adalah ucapan paling dusta?
- apakah bisa perkara yang ragu2 seperti dugaan lemah ini dijadikan alasan penolak perkara yang sudah qoth’i (pasti)? ingatkah antum pada kaidah fiqih: “sesuatu yang yaqin tidak bisa digugurkan oleh sesuatu yang dzon”?
antum berkata:
Itulah sekelumit karakter periwayat, bukanlah seorang makshum seperti Rasulullah SAW, tidak tercegah berbuat kesalahan:) Karena itulah redaksi peristiwa bisa berbeda dari pandangan para Sahabat yang menyaksikannya lalu ada diantaranya yang meriwayatkan hasilnya akan berbeda , tentu saja kita lihat Kejadian diawali ketika Sholat berjamaah. Tidakkah dipahami hal diatas
ana jawab:
na’am, semua manusia bisa khilaf, kecuali al ma’shum (Nabi). hanya saja, perowi2 dalam hadits jariyah no 1 itu semuanya adalah tsiqoh (terpercaya). syarat tsiqoh ada 2, yakni ‘adhil (jujur) dan dhobt (kuat hafalan). memang tidak dipungkiri bisa saja terjadi kekeliruan. namun coba bandingkan dengan perowi2 dalam hadits lain yang dikaitkan dengan hadits jariyah. ada perowi yang lemah, maka kekeliruannya lebih besar. apalagi hadits no 2 yang antum bawakan tidak jelas sanadnya, ditambah lagi antum tidak paham shighoh “diriwayatkan”. kenapa antum tidak menuduh akal antum sendiri yang lebih besar kekeliruannya daripada ulama ahli hadits yang tsiqoh?
antum berkata:
Masalah benda bundar, adalah menunjukkan kesalahan fakta dari kata “dimana” dan “di langit” tidak pernah terjadi, sebab bertentangan dengan nash2 yang lain
ana jawab:
ya akhi, antum bukan ahli hadits. bukan kompetensi antum untuk menilai hadits2 ini dan itu saling bertentangan. perkataan antum “mengikuti imam 4 madzhab” itu cuma omong kosong, karena dari A sampai Z antum tidak pernah menukil perkataan dari mereka maupun imam2 yang lain. antum hanya berimajinasi dengan akal/logika antum sendiri tanpa sepatah katapun merujuk pada perkataan ahli hadits.
========================================
tidak perlu ana berpanjang2 kata lagi, kita bukan ahli hadits, maka janganlah kita bersikao sok tahu dalam ilmu hadits.
pada 5 Juni 2011 pada 12:51 am | Balaspeace all
Koreksi “pasti ingat kata “menguasai” mengganti kata “diatas” seperti sangkaan kebanyakan ulama sekarang versi saudara”
Seharusnya
pasti ingat kata “menguasai” tidaklah mengganti kata “diatas” seperti sangkaan kebanyakan ulama sekarang versi saudara
Maaf, terpaksa, sebab ngak bisa diedit, maklum saya juga manusia bisa khilaf,
Semoga hidayahNya menaungi kita:)
pada 5 Juni 2011 pada 7:12 am | Balaspeace all
“Al Hafidz Ibnu Hajar. di satu sisi beliau berkata ada hadits2 lain yang mempunyai kemiripan redaksi, namun di sisi lain beliau berkata hadits ini shohih. apa antum hendak katakan bahwa beliau mengabaikan hadits lain?”
Saudara ngak tidak melihat telah dijabarkan oleh Bang Zon permasalahan sebenar, maka bacalah baik2 apa yang disampaikan , jelas saya ngak berdusta atau lancang:)
Shohih dalam periwayatan, berarti memiliki keakuratan yang baik berdasarkan yang disampaikan periwayat,
Jelas bukan dimaksud isi dari yang disampaikan periwayat, takkah saudara lihat Imam Muslim meletakkan pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman”, bab “kafarah dengan pembebasan budak beriman”, dan juga bukan pada bab “pembebasan budak”. dan Imam Baihaqi pun telah menerangkan duduk perkaranya
Apakah telah disampaikan oleh artikel ini belum cukup bukti dan ditambah oleh secara analogi logika dari saya ngak cukup
Saya menghawatirkan, kebanyakan kita hanya mengikuti pendapat lalu menimpakan kesalahan pada ulama2 belakangan ini tanpa menggunakan akal untuk berpikir, seakan-akan mereka menanggung dosa kita atau kita tak aka bersalah, padahal tidak, Allah telah mengkaruniakan akal tapi tak digunakan, tentu kita akan menunggu siksaan yang pedih:) Kasus ini terjadi pada umat agama lain, menerima aja apa yang dikatakan pemuka agamanya tanpa berpikir kritis, Allah akan tetap menimpakan azabnya karena telah melalaikan karunianya yaitu Akal, karena tidak melihat kesalahan yang nyata2 yaitu menganggap Allah memiliki tempat seperti makhluknya itu sama syirik, karena menyamakanNya dengan makhluk, Maha Suci Allah dari hal segala keterbasan Makhluk
Sekian dari saya, semua tuduhan saudara telah saya jawab, tapi kalo belum puas, baca baik2 semua postikan artikel secara mendalam, akan tanpak para imam 4 di zamannya telah menerangkan hal demikian, kecual saudara hanya percaya sumber lain, seperti ulama salafiyun belakangan iini, itu pilihan saudara
Maaf, kalo kata saya menyakiti hati, yang saya ngakbermaksud buruk , cuma menyampaikan kebenaran, tak lupa semoga hidayah Allah akan menaungi kita:)
pada 6 Juni 2011 pada 12:45 am | BalasAjam
sudah sudah akh…antum itu bukan ahli hadits, jadi jangan sok tahu tentang ilmu hadits. memang kita dikaruniai akal untuk berpikir, namun bukan seperti ini cara berpikir yang diridhoi oleh Alloh.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Isra’ 36)
jika antum tidak menguasai suatu bidang ilmu, maka bertanyalah pada ahlinya, bukan tampil sok sebagai analist hadits dengan akal antum sendiri.
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl 43)
jaman sekarang memang banyak orang yang berkata bukan pada bidangnya. pelawak sok jadi da’i, artis sok jadi da’i, politikus sok jadi da’i. dan andalan mereka cuma : “sampaikan walau 1 ayat”. dan ternyata, meskipun mereka bukan ahli pada bidang yang sedang dibicarakan, mereka lebih banyak mendapat apresiasi. justru ustadz atau ulama yang asli malah dicela, dihujat, difitnah.
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya hari kiamat” [Shahih Bukhari)
hasilnya, negeri indonesia ditimpa begitu banyak bencana, musibah dan fitnah.
pada 19 Juni 2011 pada 12:19 am | Balaspeace all
Saya memang bukan ahli hadits, tapi tidak taqlid pada mereka yang ngaku ahli hadits belakangan,
Suka atau tak suka, Allah pasti meminta pertanggungjawaaban kita karena dikarunia akal untuk berpikir, apakah cuma mengikuti pendapat ulama belakangan mengaku udah slamat, pastilah tidak, karena tidak memiliki dasar yang kuat, mengikut2nya, maka masuklah ke golongan mereka yang menetapkan sifat makluk pda DzatNya seperti “atas”, Maha Suci Allah dari hal demikian, bagi mereka yang berakal:)
Silakan saudara pakai pendapat saudara, saya dengan pendapat saya sendiri, tidak menetapkan sifat makluk kepda Allah, dan menyerahkan maknanya kepadaNya, dan mengambil pelajaran dari perumpamaan2 hingga meningkatkan “tunduk” kepada Nya, amin”)
Maaf, tak lebih tak kurang saya manusia juga, semoga hidayah menaungi kami yang mengingat AsmaNya
pada 19 Juni 2011 pada 12:40 am | Balas'Ajam
mengaku bukan ahli hadits tapi ko sembrono berbicara tentang bidang hadits. mengikuti ahli hadits dalam membicarakan ilmu hadits bukanlah taqlid, melainkan ittiba’. sama saja dengan mengikuti dokter atau ahli kesehatan di bidang kesehatan bukanlah taqlid pada dokter tersebut.
mengikuti ahli hadits adalah dalam rangka mentaati perintah Alloh juga. Alloh berfirman: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An Nahl 43)
apakah mengikuti ahli hadits berarti tidak menggunakan atau menyi-nyiakan akal? tentu saja tidak, bahkan inilah peletakan kedudukan akal yang paling proporsional. bidang hadits adalah beban yang terlalu berat buat akal antum. sama seperti beban seberat 1ton adalah beban yang terlalu berat untuk otot antum. jangan memaksa untuk mengangkatnya, kalau tidak mau celaka.
itulah yang terjadi dengan akal antum, yaitu celaka atau sesat.
pada 19 Juni 2011 pada 12:37 pmRejeb
hey ajam bahlul ilmu wahabi tanpa sanad adalah batil !
pada 23 Agustus 2011 pada 2:24 pm | Balasrickyvaldy
repot dhewe..
pada 23 Agustus 2011 pada 2:37 pm | Balasrickyvaldy
kalau kita damaikan dgn begini bagaimana ya :
1. Allah ada diatas langit, bukan dilangit(didalam langit). karena langit adalah makhluk ciptaan Allah yg terikat dgn ruang dan waktu. sedangkan Allah berbeda dgn makhluknya, maka Allah tdk terikat dgn ruang dan waktu.
2. keberadaan Allah diatas langit, menunjukkan ketinggian, kesempurnaan dan kesucian Allah. suci dari keterkaitannya dgn ruang dan wktu( sebagaimana makluk yg terikat ruang dan wktu).
pada 24 Agustus 2011 pada 11:16 am | Balasmutiarazuhud
Mas Ricky Valdy, kita sebaiknya memahami Al Qur’an dan Hadits tidak dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah atau apa adanya atau apa yang tertulis/tersurat. Kita dapat temukan mereka yang menyandarkan pemahaman agama secara ilmiah / logika / akal pikiran / ra’yu mereka sendiri. Pemahaman yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemahaman yang tidak melampaui kerongkongan atau pemahaman sebatas akal pikiran atau akal secara dzahir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah SAW bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sndiri di dlm neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jumhur ulama yang sholeh dalam memahami Al Qur’an dan Hadits menyandarkan kepada (karunia) Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh pemahaman yang dalam atau pemahaman secara hikmah. Pemahaman yang melampaui kerongkongan atau pemahaman dengan hati atau akal secara bathin sebagaimana Ulil Albab.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami sendiri namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Rasulullah hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya. Untuk itulah para ulama hanya menyampaikan apa telah disampaikan oleh Rasulullah melalui lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh dan jangan mencampurkannya dengan hawa nafsu atau akal pikiran sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “mendengar” firman Allah Azza wa Jalla melalui malaikat Jibril. Selanjutnya ilmuNya mengalir dari lisan ke lisan orang-orang sholeh yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya. Itulah yang hakikat makna “Kami dengar dan kami taat”.
Dalam meraih ilmuNya atau memahami Al Qur’an dan Hadits tidaklah disandarkan pada tulisan atau kitab namun bersandar pada apa yang dikatakan dan apa yang didengar atau melalui lisan dan pendengaran atau dikenal dengan penyampaian atau imla’ / dikte . Nash/Lafadz Al Qur’an dan Hadits terjaga kemurniannya, salah satunya melalui para penghafal Al Qur’an maupun Hadits. Tulisan atau kitab sangat rentan dari pemalsuan atau sekedar tindakan pentahrifan berdasarkan kepentingan. Hal ini telah terurai dalam tulisan pada,
Oleh karenanya dalam meraih ilmuNya tidak baik belajar sendiri (otodidak) karena bersandarkan pada tulisan atau kitab, selain adanya bahaya pemalsuan kitab, juga besar kemungkinan akan bercampur dengan ra’yu (akal/rasio/otak) atau pendapat sendiri .
Akal manusia harus mengikuti firman Allah ta’ala dan Sunnah Rasulullah maka hal inilah yang dikatakan menyampaikan kebenaran atau menegakkan kebenaran atau disebut juga berdalil.
Jika akal mendahului firman Allah ta’ala dan Sunnah Rasulullah maka hal ini dinamakan menyalahgunakan kebenaran atau melakukan pembenaran atau disebut juga berdalih.
Penyalahgunaan kebenaran (firman Allah ta’ala dan sunnah Rasulullah) atau disebut dengan “pembenaran” adalah yang dimaksud dengan perkataan Imam Sayyidina Ali ra, “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang batil/salah). Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/maksud-yang-berbeda/
Pada zaman ini semakin banyak ulama yang tidak lagi mau mengikuti imam mujtahid mutlak atau Imam Mazhab. Pada hakikatnya bagi mereka yang tidak berkompetensi sebagai imam mujtahid dan tidak mau mengikuti atau bahkan menyelisihi para Imam Mazhab termasuk mereka yang memutus sanad ilmu atau sanad guru. Hal ini telah terurai dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Marilah kita mengikuti cara/jalan/metode Salafush Sholeh melalui apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab dan para pengikut Imam Mazhab karena Imam Mazhablah yang mendengar dan melihat secara langsung cara/jalan/metode Salafush Sholeh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Janganlah kita mengikuti ulama yang salah pikir (fikr) atau salah paham apalagi belum jelas kompetensi mereka sebagai imam mujtahid. Mereka hanya sekedar mengaku-aku mengikuti cara/jalan/metode Salafush Sholeh karena mereka yang mengasingkan diri atau membentuk kelompok minoritas , pada hakikatnya menyempal (keluar) dari mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak). Mereka secara tidak sadar telah menentang sunnah Rasulullah untuk mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) sehingga mereka tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mereka boleh jadi termasuk ulama yang keluar dari keumuman pendapat ulama sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada
Mereka boleh jadi telah keluar seperti anak panah yang meluncur dari busurnya atau keluar dari jamaah atau keluar dari As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam).
Mereka boleh jadi mirip dengan khawarij yang berbeda pemahamannya dengan Imam Sayyidina Ali ra tentang makna firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Barang siapa yang membuat keputusan hukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka ia adalah kafir” (Al-Maidah: 44)
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar